Kamis, 08 Februari 2024

๐—ช๐—˜ ๐—œ๐— ๐—”๐—ก๐—œ๐—ฅ๐—”๐—ง๐—จ ๐—”๐—ฅ๐—จ๐—ก๐—š ๐——๐—”๐—ง๐—” ๐—ฆ๐—จ๐—Ÿ๐—ง๐—”๐—ก๐—”๐—› ๐—ฆ๐—”๐—Ÿ๐—œ๐— ๐—”๐—› ๐—ฅ๐—”๐—๐—œ๐—ฌ๐—”๐—ง๐—จ๐——๐——๐—œ๐—ก, ๐— ๐—”๐—ง๐—œ๐—ก๐—ฅ๐—ข๐—˜ ๐—ฅ๐—œ ๐—ž๐—˜๐—ฆ๐—ฆ๐—œ'. (๐—ฅ๐—”๐—ง๐—จ ๐—•๐—ข๐—ก๐—˜ ๐—ž๐—˜-๐Ÿฎ๐Ÿฑ) ๐Ÿญ๐Ÿด๐Ÿฎ๐Ÿฏ-๐Ÿญ๐Ÿด๐Ÿฏ๐Ÿฑ).


Dalam lembaran sejarah Kerajaan Bone ditemukan banyak catatan yang memperlihatkan keberagaman sikap raja-raja yang memerintah di kerajaan tersebut. Sikap yang bernilai kejuangan baik dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negerinya dari serangan musuh, maupun dalam tata cara pelaksanaan system pemerintahannya.

Interpretasi kesejarahan tentang Kerajaan Bone memang telah dilakukan oleh banyak pihak berupa rekaman masa silam melalui berbagai tulisan dan pemaparan. Namun sejumlah keterangan baik dalam lontarak maupun cerita lisan terasa masih sangat kurang, bahkan banyak yang sulit untuk dipahami dan hanya dapat dipandang sebagai mitologi belaka. Oleh karena itu penggalian data dan fakta sejarah selanjutnya dibutuhkan untuk menemukan mata rantai sejarah yang hilang utamanya pasa masa kedatangan bangsa asing dari Eropah (Inggris dan Belanda) dengan maksud penjajahannya.

Mengangkat nilai juang We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV (1823-1835) ini, pada dasarnya merupakan penelusuran eksistensi ke jatidirian masyarakat Bone dimasa lampau. Data yang sedikit ini diharapkan dapat member konstribusi sejarah lokal (kerajaan Bone) yang berhubungan dengan tema “ Penggalian nilai-nilai Kepahlawanan We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV “
Walaupun harus diakui bahwa materi data dan fakta tang diketengahkan dalam tulisan ini masih sangat kurang bahkan mungkin tidak terlalu penting, namun penulis berharap semoga dianalisis oleh peserta seminar. Artinya, apa yang diketengahkan oleh penulis setidaknya dapat menjadi sekedar “ tanda baca “ dari untaian kalimat sejarah-sejarah Kerajaan Bone yang panjang dan berliku-liku.
Penuturan sejumlah rentetan peristiwa dalam rangka upaya mengungkapkan data dan fakta sejarah Kerajaan Bone, terutama pada masa kedatangan bangsa asing dengan maksud penjajahannya, memang sangat penting untuk dilakukan. Karena data dan fakta sejarah tersebut, tidak hanya memberikan dan mengungkapkan keterangan-keterangan yang objektif berhubungan sikap dasar orang Bugis yang dikenal dengan “ SIIRII NAPESSE' (Harga diri dipegang teguh)’ “Tetapi juga tentang nilai-nilai kejuangan yang dilakukan oleh seorang raja dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan wilayah kekuasaannya.

We Maniratu Arung Data merupakan salah satu dari enam raja perempuan yang pernah memerintah di Kerajaan Bone, Yaitu ; 1. We Banrigau Makkalempie Mallajange’ ri Cina Raja Bone-IV (1496-1516), 2. We Tenri Pattuppu Raja Bone-X (1602-1611), 3. Batari Toja Daeng Talaga Raja Bone-XVII (1714-1715), kemudian terpilih lagi sebagai Raja Bone-XXI (1724-1749)  4. We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV (1823-1835), 5. Pancaitana Besse Kajuara Raja Bone-XXVIII (1857-1860), dan 6. Fatimah Banri Raja Bone-XXX (1871-1895).
Atas mufakat dari anggota Dewan Ade’ Pitu Kerajaan Bone dalam tahun 1823, We Maniratu Arung Data diangkat menjadi Raja Bone-XXV menggantikan saudaranya yaitu To Appatunru Matinroe’ ri Ajang benteng Raja Bone-XXIV (1812-1823). Pada masa pemerintahannya, We Maniratu Arung Data dikenal sebagai raja yang paling anti penjajahan Belanda.
Untuk lebih mengenal seseorang perlu ada upaya untuk mengorek lebih jauh tentang nama, gelar, dan atribut lain yang melekat pada dirinya. Bahkan lebih dari itu, perlu pula ditelusuri tentang asal-usulnya, nama kedua orang tuanya, tempat dan waktu kelahirannya. Seperti halnya Raja Bone-XXV yang memerintah dari tahun 1823-1835, kelihatannya ada beberapa versi tentang namanya yang dituliskan oleh sejumlah penulis sejarah Sulawesi Selatan.

Dari berbagai catatan ditemukan beberapa nama Raja Bone-XXV yang digelar Matinroe ri Kessi (Yang wafat di Kessi), di mana sejumlah penulis sejarah mencatatnya, antara lain ;

1. Abdul Razak Daeng Patunru dkk. Dalam “sejarah Bone “ yang diterbitkan oleh Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Tahun 1989,menuliskan nama Raja Bone-XXV (1823-1835) adalah I Benni Arung Data Matinroe ri Kessi.

Catatan ; menurut berbagai sumber dari tokoh masyarakat setempat mengatakan bahwa nama I Benni Arung Data, ditemukan pada catatan-catatan Belanda yang berusaha untuk menguasai Bone pada masa pemerintahan Raja Bone-XXV tersebut. Kalau keterangan ini benar, maka kemungkinan nama I Benni Arung Data hanyalah mengikuti ucapan Belanda yang tidak terlalu pasih dalam menyebut We Maniratu Arung Data. Tentang hal ini, mungkin perlu untuk dilakukan penggalian dan penelusuran yang lebih mendalam.

2.Dalam lontarak Akkarungeng Bone yang diterbitkan dengan biaya pemerintah Daerah Tkt. I Sulawesi Selatan Tahun 1985, tertulis nama Arungpone ke 25, adalah We Manneng Arung Data.

3. Dalam buku Bone Selayang Pandang yang ditulis oleh Andi Muhammad Ali (1986) menyebut nama Arungpone-XXV adalah I Mani Arung Data.

4. Dalam buku Arus Perjuangan di Sulawesi Selatan, tahun 1989 yang ditulis oleh Drs. Sarita Pawiloi, menyebutkan nama Raja Bone-XXV (1823-1835), adalah I Maning Arung Data.

5. Dalam naskah sejarah Bone yang ditulis oleh Andi Palloge Petta Nabba (tanpa tahun) menyebutkan nama Raja Bone-XXV (1823-1835), adalah I Maniratu Arung Data digelar Sultanah Rajituddin Matinroe’ ri Kessi.

6.Sedangkan dalam Surek Bilang (catatan harian) La Tenri Tappu To Appaliweng Matinroe’ ri Rompegading Raja Bone-XXV (1775-1812) yang tidak lain adalah ayah kandung Raja Bone-XXV, diketahui bahwa anak perempuannya itu bernama We Maniratu. Pada saat Riulo’ sulolona (acara tradisional atas kelahiran seorang anak) dihadiahkan akkarungeng (wilayah kekuasaan) yaitu “Data”.
Menurut sejumlah tokoh masyarakat, tempat itu berada dalam wilayah Lalebbata (Ibukota Kerajaan Bone). Dengan demikian anak perempuannya itu bernama lengkap We Maniratu Arung Data. Tentang tempat yang bernama “Data” sampai saat sekarang juga masih menjadi kontroversi, sebab ada yang berpendapat bahwa Data berada dibagian selatan Kerajaan Bone.

Dalam Sure bilang La Tenri Tappu To Appaliweng tersebut diketahui bahwa We Maniratu Arung Data lahir pada tanggal 14 Oktober 1776, seperti bunyi catatan;
“14 Oktober 1776, purai 10 garagatae’ najaji anakna Puanna Batara Tungke-Makkunrai Anakna-Alhamdu lillah” artinya; 14 oktober 1776, sesudah pukul sepuluh malam- lahirlah anak Puanna Batari Tungke- Perempuan anaknya- Alhamdu lillah”.

“Upakuru sumange- I Puanna Batara Tungke se’ddi je’mma- anakna uwa’re’ng inungeng butung- karawik ulaweng” artinya; saya bangkitkan semangat Puanna Batara Tungke dengan memberinya orang satu- anaknya saya beri gelas minum butung- karawak emas”.
Selanjutnya pada tanggal 23 Desember 1776, La Tenri Tappu To Appaliweng kembali menulis catatan :

“Utudattudang ri Salassae’ mita-itai We Maniratu” artinya; saya duduk-duduk di selassae’ menemui We Maniratu”
Menurut Sure’ Bilang tersebut, Batara Tungke Arung Timurung adalah anak pertama La Tenri Tappu To Appaliweng dengan istrinya We Fadauleng atau We Tenri Fada, yang lahir pada tanggal 12 April 1775, We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV (1823-1835) adalah anak ke-2 yang lahir pada tanggal 14 Oktober 1776. Sedangkan La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka Raja Bone-XXIV (1812-1823) adalah anak ke-3 yang lahir pada tanggal 12 Mei 1791.

Dalam Lontara Akkarungeng ri Bone diketahui bahwa La Tenri Tappu To Appaliweng dengan isterinya We Tenri Fada ada melahirkan 13 orang anak, yaitu; 1. Batara Tungke' Arung Timurung, 2. We Maniratu Arung Data, 3. La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka, 4. La Mappaseling Arung Pannyili, 5. La Tenri Sukki Arung Kajuara, 6. We Kalaru Arung Pallengoreng, 7. La Tenri Bali Arung Taa’, 8. La Mappaewa Arung Lompu, 9. La Paremma' Rukka Arung Karella, 10. La Temmu Page Arung Paroto, 11. La Pattuppu Batu Arung Tonra, 12. La Pawawoi Arung Timurung, dan 13. I Mamuncaragi.

Mungkin banyak yang berpendapat bahwa apalah apalah arti sebuah nama untuk dipermasalahkan, namun menurut heman penulis “nama” adalah identitas yang paling melekat pada diri seseorang sekaligus membuatnya abadi dalam lembaran sejarah kehidupannya. Apalagi nama seorang Raja seperti We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV yang pada masa hidupnya memiliki banyak aktivitas yang berorientasi kepada kemaslahatan negeri dan bangsanya dalam menghadapi penjajah Belanda.
Karena itu, melalui tulisan yang singkat ini, penulis mengajak kepada pemerhati  sejarah lokal untuk membuat kesepakatan bahasa siapa sesungguhnya nama Arungpone ke-25 yang memerintah dari tahun 1823-1835 itu. Hal ini dimaksudkan agar generasi kita yang akan dating tidak terjebak dalam suatu pemahaman yang berbeda-beda mengenai nama raja wanita yang terkenal keberaniannya dalam melawan Belanda tersebut.

Siapa itu We Maniratu Arung Data ?
Sebelum mengungkap lebih jauh tentang kisah-kisah heroiknya dalam mempertahankan Kerajaan Bone dari serbuan tentara Belanda pada masa pemerintahannya sebagai Raja Bone-XXV (1823-1835), ada baiknya menelusuri sedikit tentang siapa sesungguhnya We Maniratu Arung Data itu. Baginda adalah anak ke-2 dari La Tenri Tappu To Appaliweng Matinroe’ ri Rompegading Raja Bone-XXIII (1775-1812) dengan isterinya We Fada Uleng atau We Tenri Fada Arung Timurung. 

Dalam lontara Akkarungeng ri Bone diketahui bahwa La Tenri Tappu To Appaliweng adalah anak dari We Hamidah Arung Takalarak yang juga dikenal dengan gelar Petta Matowae’ dengan isterinya La Mappapenning Daeng Makkuling sepupu satu kalinya yang bernama We Fadauleng atau We Tenri Fada, anak dari saudara laki-laki We Hamidah Arung Takalarak, yaitu La Baloso To Akkaottong Ponggawa Bone dengan isterinya Arung Lompeng. Dari perkawinan tersebut, melahirkan 13 orang anak diantaranya adalah We Maniratu Arung Data yang kemudian menjadi Raja Bone-XXV (1823-1835).
La Tenri Tappu To Appaliweng dan We Mahidah Arung Takalarak adalah anak La Temmassonge To Appaweling Raja Bone-XXII Matinroe ri Malimongeng (1749-1775) dengan isterinyan We Mommo Sitti Aisyah yaitu cucu Syekh Yusuf (Tuanta Salamaka ri Gowa). Sedangkan La Temmassonge To Appaweling adalah anak dari La Patau Matanna Tikka Matinrore’ri Nahauleng Raja Bone-XVI (1696-1714) dengan istrinya We Sundari Datu Baringeng (Soppeng).
Dari Sure’ Bilang (catatan harian) La Tenri Tappu To Appaliweng diketahui bahwa We Maniratu Arung Data lahir pada tanggal 14 Oktober 1776 di Lalebata (Watampone). Pada waktu itu La Tenri Tappu To Appaliweng baru satu tahun memangku jabatan sebagai Arungpone (Raja Bone).
Cerita lisan yang terdapat dalam masyarakat Bone mengatakan bahwa sejak kecil We Maniratu telah memperlihatkan sikap pemberani yang melebihi sikap laki-laki. Walaupun dia seorang anak perempuan, tetapi keberaniannya senantiasa terlihat terutama dalam membela teman-temannya yang mendapat masalah dengan orang lain, termasuk dalam hal mempertahankan pendapat yang dianggapnya benar.
Keberaniannya dalam mempertahannkan hak-hak yang dianggapnya benar semakin Nampak ketika diangkat oleh Dewan Adek Pitu Kerajaan Bone menjadi Arungpone (Raja Bone)-XXV pada tahun 1823. Pengankatannya itu adalah untuk menggantikan saudaranya yaitu To Appatunru Palakka Raja Bone-XXIV yang juga dikenal sebagai raja yang sangat anti penjajahan.
Misalnya saja pada masa pemerintahannya We Maniratu Arung Data dikenal sebagai pelopor bagi sebagian raja-raja di Sulawesi Selatan dalam menolak pembaharuan perjanjian Bungaya (18 November 1667) yang dikehendaki Oleh Belanda setelah memenangkan Perang Eropah dengan mengalahkan Inggris. Sebagai akibat pembangkangan Raja Bone We Mani itu, maka pada tanggal 14 Maret 1824, Kerajaan Bone di bawah kepemimpinan We Mani diserang oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh jenderal Van Goen melalui Pantai Bajoe (Andi Muh. Ali, 1986 ; 60).
Kekuatan militer Belanda di Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Jenderal Van Goen, memang kelihatan kewalahan untuk menhadapi perlawanan raja-raja yang menolak untuk menjalin kerja sama , terutama Raja Bone yang dengan tegas menyatakan tidak mau kerja sama dengan pihak Belanda.
Kedatangan bangsa asing dari Eropa (Inggris dan Belanda) di Sulawesi Selatan dimulai kembali pada tahun 1814. Ketika itu bangsa Inggris menggantikan Belanda menjajah Nusantara sejak tahun 1811. Pada akhir tahun 1811, Inggris menduduki Makassar. Residen bangsa Inggris yang bernama Philips berkeinginan mengatur segala sesuatunya baik pemerintahan maupun perdagangan dan lain-lain sesuai dengan kemauannya semata. Tetapi maksud tersebut ditolak oleh Raja Bone To Mappatunru Arung Palakka yang merupakan saudara kandung We Maniratu Arung Data. Raja ini cukup keras dan anti penjajahan asing.
Setiap rencana penguasa Inggris ditolaknya dengan tegas, akhirnya pada tanggal 2 Juni 1814 penguasa Inggris mengirim pasukan ke Bone dibawah pimpinan Jenderal Mayor Nightingale untuk menyerang dan melumpuhkan pertahanan Raja Bone To Appatunru. Karena kalah kuat, maka pasukan Bone mundur kearah Maros dan tetap melakukan perlawanan dengan taktik perang gerilya. Dengan demikian, pasukan Inggris berhasil menduduki kota Watampone. Tetapi pasukan Inggris tidak menetap di kota Watampone dan kembali ke Makassar. Hal ini membuat pasukan Bone lebih bebas mengatur perlawanan yang dibantu oleh pasukan Maros dan kerajaan lainnya.
Pada tahun 1816 berdasarkan Comvention London, Belanda mengambil alih kekuasaan tersebut dari Inggris. Di Makassar penyerahan kekuasaan tersebut berlangsung pada bulan Oktober 1818. Selanjutnya pada tahun 1824 Gubernur Jenderal Van der Capellen datang ke Makassar. Ia sangat khawatir dengan berkobarnya perlawanan yang makin hebat dari kalangan raja-raja di Selawesi Selatan. Untuk itu diundanglah raja-raja di Sulawesi Selatan ke Makassar guna diajak kerja sama. Sejumlah raja memang bersedia hadir untuk menanda tangani perjanjian Ujung Pandang yang merupakan pembaharuan dari Perjanjian Bungaya. Akan tetapi raja Bone, Luwu, Wajo, Soppeng, Suppa dan raja-raja Mandar tidak hadir.

Diantara raja-raja yang tidak mau menjalin kerja sama dengan belanda adalah Raja Bone yang pada waktu itu telah dijabat oleh We Maniratu Arung Data Matinroe’ ri Kessi. Raja perempuan ini adalah saudara dari Raja Bone-XXIV To Appatunru Arung Palakka yang kelihatannya lebih anti penjajahan asing. We Maniratu Arung Data lebih tegas menyatakan penolakannya untuk kerja sama dengan pihak penjajah.
Menurut sumber-sumber lisan, untuk memperkuat pasukannya We Maniratu Arung Data membentuk pasukan wanita yang dilengkapi dengan senjata Lawida (semacam alat tenun yang runcing). Disamping itu, semakin ditingkatkan pula jumlah pasukan laki-laki yang ditempatkan diberbagai  titik pertahanan. Lalu dengan jjiwa kesatria We Maniratu Arung Data bersama pasukan wanitanya terjun langsung ke medan perang untuk menghadapi musuh.

Melihat kekuatan pasukan Bone dan Rajanya yang sangat anti penjajahan, membuat belanda sangat khawatir. Apalagi setelah diketahui bahwa Raja Bone mengadakan kerjasama dengan kerajaan tetangganya seperti Maros, Sinjai, Pangka jenne, Soppeng, Wajo, Luwu dan lain-lain. Oleh karena itu, colonel van Schelle selaku pimpinan Belanda di Makassar terpaksa meminta bantuan tambahan pasukan dan persenjataan dari Batavia. Untuk itu, dikirimlah dari Batavia pasukan di bawah pimpinan Kolonel Bischoff dan bertugas untuk merebut kembali Maros, Pangka jenne, dan Sigeri dari kekuasaan pasukan Bone yang telah lama mendudukinya.

Kemudian pada akhir tahun 1824 Jenderal Mayor J.J.Van Geen datang pula dari Batavia dengan tugas ekspedisi yang teerdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri, dan angkatan laut yang dipimpin Kapten Terzee Piterzen. We Maniratu Arung Data selaku Raja Bone memang telah menyusun suatu strategi dan persiapan yang cukup matang untuk menghadapi ekpedisi Jenderal Mayor Van Geen tersebut. Raja wanita yang berhati baja itu tidak henti-hentinya membakar semangat pasukan Bone untuk melawan pasukan penjajah Belanda. “ Jangan biarkan penjajah Belanda itu menginjakkan kakinya di Tana Bone “ demikian kalimat-kalimat yang selalu diserukan oleh We Maniratu Arung Data kepada pasukan Bone yang sedang berada di medan perang.

Menurut cerita lisan yang terdapat dalam masyarakat Bone diketahui bahwa We Maniratu Arung Data adalah seorang wanita yang keberaniannya melebihi keberanian sebahagian laki-laki. Hal ini Nampak pada saat memimpin pertempuran melawan Belanda di berbagai tempat. Masih menurut cerita lisan tersebut mengatakan bahwa We Maniratu Arung Data kemanapun ia pergi selalu membekali diri dengan keris di pinggang, walaupun ia tetap dijaga oleh pasukan kerajaan Bone.

Untuk memasuki wilayah kerajaan Bone, pasukan Belanda terlebih dahulu harus berhadapan dengan pasukan Maros, Bantaeng, Bulukumba dan Sinjai. Oleh karena itu ekpedisi van Geen baru bias menembus pertahanan pasukan Bone di Bajoe pada tanggal 24 Maret 1825, setelah membumi hanguskan Sinjai pada tanggal 19 Maret 1825.

Kenyataan tersebut menandakan bahwa Raja Bone We Maniratu Arung Data mendapat dukungan kuat dari raja-raja tetangganya dalam melawan penjajah Belanda. Setelah pesisir selatan, seperti Bulukumba dan Bantaeng di bersihkan oleh tentara Belanda dibawah pimpinan Mayor Lobron de Vosela, melanjutkan perjalanan ke Kajang dan Sinjai dengan maksud bertemu dengan induk pasukan yang akan memasuki Bone (Abdurrazak Daeng Patunruk, 1989 ; 247)
Kerajaan Bone dibawah kepemimpinan We Maniratu Arung Data melawan Belanda hingga akhir tahun 1835 yaotu setelah We Maniratu Arung Data wafat dan digantikan oleh saudaranya La Mappaseling Arung Panynyili sebagai Raja Bone-XXVI.

Dalam lontarak akkarungen Bone disebutkan bahwa We Maniratu Arung Data wafat pada tahun 1835 di Kessi pada usia 59 tahun. Menurut berbagai sumber mengatakan bahwa tempat yang bernama Kessi itu berada dalam Lalebbata (Ibukota Kerajaan Bone).
Namun sampai hari ini belum ditemukan bukti akan keberadaan tempat tersebut, sehingga masih menjadi kontraversi dikalangan pemerhati sejarah local. Karena sebagian pula yang mengatakan bahwa Kessi berada dibagian selatan Kerajaan Bone. Mungkin perbedaan seperti itu perlu dilakukan penelusuran yang lebih jauh untuk menentukan tempat yang bernama Kessi dimana We Maniratu wafat. Dikatakan pula bahwa We Maniratu Arung Data selama hidupnya tidak pernah menikah, sehingga tidak memiliki keturunan langsung.

Inilah sedikit data dan fakta sejarah tentang We I Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV (1823-1835). “ALAI Cร‰DDร‰'ร‰ NARร‰KKO ENGKAI MAPPEDร‰Cร‰NG – SAMPร‰YANGNGI MAร‰GAร‰ NARร‰KKO ENGKAI MAKKASOLANG” (ambillah yang sedikit kalau dapat berguna – tolaklah yang banyak kalau bakal menyulitkan).
(Teluk Bone) 


๐—ช๐—˜ ๐—•๐—”๐—ก๐—ฅ๐—œ ๐—š๐—”๐—จ ๐—ฆ๐—จ๐—Ÿ๐—ง๐—”๐—ก๐—”๐—› ๐—™๐—”๐—ง๐—œ๐— ๐—”๐—›, ๐——๐—”๐—ง๐—จ๐—ž ๐—–๐—œ๐—ง๐—ง๐—” (๐—ฅ๐—”๐—ง๐—จ ๐—•๐—ข๐—ก๐—˜ ๐—ž๐—˜-๐Ÿฏ๐Ÿฌ) ๐Ÿญ๐Ÿด๐Ÿณ๐Ÿญ-๐Ÿญ๐Ÿด๐Ÿต๐Ÿฑ

  

We Fatimah banri, Datu Citta Matinroรฉ RI Bolampare'na,  We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung menggantikan ayahnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka menjadi Mangkauk di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta.

Dalam tahun 1879 Masehi menikah dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa. Dari perkawinannya itu lahirlah We Sutera Arung Apala.

Setelah Arung pone kawin dengan Karaeng Popo, Fatimah Banri memberikan kepada suaminya Akkarungeng di Palakka. Setelah Arung pone We Banri Gau meninggal dunia pada tahun 1895 M. berupayalah Karaeng Popo untuk menggantikan isterinya sebagai Arungpone.Untuk itu ia mendekati Hadat Tujuh Bone agar dirinya dapat diangkat menjadi Mangkauk di Bone menggantikan isterinya Fatimah Banri atau We Banri Gau Matinroรฉ ri Bolampare’na.

Akan tetapi maksudnya itu dihalangi oleh iparnya yang bernama La Pawawoi Karaeng Sigeri yang pada waktu itu menjadi Tomarilaleng ri Bone. Alasannya adalah bahwa Karaeng Popo ketika isterinya masih hidup telah banyak melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh orang Bone. Karaeng Popo bersama Jowana (pengawalnya) sering melakukan tindakan keras yang membuat rakyat kecil menderita.

Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dengan orang banyak sepakat untuk mengangkat anak Fatimah Banri yang bernama We Besse Sutera Bau Bone Arung Apala menjadi Mangkauk di Bone. Pada waktu itu Besse Sutera Bau Bone baru berusia 13 tahun.

Akan tetapi kesepakatan Hadat Tujuh Bone dengan segenap orang Bone belum disetujui oleh Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan Braan Manrits. Alasannya ada kekhawatiran Bone dengan Gowa akan bersatu melawan Kompeni Belanda. Untuk itu, Pembesar Kompeni Belanda sendiri yang langsung masuk ke Bone. Adapun kesepakatan Pembesar Kompeni Belanda Tuan Braan Manrits dengan Hadat Tujuh Bone yang akan diangkat menjadi Mangkauk ri Bone adalah saudara Matinroรฉ ri Bolampare’na sendiri yang bernama La Pawawoi Karaeng Sigeri. 

Selasa, 06 Februari 2024

PAMENANGAN

PAMENANGAN adalah salah satu parewa gallang yang banyak di produksi di Mandar karena memang benda ini sangat dibutuhkan dalam berbagai ritual adat terutama peristiwa pernikahan. Bentuknya seperti tropi yang umumnya berdiameter 26 cm dengan tinggi sekitar 22 cm. 

Dalam prosesi pernikahan adat di Mandar, Pamenangan ini dibawa pada saat pelamaran dan saat metindor. Itulah makanya terdapat istilah Pamenangan Tonganna dikalangan muda mudi di Mandar. 

Adapun benda yang berada diatas pamenangan disebut Salappa' yang berfungsi sebagai penyimpanan uang belanja kepada keluarga mempelai wanita. 

Senin, 05 Februari 2024

MENGENAL DR. MUHAMMAD NAWAWI YAHYA ABDURRAZAQ, MA. DAN KARYA MONUMENTALNYA



SEKILAS RIWAYAT INTELEKTUAL DAN KEULAMAAN 
DR. MUHAMMAD NAWAWI YAHYA ABDURRAZAQ, MA.  
DAN KARYA MONUMENTALNYA

Oleh: Wajidi Sayadi

Sehubungan hari ini Senin, 5 Pebruari 2024 diperingati Haul wafatnya Dr. Muhammad Nawawi Yahya, MA oleh para alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir yang tergabung dalam Organisasi  Internasional Alumni al-Azhar (OIAA) wilayah Sulawesi Barat, berikut ini kami menuliskan sedikit riwayat intelektual dan keulamaan Dr. Muhammad Nawawi Yahya,MA., sebagai putera Mandar yang mengukir prestasi Internasional di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. 

Dr. Muhammad Nawawi Yahya Abdurrazaq lahir di Dusun Manjopai (Mojopahit) Desa Karama Kecamatan Tinambung Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat pada tahun 1929. 
Dr. Muhammad Nawawi Yahya dibesarkan dan dididik dalam lingkungan keluarga yang kental dan ketat dengan tradisi agama Islam. Ayahnya adalah KH. Yahya Abd Razak seorang ulama yang kharismatik dan disegani. Beliau imam masjid Jami Tanwir al-Masajid di Manjopai. Rumah tempat tinggalnya banyak berderetan dan berjejeran di rak-rak dan lemari kitab-kitab kuning dari berbagai disiplin keilmuan. Kitab-kitab ini merupakan peninggalan dari milik ayahnya sebagai seorang ulama. 

Dr. Muhammad Nawawi Yahya dilahirkan dari seorang ibu yang luar biasa bernama Hj. Siti Fatimah Abdullah. Adapun saudara-saudaranya adalah H. Muhammad Zawawi Yahya, H. Muhmmad Nahrawi Yahya, Hj. Maawiyah Yahya, Hj. Jugariyah Yahya, dan Ir. Hj. Jawiyah Yahya. 

Masa kecil dan remaja Dr. Muhammad Nawawi Yahya di kampung halaman Manjopai Desa Karama Tinambung dengan asuhan bimbingan dari ayah dan guru-guru lainnya. Riwayat Pendidikan formalnya tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah diselesaikan di daerahnya kelahirannya di masa penjajahan Belanda dan bangsa Jepang. 

Dua tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dinyatakan secara resmi, terjadi suatu peristiwa bencana peradaban kemanusiaan bagi masyarakat Mandar yang terpusat di Galung Lombok oleh kekejaman Westerling. Peristiwa ini dikenal di Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan, sebagai pembantaian korban 40.000 jiwa oleh Westerling, pada tanggal 2 Pebruari 1947. 
Dalam peristiwa pembantaian masyarakat Mandar oleh Westerling di Galung Lombok, selain ribuan korban tewas juga banyak tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh pemuda ditangkap dengan semena-mena. Salah seorang diantaranya adalah saudara Muhammad Nawawi sendiri ikut tertangkap namanya Muhmmad Zawawi Yahya. 

Sehari setelah peristiwa Westerling di Galung Lombok ini, Muhammad Nawawi Yahya yang pada wakut itu umurnya 18 tahun tinggalkan Manjopai Karama menuju Sawitto di Kabupaten Pinrang atas inisiatif dari ayah dan keluarganya. Selama tiga tahun di Pinrang menyelesaikan sekolah Madrasah Aliyah. Tahun 1950, Beliau berangkat ke Mekah bergabung bersama rombongan jamaah haji. Selain untuk melaksanakan ibadah haji, niat utamanya adalah tinggal dan belajar di Mekah. Beberapa tahun tinggal di Mekah belajar, hingga akhirnya berangkat pindah ke Kairo Mesir. 

Sejak usia yang masih muda itulah Muhammad Nawawi Yahya tinggalkan kampung halaman pergi belajar dan belajar di Mekah kepada papar ulama besar pada zamannya hingga pindah dan masuk belajar di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. 
Perjalanan dan pengabdian umurnya lebih banyak digunakan di luar negeri termasuk di Eropa pernah tinggal beberapa lama di Belanda sebelum berlabuh dan tinggal menetap belajar di Kairo Mesir.

Suatu saat Muhammad Nawawi Yahya mengalami sakit dan dirawat di rumah sakit kebetulan ditangani oleh seorang perawat perempuan. Perawat tersebut statusnya janda punya empat orang anak. Selama di berada pembaringan di rumah sakit, Beliau tidak mau dilihat auratnya dan apalagi disentuh oleh perempuan yang tidak halal baginya atau yang bukan mahramnya, akhirnya Beliau melamar dan menikahi janda tersebut yang berprofesi sebagai perawat di rumah sakit. Istrinya ini sangat berjasa mengantarkan Beliau hingga menyelesaikan Disertasinya dan berhasil meraih gelar Doktor di bidang Zakat pada tahun 1980. 

Proses karir intelektual dan keulamaannya dibentuk sejak dini melalui ayah, guru-guru, ulama-ulama di kampung halaman serta keluarga, dilanjutkan pendalamannya  di Mekah hingga dimatangkan di Kairo Mesir. 

Muhammad Nawawi Yahya masuk di Fakultas Syariah wa al-Qanun yang dianggap konsisten menulis tentang zakat perspketif perbandingan madzhab sejak program Magister dan dikembangkan serta disempurnakan pada Program Doktor. 

Muhammad Nawawi Yahya satu almamater dan program studi  dengan Syekh Yusuf al-Qaradhawi di Fakultas Syariah wa al-Qanun. Syekh Yusuf al-Qaradhawi lebih tua tiga tahun, Beliau lahir tahun 1926 sedang Muhammad Nawawi Yahya lahir 1929. 
Yusuf al-Qaradhawi menulis disertasi berjudulูู‚ู‡ ุงู„ุฒูƒุงุฉ ุฏุฑุงุณุฉ ู…ู‚ุงุฑู†ุฉ ู„ุฃุญูƒุงู…ู‡ุง ูˆูู„ุณูุชู‡ุง ููŠ ุถูˆุก ุงู„ู‚ุฑุขู† ูˆุงู„ุณู†ุฉ  yang selesai lebih awal sekitar tahun 1977. Disertasi Yusuf al-Qaradhawi terdiri dari 2 jilid 1.227 halaman. 
Sedangkan Muhammad Nawawi Yahya menulis disertasi berjudul ุงู„ุฒูƒุงุฉ ูˆุงู„ู†ุธู… ุงู„ุฅุฌุชู…ุงุนูŠุฉ ุงู„ู…ุนุงุตุฑุฉ selesai tahun 1980 terdiri dari 6 jilid 3.246 halaman. 

Kitab ูู‚ู‡ ุงู„ุฒูƒุงุฉ  karya Dr. Yusuf al-Qaradhawi ini menjadi sudah rujukan referensi tentang zakat di era kontemporer termasuk di Indonesia karena sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Sementara ุงู„ุฒูƒุงุฉ ูˆุงู„ู†ุธู… ุงู„ุฅุฌุชู…ุงุนูŠุฉ ุงู„ู…ุนุงุตุฑุฉ karay Dr. Muhammad Nawawi Yahya belum banyak dikenal, belum dibaca, apalagi dijadikan referensi, acuan tentang zakat. Inilah Mutiara karya Ulama Nusantara Putra Manjopai Mandar Sulawesi Barat yang bereputasi Internasional tetapi masih terpendam dan melangit belum membumi. 

Pada masanya, Muhammad Nawawi Yahya tercatat sebagai satu-satunya Doktor bidang syariah khususnya tentang zakat perspektif perbandingan dari Asia Tenggara. Karya monumentalnya berupa disertasi terdiri atas 6 jilid 3246 halaman. 

Empat tahun setelah menyelesaikan program Doktornya di Universitas Al-Azhar Kairo, tahun 1984 Beliau balik silaturrahmi ke kampung kelahirannya di Dusun Manjopai Desa Karama Polewali Mandar. Sekitar satu bulan di kampung halamannya, Beliau wafat secara mendadak tanpa perawatan sakit. 
Selepas shalat subuh Beliau jalan pagi keliling di sekitar lingkungan rumah. Seusai shalat Dhuha Beliau wafat dalam posisi sedang memegang dan mendekap sebuah kitab kuning di dadanya tepatnya pada hari kamis, 9 Pebruari 1984 dalam usia 55 tahun. 

Jenazahnya dimakamkan di samping makam ayah dan ibunya di halaman Masjid Tanwir al-Masajid Dusun Manjopai Karama Tinambung Polewali Mandar. Sulawesi Barat. 

ุฅู†ุง ู„ู„ู‡ ูˆุฅู†ุง ุฅู„ูŠู‡ ุฑุงุฌุนูˆู†
ูŠٰุٓงَูŠَّุชُู‡َุง ุงู„ู†َّูْุณُ ุงู„ْู…ُุทْู…َู‰ِูٕ†َّุฉُۙ ุงุฑْุฌِุนِูŠْٓ ุงِู„ٰู‰ ุฑَุจِّูƒِ ุฑَุงุถِูŠَุฉً ู…َّุฑْุถِูŠَّุฉً ۚ ูَุงุฏْุฎُู„ِูŠْ ูِูŠْ ุนِุจٰุฏِูŠْۙ  ูˆَุงุฏْุฎُู„ِูŠْ ุฌَู†َّุชِูŠْ ࣖࣖ

Sekilas Karya Monumental Dr. Muhammad Nawawi Yahya
Dr. Muhammad Nawawi Yahya menulis Disertasi berjudul ุงู„ุฒูƒุงุฉ ูˆุงู„ู†ุธู… ุงู„ุฅุฌุชู…ุงุนูŠุฉ ุงู„ู…ุนุงุตุฑุฉ atas bimbingan Promotor Dr. Muhammad Anis Ubbadah 
Disertasi ini terdiri atas 6 jilid ditulis masih menggunakan mesik tik zaman dahulu di atas kertas HVS berukuran 30 X 21 cm dengan jumlah halaman 3246.

Sistematika pembahasannya terdiri atas: 
Muqaddimah terdiri atas 16 halaman:
Membahas mengenai terminologi zakat dan sedekah dan landasan normatif agama baik al-Qur’an maupun hadis mengenai ketetapan kewajiban zakat dalam Islam. Awal mula penetapan kewajiban zakat serta periodisasinya. Kebijakan Abu Bakar ash-Shiddiq mengenai zakat dan pengaruhnya dalam tatanan masyarakat negara serta pengembangan dakwah Islam. 

Jilid I terdiri atas 1- 626 halaman:
Membahas mengenai zakat sebagai ibadah dan kewajiban sosial sebagai modal dasar dalam pembentukan sebuah tatanan negara. Kedudukan zakat dalam pembinaan sosial dalam Islam, sebagai kekuatan material dan spiritual. Harta dan sistem kepemilikan dalam perspektif kerangka hukum Islam dan hukum positif yang mengandung kebaikan universal melalui sistem zakat. Sistem sosial dan kekayaan material di era kontemporer dan perbandingannya dengan system zakat. 

Jilid II terdiri atas 627 – 1045 halaman:
membahas mengenai kriteria zakat meliputi syarat-syarat global diwajibkannya zakat seperti muslim, mukallaf, memiliki secara sempurna, bebas dari hutang, nisab dan haul. Kedudukan niat dalam transaksi dan distribusinya. Apakah zakat wajib disegerakan atau boleh ditangguhkan penyerahannya? Ta’jil zakat dan klasifikasinya. Apakah kewajiban zakat gugur karena kematian pemiliknya? 

Jilid III terdiri atas 1046 - 1667 halaman: 
membahas mengenai terminologi harta dan batasannya yang wajib dizakati beserta kadar pendistribusiannya disertai dalil masing-masing. Masalah emas dan perak, hasil pertanian dan buah-buahan, hewan, harta perdagangan.

Jilid IV terdiri atas 1668 – 2109 halaman: 
Membahas secara rinci mengenai delapan kelompok yang berhak menerima pendistribusian zakat. Apakah delapan kelompok akan diberikan dalam jumlah yang sama atau diberikan atas dasar pertimbangan skala prioritas? 

Jilid V terdiri atas 2110 – 2779 halaman: 
Membahas secara rinci mengenai perbandingan pendapat dari kalangan sahabat dan tabiin ahli hukum Islam, serta empat imam madzhab dan dari kalangan imam madzhab zhahiriyah, Syi’ah dan Zaidiyah. 

Jilid VI terdiri atas 2780 – 3246 halaman: 
Membahas mengenai tarjih. Mendialogkan atau mendiskusikan beberapa pendapat dari beberapa argumentasi yang dikemukakan, lalu memilah dan memilih pendapat yang dianggap lebih unggul dan tepat.  

Disertasi DR. Muhammad Nawawi al-Mandary tersebut merupakan karya monumental ulama dan intelektual muslim Indonesia sangat penting dan dipandang perlu untuk dijadikan referensi dalam studi hukum Islam khususnya kajian tentang zakat dalam kaitannya dengan pemberdayaan potensi ekonomi umat masa depan. 

Pontianak, 5 Pebruari 2024

HAMZAH ||Jangan Panggil Aku, Jika Bukan Perjuangan

"Upangipi sala toi, mua' nemenjaria Caleg (Mimpipun tak pernah jika saya harus jadi Caleg)" . Pungkas Hamzah suatu ketika kepada penulis. Guratan takdirlah yang  mengusung namanya sebagai salah satu deretan Caleg DPRD Polman Dapil 3 dari Partai Amanat Nasional (PAN). Hamzah mungkin tak setenar dan sekaya dengan Caleg lain. Bahkan mustahil memiliki kemampuan untuk melakukan serangan fajar.

Satu-satunya yang dimiliki oleh pria kelahiran Berampa Katumbangan, 28 September 1988 ini adalah harapan. Harapan yang dibungkus dengan semangat untuk mempertanggung jawabkan suara dan amanah rakyat yang di setiap TPS pada Pemilu 2024 yang akan digelar pada tanggal 14 Februari. Inilah yang menjadi impian besar Hamzah dalam kontestasi lima tahunan kali ini. 

Menjadi wakil rakyat sejatinya diraih dengan cara bermartabat, bukan dengan cara mempedaya rakyat dengan imbalan uang, sembako atau sarung dan voucher. Politisi yang menggunakan uang harus dijadikan sebagai musuh bersama, sehingga kedepan rakyat benar-benar memiliki perwakilan di gedung rakyat. Harus difahami, selama ini hak-hak sebagai rakyat telah dihilangkan oleh bandit-bandit demokrasi yang punya uang tapi miskin integritas. 

Hamzah adalah caleg yang lahir dari rahim rakyat, ia lahir di sebuah kampung bernama Berampa Desa Katumbangan. Ia mengenal pendidikan dasarnya di SD Inpres 039 Katumbangan. Lalu melanjutkan ke MTs. Mas'udiyah Wonomulyo. Ia sempat sekolah di SPP (Sekolah Pertanian Pembangunan) Polewali sampai kelas dua dan berakhir di MA. Darul Falah Tomandar Campalagian 2011. 

Perjalanan hidup Hamzah jangan bayangkan sebagai seorang yang dimanjakan fasilitas. Untuk bisa sekolah, ia harus nyambi bekerja di Toko Citra Mas Wonomulyo. M. Said Sidar memberinya kesempatan menyelesaikan studinya di tingkat SMA. Terhitung sejak tahun 2004 hingga 2011, ia menjadi karyawan PT. Citra Mas Silolongi mulai dari Wonomulyo sampai ke Fajar Mas Mapilli dan Albar Cell yang juga milik Said Sidar (politisi yang telah 4 periode jadi anggota DPRD Polman). 

Hamzah sempat merantau ke Negeri Seberang, Kuala Lumpur selama 2 tahun setengah. Sepulang dari sana, ia kembali dipanggil oleh Said Sidar sebagai Sopir Pribadinya dari tahun 2014 sampai 2021. Politisi PAN itu menjadikan Hamzah banyak berbaur dengan politisi di DPRD Polman. Ia banyak belajar dari para politisi dan mengenal banyak karakter yang berbeda. Jika kemudian Hamzah menjadi politisi tentu bukan hal yang tabu, sebab ia faham betul bagaimana harusnya menjadi wakil rakyat. 

Hamzah telah mengambil keputusan maju sebagai Caleg dari PAN No. 5 Dapil 3 Polman. Keputusannya itu harus kita sambut gembira dengan dukungan suara dan doa. Harapan kita tak lain adalah menjadi bagian dari perjuangan rakyat untuk meretas gerakan politisi kotor yang selama ini mencederai demokrasi di negeri ini. 

Kami mengajak semua pihak bergerak secara kolektif dan menjadikan Politik Uang sebagai musuh bersama. Kedepan, masyarakat harus berdaya dan mendapatkan hak-haknya yang azasi sebagai rakyat. 

Jika anda sepakat, maka Jangan Panggil Aku, Jika Bukan Untuk Perjuangan. 
Salam Demokrasi !!! 



Minggu, 04 Februari 2024

BUKU WARISAN PASSOKKORANG

Selamat datang Buku "Warisan Passokkorang" dalam deretan diksi sejarah di Mandar. Semoga kehadiranmu menjadi pemantik bagi siapapun yang punya keinginan untuk merekonstruksi kembali Babad Tanah Passokkorang. 

Passokkorang mungkin akan menjadi salah satu kosakata sulit dan tak lagi dikenal generasi hari ini. Tapi mengabaikan Passokkorang tentu bukan langkah bijak bagi siapapun. Ia adalah narasi penting untuk menemukenali Jejak Mandar yang sesungguhnya. 

Mari bersama mengulik dan menguliti suguhan narasi yang disuguhkan oleh Muhammad Munir ini.

MENGENAL IMAM JANGGO'

MENGENAL IMAM JANGGOQ, IMAM LEGENDARIS MESJID AL HURRIYYAH TINAMBUNG.

By Muhammad Ridwan Alimuddin

Dari sekian imam mesjid Al Hurriyyah Tinambung, ada satu yang melegenda. Mungkin karena sapaannya yang nyentrik dan mudah diingat, Imam Janggoq "imam berjanggut". Nama aslinya K. H. Achmad Alwy, ulama dari Pambusuang yang lahir di Mekkah di awal abad ke-20. Achmad lahir bisa lahir di Mekkah karena saat menunaikan ibadah haji, ibunya, bernama Puang Sapi, sedang hamil.

Selain belajar agama dari orangtuanya, K. H. Alwy "Annangguru Kaeyyang", juga berguru ke pamannya, K. H. Yasin (Annangguru Kacing, menjadi warga negara Arab Saudi dan wafat di sana), K. H. M. Ghalib (Annangguru Gale), K. H. Syed Hasan bin Sahil, dan K. H. Syahabuddin (bukan K. H. Syahabuddin pendiri Univ. As Syariah Mandar).

Imam Janggoq memegang amanah sebagai imam mesjid Tinambung dua periode. Pertama dari tahun 1936 – 1942, menggantikan ayahandanya yang wafat di tahun 1936, tepat 1 Ramadhan kala memimpin jamaah tarwih (imam) di rakaat terakhir shalat witir.

Jabatan imam dilepaskan ketika terlibat dalam perang kemerdekaan. Alwy muda terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Pambusuang. Hal itu membuatnya jadi buronan Belanda. Lewat campur tangan Imam Lapeo, Alwy diungsikan ke luar Mandar, berpindah dari satu pulau kecil ke pulau kecil lain di Selat Makassar dan Laut Jawa sambil tetap berdakwah.

Sang imam berjuang lewat organisasi Jami’atul Islamiyah dan KRIS Muda Mandar. Sebelumnya pada 1929 mulai aktif politik lewat partainya HOS Cokroaminoto, yaitu Partai Syarikat Islam Indonesia cabang Mandar.

Tahun 1959 bekerja di Kantor Legiun Veteran Cabang Mandar yang berkedudukan di Makassar di bawah pimpinan Riri Amin Daud. Tahun 1962 diutus ke Bandung mempelajari persuteraan alam. Imam Janggoq-lah pionir budidaya ulat sutera di Mandar, yang mana sebelumnya bahan baku benang sutera diimpor dari Cina.

Kembali diminta menjadi imam mesjid Tinambung pada awal Januari 1963. Andi Depu, sang Raja Balanipa, mengutus adiknya Abdul Malik Pattana Endeng ke Pambusuang, menemui K. H. Ahmad Alwy. Jabatan imam terus diembang sampai wafatnya, 19 Maret 1983. Makamnya di dalam "koqba" di Kompleks Makam Koqba, Pambusuang.

Sebagai ulama cum pejuang dan praktisi (sutera), Imam Janggoq aktif berdakwah, mengelola mesjid, dan sosial kemasyarakatan. Perawatan dan pengembangan mesjid Raya yang bertiang 100 buah, pagar-pagar, dan sebagainya, semuanya menjadi tanggung jawab beliau di samping menjaga agar jama’ah mesjid tetap terpelihara. 

Imam Janggoq-lah yang memulai pengadaan lampu listrik di mesjid Tinambung serta penyediaan "kollang" untuk berwudhu. Penting dicatat, masa Imam Janggoq-lah sehingga mesjid di Tinambung memiliki nama. Awalnya hanya disebut Mesjid Jami Tinambung untuk kemudian menjadi Mesjid Al Hurriyyah Tinambung.

BUKU SEJARAH DESA PARAPPE

PARAPPE DAN PUSAT PENDIDIKAN ISLAM DI MANDAR. 

Desa Parappe mungkin hanya setitik noda pada peta negeri ini, tapi noktah sejarah membeberkan kepada kita bahwa jauh sebelum Kappung Masigi (Desa Bonde) menjadi pusat keagamaan, di Banua Desa Parappe telah menjadi pusat pencetak ulama yang kemudian menyebar jadi seorang Annangguru di daerah lain. 

Buku ini memberikan informasi tentang Lamassagoni Tomatinroe Ri Dara'na, Syekh Muhammad Amin Tosalama Panyampa yang merintis pusat keagamaan yang ditandai dengan adanya sebuah langgar di Banua sebagai pusat pendidikan keagamaan. Dari sinilah Syekh Hasan Yamani merekam jejaknya ketika harus meninggalkan Kota Makkah saat terjadinya kudeta dari Wahabi. 

Dari Parappe inilah, embrio pendidikan Islam dimulai dan hingga hari ini, 2 Pondok Pesantren terbesar di Sulbar ada disini. 

Tertarik membaca bukunya? Silahkan terhubung dengan PUSAKAKU (Pusat Studi Sosial dan Kajian Kebudayaan).

Daftar Isi 

TARIAN PATTU'DU'



Buku Claire Holt yang bagus dan menarik, Dance quest in Celebes, yang memberikan deskripsi berbagai tarian dalam bentuk laporan perjalanan, telah menunjukkan kepada kita betapa Berbagai ekspresi tarian ditemukan di wilayah ini.

Pattu'du' ini dapat ditemukan di bentang alam Mandar di pesisir barat Sulawesi Selatan, kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh seorang Raja Mandiri dengan gelar Mara'dia, dibantu oleh dewan tokoh terkemuka, yang dalam bahasa resmi Sulawesi Selatan biasa disebut Hadat. Untuk membedakannya dari Maradia yang lebih rendah, yang menguasai wilayah yang lebih kecil dari mana Lanskap Berpemerintahan Sendiri dibangun, pangeran utama kadang-kadang juga disebut sebagai aradjang.

Pattu'du' muncul dari kalangan bawah serta dari kelas anggota hadat, dari topia. Dalam kasus pertama seseorang berbicara tentang pattu'du' sassaoarrang, karena tarian mereka adalah sassaoarrang, layanan wajib bagi raja, kategori kedua disebut sebagai pattoe'du' ke pia. Lebih jauh lagi, di lanskap Mandarian pattu'du' masih dibedakan menurut kampung atau distrik asalnya. Semua pattoe'du' ini membentuk kelompok terpisah yang terdiri dari sepuluh hingga enam belas anak perempuan atau laki-laki. Bahkan gadis-gadis dari kelas kerajaan suka menerapkan tarian ini; ketika gadis-gadis seperti itu hadir di pesta, mereka tidak membentuk kelompok terpisah, tetapi bergabung dengan salah satu kelompok lain, sering kali dalam pattu'du' sassauarrang. 

Perbedaan status diekspresikan terutama dalam pakaian. Gadis-gadis dari kalangan kaya dihias dengan harta karun berupa perhiasan emas senilai beberapa ribu gulden, dan mereka juga mengenakan semacam sarung negara dari kain polos yang berharga dengan ujung yang terdiri dari emas batangan kecil (a'di' ). Pakaian penari kelas bawah jauh lebih sederhana; perhiasannya juga tidak begitu banyak dan lebih murah.

Gadis-gadis nubile, yang mengenakan pakaian renang transparan yang bagus, dan gadis-gadis yang lebih kecil, yang tampil bertelanjang dada, juga dibagi menjadi beberapa kelompok. Atribut penari adalah kain sempit dari bahan halus, di salah satu ujungnya diikat semua jenis benda emas atau perak dan kipas.

Sedangkan anak laki-laki, mereka yang termasuk golongan mampu mengenakan cerutu sebagai hiasan kepala, gulungan kain merah yang dililitkan di kepala dan disulam dengan lempengan emas, pakaian yang di daerah Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan termasuk pakaian negara pangeran atau pengantin pria. Sebuah topi, biasanya dihiasi dengan manik-manik emas atau emas, adalah hiasan kepala para penari kelas bawah. Tombak, agak seperti kemoceng, dengan perisai yang menyertainya, peniup atau kipas, menjadi atribut yang digunakan oleh anak laki-laki.

Peristiwa pattu'du' terjadi terbatas pada beberapa upacara kerajaan yang berhubungan dengan ritual khusus, yang disebut pappogauang dalam bahasa Mandar. Kesempatan seperti pelantikan raja, perkawinan, pengarsipan gigi, upacara mengayunkan anak kecil, khitanan, dan lain-lain. Hanya ketika berita telah diterima dari bahwa pesta sudah dekat, pattoe'du' dimulai dari awal.
untuk memiliki tarian pattoe du di lingkaran keluarganya pada upacara-upacara penting. Di sana-sini terjadi juga pada festival pattoe'du' Mara'dia yang lebih rendah; penggunaan tersebut kemudian didasarkan pada alasan sejarah, izin dari den Aradjang, bagaimanapun, selalu diperlukan.

(Supplement op het Triwindoe-Gedenkboek Mangkoe Nagoro VII-1940)

FORMULIR UPDATE DATA SIMPUL PUSTAKA BERGERAKA


Salam Bergerak kawan-kawan semua. ๐Ÿ‡ฒ๐Ÿ‡จ
Semoga sehat dan selalu bahagia ๐Ÿ˜Š๐Ÿคฒ

Ditahun 2024 ini, dengan tetap membawa semangat kesetaraan, sama rasa dan sama raga. Pustaka Bergerak Indonesia terus berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada Simpul Pustaka. Oleh karena itu, diharapkan partisipasinya untuk membantu kami memperbaharui data simpul pustaka yang selama ini telah banyak membantu kita bersama.

Selain itu, pada formulir ini terdapat survei sederhana untuk meminta saran & masukan penyempurnaan layanan fasilitas Pustaka Bergerak Indonesia untuk para Simpul Pustaka. Oleh karena itu, kami harapkan diisi dengan sepenuh hati dan riang gembira serta jangan lupa siapkan secangkir kopi dan gorengan hangat jika ada ๐Ÿ˜…

Klik Link berikut :
https://s.id/updatePBI

Tidak lama, namun akan sedikit meminta waktu rekan-rekan. Tapi tenang, jika anda mengalami sedikit kesulitan. Silahkan hubungi kontak berikut :

+62 853-1172-3613 - Cak Mus
‪+62 822‑9032‑2224‬ - Sultan

Salam hangat,
Pustaka Bergerak Indonesia