Jumat, 23 Desember 2016

Mengenang Sosok S. Mengga (3 - Selesai)


Menjadi komandan

Berdasarkan Radiogram Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Nomor: R-03072/1969, Mayor S. Mengga dinaikkan pangkatnya menjadi letnan kolonel (letkol). Setelah itu ia diberi amanah sebagai Komandan Kodim 1409 Gowa/Takalar oleh Panglima Kodam XIV/Hasanuddin Brigjen Sayidiman.

Mengbbdi di kampung halaman lalu pensiun

Dari Kodim 1409 Gowa Takalar, Letkol S. Mengga kembali ke daerah asalnya sebagai Komandan Kodim 1402 Polmas. Jabatan yang diembannya dari tahun 1972-1974 ini, juga tidak terlepas dari sentuhan (pembangunan) seorang S. Mengga. Program partisipasi pembangunan teritorial Kodim 1402 yang dicanangkan. S. Mengga mendapat respon dan apresiasi masyarakat, serta dukungan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Polmas, Abdullah Majid. Fokus pembangunan diarahkan S. Mengga pada rehabilitasi selokan dan drainase di beberapa tempat, antara lain selokan pasar Campalagian dan pasar Tinambung.

Komandan Kodim 1402 Polmas adalah jabatan terakhir yang disandang Letkol S. Mengga sebagai militer aktif. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Nomor: SKEP. 002/XIV/II/1978, Letkol S. Mengga diberhentikan dengan hormat dari Dinas Militer, terhitung tanggal 1 Oktober 1975, dengan hak pensiun.

Pensiun dari dinas militer tidaklah berarti menyurutkan langkah pengabdian S. Mengga kepada masyarakat Mandar yang dicintainya. Setelah pensiun S. Mengga melangkah pasti ke Pare’deang, untuk mewujudkan cita-citanya sebagai petani, diatas ratusan hektar areal perkebunannya. Hasil sebagai petani, tentu saja telah memberikan kehidupan layak bagi S. Mengga dan keluarganya. Dan tidak sedikit dana pribadi S. Mengga (dari hasil bertani) telah disumbangkan untuk berbagai kepentingan pembangunan.

Dari petani ke bupati

Setelah kurang lebih lima tahun bermukim sebagai petani di Pare’deang, S. Mengga mendapat kepercayaan dari rakyat menjadi Bupati Kepala Daerah Tingkat IPolmas periode 1980-1985. Meskipun pada awalnya tidak bersedia, tetapi akhirnya ia menerima amanah rakyat itu dengan sebuah tekad: Membangun Polmas dari tidurnya yang panjang”.

Sekitar akhir tahun 1978, beberapa mahasiswa kesatuan pelajar mahasiswa Polewali Mamasa Mandar (KPMPMM) Pimpinan Drs. Nadir Arifuddin mengembangkan sebuah wacana. Isu yang diangkat adalah figur Bupati Kepala Daerah Tingkat II Polmas pasca H. Abdullah     Majid, setelah beberapa kali pertemuan (rapat) di asrama mahasiswa Balanipa II jalan rusa 22a/13 Makassar, akhirnya kelompok mahasiswa yang terdiri dari Drs. Nadhir Arifuddin, A. Sanif Aco, A. Aziz Rachmat, Alimuddin Lidda, A. Waris Hasan, A. Samad Bonang, M. Dahlan Lidda, Syahruddin Rasyid, M. Thalib Banru dan lain-lain bersepakat, bahwa figur yang akan diusung adalah letkol (purn.) S. Mengga, yang sejak pensiun dari TNI tahun 1975, bermukim sebagai petani di Pare’deang. Selanjutnya, PEPABRI secara resmi mengusulkan letkol (purn.) S. Mengga ke DPRD sebagai Calon Bupati Kepala Daerah Tingkat II Polmas periode 1980-1985.

Akhirnya, pada tanggal 30 Mei 1980 dalam suatu rapat paripurna istimewa DPRD kabupaten Polmas, dengan agenda tunggal, pemilihan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Polmas periode 1980-1985. Letkol S. Mengga memenangkan pemilihan tersebut, dengan memperoleh 27 suara, mengungguli Drs. M. Jusuf Jafar (Sekda Polmas) dan Samuel Matasak yang masing-masing hanya memperoleh 2 dan 3 dukungan suara.

Sebagai realisasi dari Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 131.53.151 tanggal 1 Juni 1980, DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Polmas hari selasa tanggal 17 Juni 1980 menggelar rapat paripurna istimewa, dengan agenda pengambilan sumpah dan pelantikan S. Mengga sebagai bupati kepala daerah, oleh Gubernur Sulawesi Selatan H. A. Oddang, menggantikan H. A. Samad Suhaeb sebagai pejabat sementara.

Kembali terpilih

Tanggal 5 Juni 1985, sidang paripurna istimewa DPRD Kabupaten Tingkat II Polmas yang dipimpin oleh H. A. Rachman Ali, memutuskan letkol (purn) S. Mengga terpilih kembali sebagai Bupati Polmas periode 1985-1990 dengan memperoleh 27 suara anggota dewan. Menyisihkan Drs. Abdullah Jaga dan Muhammad Marzuki Sammu yang masing-masing hanya memperoleh 3 dan 2 suara anggota dewan.

Terpilihnya S. Mengga untuk kembali memimpin Polmas, membuat sukacita yang mendalam di hati rakyatnya. Dihadapan rakyat Polmas, S. Mengga mengatakan:
“Bahwa rahasia suatu keberhasilan terletak pada itikad baik, kesungguhan, kejujuran, dan dukungan semua pihak. Semua orang yang mau kerja keras insyaallah akan berhasil, asal disertai keikhlasan. Untuk itu saya mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh masyarakat Polmas yang telah mendukung kepemimpinan saya, serta tak lupa memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila selama ini saya melakukan hal-hal yang kurang berkenan di hati semuanya, baik disengaja maupun tidak. Yang pasti bahwa apa yang telah dan akan saya lakukan selama menjadi bupati kepala daerah tingkat II Polmas, adalah untuk kepentingan rakyat Polmas secara keseluruhan dan sama sekali bukan untuk kepentingan Mengga pribadi.”

Terpilihnya S. Mengga untuk periode kedua dipastikan dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri no. 131.53-521 tertanggal 17 Juni 1985. Keputusan Menteri Dalam Negeri ini mengesankan sebuah keistimewaan bagi S. Mengga. Bahwa dia lah satu-satunya bupati dari unsur ABRI di Sulawesi Selatan saat itu yang lolos untuk dua kali masa jabatan. Ada aturan yang melarang ABRI dipilih kembali, kecuali memang sangat dibutuhkan dan memiliki “keluarbiasaan”. Hal ini membuktikan bahwa rekomendasi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang diberikan pada S. Mengga merupakan bentuk pengakuan almamaternya atas prestasi kerja yang telah dibuatnya sepanjang tahun 1980-1985.

Bencana banjir

Tahun 1987 tepatnya bulan Desember, kabupaten daerah tingkat II Polmas dilanda bencana alam banjir dan tanah longsor di beberapa tempat. Akibat bencana ini, korban jiwa manusia tercatat 67 orang, 2.521 rumah penduduk, 60 buah kios pasar desa hancur. Selain itu, 1.100 ha. Sawah siap tanam terendam lumpur, 147 hektar tanaman kacang hijau yang siap panen, serta 81 hektar tanaman bawang merah rusak berat.

Kerusakan jalan dan jembatan yang menyebabkan hubungan Ujung Pandang-Polmas; Polmas-Majene dan hubungan Polewali-Mamasa terputus. Berhadapan dengan realitas seperti itu, S. Mengga tetap tegar. “Tuhan menguji kita!”Tetapi bukan berarti kita harus pasrah. S. Mengga dangan semangat, memotivasi rakyatnya untuk bangkit kembali di tengah-tengah puing-puing harta benda mereka.

Penghargaan Prasamya Purnakarya Nugraha “Kita tidak boleh terus meratapi tetapi harus bekerja lebih keras lagi untuk memulihkan kembali semua yang telah rusak”. Berkat kerja keras S. Mengga bersama rakyat dan jajarannya, kondisi Polmas berangsur-angsur pulih, bahkan lebih ditingkatkan lagi. Akibat kerja keras itu Kabupaten Daerah Tingkat II Polmas menjadi salah satu nominasi peraih petaka “Prasamya Purnakarya Nugraha”, di samping Kabupaten Soppeng dan kabupaten Sidrap.

Pengumuman pemerintah akhirnya menyatakan Kabupaten Daerah Tingkat II Polewali Mamasa (Polmas) sebagai peraih penghargaan Prasamya Purnakarya Nugraha. Rakyat Polmas dalam luapan kegembiraan, dan S. Mengga tersenyum bahagia melihat rakyatnya menikmati dan mensyukuri hasil jerih payahnya.

Saat menerima Prasamya Purnakarya Nugraha tanggal 3 September 1989, itu berarti kurang lebih tujuh bulan lagi S. Mengga akan mengakhri masa jabatannya untuk periode ke-2. Ambisinya yang kuat untuk mempersembahkan yang terbaik buat rakyatnya benar-benar telah terwujud, namun tidak berarti setelah itu ia boleh berpuas diri dan tidak berbuat apa-apa lagi. Tujuh bulan yang tersisa dari masa jabatannya, bagi S. Mengga masih terlalu luang untuk berbuat lebih banyak lagi. Artinya, setelah itu entah berapa banyak lagi infrastruktur yang dibangun dan dirampungkannya, sampai betul-betul masa jabatannya tuntas tanggal 15 Juni 1990.

Pemain bola idola

Bermain sepak bola adalah salah satu kegemaran S. Mengga di masa muda. Kepiawaiannya di lapangan hijau menempatkan dirinya menjadi salah seorang pemain handal di Bond Mandar pada masanya. Posisinya sebagai striker (penyerang tengah) dan kamampuan individunya menciptakan gol ke gawang lawan-lawannya menjadikan S. Mengga sebagai idola, terutama di kalangan wanita.

Setiap S. Mengga tampil di lapangan hijau, akan terlihat banyak sekali wanita yang menjadi penonton. Boleh jadi, mereka tidak hanya melihat aksi bolanya, tetapi sekaligus mengintip ketampanannya. Seangkatan dengan S. Mengga di lapangan hijau, antara lain: Sarani, Samamang, dan Djamaluddin.

Setelah S. Mengga menjadi bagian dari dunia “gurilla” militer, praktis ia tidak punya kesempatan lagi untuk menyalurkan hobi bolanya. Namun sebagai pemerhati dan pembina sepakbola di kesatuannya S. Mengga tetap eksis dan berkesinambungan. Satu-satunya hobi olah raga yang rutin dan konsisten dilakukannya adalah joging pagi atau sore hari disekitar rumah tinggalnya. Kegemarannya terhadap olah raga joging sejak dulu, membuat S. Mengga tetap sehat dan segar di dalam kesehariannya.

Akhir hayat

S. Mengga yang sampai akhir hayatnya masih menjabat sebagai Ketua Markas Daerah Legiun Veteran RI (LVRI) Kabupaten Polmas, mengisi hari-hari tuanya dengan mengurus perkebunannya yang luas di Pare’deang. Beliau menikmati hobi dan kegemarannya, seperti memelihara satwa/binatang ternak.

Dalam usianya yang ke-83 tahun, S. Mengga meninggal dunia dengan tenang di rumah sakit akademis Makassar pada hari jumat tanggal 13 April 2007, sekitar jam 01.30 malam, karena sakit. Jasad beliau dimakamkan di depan Masjid At-Taqwa Pambusuang pada sabtu, tanggal 14 April 2007, dalam suatu upacara kebesaran militer, dipimpin Komandan Korem 142 Taro Ada Taro Gau; mewakili Pangdam VII Wirabuana. Di makam yang sama juga terdapat makam saudara(i)nya; Puang Kosseng, Puang Barlian, Puang Bela, juga terdapat makam Andi Baso Mara’dia Balanipa ke-51 dan beberapa keluarga bangsawan Balanipa Mandar.

Penghargaan yang diterimanya

Dalam kurung waktu kurang lebih 50 tahun pengabdiannya kepada bangsa dan negara, S. Mengga telah menerima sejumlah tanda jasa dan bintang penghargaan. Sebagai veteran pejuang kemerdekaan, ia menerima Bintang Gerilya, Satya Lencana dan Bintang Legiun Veteran Republik Indonesia, serta bintang penghargaan dari DHD angkatan 45 Sulawesi Selatan.

Sebagai perwira TNI Angkatan Darat, S. Mengga menerima Medali Sewindu APRI, Satya Lencana Perang Kemerdekaan Dan II, Satya Lencana Kesetiaan 8 dan 16 tahun, Satya Lencana Gom III dan IV, Satya Lencana Penegak, Satya Lencana Sapta Marga, Satya Lencana Dharma, Serta Sam Karya Nugraha dari Panglima Kodam XIV/Hasanuddin.

Sebagai bupati kepala daerah tingkat II Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas) selama dua periode, S. Mengga menerima, antara lain, piagam penghargaan IPEDA dari Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Satya Lencana Pembangunan Bidang Ekonomi dan koperasi tahun 1989 dari Menteri Koperasi, Lencana Pramuka Klas IV Dan V.

Di samping itu beliau juga menerima piagam sebagai peserta penataran P4 type A angkatan XIX di Makassar, serta piagam penghargaan peserta diskusi nasional ke-7 penggunaan tanah bencana dan pembangunan di Jakarta, dan piagam sebagai peserta latihan bupati kepala daerah/Ketua pelaksana Bimas tahun 1983 di Jakarta.

Puncak dari segala penghargaan itu, Bupati S. Mengga menerima tanda kehormatan Prasamya Purnakarya Nugraha PELITA IV dari Presiden Republik Indonesia, tanggal 3 November 1989.

Dalam bentuk lain, S. Mengga menerima Surat Keputusan Nomor: 01/K.S/1982 dari masyarakat Kondosapata. Surat keputusan yang ditanda tangani dua orang anggota DPRD asal daerah Pitu Ulunna Salu, yaitu Y. Depparinding dan D. Pualilin itu, berisi tentang pemberian penghargaan dan pengangkatan S. Mengga sebagai warga terhormat masyarakat Kondosapata, dengan gelar “Gayang Bulawanna Kondosapata”.

Gelar itu secara harfiah berarti keris emasnya Kondosapata. Terminologinya, seorang putra yang dihormati, disayangi dan terpercaya dari masyarakat Kondosapata. Salah satu poin konsiderans surat keputusan tersebut, disebutkan bahwa tanda penghargaan itu diberikan atas jasa dan pengabdian S. Mengga dalam upaya “pemulihan keamanan” tahun 1950-1960 di daerah Kondosapata. Karenanya semangat juang dan rasa tanggung Jawab S. Mengga itu, perlu mendapat tanggapan yang serius dan positif seluruh masyarakat Kondosapata, sebagai ungkapan “terima kasih”.[1]



[1] Sarman Sahuding dan Ibnu Madhi Sahl

Mengenang Sososk S. Mengga (2)

Wanita-wanita dalam kehidupan S. Mengga

S. Mengga sempat menikah 8 (delapan) kali. Pernikahannya yang pertama dengan Miss Asma, seorang artis Sandiwara keliling dari pulau Jawa. Pernikahan S. Mengga dengan Sri Panggung yang usianya lebih tua darinya tersebut tidak berlangsung lama dan tidak membuahkan keturunan.

Pernikahannya yang kedua dengan Siti Rapiah, seorang gadis cantik dari kampung Karama. Dari pernikahan ini beliau dianugerahi seorang putri yang diberi nama Sundari (Hj. Syarifah Sundari Al Attas). Pernikahan S. Mengga yang ketiga, yaitu dengan Hj. Nyilan. Dari pernikahannya, beliau memiliki 3 (tiga) orang anak, yaitu Syarifah Asiah S. Mengga (istri Prof. H. Umar Shihab), Mayjen TNI (Purn) Salim S. Mengga, dan Ir. Aladin S. Mengga (Wagub Sulawesi Barat).

Pernikahan S. Mengga yang keempat, dengan seorang “bunga desa” dari kampung Mombi/Paropo, bernama Padatia, dari pernikahan beliau tidak memiliki keturunan. Pernikahan yang kelima dengan Maryam Amu yang berasal dari Gorontalo (putri Bupati A. Amu). Dari pernikahannya ini, dikaruniai seorang anak bernama Heri. Pernikahan yang keenam dengan Helena, seorang wanita keturunan Indo Jerman, juga tidak memberinya keturunan.

Pernikahan S. Mengga yang ketujuh dengan Sui Heang. Pernikahan beliau ini juga tidak membuahkan keturunan. Terakhir S. Mengga menikah dengan Maesuri, seorang gadis belia dari Desa Baru’ Mapilli. Pernikahan kedelapan beliau ini dikaruniai seorang putra bernama S. Fauzi Al-Attas. Dari delapan kali pernikahan S. Mengga dikaruniai enam orang anak, dua putri dan empat putra.

S. Mengga adalah seorang suami yang “romantis”. Candaan dan perlakuan sayang yang kadang unik, menggelikan, dan spontan terhadap istri-istrinya, nyata sesuatu yang tidak dibuat-buat. Di dalam mendidik putra-putrinya, S. Mengga lebih menekankan pada aspek “Ahlaqul Karimah”. Kejujuran yang menjadi substansi pesan moralnya, diaplikasikan dengan contoh dan keteladanan, bukan dengan retorik yang muluk-muluk. Menurut S. Mengga, hanya dengan kejujuran, seorang dapat hidup “survival”, berani berbuat dan bertanggung Jawab. Semangat pejuang dan rela berkorban adalah juga bagian yang ditanamkan sejak dini kepada anak-anaknya.

Kharisma yang tergurat dari wajah tampannya adalah juga pantulan dari kejujuran dan semangat juang yang dimilikinya. Sebagai pemimpin yang berkarakter, ia mampu menjinakkan berbagai masalah sesulit apapun yang di hadapinya.

Tentang S. Mengga

Nama asli S. Mengga adalah HS. Mahmud bin Muhsin Alattas. S. Mengga sendiri mempunyai nama resmi yang tertulis dalam kartu keanggotaannya di TNI Angkatan Darat, dengan NRP. 18234 adalah Said Mengga. nama “Mengga” adalah julukan (gelar). Mengga adalah kosakata (dialek) Pannei yang berarti “batas”. Gelar ini diberikan oleh sesepuh masyarakat Karombang sebagai penghargaan leluhur terhadap salah seorang sanak keturunannya. Secara genealogis, salah seorang leluhur S. Mengga memang berasal dari keturunan hadat Karombang (wilayah Kecamatan Bulo). Selain itu, Mengga dalam kosakata bahasa Balanipa Mandar berarti warna “merah” (mamengga). Julukan ini boleh jadi dianalogikan dengan karakter pribadi Sayyid Mahmud Muhsin Al-Attas tersebut, yang terkesan “mamengga” (merah), yang artinya “berani”.

Masa-masa kecil hingga remaja S. Mengga banyak dilewati di Kampung Lawarang dan Pambusuang. Kalau Pambusuang dikenal dengan kultur masyarakatnya yang religius, maka lawarang dikenal dengan kultur masyarakatnya yang tempramental. Boleh jadi karakter pribadi. Mengga adalah akulturasi “darah panas” dari Lawarang dan tuah “ulama” dari Pambusuang.

Dari kondisi lingkungan yang demikian, S. Mengga tumbuh menjadi seorang remaja kampung yang tampan, kharismatik, berwibawa, bersahabat, dan berani berkorban dan tanpa mempersoalkan status sosial seseorang yang dihadapinya. Oleh karenanya S. Mengga cukup disegani, bahkan menjadi idola di lingkungan pergaulannya.

Lingkungan pergaulan kampung yang labil, ikut berpengaruh dalam proses pendidikan formal S. Mengga. Di Mandar ia hanya sempat menempuh pendidikan di VVS lima tahun dan HIS selama dua tahun di kota Majene. Tapi, karena tindakan kriminal (manggayang pesarung) yang dilakukannya, ia terpaksa berurusan dengan hukum dan meninggalkan bangku sekolah.

S. Mengga ditangkap polisi NICA dan dijebloskan ke rumah tahanan Majene. Di depan pemeriksaan polisi, S. Mengga yang saat itu baru berusia 16 tahun, bertanggung jawab sepenuhnya atas resiko perbuatan yang telah dilakukannya, bahkan mengakui perbuatannya itu sebagai sebuah pembuktian eksistensi dirinya telah menjadi seorang “laki-laki”.

Beberapa lama ditahan di penjara Majene, S. Mengga kemudian diasingkan ke Jawa Barat sebagai salah seorang narapidana pemerintah kolonial Belanda di penjara Sukamiskin (Jawa Barat), penjara yang sama yang pernah ditempati oleh Soekarno (Presiden Pertama RI) pada tahun 1930. Penjara yang dibangun pada tahun 1817 oleh pemerintah Hindia Belanda.

Selepas menjalani masa hukuman di penjara Sukamiskin, S. Mengga berangkat ke Yogyakarta dengan maksud melanjutkan pendidikannya di Sekolah Muhammadiyah. Setelah 3 (tiga) tahun menjalani masa pendidikan di sekolah itu, ia menyatakan berhenti dan tidak berhasrat untuk melanjutkan pendidikannya lagi. S. Mengga justru tinggal dan bekerja sebagai pelayan di rumah salah seorang Asisten Wedono di Yogyakarta.

Sebagai pelayan di lingkungan rumah tangga seorang Asisiten Wedono, mengharuskan S. Mengga berprilaku sesuai tradisi dan tatakrama Kraton Jawa. Kebiasaan “sungkem” dan telaten dalam setiap melaksanakan tugas kewajibannya sebagai abdi, telah menanamkan rasa disiplin yang tinggi dalam jiwanya.
  
Selepas tugas sebagai abdi, S. Mengga mencoba memasuki dunia kemiliteran. Kondisi negara dan bangsa Indonesia yang sedang berjuang mencapai kemerdekaannya, menggugah hasrat heroisme yang membuncah di dadanya. Untuk itu S. Mengga dan teman-temannya memilih bergabung pada beberapa organisasi kelaskaran di pulau Jawa. Antara lain menjadi anggota laskar pejuang di daerah Lawang, Jawa Timur selama kurang lebih dua tahun.

Perjuangan di militer

Tahun 1945 S. Mengga menjadi anggota Laskar Pejuang Kemerdekaan Indonesia. Salah satu organisasi kelaskaran yang mewadahi para pemuda pejuang di daerah Mandar yang bereaksi keras terhadap kehadiran tentara NICA. Tahun 1946, S. Mengga kembali tertangkap oleh tentara sekutu dan lagi-lagi dijebloskan ke penjara Majene, tentu saja pengawasan terhadap S. Mengga dan kawan-kawannya cukup diperketat. Namun S. Mengga bisa lari dari penjara berkat bantuan rekan seperjuangannya, seperti Kaco Tandung, Maccing dan Belle.

Tahun 1948, S. Mengga menjadi anggota Kelaskaran Kris Muda Mandar. Kris Muda adalah sebuah organisasi perjuangan yang dibidani kelahirannya oleh Andi Depu (Mara’dia Balanipa ke-52), pada tanggal 17 Oktober 1946. Tahun 1952 (3 September), S. Mengga beserta 155 anggota pasukannya di lantik dan diresmikan sebagai APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Sulawesi) di Tinambung oleh Kepala Staf TT-VII Letkol J.F. Warrouw, dengan nama kesatuan “pasukan Mandar”.

Sebagai tindak lanjut pemgumuman panglima TT-VII nomor: 30339/7/IX/32 tentang peresmian pasukan Mandar, pimpinan S. Mengga itu, dikeluarkan surat penetapan PD. Panglima TT-VII Indonesia Timur nomor: 80/pers/70/353 tentang penetapan kepangkatan dan jabatan personil Mandar (Kompie G) pimpinan Letda S. Mengga. Kompi G pasukan Mandar, pimpinan Letda S. Mengga, bagi sebagian besar kalangan masyarakat Mandar lebih populer (akrab) dengan sebutan “Pasukan Mengga”.

Identifikasi (julukan) ini, boleh jadi karena popularitas sosok Pribadi S. Mengga sebagai komandannya. Julukan serupa terjadi pada “pasukan Usman Balo”, “pasukan Hamid Ali”, “pasukan Andi Singke”, “pasukan daeng pagessa” dan yang lainnya. Julukan seperti itu memang Lazim digunakan di masa revolusi. Tujuannya, untuk lebih meningkatkan kewibawaan seorang pemimpin pasukan ketika itu.

Naik pangkat

Lima bulan setelah dilantik dan resmi ditugaskan di wilayah Pare-Pare, Kompi G BN. 708 pimpinan Letda S. Mengga dimutasi ke Batalion 709 di Watampone, hanya bertugas kurang dari 1 tahun, karena pada tanggal 31 Juni 1954, ia dipindah-tugaskan ke Makassar sebagai kepala bagian peralatan dan mesiu batalion 709. Menjelang akhir tahun 1957, letda S. Mengga kembali dimutasi ke Batalion 708 ROI-I di Parepare, sebagai Kepala Bagian IV. Dalam waktu yang sama Letda. S. Mengga sekaligus ditunjuk sebagai pejabat komandan kompi markas Bn. 708. Pengankatan sebagai komandan kompie markas Parepare ini tertuang dalam Surat Keputusan Panglima Kodpsst Nomor: 148/12/1957.

Dalam jabatan ini, Letda. S. Mengga dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Satu (lettu). Kenaikan pangkat ini, merupakan realisasi dari Surat Keputusan Menteri Pertahanan RI nomor: MP/54/1957, yang berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 1956. Kenaikan pangkat S. Mengga ke Letnan Satu (lettu) merupakan kenaikan pangkat yang pertama kali baginya, setelah kurang lebih enam tahun menyandang pangkat letnan dua (letda).

Tahun 1959. Lettu S. Mengga dipindahkan ke Palopo sebagai Wakil Komandan Batalion 402-ROI I. Penugasan beliau ke Palopo berdasarkan surat keputusan Panglima KD-MSST Letkol Andi Mattalatta nomor: 0158/II/59. Setelah bertugas selama kurang lebih satu tahun di Palopo, Lettu S. Mengga mendapat surat perintah ke Kolaka (Sulawesi Tenggara) sebagai pejabat komandan “Batalion Remadja”.

Terhitung 1 Januari 1960, lettu S. Mengga dinaikkan pangkatnya menjadi Kapten, sebagai realisasi dari surat keputusan ksad nomor: 251/12/1960.

Surat keputusan KSAD tentang kenaikan pangkat S. Mengga tersebut, kemudian ditindak-lanjuti dengan radiogram Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad), tanggal 3 Agustus 1963. S. Mengga kemudian ditugaskan oleh Panglima KDMSTT sebagai Kepala Seksi Keamanan pada Kantor Penguasa Perang Daerah (Peperda) Sulawesi Selatan tenggara di Makassar. Semasa bertugas di Peperda (1962-1964) itu, beliau banyak membantu pengusaha (orang Mandar), khususnya mendapatkan fasilitas “delivery order” (DO) barang-barang komoditas, seperti benang, gula pasir, dan terigu yang distribusinya dikordinasikan oleh Peperda.

Dari Kepala Seksi Keamanan Peperda Sulawesi Selatan Tenggara, S. Mengga ditugaskan ke Kabupaten Majene sebagai Kepala Staf Kodim 1402. Beliau sekaligus ditunjuk sebagai Ketua Cabang LVRI Kabupaten Daerah Tingkat II Majene. Terhitung mulai tanggal 1 Januari 1965, Kapten S. Mengga dipindahkan kembali ke Makassar, sebagai perwira menengah (pamen) pada Staf Kodam XIV/Hasanuddin. Dari situ, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor, berdasarkan Radiogram Menteri Panglima Angkatan Darat No: TR-0370/1965.

Dalam posisi “non job” (pamen). Panglima kolonel M. Jusuf, mengangkat Mayor S. Mengga sebagai Asisten Pribadi (Aspri) Panglima Kodam XIV/Hasanuddin. Jabatan Aspri ini dijabat dari tahun 1966 hingga tahun 1969, hingga masa kepemimpinan Brigjen Solichin GP sebagai Pangdam XIV/Hasanuddin. Hikmah terdalam yang didapatkan S. Mengga sebagai Aspri, adalah bertautnya jalinan Pribadi antara dirinya dengan M. Jusuf dan Solichin GP. Dua figur Panglima Kodam XIV/Hasanuddin yang dikaguminya.



Mengenang Sosok S. Mengga (1)

S. Mengga adalah salah satu tokoh yang digelari bapak pembangunan Polewali Mamasa, lahir di sebuah kampung yang bernama Lawarang, 28 Agustus 1926 (versi S. Mengga, tahun 1922). Initial "S" di depan namanya adalah singkatan dari kata Sayyid. Sayyid adalah kelompok sosial yang mengaku keturunan keturunan nabi Muhammad saw. Mereka selalu mempertahankan geneology dan sistem kafa’ah (kawin seketurunan) bagi keturunan yang berjenis kelamin wanita yang digelari dengan panggilan Syarifah.

Akan halnya di Mandar, keluarga sayyid ini menempati posisi yang tak kalah terhormatnya dengan bangsawan Mandar. Ayah S. Mengga, adalah Sayyid Muhsin Al-Attas. Sedang ibunya bernama Hj. Cilla, salah seorang keturunan bangsawan Mandar dari garis keturunan Mara’dia Alu yang juga Mara’dia Balanipa.

Dari pernikahan Sayyid Muhsin Al-Attas dengan Hj. Cilla, lahir 4 (empat) orang anak, yaitu: H.S. Husain (Puang Kosseng), H.S. Mahmud (Puang Mengga), Hj. Syarifah Berlian, dan H.S. Kaharuddin (Puang Bela). Sedang pernikahan Sayyid Muhsin dengan St. Saoda, lahir 2 (dua) orang putra yaitu: Sayyid Abdullah dan Sayyid Ali Al-Attas.

Sayyid Muhsin, selain menikahi 2 (dua) orang putri Mandar (Hj. Cilla dan Saoda), juga menikahi seorang gadis Jawa yang memberinya keturunan sepasang putri kembar bernama Syarifah Masna dan Syarifah Noer Al-Attas. Kedua saudari perempuan S. Mengga yang kembar ini menetap di pulau Jawa.

Kakek S. Mengga, Maddappungan (ayah Hj. Cilla) yang digelar “tobarani” adalah Mara’dia Pambusuang. Dalam silsilah raja-raja Balanipa, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, bahwa Maddappungan adalah anak dari Baso Tokeppa. Tokeppa bersaudara dengan Tokape (juga diberi julukan I Boroa), anak Arayang Balanipa I Kambo (Tomatindo Di Lekopadis).

S. Mengga sebagai Bupati Polmas (sekarang Polman) periode 1980-1990, adalah penggagas jargon “Tarrare Di Allo Tammatindo Di Bongi, Mappikkirri Atuwoanna Paqbanua”. Usai jam kerja di kantor, pantang pulang ke rumah jabatan. Ia turun ke pelosok, untuk mendengar keinginan rakyatnya dan memonitor pelaksanaan pembangunan yang di canangkan yaitu tujuh prioritas pembangunan, yakni: pertanian, perkebunan (S. Mengga lah yang memperkenalkan kakao di Polmas, termasuk kelapa hibryda), perikanan, dan tambak, dunia usaha (perdagangan), pengangkutan (transportasi), komunikasi dan pengembangan industri kecil (industri rakyat).

Berkat kerja keras dan senantiasa mengunjungi rakyatnya, maka pertumbuhan ekonomi Polmas saat itu naik rata-rata 5,67%, sedang income perkapita penduduk meningkat dari Rp. 230.000 (diakhir pelita III) menjadi Rp. 385. 000 sampai Rp. 500.000 (diakhir pelita IV). Keberhasilan spektakuler itu ditandai dengan Kabupaten Polmas mendapatkan Prasamya Purna Karya Nugraha. (Bersambung).