Kamis, 21 Maret 2024

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (5)

By Ahmad M. Sewang

BIOGRAFI STUDI SINGKAT PENULIS

Saya sekolah di Pambusuang mulai di Sekolah Rakyat Negeri (SRN) 1959, sambil sekolah di madrasah Diniah sore hari. Saya tamat SRN No. 2 tahun  1964/1965. Di sini saya menganggur dan ikut irama  suasana lingkungan masyarakat nelayan. Beruntung ada sebuah historical aksident terjadi pada pribadi saya yang mejadi rahmat tak terduga, membuat saya tidak meneruskan mengikuti sebagai nelayang. Kemudian setelah itu terjadi gempa bumi tektonik di daerah ini. Peristiwa ini membawa hikmah pada saya, sebab banyak tokoh Pambusuang dari Makassar berdatangan untuk menyatakan solidaritas dan membantu memajukan mayarakat Pambusuang. Di antaranya, K.H. Muchtar Husein, beliaulah pengide pendirian Pesantren Nuhiyah, bersama H. Zainuddin sebagai penyandan dana. Beliaulah juga yang mewakafkan tanahnya untuk bangunan Pesantren Nuhiyah yang kita saksikan sekarang, atas bantuan Arab Saudi, lewat usaha H. Muhammad Mu'ti beliau dengan kreativitasnya melakukan pembangunan masjid dan pesantren. Di sini saya terselamatkan dengan masuk pesantren tersebut pada tingkat Sanawiyah. Pengajarnya direktur Sayyid Mutfhhar dan gurunya para kiyai mulai dari paman saya sendiri, K.H. Ismail, K.H. Hafidh, K.H. Abdullah, K.H. Muhammad Said, K.H. Alwi al-Attas, K.H. Sayyid Thaha, dan K.H Rasyid. Jadi mereka di samping memberi pengajian dalam bentuk halakah juga mengajar di madrasah Sanawiah dalam bentuk klasikal. Di Sanawiah ada pengajar tetap seperti Sayyid Mutahhar, Kiyai muda H. Abdurrahman, H. Syauqaddin yang dibantu oleh kiyai mudah lainnya. Setelah selesai Sanawiah 1968, saya  melanjutkan studi di SP IAIN Alauddin di Polewali 1969.

Sebelum ke Ibu Kota kabupaten melanjutkan sekolah, Polewali, saya minta izin kepada guru saya, K.H. Hafid, beliau langsung menegur dengan berkata, "Pergilah karena di sini pelajaran tidak punya makna" tegurnya dalam bentuk setire. Artinya saya dilarang meninggalkan pengajian halakah di kampung." Itu juga menggambarkan bahwa Kiyai sangat menyayangi saya dan beliau berpandangan bahwa  pengajian kitab adalah yang terbaik pada saat itu. Namun, karena tekad sudah kuat untuk lanjut. Mendorong saya meyakinkan K.H. Hafid bahwa akan tetap melanjutkan pengajian kitab kuning di tempat baru. Akhirnya saya diizinkan lanjut ke SP IAIN di Polewali, namun sebagai orang yang haus ilmu pengetahuan, kepada siapa pun saya belajar, setelah  keluar dari dari kampung. Seperti yang dikatakan almarhum Prof. Dr. Baharuddin Lopa (Barlop) di salah satu kuliah umumnya di IAIN Alauddin Makassar sekitar tahun 2000 bahwa saya saat itu sama dengan euporia di era reformasi yang dilukiskan oleh Barlop, "Bak burung yang baru ke luar dari sangkarnya, bebas terbang ke mana saja sampai tembok sendiri ditabrak." Saya mulai membuka diri, tidak lagi tebatas pada NU, seperti di kampung, juga pada semua ormas Islam yang ada di Polewali waktu itu. Jika ada kegiatan IPNU, PII saya ikuti, demikian pula Perti, IPM, bahkan saya ikut pengkaderan SEPMI saya pun di sinilah mulai tercium banyak teman-teman. Akhirnya saya dipanggil khusus K.H. Muhsin Tahir, putra Imam Lapeo sekaligus Syuriah NU Kabupaten Polmas. Saya diinterogasi di rumah beliau dengan beberapa pertanyaan, yaitu:
 "Kenapa kamu ikut pengkaderan di SEPMI?" tanya beliau. Saya pun sepontan menjawabnya dengan lugu, yaitu: "Sebab mereka juga muslim. Bukankah mereka juga adalah organisasi Islam?," kata saya spontan. Reaksi beliau mendengar jawaban saya dengan nada tinggi beliau berkata, "Jawabanmu sudah mulai salah," katanya. Namun karena berbagai buku telah saya baca, melalui penjual buku dari Parepare bernama Sayid Sahel, bahkan saya membantu menjualkan buku-bukunya dengan tujuan untuk banyak membaca. Dari sinilah saya berkesimpulan bahwa semua organisasi Islam di samping memiliki persamaan satu sama lain juga bisa berbeda dalam masalah furu. Berbeda dalam masalah furu adalah sunatullah dan dibokehkan. Karena itu, perlu disikapi dengan toleransi. Di Polewali saya aktif di pengajian dan berguru pada K.H. Muchtar Baedawi, K.H. Arif Lewa, K.H. Syamsuddin, K.H. Muhammad Idrus, dan K.H. Ma'mun.

Saya juga agak heran karena K.H. Zainal Abidin, waktu itu juga beliau menjabat Kandepag Polmas di samping sebagai guru. Beliau mengangkat saya sebagai asisten Mahfuzat di SP IAIN, padahal saya juga berkedudukan sebagai siswa di kelas itu. Dari sini saya mendapat pelajaran berharga,  1. Sikap fanatisme tidak ada untungnya dipelihara. 
2. Kemungkinan lain,  yaitu beliau beranggapan pengetahuan bahasa Arab saya rara-rata lebih baik dari teman-teman siswa lainnya. Beliaulah yang menceritakan sebagian peristiwa yang dialaminya beberapa dekde lewat di Pambusuang.

Wasalam, 
Kompleks GPM, 22 Maret 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar