Jumat, 23 Desember 2016

Mengenang Sososk S. Mengga (2)

Wanita-wanita dalam kehidupan S. Mengga

S. Mengga sempat menikah 8 (delapan) kali. Pernikahannya yang pertama dengan Miss Asma, seorang artis Sandiwara keliling dari pulau Jawa. Pernikahan S. Mengga dengan Sri Panggung yang usianya lebih tua darinya tersebut tidak berlangsung lama dan tidak membuahkan keturunan.

Pernikahannya yang kedua dengan Siti Rapiah, seorang gadis cantik dari kampung Karama. Dari pernikahan ini beliau dianugerahi seorang putri yang diberi nama Sundari (Hj. Syarifah Sundari Al Attas). Pernikahan S. Mengga yang ketiga, yaitu dengan Hj. Nyilan. Dari pernikahannya, beliau memiliki 3 (tiga) orang anak, yaitu Syarifah Asiah S. Mengga (istri Prof. H. Umar Shihab), Mayjen TNI (Purn) Salim S. Mengga, dan Ir. Aladin S. Mengga (Wagub Sulawesi Barat).

Pernikahan S. Mengga yang keempat, dengan seorang “bunga desa” dari kampung Mombi/Paropo, bernama Padatia, dari pernikahan beliau tidak memiliki keturunan. Pernikahan yang kelima dengan Maryam Amu yang berasal dari Gorontalo (putri Bupati A. Amu). Dari pernikahannya ini, dikaruniai seorang anak bernama Heri. Pernikahan yang keenam dengan Helena, seorang wanita keturunan Indo Jerman, juga tidak memberinya keturunan.

Pernikahan S. Mengga yang ketujuh dengan Sui Heang. Pernikahan beliau ini juga tidak membuahkan keturunan. Terakhir S. Mengga menikah dengan Maesuri, seorang gadis belia dari Desa Baru’ Mapilli. Pernikahan kedelapan beliau ini dikaruniai seorang putra bernama S. Fauzi Al-Attas. Dari delapan kali pernikahan S. Mengga dikaruniai enam orang anak, dua putri dan empat putra.

S. Mengga adalah seorang suami yang “romantis”. Candaan dan perlakuan sayang yang kadang unik, menggelikan, dan spontan terhadap istri-istrinya, nyata sesuatu yang tidak dibuat-buat. Di dalam mendidik putra-putrinya, S. Mengga lebih menekankan pada aspek “Ahlaqul Karimah”. Kejujuran yang menjadi substansi pesan moralnya, diaplikasikan dengan contoh dan keteladanan, bukan dengan retorik yang muluk-muluk. Menurut S. Mengga, hanya dengan kejujuran, seorang dapat hidup “survival”, berani berbuat dan bertanggung Jawab. Semangat pejuang dan rela berkorban adalah juga bagian yang ditanamkan sejak dini kepada anak-anaknya.

Kharisma yang tergurat dari wajah tampannya adalah juga pantulan dari kejujuran dan semangat juang yang dimilikinya. Sebagai pemimpin yang berkarakter, ia mampu menjinakkan berbagai masalah sesulit apapun yang di hadapinya.

Tentang S. Mengga

Nama asli S. Mengga adalah HS. Mahmud bin Muhsin Alattas. S. Mengga sendiri mempunyai nama resmi yang tertulis dalam kartu keanggotaannya di TNI Angkatan Darat, dengan NRP. 18234 adalah Said Mengga. nama “Mengga” adalah julukan (gelar). Mengga adalah kosakata (dialek) Pannei yang berarti “batas”. Gelar ini diberikan oleh sesepuh masyarakat Karombang sebagai penghargaan leluhur terhadap salah seorang sanak keturunannya. Secara genealogis, salah seorang leluhur S. Mengga memang berasal dari keturunan hadat Karombang (wilayah Kecamatan Bulo). Selain itu, Mengga dalam kosakata bahasa Balanipa Mandar berarti warna “merah” (mamengga). Julukan ini boleh jadi dianalogikan dengan karakter pribadi Sayyid Mahmud Muhsin Al-Attas tersebut, yang terkesan “mamengga” (merah), yang artinya “berani”.

Masa-masa kecil hingga remaja S. Mengga banyak dilewati di Kampung Lawarang dan Pambusuang. Kalau Pambusuang dikenal dengan kultur masyarakatnya yang religius, maka lawarang dikenal dengan kultur masyarakatnya yang tempramental. Boleh jadi karakter pribadi. Mengga adalah akulturasi “darah panas” dari Lawarang dan tuah “ulama” dari Pambusuang.

Dari kondisi lingkungan yang demikian, S. Mengga tumbuh menjadi seorang remaja kampung yang tampan, kharismatik, berwibawa, bersahabat, dan berani berkorban dan tanpa mempersoalkan status sosial seseorang yang dihadapinya. Oleh karenanya S. Mengga cukup disegani, bahkan menjadi idola di lingkungan pergaulannya.

Lingkungan pergaulan kampung yang labil, ikut berpengaruh dalam proses pendidikan formal S. Mengga. Di Mandar ia hanya sempat menempuh pendidikan di VVS lima tahun dan HIS selama dua tahun di kota Majene. Tapi, karena tindakan kriminal (manggayang pesarung) yang dilakukannya, ia terpaksa berurusan dengan hukum dan meninggalkan bangku sekolah.

S. Mengga ditangkap polisi NICA dan dijebloskan ke rumah tahanan Majene. Di depan pemeriksaan polisi, S. Mengga yang saat itu baru berusia 16 tahun, bertanggung jawab sepenuhnya atas resiko perbuatan yang telah dilakukannya, bahkan mengakui perbuatannya itu sebagai sebuah pembuktian eksistensi dirinya telah menjadi seorang “laki-laki”.

Beberapa lama ditahan di penjara Majene, S. Mengga kemudian diasingkan ke Jawa Barat sebagai salah seorang narapidana pemerintah kolonial Belanda di penjara Sukamiskin (Jawa Barat), penjara yang sama yang pernah ditempati oleh Soekarno (Presiden Pertama RI) pada tahun 1930. Penjara yang dibangun pada tahun 1817 oleh pemerintah Hindia Belanda.

Selepas menjalani masa hukuman di penjara Sukamiskin, S. Mengga berangkat ke Yogyakarta dengan maksud melanjutkan pendidikannya di Sekolah Muhammadiyah. Setelah 3 (tiga) tahun menjalani masa pendidikan di sekolah itu, ia menyatakan berhenti dan tidak berhasrat untuk melanjutkan pendidikannya lagi. S. Mengga justru tinggal dan bekerja sebagai pelayan di rumah salah seorang Asisten Wedono di Yogyakarta.

Sebagai pelayan di lingkungan rumah tangga seorang Asisiten Wedono, mengharuskan S. Mengga berprilaku sesuai tradisi dan tatakrama Kraton Jawa. Kebiasaan “sungkem” dan telaten dalam setiap melaksanakan tugas kewajibannya sebagai abdi, telah menanamkan rasa disiplin yang tinggi dalam jiwanya.
  
Selepas tugas sebagai abdi, S. Mengga mencoba memasuki dunia kemiliteran. Kondisi negara dan bangsa Indonesia yang sedang berjuang mencapai kemerdekaannya, menggugah hasrat heroisme yang membuncah di dadanya. Untuk itu S. Mengga dan teman-temannya memilih bergabung pada beberapa organisasi kelaskaran di pulau Jawa. Antara lain menjadi anggota laskar pejuang di daerah Lawang, Jawa Timur selama kurang lebih dua tahun.

Perjuangan di militer

Tahun 1945 S. Mengga menjadi anggota Laskar Pejuang Kemerdekaan Indonesia. Salah satu organisasi kelaskaran yang mewadahi para pemuda pejuang di daerah Mandar yang bereaksi keras terhadap kehadiran tentara NICA. Tahun 1946, S. Mengga kembali tertangkap oleh tentara sekutu dan lagi-lagi dijebloskan ke penjara Majene, tentu saja pengawasan terhadap S. Mengga dan kawan-kawannya cukup diperketat. Namun S. Mengga bisa lari dari penjara berkat bantuan rekan seperjuangannya, seperti Kaco Tandung, Maccing dan Belle.

Tahun 1948, S. Mengga menjadi anggota Kelaskaran Kris Muda Mandar. Kris Muda adalah sebuah organisasi perjuangan yang dibidani kelahirannya oleh Andi Depu (Mara’dia Balanipa ke-52), pada tanggal 17 Oktober 1946. Tahun 1952 (3 September), S. Mengga beserta 155 anggota pasukannya di lantik dan diresmikan sebagai APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Sulawesi) di Tinambung oleh Kepala Staf TT-VII Letkol J.F. Warrouw, dengan nama kesatuan “pasukan Mandar”.

Sebagai tindak lanjut pemgumuman panglima TT-VII nomor: 30339/7/IX/32 tentang peresmian pasukan Mandar, pimpinan S. Mengga itu, dikeluarkan surat penetapan PD. Panglima TT-VII Indonesia Timur nomor: 80/pers/70/353 tentang penetapan kepangkatan dan jabatan personil Mandar (Kompie G) pimpinan Letda S. Mengga. Kompi G pasukan Mandar, pimpinan Letda S. Mengga, bagi sebagian besar kalangan masyarakat Mandar lebih populer (akrab) dengan sebutan “Pasukan Mengga”.

Identifikasi (julukan) ini, boleh jadi karena popularitas sosok Pribadi S. Mengga sebagai komandannya. Julukan serupa terjadi pada “pasukan Usman Balo”, “pasukan Hamid Ali”, “pasukan Andi Singke”, “pasukan daeng pagessa” dan yang lainnya. Julukan seperti itu memang Lazim digunakan di masa revolusi. Tujuannya, untuk lebih meningkatkan kewibawaan seorang pemimpin pasukan ketika itu.

Naik pangkat

Lima bulan setelah dilantik dan resmi ditugaskan di wilayah Pare-Pare, Kompi G BN. 708 pimpinan Letda S. Mengga dimutasi ke Batalion 709 di Watampone, hanya bertugas kurang dari 1 tahun, karena pada tanggal 31 Juni 1954, ia dipindah-tugaskan ke Makassar sebagai kepala bagian peralatan dan mesiu batalion 709. Menjelang akhir tahun 1957, letda S. Mengga kembali dimutasi ke Batalion 708 ROI-I di Parepare, sebagai Kepala Bagian IV. Dalam waktu yang sama Letda. S. Mengga sekaligus ditunjuk sebagai pejabat komandan kompi markas Bn. 708. Pengankatan sebagai komandan kompie markas Parepare ini tertuang dalam Surat Keputusan Panglima Kodpsst Nomor: 148/12/1957.

Dalam jabatan ini, Letda. S. Mengga dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Satu (lettu). Kenaikan pangkat ini, merupakan realisasi dari Surat Keputusan Menteri Pertahanan RI nomor: MP/54/1957, yang berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 1956. Kenaikan pangkat S. Mengga ke Letnan Satu (lettu) merupakan kenaikan pangkat yang pertama kali baginya, setelah kurang lebih enam tahun menyandang pangkat letnan dua (letda).

Tahun 1959. Lettu S. Mengga dipindahkan ke Palopo sebagai Wakil Komandan Batalion 402-ROI I. Penugasan beliau ke Palopo berdasarkan surat keputusan Panglima KD-MSST Letkol Andi Mattalatta nomor: 0158/II/59. Setelah bertugas selama kurang lebih satu tahun di Palopo, Lettu S. Mengga mendapat surat perintah ke Kolaka (Sulawesi Tenggara) sebagai pejabat komandan “Batalion Remadja”.

Terhitung 1 Januari 1960, lettu S. Mengga dinaikkan pangkatnya menjadi Kapten, sebagai realisasi dari surat keputusan ksad nomor: 251/12/1960.

Surat keputusan KSAD tentang kenaikan pangkat S. Mengga tersebut, kemudian ditindak-lanjuti dengan radiogram Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad), tanggal 3 Agustus 1963. S. Mengga kemudian ditugaskan oleh Panglima KDMSTT sebagai Kepala Seksi Keamanan pada Kantor Penguasa Perang Daerah (Peperda) Sulawesi Selatan tenggara di Makassar. Semasa bertugas di Peperda (1962-1964) itu, beliau banyak membantu pengusaha (orang Mandar), khususnya mendapatkan fasilitas “delivery order” (DO) barang-barang komoditas, seperti benang, gula pasir, dan terigu yang distribusinya dikordinasikan oleh Peperda.

Dari Kepala Seksi Keamanan Peperda Sulawesi Selatan Tenggara, S. Mengga ditugaskan ke Kabupaten Majene sebagai Kepala Staf Kodim 1402. Beliau sekaligus ditunjuk sebagai Ketua Cabang LVRI Kabupaten Daerah Tingkat II Majene. Terhitung mulai tanggal 1 Januari 1965, Kapten S. Mengga dipindahkan kembali ke Makassar, sebagai perwira menengah (pamen) pada Staf Kodam XIV/Hasanuddin. Dari situ, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor, berdasarkan Radiogram Menteri Panglima Angkatan Darat No: TR-0370/1965.

Dalam posisi “non job” (pamen). Panglima kolonel M. Jusuf, mengangkat Mayor S. Mengga sebagai Asisten Pribadi (Aspri) Panglima Kodam XIV/Hasanuddin. Jabatan Aspri ini dijabat dari tahun 1966 hingga tahun 1969, hingga masa kepemimpinan Brigjen Solichin GP sebagai Pangdam XIV/Hasanuddin. Hikmah terdalam yang didapatkan S. Mengga sebagai Aspri, adalah bertautnya jalinan Pribadi antara dirinya dengan M. Jusuf dan Solichin GP. Dua figur Panglima Kodam XIV/Hasanuddin yang dikaguminya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar