Selasa, 07 Maret 2017

Muhammad Munir : Menamatkan Sungai Dengan Puisi




HIKAYAT SUNGAIKU !
(Ketika Pasir jadi Pasar)

Sungai Mandar
Jika fragmen yang tercipta bagimu hanya menggores luka
Aku mungkin harus membentak sunyi diantara lelapnya toturunammu
Atau menyebutmu kenangan yang meranggas perlahan di ringkih hati
lalu menyemai harap,
segalanya akan kembali seperti semula
“Karena apa yang tertinggal,” katamu,”seperti sisa jejak kaki
di bibir pantai yang lenyap terhapus hempasan ombak”

Sungai Mandar
Pada uwakeq tarrattas kucoba melilitkan hatiku
Pada pappang tarraqba kucoba menanam asaku
Dan pada pasirmu kucoba merepih pilu
Agar tak hanya bisa bersenandung
Dan membuat segenap angan terbang liar mencabik cakrawala
seraya menyimpan segala asa dan rindu pada diam,
pada keheningan
pada lagu lama yang kita lantunkan
dan bergema lirih hingga ke sudut sepi sanubari
“Karena apa yang kini ada”, ucapmu lagi,
Adalah tempat dimana angin segala musim bertiup
dan arus semua sungai bermuara yang kerap
membuat kita gamang pada pilihan :
“meniti samar masa depan
ataukah menggenggam nostalgia
dan ikut karam bersamanya”
Sungai Mandar
Aku masih punya mimpi yang kusarikan di
doaku pada tuhanku diatas sana
Teruslah mengalir dan buatlah tujuh samudra lagi
Agar penambangmu bisa menimbang
Antara rasa, asa dan masa depan arusmu dari hulu ke
muara.

Senja di Bantaran Sungai Mandar
20 Ramadhan 1436 H.


SUNGAI MANDAR
(Dari Mata Air ke Air Mata)

Pernah sekali aku melihatmu
keluar dari celah batu,
dari ujung-ujung akar,
dari bongkahan tanah berpasir,
Berjalan pelan, mengalir Terus,
terus dan terus menerus
Tetes, setetes dan tetesan menetes
Rembes merembes
Mata air
Pertama kukenal,
ketika lelah tak letih mengikuti
Jadilah kau pilihan hatiku
ketika peluh meluluh nyaliku,
enggan kompromi
Pertama kali jua kau mengalir diantara sumsum dan urat nadi
Sesekali kau menyapaku lewat pori
Aku mengenalmu
Begitu dalam
Mata air
Pernah kuingin membuat danau,
Membuat samudera,
membuat kondensasi air,
membuat hujan,
untuk sekedar memberimu ruang untuk aku semakin dekat.
Dan dengan halus kau janjikan
dan jadikan sungai, laut, danau  dan samudera itu
tepat ketika aku beranjak dari tempat dimana aku pertama mengalirkanmu ketubuhku. 
Mata air
Kau benar,
janjimu pasti
dan aku melihat sosok tuhan yang begitu santun menyayangi alam dan makhluk-Nya. 
Kaukah sifat Tuhan itu,
dan dari sifat apa kau dicipta?
Sebab aku ada dan dicipta dari sifat Tuhan itu.
Jangan-jangan kau adalah aku
Tapi, tak mungkin mata air itu aku.
Aku adalah mata air,
bukan
Aku hanya punya air mata
Air mata
Pertama kukenal ketika kurasakan mata air itu
menamat hausku
Dan air mata itu keluar ketika syukurku memuncak
sebab dahaga yang mencekik itu telah hilang
Air mata
Aku memang tak lagi bisa menjadi mata air,
ketika melihat karyamu diabaikan
Danaumu dikeringkan,
sungaimu di rusak,
samuderamu jadi tong sampah
Aku ingin menyerapahi mereka,
tapi mereka memaki aku
Lalu air mata ini mengalir
Mencari mata air
Menemukan tuhan
Lalu Tuhan menyapaku
Jangan bersedih, kata-Nya
Hapus air matamu, jadilah mata air
Agar mereka menjadikan tujuh samudra lagi dari air mata mereka.
Air mata,
Mata Air
Tanah air dan air tanah
Adalah Mandar
Litaq Mandarku adalah Tanah air !

Sungai Mandar, 28 Juni 2015


SUNGAIKU....!
(Dari Sugiging ke Teriakan)

Tahukah kamu Wahai Sungai Mandarku?
Bahwa Sang leluhur memuliakanmu
Tapi, arusmu dari hulu kemuara,
Tanpa sadar membuat skenario kolektif
untuk sebuah proses pemiskinan dan pembodohan
Dan mereka mengkerangkengmu dalam ketidak berdayaan
Mereka datang laksana malaikat penolong
Gagah dan kuat bak buldoser atau pun ekscapator
Baju terstrika rapi bermobil mewah laksana pemilik sungai
Mereka datang membawa makananmu
membawa harapan-harapan baru
agar mereka tetap bisa berdaya
Dan penduduk DAS Mandar tak berdaya
Lalu hanya bisa berkata iye, Puang !
Bantaran sungaimu tertindas
baket demi baket dan laju truk bak tuyul penambang
Hentikan !
Hentikan skenario ini
Lupakan semua model bantuan itu
Tinggalkan zona nyaman itu
carilah zona barakkaq disungaimu
agar tak lagi ada eksploitasi
Biarkan kemiskinan menemani sampai ia letih mengikutimu
Wahai tanamandar tanah leluhur
Pegang erat tangan rakyat miskinmu
Pegang erat tangan nelayan miskinmu
Peluk erat bayi busung laparmu yang terkapar
Nyatakan perang pada tengkulak pasir
Lawan semua bentuk ketidak adilan
dan nikmatilah sungaimu
Sebagaimana moyangmu menikmatinya
Merdeka !

Sungai Mandar 03 Juli 2015

MENAMATKAN SUNGAIKU

Kukaramkan diriku
pada kedalaman limbong tammeppalisu
Kutemukan bongkah-bongkahan kerisauan
ketika sungaiku di rasuk perusak
Dan ada begitu banyak kepapaan yang kutemukan
ketika perasuk itu mengeruk
Tanpa sadar aku terseret arus yang menghantamku dari hulu
Kutemukan diriku terisak dimuara yang sekarat
Nafasku sesak dalam piatu
Dan sebelum aku bisa menarik nafas kedua
Ombak dari teluk Mandar menyapuku
Tubuh kerontangku terhempas kembali menantang arus sungai Mandar
Dimanakah aku ?
Sebegitu buramkah aku mengenali Mandarku
Hingga tak lagi aroma dan auranya kufahami
Semenit kemudian aku beringsut kebibir sungai
Menambang takdirku
pada uwakeq yang aku tak tahu entah aku bisa dikenali sebagai orang Mandar
atau justru aku minder dari perusak demi tidurku beberapa saat
Penambang menembang
Tambang menantang
Mandarku menentang
Diambang kebimbangan
Hakayat sungaiku ditambang
Akankah sampah juga ikut berdendang
Sementara aku harus tertendang?
Oh Sungaiku !
Uwai randang
Uwai tomanurung
Kuhalalkan jiwaku demi arus-Mu !

Lekopa’dis, 06 Maret 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar