Jumat, 12 April 2024

TITTYTAINMENT

Tittytainment
Oleh: Hamdan eSA

Tidak jauh dari tepi jalan yang saya lalui di suatu hari saat di kampung, beberapa ekor anak anjing sedang menetek ―atau mungkin tepatnya seekor induk anjing sedang menyusui beberapa anaknya. Dengan bunyi khas anak-anak anjing serta ketenangan sang induk dalam mengawasi keadaan, dapat tertangkap betapa anak-anak itu memiliki rasa gembira atas apa yang mereka dapatkan. 

Sangat sepele, tetapi sentak mengantarkan saya pada sebuah istilah “_tittytainment_” yang pernah diungkapkan oleh Haudegen Zbigniew Brzezinski, seorang Polandia yang selama empat tahun sebagai Penasehat Keamanan Dalam Negeri presiden AS Jimmy Carter.

_Tittytainment_, menurut Brzezinski merupakan kombinasi dari dua kata yakni; _tits_ dan _entertainment_. Tits merupakan istilah dalam bahasa slang (ucapan popular) di Amerika yang berarti payudara.  Namun bagi Brzezinski, tits tidak diasosiasikan dengan seks, melainkan lebih dikaitkan dengan susu yang teralir dari payudara wanita saat menyusui. Istilah ini diungkapkan dalam sebuah pertemuan para dedengkot manejer pengendali ekonomi dunia pada September 1995 di sebuah hotel mewah “The Fairmont” San Francisco, yang diinisiasi oleh Michael Gorbachev dan dihadiri oleh George Bush, Margareth Tatcher, Ted Turner (CNN), John Gage (Sun Microsystem). 

Saat itu sempat mendiskusikan sebuah tema; “masa depan pekerjaan”. Dalam abad berikut nanti, hanya 20% penduduk dunia saja sudah mencukupi untuk memepertahankan perekonomian dunia. Hanya seperlima dari seluruh pencari kerja sudah cukup untuk memproduksi seluruh barang perdagangan dan cukup memberi pelayanan jasa bernilai tinggi yang dibutuhkan oleh seluruh masyarakat dunia. Selebihnya tidak dibutuhkan lagi. Setiap orang akan memikirkan karirnya sendiri. _To have lunch or be lunch_; memakan atau menjadi santapan.

Tittytainment merupakan adonan sempurna antara riuh-rendah dan dahsyatnya daya pesona _entertainment_ serta sandang pangan yang oleh para pengendali dunia dapat diatur sedemikian rupa agar selalu tercukupi, sehingga 80% sisa seluruh penduduk dunia yang frustasi dapat terkontrol perasaannya untuk tidak “meletup-ledak” di mana-mana. Disinilah peran dari seperlima pencaker itu. 

Tekanan persaingan global tidak mungkin dan tidak masuk akal untuk mengharapkan komitmen sosial dari bisnis-bisnis perseorangan. Harus ada seorang atau pihak lain yang mengurusi masalah-masalah sosial terutama soal pengangguran, demikian kata Hans-Peter Martin dan Harald Schumann. Jika masyarakat membutuhkan suatu kehidupan yang lebih utuh dan lebih berarti, setidaknya dapat diatasi oleh yayasan-yayasan atau lembaga sosial dengan berbagai program berikut pasukan “sukarela”.  Lalu dibiayai oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mendorong sukarelawan itu memberi pelayanan masyarakat di berbagai bidang. 

Misalnya dengan membuat organisasi-organisasi yang dapat menstimulasi munculnya solidaritas antar tetangga, olahraga, gaya hidup, politik dan banyak yang lain. Kegiatan-kegiatan ini memakan biaya relatif sangat murah tetapi dapat mendorong berjuta orang merasa diri dan hidupnya punya “arti”, baik dalam masyarakat sekitar dan juga masyarakat global. Seperti itulah kira-kira gambaran tittytainment yang ingin di kemukakan Brzezinski. Semacam mekanisme nina-bobo.

Perut dan hiburan menjadi tekanan penting dalam tittytainment. Secara sederhana seolah-olah Brzezinski ingin mengatakan tidak begitu sulit untuk mengendalikan sekelompok orang, masyarakat atau bangsa. Cukup mengisi perutnya tidak perlu terlalu kenyang serta kubur duka-deritanya dengan hiburan-hiburan hebat. 

Mereka akan menikmati hidupnya cukup dengan apa yang mereka dapatkan dan mendapatkan dirinya sebagai bagian yang sangat berarti bagi dunia. Tittytainment dengan demikian adalah sebuah strategi merebut dan mempertahankan kekuasaan, yang pada saat itu Brzezinski menunjuk pada suatu kekuasaan global yang berdasar pada kekuasaan ekonomi.

Tittytainment sebagai sebuah strategi, ternyata sebenarnya sudah dan sedang berkembang di kelas lokal dan nasional beberapa bidang kehidupan kita, terutama misalnya dalam dunia perpolitikan. Perut dan hiburan menjadi hal paling penting dan jitu untuk memenangkan sebuah pertarungan politik. Di berbagai tempat, uang atau sembako masih menjadi favorit untuk meraih kalkulasi terbesar penghitungan suara. 

Dengan duit lima puluh ribu, atau gula sekilo, atau selembar sarung, dan lain-lain kreasi, seisi rumah sudah merasa sangat berarti karena merasa telah menjadi bagian penting dari perjuangan besar seorang kandidat, bahkan ada yang rela mati. Toh perut memiliki ruang amat terbatas untuk menampung seluruh kebutuhan materil makanan, tidak bisa banyak, hanya butuh dijaga agar tidak kosong. Jika belum sempat, cukup dengan memberi janji-janji. Namanya janji pasti manis semanis titty, apalagi disertakan selembar isi dompet sebagai pelengkap penghibur hati.

Kampanye politik hampir tidak pernah lepas dari kehadiran bintang-bintang hiburan (entertain) dari kelas lokal hingga nasional, bahkan hingga ke goyang erotis yang sama sekali tidak punya hubungan dengan visi kebangsaan dan kenegaraan. Dapat dibayangkan jika raja-raja pemegang kendali kanal entertainment juga ikut ambil bagian dalam kancah perpolitikan baik langsung atau tidak. Rasanya tiada kesulitan menginjeksi ruang bawah sadar dengan tittytainment. 

Paling sederhana di kampung yang paling pelosok pula, kampanye keliling dilakukan dengan mengikutkan mobil besar yang di desain menjadi panggung hiburan electon nonstop. Masyarkat tak pernah tahu bahkan dari kandidat dukungannya sekali pun soal apa gagasan, konsep, komitmen, implementasi, pengawasan, dan lain sebagainya,.

Pertanyaannya, dengan kondisi negara kita yang sedang menikmati tittytainment global, dan di saat yang sama para elitnya juga melakukan tittytainment terhadap masyarakatnya sendiri, lalu bagaimana kita bisa berbicara tentang keberdayaan masyarakat kita di tengah masyarakat global? 

Kita mungkin akan terus menjadi masyarakat penetek, sambil dielus-elus bobokkan dengan hiburan-hiburan dunia. Paling tidak, dengan menggunakan baju kaos Chelsea, Metallica, nonton bareng live di media, nonton dan ikut perkembangan info miss univers, dan lain sebagainya, seorang telah merasa menjadi bagian berarti dari dunia.

Pemilihan legislatif pusat hingga daerah serta pemilihan eksekutif sebentar lagi akan berlangsung. Apakah kita ingin menjadi masyarakat penetek? Semua tergantung partai politik. Semoga parpol tidak mengusung politikus tittytainment. Menetek punya waktu tertentu, dan sang induk sangat paham kapan saatnya.

Wallahu a’lam.

Bunyi Mandar Itu Apa? (Bagian 3)


Bunyi Mandar Itu Apa? (Bagian 3)
(Capaian struktur musik di Mandar)
Sahabuddin Mahganna

Mendengar dan memperdengarkan bunyi, bermaksud menyampaikan sekaligus menerima kalimat, tentu saja bermanfaat untuk dipahami menjadi medium pemberi tanda. Meski hanya bunyi, Pelloana atau Bambana, jelas menyatakan peristiwa secara tegas, sehingga kita dapat memahami kondisi atau menerima kabar lewat transfer media tersebut. Dan instrumen terkhusus untuk musik, tidak di luarnya, sebab kadang diadopsi dalam penyusunan bunyi dan melodi. 

Penciptaan dan penyampaiannya berupaya memenuhi unsur pelloa, bamba, ololioliolio, loa, massa'du dan matte' dengan harapan bukan hanya pelaku yang menginginkan keindahan, melainkan untuk pendengar (mengenai sasaran). 

Bunyi-bunyian di Mandar sesekali melahirkan ololio atau liolio yakni sebuah anggapan kalimat dari bunyi, dengan kata lain membentuk melodi berulang-ulang. Untuk pernyataan ini, mereka masyarakat Mandar menyebutkan predikat itu karena hanya mengenal audio tanpa teknik. Dalam media instrumen, nada untuk melodi sekalipun untuk ritmis pada prinsipnya adalah rangkaian huruf yang tersusun, dan terbentuknya  Ololioliolio, seperti seketika itu dapat saja dinyatakan kalimat. 

Bunyi dalam melodi di Mandar terkoneksi, baik itu hanya sekadar bunyi, nyanyian atau menggunakan instrumen. Kalimat yang tersusun menjadi indah akibat pemilihan nada-nada, tidak asal menyampaikan, yang barang kali mengindikasi bahwa kalimat dapat diterima baik karena sangat bergantung pada tata letak nada hingga melahirkan Intonasi-intonasi yang memudahkan kita untuk mengerti apa maksud dari bunyi tersebut, begitu pula terjadi pada bunyi dipahami menjadi kalimat perintah. 

Biasanya, nada di Mandar kadang didapatkan dari kabar dengan istilah “membamba memangi“ dengan kata lain bersuara sebelum tercipta, atau terpatri dalam jiwa sebagai informasi awal, sehingga bunyi dan melodi bagi mereka tidak hanya menjadi pendamping, melainkan bunyi yang berharga bagi para pelaku dan pecintanya.

Khusus untuk instrumen, ketika dimainkan, tidak jarang para pelaku menandai estetika bunyi dengan meraba atau sekadar memberi pernyataan "pecoai pattappunna" (perjelas kalimatnya). Jika permainan tidak pas atau tidak diterima baik bagi yang mendengarkan, maka tentu berhubungan dengan ketidakjelasan kalimat tersebut, itu berarti terdapat penempatan huruf-huruf yang keliru, dengan kata lain kesempurnaan kalimat dalam musik tergantung pada posisi nada (Malliolio). Sementara sangat penting memperhatikan kalimat dalam bunyi dan melodi yakni pertanyaan dan jawaban.

Kendati sangat sederhana, dalam permainan instrumen musik Mandar, seperti Kacaping, Paluppung, Keke, Calong, Tulali dll. Tidak pernah ditemukan nada yang datar, namun selalu melekat nada lain sebagai bumbu (bali') sebagai analisis jangkauan nada bertanya dan menjawab. Bukan hanya bunyi prioritas, namun perlu menelaah poin-poin yang bisa saja mejadi inti. Dengan pertimbangan "macoa pattapu" maka itu berarti instrumen sesungguhnya sedang menyampaikan kalimat. 

Beberapa hal yang harus kita perdalam. Sebuah benda (instrumen musik) yang berbunyi tidak lebih dari sekadar bunyi, bunyi yang sampai ke telinga berarti sedang menyampaikan sesuatu, sebab dapat dipahami bahwa bunyi sukses menyampaikan diri dan statusnya. Orang Mandar menyebutnya pelloa. Tetapi disini akan ada pertanyaan bilamana bunyi itu masih belum jelas dari mana sumbernya. Dan oleh karenanya, suara (bamba) diperlukan untuk memastikan keberadaan dari jenisnya. 

Musisi Mandar awal lebih sering menekankan, sama halnya pada permainan instrumen yang tercantum dalam pernyataan sebelum ini, bahwa keistimewaan alat berada pada kemampuan pelakunya dalam menyusun nada atau huruf-huruf, hingga tekanan dan tekniknya mengupayakan instrumen harus bernyanyi "papa'elongi iting kacapingo atau papalliolioi" (ololioliolio). Ini menandai bahwa tersusunnya ololioliolio, kalimat lagu akan menjadi titik perhatian pendengar, seolah sedang menyimak kata dan kalimat yang disampaikan (loa). Itulah sebabnya pelloa diambil dalam kata bunyi atau berbunyi, sebab dia sesungguhnya dalam keadaaan menyampaikan sesuatu meski hanya satu huruf. 

Ketika kalimat dalam kalimat lagu mengalun, maka pemain bahkan pendengar akan menunggu momentum kesyahduan atau rasa nyaman, berujung pada proses dalam menemukan puncak dari kenyamanan itu. (Massa'du). Namun, sesungguhnya tidak jarang tiba-tiba ada ruang dimana kita bisa berada dalam keadaaan kosong, yang memutuskan untuk melupakan semua yang didengar, sehingga dari sini terkadang hubungan antara pelaku nada dan pendengar pada produksi yang ditawarkan seolah tidak lagi menyatu, atau pendengar hingga pelaku akan memahami dengan rasa masing-masing yakni mengenai sasaran (matte'). Dalam mencapai Massa'du belum tentu dapat berada dalam situasi tersebut di atas,  Jika kemungkinannya kita hanya fokus menikmati kreatifnya. 

Jadi, benda atau sesuatu "instrumen Musik" yang berbunyi (pelloa), bersuara berdasarkan jenisnya (membamba), terwujudnya nada membentuk melodi sebagai bagian dari huruf-huruf yang tersusun (ololioliolio), melahirkan keindahan karena kejelasan kalimat (loa), hingga sampai serta nyaman pada pendengaran (massa'du), dan mengenai sasaran (matte').

Selasa, 09 April 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (29)


Sudah Benarkah Kembali Seperti Bayi?

Di suatu majelis Nasaraddin Hoja bergumam: "Kebenaran adalah sesuatu yang berharga bukan hanya secara spritual tetapi juga memiliki harga material." 

Mendengar pernyataan Nasaruddin Hoja, seseorang pun berdiri dan bertanya: "Wahai tuan, mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran,?"

Kata Nasaruddin Hoja: "Ya, kita harus membayar sebab kadang-kadang kebenaran itu harganya mahal."

Orang itu kembali bertanya: "Mengapa kita harus membayar dan kebenaran itu harganya mahal?"

Nasaruddin Hoja menjawab: "Kalau engaķau perhatikan, harga sesuatu itu dipengaruhi oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu makin mahal lah ia. Barang yang dibuat ribuan tahun lampau, kini mungkin sudah sedikit adanya dan barang itu akan menjadi antik dan mahal harganya."

Dari dialog diatas, jika dihubungkan dengan bulan ramadhan, maka puasa bisa dimaknai sebagai training untuk membiasakan melakukan kebenaran, melatih diri melepas kemelekatan perbuatan  buruk.

Dengan puasa kita membiasakan melakukan kebenaran karena mingkin selama ini kita sering kali membenarkan kebiasaan. Kebiasaan melayani hasrat nafsu, kebiasaan memuaskan kecenderungan semua panca indera kita yang lebih kepada hal-hal negatif.

Hari ini, kebenaran mungkin sulit karena yang sering muncul kepermukaan adalah sesuatu yang seakan-akan benar, merasa benar, kebiasaan menyalahkan orang lain, kebiasaan menuduh orang lain sesat dan kitalah yang paling benar.

Kelangkaan kebenaran disebabkan orang-orang enggang mencari kebenaran. Cukup percaya pada satu kebenaran maka kemungkinan kebenaran yang berseberangan dengan paham kita pun dianggap salah. 

Kelangkaan kebenaran dan mahal harganya karena malas mencari informasi kelanjutan serta klarifikasi dari suatu peristiwa. 

Kelangkaan kebebanaran karena tidak mau mengkaji apakah informasi itu mengandung kebenaran atau tidak tetapi sudah menyebarkannya begitu saja.

Puasa tidak hanya mengajarkan menahan makan dan haus tetapi juga mengajarkan untuk tidak cepat tanggap terhadap berita atau suatu informasi. Puasa mendidik kita selama satu bulan pada dasarnya melatih kita untuk membiasakan kebenaran karena selama ini kita sudah sering membenarkan kebiasaan.

Salah satu tokoh spritual muslim. Abu Hasan Asy-Syadzili berkata: "kita hidup di zaman, dimana kemaksiatan itu dipertontonkan, oleh karenanya terladang ketaatan itu perlu dipertontonkan di tengah zaman maksiat."

Kebenaran apa yang telah kita peroleh selama berpuasa satu bulan penuh, kebiasaan apa yang telah kita dapatkan selama melatih diri untuk tidak makan dan tidak minum. Jika selama satu bulan penuh hanya menahan makam dan minum tetapi tidak menahan perkara-perkara ssperti menyebarluaskan aib-aib, kesalahan-kesalahan orang lain. Tentunya kita masih berputar-putar pada pembenaran kebiasaan bukan membiasakan kebenaran.

Hingga sampai pada finish Idul Fitri yang diartikan sebagai kembali berbuka atau kembali kepada fitrah, diibaratkan seperti bayi yang baru lahir. Sudah benarkah kita seperti bayi? Seperti bayilah mereka yang telah tertatih dan terlatih membiasakan kebenaran selama satu bulan penuh sampai setelah idul fitri dan kembali bertemu bulan puasa berikutnya. Wallahu a'lam bisshowab.

Doa Hari ke 29

اَللَّهُمَّ غَشِّنِيْ فِيْهِ بِالرَّحْمَةِ وَ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ التَّوْفِيْقَ وَ الْعِصْمَةَ وَ طَهِّرْ قَلْبِيْ مِنْ غَيَاهِبِ التُّهَمَةِ يَا رَحِيْمًا بِعِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya :
”Ya Allah, lingkupilah aku di bulan ini dengan rahmat-Mu, anugrahilah aku taufik dan penjagaan-Mu. Sucikanlah hatiku dari benih-benih fitnah/kebencian, Wahai yang Maha Pengasih terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman.

Senin, 08 April 2024

BUNYI MANDAR ITU APA? (Bagian 2)

"BUNYI MANDAR ITU APA? (Bagian 2)
(Bamba, Pelloa, Loa adalah Bunyi)
Oleh: Sahabuddin Mahganna

"Pelloa juga bunyi" sering kali diucapkan dalam bahasa Mandar, menunjukkan bahwa bunyi adalah hal yang umum dan tidak tabu bagi semua umat manusia di muka bumi ini. Bahasa orang Mandar kadang-kadang digunakan sebagai medium untuk menyampaikan kebaikan melalui bunyi murni. Namun, tidak semua kalimat dalam bahasa Mandar dianggap suci atau murni. Terkadang, bunyi dalam bahasa Mandar merujuk pada bunyi yang murni, seperti ketika kita berteriak, bersin, batuk, atau menangis. Bunyi semacam ini dikategorikan sebagai bunyi murni. Abdul Chaer (2003) dalam karya Busrah dan Bustan. Kemungkinan dapat dinilai dari alam sebabnya, bukan sebagai hasil tindakan sengaja, melainkan muncul secara alami.

Dalam "Pelloa", merujuk pada benda atau sesuatu yang mengeluarkan bunyi, tanpa kata secara eksplisit dari manusia. Jadi, "pelloa" dan "loa" sepertinya memiliki makna yang berbeda, yang sebenarnya dipisahkan. "Loa" mungkin merujuk pada ucapan atau kalimat yang menyertai bunyi, sedangkan "pelloa" mengacu pada benda atau bunyi tanpa kata dari manusia. Ketika ditambahkan awalan "pe-" untuk menghubungkannya dalam fonem Mandar, "pelloa" secara konseptual memperjelas bahwa itu adalah bunyi yang dihasilkan. Dari sini, kita dapat memahami bahwa orang Mandar mungkin memahami bahwa sesuatu yang menghasilkan bunyi juga mungkin menyertakan ucapan atau kalimat yang tidak selalu dapat dipahami secara langsung oleh manusia, tetapi hanya bisa dipahami melalui perasaan. Untuk menandai bunyi, ada juga istilah "Bamba" dan "Matte'".

"Bamba" digunakan untuk menandai suara atau bunyi. Dalam beberapa kamus, "bamba" dikategorikan sebagai suara besar, sementara yang lain hanya menyebutnya sebagai suara tanpa penjelasan lebih lanjut. Ini mungkin karena suara dipahami sebagai warna vokal atau jenisnya, di mana "bamba" berdiri sendiri sebagai predikat suara yang sangat dipengaruhi oleh bunyi. Sehingga untuk memperjelas penggunaan "bamba", kadang-kadang diperlukan penambahan kata-kata tertentu seperti "Napowambai" (terdengar seperti itu), "Dipowambai" (kita bersuara dan berbunyi), "Membamba" (berbicara atau bersuara), dan "pebamba" (bersuara). Namun, penafsiran ini mungkin menjadi subjektif dan abstrak tergantung pada konteksnya.

"Matte'" adalah kata yang sulit dijelaskan dan sering kali dipahami sebagai mengenai sasaran atau kosong. Biasanya, "Matte'" terjadi setelah adanya benturan antara benda, ketika bunyi yang dihasilkan hanya satu atau tidak ada lagi. Dalam kamus Mandar, "Matte'" digambarkan sebagai tiruan bunyi, seperti ketika terkena lemparan.

Dengan demikian, "loa" yang terkait dengan "pelloa" biasanya memiliki kata atau kalimat yang jelas, sedangkan "bamba" mungkin tidak memiliki teks yang terukur tetapi tetap memiliki bunyi yang jelas. "Pelloa" memperjelas bahwa dalam "loa" ada bunyi yang dapat didengar, begitu juga dengan "bamba" yang mudah dipahami jika ada bunyi.

(Bersambung)

PROF. QURAISH SHIHAB DI MATA PROF. WAJIDI SAYADI

GURU DAN PANUTAN UMAT DAN BANGSA
PENUH RENDAH HATI, MODERAT DAN IKNLUSIF

Oleh: Wajidi Sayadi

Hari Jumat tanggal 16 Pebruari 2024 adalah momen spesal bagi Guru Besar kita, Guru dan Panutan Umat dan Bangsa, Bapak Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, MA. Genap berusia 80 tahun. 

Beliau lahir di Rappang Sulawesi Selatan
16 Pebruari 1944. 

Kami mengucapkan Selamat dengan iringan doa semoga panjang umur selalu dalam keadaan sehat wal afiyat bersama sekeluarga. Tuntunan, pencerahan dan panutannya bagi umat dan bangsa ini sangat diperlukan. 

Suatu saat ketika mengikuti kuliah Tafsir Al-Qur'an, Beliau menjelaskan tafsir suatu ayat dalam al-Qur'an dengan beberapa penafsiran para ulama yang berbeda-beda dengan argumentasi setiap pandangan ulama di setiap generasi masing-masing. 
Ketika ditanya, mana penafsiran yang lebih bagus. 
Beliau menjawab, semua penafsiran bagus selama memenuhi kaedah tafsir. 
Boleh jadi, semuanya mempunyai kelebihan sekaligus mempunyai kekurangan masing-masing. 
Saya tidak punya kapasitas untuk menilai dan menghukumi mereka, apalagi sampai menyalahkan. 

Kata Beliau: “Hormati semua pendapat walaupun Anda tidak sependapat."

Pengalaman saya belajar kepada Beliau, sangat berkesan didikannya adalah ke-Tawadhu-an, rendah hati, tidak merasa sangat pintar, sangat mengerti segalanya. Tutur kata dan bahasanya sederhana mudah dicerna dan dipahami. Bahkan terkadang, Beliau tanya, apakah sudah paham atau belum? 
Apabila ada yang menjawab, belum, Beliau mengulanginya dengan mengambil contoh dan ibrah lainnya yang dianggap lebih mudah.

Hal ini juga tampak dalam sikap dan perilaku Beliau sangat ramah, murah senyum, mudah bergaul dengan siapa pun termasuk dengan murid dan mahasiswanya sendiri dilayani tanpa membedakan dengan yang lainnya. 
Pribadi mulia sangat senang, menyenangkan, dan mengesankan 

Sekitar tahun 2005 ketika sedang penelitian Disertasi, di Perpustakaan Pusat Studi Al-Qur'an (PSQ) Yayasan Lentera Hati di Jakarta milik Prof. M. Quraish Shihab, saya menemukan Tafsir Al-Qur’an al-Karim Juz ‘Amma karya Syekh Muhammad `Abduh. Judul tafsir ini ditulis tangan, oleh pemiliknya yaitu as-Sayyid `Abd ar-Rahmân ibn `Ali ibn Syihâb ad-Dîn al-`Alawî al-Husainî. 
Pemilik kitab tafsir ini adalah ayah Prof. Dr. M. Quraish Shihab. 
Berdasar pada catatan ini diketahui bahwa sebenarnya Beliau adalah Sayyid Muhammad Quraish Shihab, hanya saja Beliau tidak mau menuliskan nama lengpaknya seperti ini. 

Boleh jadi ini salah bukti rasa ke-tawadhu-an Beliau. 

Salam Hormat, Penuh Ta’zhim untuk Beliau 
Semoga Panjang Umur, selalu dalam sehat wal afiyat sekeluarga terus produktif dengan segudang karyanya untuk umat dan bangsa.

Pontianak, Jumat, 16 Pebruari 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (29)


Sudah Benarkah Kembali Seperti Bayi?

Di suatu majelis Nasaraddin Hoja bergumam: "Kebenaran adalah sesuatu yang berharga bukan hanya secara spritual tetapi juga memiliki harga material." 

Mendengar pernyataan Nasaruddin Hoja, seseorang pun berdiri dan bertanya: "Wahai tuan, mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran,?"

Kata Nasaruddin Hoja: "Ya, kita harus membayar sebab kadang-kadang kebenaran itu harganya mahal."

Orang itu kembali bertanya: "Mengapa kita harus membayar dan kebenaran itu harganya mahal?"

Nasaruddin Hoja menjawab: "Kalau engaķau perhatikan, harga sesuatu itu dipengaruhi oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu makin mahal lah ia. Barang yang dibuat ribuan tahun lampau, kini mungkin sudah sedikit adanya dan barang itu akan menjadi antik dan mahal harganya."

Dari dialog diatas, jika dihubungkan dengan bulan ramadhan, maka puasa bisa dimaknai sebagai training untuk membiasakan melakukan kebenaran, melatih diri melepas kemelekatan perbuatan  buruk.

Dengan puasa kita membiasakan melakukan kebenaran karena mingkin selama ini kita sering kali membenarkan kebiasaan. Kebiasaan melayani hasrat nafsu, kebiasaan memuaskan kecenderungan semua panca indera kita yang lebih kepada hal-hal negatif.

Hari ini, kebenaran mungkin sulit karena yang sering muncul kepermukaan adalah sesuatu yang seakan-akan benar, merasa benar, kebiasaan menyalahkan orang lain, kebiasaan menuduh orang lain sesat dan kitalah yang paling benar.

Kelangkaan kebenaran disebabkan orang-orang enggang mencari kebenaran. Cukup percaya pada satu kebenaran maka kemungkinan kebenaran yang berseberangan dengan paham kita pun dianggap salah. 

Kelangkaan kebenaran dan mahal harganya karena malas mencari informasi kelanjutan serta klarifikasi dari suatu peristiwa. 

Kelangkaan kebebanaran karena tidak mau mengkaji apakah informasi itu mengandung kebenaran atau tidak tetapi sudah menyebarkannya begitu saja.

Puasa tidak hanya mengajarkan menahan makan dan haus tetapi juga mengajarkan untuk tidak cepat tanggap terhadap berita atau suatu informasi. Puasa mendidik kita selama satu bulan pada dasarnya melatih kita untuk membiasakan kebenaran karena selama ini kita sudah sering membenarkan kebiasaan.

Salah satu tokoh spritual muslim. Abu Hasan Asy-Syadzili berkata: "kita hidup di zaman, dimana kemaksiatan itu dipertontonkan, oleh karenanya terladang ketaatan itu perlu dipertontonkan di tengah zaman maksiat."

Kebenaran apa yang telah kita peroleh selama berpuasa satu bulan penuh, kebiasaan apa yang telah kita dapatkan selama melatih diri untuk tidak makan dan tidak minum. Jika selama satu bulan penuh hanya menahan makam dan minum tetapi tidak menahan perkara-perkara ssperti menyebarluaskan aib-aib, kesalahan-kesalahan orang lain. Tentunya kita masih berputar-putar pada pembenaran kebiasaan bukan membiasakan kebenaran.

Hingga sampai pada finish Idul Fitri yang diartikan sebagai kembali berbuka atau kembali kepada fitrah, diibaratkan seperti bayi yang baru lahir. Sudah benarkah kita seperti bayi? Seperti bayilah mereka yang telah tertatih dan terlatih membiasakan kebenaran selama satu bulan penuh sampai setelah idul fitri dan kembali bertemu bulan puasa berikutnya. Wallahu a'lam bisshowab.

Doa Hari ke 29

اَللَّهُمَّ غَشِّنِيْ فِيْهِ بِالرَّحْمَةِ وَ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ التَّوْفِيْقَ وَ الْعِصْمَةَ وَ طَهِّرْ قَلْبِيْ مِنْ غَيَاهِبِ التُّهَمَةِ يَا رَحِيْمًا بِعِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya :
”Ya Allah, lingkupilah aku di bulan ini dengan rahmat-Mu, anugrahilah aku taufik dan penjagaan-Mu. Sucikanlah hatiku dari benih-benih fitnah/kebencian, Wahai yang Maha Pengasih terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman.

Minggu, 07 April 2024

PROF. QURAISH SHIHAB DIMATA PROF AHMAD M. SEWANG


PROF. DR. H.M. 0URAISH SHIHAB, M.A. DI PENTAS MUBALIG

FOOTNOTE HISTORIS:
By Ahmad M. Sewang 

Prof. Quraish Shihab, seorang cendekiawan Muslim terkemuka di Indonesia, juga sering tampil di pentas mubalig. Dengan keilmuannya yang luas dalam bidang agama dan ke ahlianya di bidang ilmu tafsir Al-Quran, beliau memberikan ceramah dan kuliah yang mendalam tentang ajaran Islam serta nilai-nilai spiritual. Prof. Quraish Syihab sepanjang bulan Ramadan ini tampil di Metro tv membawakan pengantar berbuka puasan, dengan judul, "My Shariah First." Quraish Shihab adalah keluarga terpelajar, bapaknya 
Prof. Abdurrahman Syihab juga seorang ulama dan mantan Rektor IAIN Alauddin Makassar yang dhormati. 

Saya bersyukur karena selama
diamanahkan sebagai Direktur PPs UIN Alauddin Makassar saya menemani beliau dan manfaatkan kepintaran beliau tenagai dosen Tafsir dan mubalig di DPP IMMIM. Beliau adalah doktor pertama tafsir di al Azhar University untuk Asia Tenggara. Jadi beliau dikenal talenta sebagai ulama mufassir, pendidik, dan mubalig. Sebagai mubalig ia  menembus segala lapisan masyarakat; mulai dari Presiden sampai ke umat lapisan bawah. Beliau juga dikenal moderat dalam membawakan materi dakwahnya disertai bahasa santun. Saya manfaatkan kesempatan menemani beliau dengan banyak belajar.  Menurut pengalaman almarhum Prof. Syuhudi Ismail yang pernah menjadi mahasiswanya, "Jika ada pertanyaan dari mahasiswa pada Prof. Quraish Shihab yang levelnya agak tinggi, beliau menjawab lebih tinggi lagi, sebaliknya jika pertanyaannya itu rendah, maka jawabannya juga diturunkan," kata Syuhudi suatu waktu pada penulis. Jadi kemampuan penyesuaian diri yang tinggi, membuat beliau surviva sampai kini. Saya juga pernah belajar pada beliau beberapa semester dalam mata kuliah tafsir dan hadis di PPs IAIN Syarif Hadayatullah Jakarta.

 Prof. Quraish Shihab tampil di berbagai kesempatan telah menginspirasi dan memberikan pemahaman mendalam tentang ajaran Islam pada masyarakat Indonesia.

Wasalam,
Kompleks GPM, 8 April 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (27)


Perempuan Menjelang Lebaran

Manusia tidak bisa memahami realitas secara utuh, kita hanya mampu menciptakan cara untuk menjalin hubungan dengan realitas secara baik (itupun kalau mampu) dengan segala upaya yang sungguh-sungguh. Ini disebabkan karena kebenaran dari realitas itu sendiri bukan hanya soal pengetahuan melainkan juga dengan penghayatan dan keterbukaan.

Perempuan merupakan bagian dari realitas, jadi benar kalau perempuan memang selalu unik untuk dibahas dan tidak ada habisnya untuk terus diperbincangkan. Apakah memahaminya dari sudut pandang ekonomi, politik, seni atau sebagai aib?  

Perempuan, dilihat dari tingkah lakunya (kebanyakan) melihat dirinya sendiri sebagai sebuah seni sehingga diperlihatkan sana sini untuk dipertontonkan, ada juga yang melihat realitas dirinya sendiri sebagai alat untuk menarik perhatian orang lain sehingga dipoles sebaik mungkin.

Tubuh perempuan yang dilihat secara seksual semata, akan membawa kesadaran kita menjadi kesadaran binal. Kesadaran binal disini adalah kesadaran yang pusat perhatian hanya tertuju pada kenikmatan seks belaka. Sehingga kebenaran dari tubuh perempuan tertutupi karena yang ada adalah bagaimana cara meraih pengalaman erotis dari tubuh perempuan itu sendiri. Otak kita menjadi binal yang menjelma menjadi otak pedofil.

Lekuk pada tubuh perempuan memang sangat mendominasi dibandingkan dengan lekuk yang ada pada laki-laki. Bagi laki-laki- maaf, fakta bahwa melihatnya saja membuat erotis apalagi membelainya. 

Ditambah kehadiran teknologi dengan slogannya "hisap sebanyak mungkin dari modal sesedikit mungkin" dari sini pun perempuan kerap dimanfaatkan sebagai sumber pengahasilan misalnya digunakan dalam iklan fashion, baik itu pakaian ataupun perhiasan. Kekayaan eksistensi dari tubuh perempuan memang sangat rumit dan juga agung sekaligus menggiurkan.

Keindahan perempuan tidak lagi dilihat sebagai anugerah yang harus dijaga eksistensinya akan tetapi dilihat sebagai obyek untuk memeras keuntungan sebanyak-banyaknya yang akibatnya merugikan perempuan. Jangan heran, apabila banyak di media pemberitaan terkait dengan pemerkosaan telah terjadi dimana-mana.

Tidak hanya pada tubuh perempuan, segala bentuk realitas yang ada pun dilihat sebagai obyek keuntungan alias pengumpulan modal. Merusak alam adalah salah satu akibatnya. Bagaimana tidak, keindahan alam tidak lagi dilihat sebagai keindahan sebagaimana mestinya akan tetapi dilihat sebagai obyek pariwisata yang banyak menguntungkan bagi pengelolanya.

Betulkah laki-laki masa kini lebih memilih wanita seksi dari pada perempuan cantik? Dalam jaringan kapitalisme, perempuan telah dikendalikan oleh ideologi kepentingan pasar. Tubuh yang merupakan bagian privat perempuan sudah menjadi milik publik, membangkitkan fantasi disebabkan gaya dan cara berpakaian menjadi banyak variasi.

Dalam basis politik emansipasi, perempuan dipotret menjadi makhluk penggoda sehingga terjadi pergeseran prilaku real menjadi citra, etika menjadi estetika, prestasi menjadi frustrasi.

Mengapa seks seringkali terjadi? Karena Fashion menjadi kebutuhan dari seluruh populasi perempuan yang diciptakan terus menerus oleh pasar kecantikan (Kapitalis-Seksualis). 

Secara terbiasa, perempuan telah hanyut pada sebuah keadaan yakni sibuk menciptakan kecantikan mitosnya, sifat alami kecantikan sudah benar-benar tidak mampu membuat perempuan cantik. 

Pada kenyataanya menuju lebaran selain pakaian, juga begitu banyak lipstik dan alat-alat kecantikan lainnya terjual laku. Hari lebaran adalah hari pamer kecantikan, pamer penampilan dan juga pamer keunggulan. Wallahu a'lam bisshowab.

(Tulisan di 21 Mei 2022)

Doa Hari ke 27

اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ فَضْلَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَ صَيِّرْ أُمُوْرِيْ فِيْهِ مِنَ الْعُسْرِ إِلَى الْيُسْرِ وَ اقْبَلْ مَعَاذِيْرِيْ وَ حُطَّ عَنِّيَ الذَّنْبَ وَ الْوِزْرَ يَا رَؤُوْفًا بِعِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ

Artinya :
”Ya Allah, berkahilah aku di bulan ini dengan mendapatkan lailatul qadr. Ubah arah hidupku dari hidup yang susah menjadi mudah. Terimalah segala permohonan maafku dan hapuskan dosa-dosa dan kesalahanku. Wahai Yang Maha Penyayang terhadap hamba-Nya yang saleh.

Jumat, 05 April 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (26)


Jamaah Medsosiyyah part 2

Refleksi Kecemasan

Bersinggungan dengan virtual berarti berbicara mengenai nyata dan tidak nyata, antara makna dan simbol, antara nilai dan kebenaran atau antara kebutuhan dan gaya hidup. Virtual dalam catatan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti a (secara) nyata. Dapat diartikan sebagai sesuatu yang sifatnya seolah-olah, seakan-akan, atau hyperrealitas dengan kata lain melampaui kenyataan tapi seakan-akan nyata. Dalam teori Jean Baudrillard, filsuf asal Prancis ini menyebutnya dengan istilah Simulacra yang berarti dunia simulasi (dunia kosong) sementara Sayyed Husein Nasr menyebutnya sebagai Scentia Sacra (kenestapaan manusia modern). Virtual merupakan bermain-mainya manusia dengan dunia maya.

Pertama yang ingin saya sampaikan bahwa, ada banyak pergeseran budaya atau tradisi secara signifikan ketika era virtual mulai mempersembahkan aromanya pada generasi millenial. Diantaranya adalah virus virtual dalam kehidupan saat ini sudah menjadikan kita tidak hanya menjadi warga Indonesia saja melainkan sudah menjadi warga Dunia. Segala aktivitas kita sudah mendunia dan menjadi keniscayaan hubungan kita dengan warga dunia lainnya. Cukup hanya dengan memotret aktivitas kemudian dimasukkan ke media sosial maka penduduk dari manapun dapat melihat aktivitas tersebut.

Kedua, era virtual telah mengalihkan titik fokus kita dari makna menjadi simbol. Manusia hanya sibuk mencari simbol tanpa memerhatikan makna dibalik simbol tersebut sehingga berkah akan hidup pun menjadi kurang bahkan tidak ada sama sekali.

Ketiga, munculnya jarak sosial (distingsi). Iwan Fals menyebutnya dengan ''Menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh". Adanya jarak sosial mengakibatkan manipulasi konteks makin meningkat, artinya dalam menyampaikan sesuatu tidak sesuai dengan apa yang seharusnya disampaikan secara esensial. Sebagai contoh dalam seminar tentang "Kesetaraan Gender" misalnya tapi yang dibesar-besarkan pada penyampai di media sosial malah tentang cara penyampaian dari narasumber padahal yang harus difokuskan adalah esensi dari seminar tersebut bukan eksistensinya. 

Selanjutnya, jarak sosial justru seakan-akan memutarbalikkan makna. Misalnya tentang makna hadits أنظر ما قال ولا تنظر من قال (lihatlah apa yang dikatakan dan jangan melihat siapa yang berkata) menjadi أنظر من قال ولا وتنظر ما قال (lihatlah siapa yang berkata dan jangan lihat apa yang dikatakan). Konteks hari ini telah mengcover demikian. Karena jarak sosial mengakibatkan tidak adanya kedekatan secara langsung (fisik) sehingga kepribadian seseorang pun tidak bisa dinilai secara parsial (keseluruhan). Akibatnya, makna menjadi abstrak karena karena kalah dari simbolnya. Lebih jelasnya, kita menilai seseorang karena retorikanya atau karena tampilannya bukan karena kepribadiannya atau akhlaknya. Parahnya otak tidak difungsikan lagi apapun yang dikatakan panutan atau orang yang dianggap Mursyid maka wajib diikuti tanpa menelusuri benar tidaknya terlebih dahulu.

Keempat, hadirnya masyarakat epilepsi. Masyarakat epilepsi adalah masyarakat yang kecenderungannya hanya pada sesuatu yang konotasinya menggugah atau kata kerja mulut "wawwwww" membuat mata terbelalak karena dianggap sesuatu yang luar biasa. Akibatnya masyarakat tidak lagi melihat benar salahnya karena telah terhipnotis dengan tingkatan bombastisnya.

Kelima, adanya efek kecabulan. Era virtual juga telah membuat penikmatnya tidak ada lagi yang perlu dirahasiakan. Semua kegiatan pun diakses ke media sehingga orang lain dapat menyaksikan. Apakah itu kesuksesan, kegiatan keagamaan, kegalauan, ulang tahun seseorang, pernikahan dan lain sebagainya. Parahnya masyarakat virtual pun tanpa ragu sedikitpun memposting hal yang sifatnya sangat rahasia. 

Kelima diatas hanya sebagian kecil dampak dari pada penggunaan virtual secara negatif. Menggunakan hal kearah negatif mengakibatkan matinya makna, ketidakstabilan, chaos (kekacauan), tidak pastinya tujuan, fungsi dan makna. Kalahnya esensi karena eksistensi. Yang terakhir adalah komunikasi menjadi massif dengan kata lain cepat namun dangkal dalam makna. Wallahu a'lam bisshowab

Doa Hari ke 26

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ سَعْيِيْ فِيْهِ مَشْكُوْرًا وَ ذَنْبِيْ فِيْهِ مَغْفُوْرًا وَ عَمَلِيْ فِيْهِ مَقْبُوْلاً وَ عَيْبِيْ فِيْهِ مَسْتُوْرًا يَا أَسْمَعَ السَّامِعِيْنَ

Artinya :

”Ya Allah, jadikanlah setiap lampah usahaku di bulan ini sebagai ungkapan rasa syukur dan dosa-dosaku terampuni, amal-amalku diterima dan seluruh aib kejelekanku ditutupi. Wahai Yang Maha mendengar dari semua yang mendengar.

(Tulisan lama diadopsi dan diedit kembali)

Kamis, 04 April 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (25)


Jamaah Medsosiyyah

Adanya internet menandakan kehidupan surga semakin terbayang. Bayankan! Belum bangkit dari tempat tidur pun di pagi hari kita sudah kebanjiran informasi. Notifikasi dari grub WhatsApp, pemberirahuan dari aplikasi Facebook, iklan-iklan di Tik-tok, berita-berita terbaru dari Instagram dan twitter, line, Youtube dan masih banyak aplikasi-aplikasi lainnya yang memuat banyak informasi.

Harus diakui kalau hari ini, di zaman sekarang. Kebanjiran informasi sangat membludak. Kita bisa dapatkan informasi lebih banyak dari yang kita butuhkan. Entah informasi itu berupa propaganda, hoax, iklan, fake news yang bisa saja membuat kita tergoda untuk mengghibah, menfitnah, dan juga menjadi pelaku penyebar hoax dan semacamnya.

Tidak semua informasi yang kita dapatkan dari media sosial itu berguna bahkan lebih banyak informasi sampahan. Layaknya sampah, kita harus pandai memilih sampah-sampah yang bisa didaur ulang. Tidak menyaring sebelum sharing membuat hanyut kebanjiran sampah informasi dan ikut menjadi sampah.

Diakui memang, dengan adanya internet dan informasi yang serba cepat bak kilat petir menyambar membuat kita jadi lebih mudah berinteraksi, bisa mengetahui lebih banyak hal. Misalnya tidak tau jalan tinggal tanyakan ke Google Maps, mau makan tapi malas masak tinggal buka aplikasi ojek online, mau belanja tinggal buka aplikasi shoppie dan masih banyak aplikasi lainnya. 

Semuanya serba dimudahkan, mungkin bisa dikatakan zaman modern adalah gambaran kecil dari hidup di surga. Semuanya sudah serba instan tanpa menguras tenaga. Terlepas dari itu, dibalik kemudahan ada juga sisi buruknya. Contoh paling rillnya, dengan ikut jamaah medsosiyyah akan membantu kita mendekatkan yang jauh pada saat yang sama menjauhkan yang dekat. Kita sibuk bermain di dunia maya tapi melupakan dunia nyata di sekitar kita. Kelihatannya fisik brrsama dengan orang lain tapi ruh entah kemana. Saya menyebutnya ada tapi tidak hadir.

Begitu banyak berita yang belum jelas kebenarannya, mengundang banyak prasangka. Dengan gadget seorang lebih mudah mendatangkan prasangka, dulu dari mulut kemulut orang baru bisa bergosip tapi sekarang cukup dengan jari kita sudah mampu bergosip dan memperluas seluas luasnya. Dulu, mulutmu adalah harimaumu, sekarang jarimu adalah harimaumu.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞ ۖ وَلَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتًا فَكَرِهۡتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ
"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 12)

Sadar atau tidak, menjadi jamaah medsosiyyah sangat besar kemungkinanya menjadi pelaku timbulnya banyak prasangka bahkan kita sudah menjadi mata-mata media sosial untuk menyebarkan berita-berita hoax, berita-berita yang mengandung keburukan orang lain. Hal ini rentang terjadi karena adanya gadget yang smart tapi pemilikmya tidak smart. Mungkin bagusnya sekali-kali kita ritual puasa medsos setidaknya sedikit mengurangi prasangka kita kepada berita-berita yang tidak terlalu berguna.

"Kelak akan ada banyak kekacauan dimana didalamnya orang yang duduk lebih baik daripada yang berdiri, yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan yang berjalan lebih baik daripada yang berusaha (dalam fitnah). Siapa yang menghadapi kekacauan tersebut maka hendaknya dia menghindarimya dan siapa yang mendapati tempat kembali atau tempat berlindung darinya maka hendaknya dia berlindung." (HR Bukhari Muslim). Wallahu a'lam bisshowab.

Doa Hari ke 25

اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مُحِبًّا لِأَوْلِيَائِكَ وَ مُعَادِيًا لأَعْدَائِكَ مُسْتَنّا بِسُنَّةِ خَاتَمِ أَنْبِيَائِكَ يَا عَاصِمَ قُلُوْبِ النَّبِيِّيْنَ

Artinya :

”Ya Allah, jadikanlah aku di bulan ini lebih mencintai para wali-Mu dan memusuhi musuh-musuh-Mu. Jadikanlah aku pengikut sunnah Nabi penutup-Mu. Wahai yang menjaga hati para nabi.