Sabtu, 03 Februari 2024

CURIGA DALAM BUDAYA (Berpijak Pada Budaya “Ekspresi” Bunyi dan Melodi)


Oleh: Sahabuddin Mahganna

Di Sulawesi, terkhusus untuk Mandar yang umumnya mengandung makna dan simbolik. Klaim ketika menemukan pernyataan Timothy Rice (1994) “simbol-simbol yang mewakili banyak dunia” hampir seluruhnya selalu beragam jenis, sering ambigu dan sangat mungkin bertentangan. 

Pemahaman tradisi pada bunyi dan melodi Mandar didekap dari sisi nilai, merupakan perwujudan mendasar yang harus ditaati walau sifatnya absur, kendati demikian penguatannya selalu bertaruh pada keyakinan akan pentingnya memposisikan suatu benda maupun bukan, dan tidak jarang menjadi kunci dalam memutuskan setiap permasalahan atau perlakuan. Bunyi dan melodi Mandar kemungkinan akan bertentangan dengan paham lain atau tak mungkin sama dalam pemaknaan. 

Setiap simbol di Mandar oleh pelaku dan masyarakatnya jelas memiliki makna, meski tidak terlihat atau tak punya bukti sekalipun. Rasakan jika bunyi-bunyi sesuai dengan letak geografisnya di Mandar, juga akan mempengaruhi bagaimana alunan itu akan muncul. (Mis. Bunyi ombak yang ada didataran rendah Mandar, menandai dan seakan alunannya melow serta sangat berpotensi menemukan melodi dibandingkan ritmis. Berbeda yang dipegunungan, maka unsur yang paling menonjol adalah hentakan, namun seperti yang diakui banyak peneliti lainnya bahwa ini hanya mempunyai nilai penting saja. Dan masalahnya, estetika bunyi dan melodi yang sama-sama tak terlihat, menjadi fokus dan bimbang dalam memandang atau menilainya.

Tidak jarang, laku skeptis di Mandar ditemukan, dan itu kemungkinan akan berdampak pada pengetahuan yang berakibat dalam perkembangan atau pun keberadaan budaya yang sifatnya menghambat pelestarian, karena disadari atau tidak budaya ekspresi akan berjalan dinamis, kemudian di lain sisi, juga tetap diinginkan untuk terhindar dari kepunahan. Sebagaimana R. Anderson Sutton mengkaji bahwa penafsiran seni dan makna simboliknya sebagai sesuatu yang dibentuk, dilipatgandakan, dan cair, maka penting memandang budaya, identitas etnis, berserta tradisinya bukan sebagai kebenaran yang tak berbantah atas eksistensi manusia, sebab aspek-aspek ini pun merupakan hasil bentukan dan negosiasi aktor-aktor manusia. 

Kemunculan makna-simbolik dari adat, tradisi dan budaya disetiap tempat, memang sebagai primordialisme bentukan, lalu murni dikaji atas nama representasi, atau berpotensi diluruskan serta pula dibantah. Para pengkaji pun sebelumnya banyak mengadopsi dari hasil representasi itu, ternyata menghadapi satu tantangan dalam upayanya membawa kerana keilmuan, kendati pun ini sudah disederhanakan dirks (1990) bahwa “kontenstasi dalam sebuah kajian antropologi yang terlibat dalam mengulang-ulang dan menaturalisasikan tradisi dan adat merupakan sebuah usaha yang kompleks”. 

Benarkah, jika tradisi dan budaya kita saat ini mampu bertahan? Atau bisakah kita curiga dalam tradisi dan budaya?. Sedang kita mungkin tahu, bahwa lahirnya kebudayaan boleh jadi bukan atas dasar primordialisme bentukan, namun atas hasil tiruan dari pelaku yang munculkan sesuatu secara alami.

Jumat, 02 Februari 2024

SERIGALA BERTOPENG NABI (5)

Suatu hari 
Aku merelokasi semua bacaan jadi mantra
lalu mantra itu kerapal di setiap bilik suara
Aku lupa bahwa aku bukan politisi
sebab politisi ternyata jidatnya jadi lautan arang 
dan doa-doanya makbul oleh material yang kadang lupa dicuci oleh warga.

Suatu hari 
Aku dengan sangat patuh dan menganggap semua politisi adalah makhluk yang layak dipatuhi
Tanpa sadar aku jadi pengikut sebab partai lupa mengkader
Aku akhirnya tersadar bahwa kepatutatan harusnya pada orang yang patut dipatuhi. 
Orang itu tentu bukan politisi, sebab aku bukan caleg

Hari ini
atribut dan kebanggaan politisi itu telah kutanggalkan
tapi belum kutinggalkan
sebab aku masih melihat harapan terbit dari sorot mata para petani yang ke pasar menjual hasil kebun tapi ternyata harus menggadaikan jam tangannya untuk bisa kembali ke rumah

Hari ini
Akulah politisi itu
Bukan mereka yang namanya berderet di surat suara
Bukan mereka yang fotonya jadi gambar mata uang 
Akulah politisi itu
Bukan mereka yang tanpa sadar mengeja Tuhan 
Bahkan memaksa Tuhan meladeni keinginannya
Lalu ketika Tuhan enggan melayani
Tuhanpun dipenjara pada dinding masjid 
"ini karpetmu Tuhan
ini tegel dan marmermu Tuhan
Jika Tuhan butuh aku, panggillah pake TOA
ini deposito buat membangun rumahmu bagi anak-anak
Tinggallah di rumahmu
sebab di rumah rakyat, kadang Tuhan rewel jika ikut ke ruang paripurna"
Kata mereka

Dan......saat ini
Label dan sematan politisi itu benar-benar kutinggalkan
sebab ternyata menjadi rakyat jauh lebih politis.....
Bahkan tak jarang jadi puitis ketika menemukan politisi di ujung jalan. 

Muhammad Munir
Katitting, Desa Tandung, Januari 2019

BUKU JARINGAN MARITIM MANDAR


SAMBUTAN
Susanto Zuhdi
Profesor Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 
Universitas Indonesia

Dengan suka cita, saya menyambut baik atas penerbitan buku karya Dr. Abd. Rahman Hamid. Buku ini berasal dari disertasi yang dipertahankannya dalam ujian promosi di Universitas Indonesia pada 18 Januari 2019. Hamid adalah salah satu mahasiswa terbaik, yang pernah saya promosikan sebagai doktor Ilmu Sejarah. Dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) nyaris 4 (empat),  sebetulnya ia memenuhi syarat untuk memperoleh pujian (cum laude) dalam yudisium promosi tersebut. Oleh karena masa studi yang berlebih, maka hal itu tidak berhasil diraihnya. Akan tetapi itu tidak terlalu penting, sebab jauh lebih bermakna ketika disertasi itu diterbitkan sehingga dapat dibaca khalayak lebih luas. Banyak disertasi doktor di Indonesia atau yang dibawa dari luar negeri, tidak diketahui apalagi dibaca publik, karena hanya tersimpan di rak buku pribadi atau perpustakaan saja. Hal itu patut disayangkan karena masyarakat Indonesia masih memerlukan banyak bacaan sejarah bermutu guna mendukung gerakan literasi nasional. 

Pilihan pada tema sejarah maritim dan fokus pada suatu kawasan serta suku bangsa Mandar, yang terabaikan dalam historiografi Indonesia, merupakan kontribusi penting penulis buku ini untuk dicatat. Seperti ingin memenuhi anjuran Nakhoda Sejarah Maritim Indonesia, Adrian B. Lapian (1929—2011), Hamid telah mengisi rumpang studi sejarah maritim di Selat Makassar, dengan fokus pada dua pelabuhan “kembar”, Pambauwang dan Majene. Dengan memilih periode panjang antara 1900—1980, Hamid pun hendak meneruskan model kajian Lapian mengenai kawasan Laut Sulawesi dalam Abad XIX. Jika Lapian berhasil membuat kategorisasi orang laut raja laut bajak laut, Hamid berjaya dalam membuat model pelabuhan “kembar” yang komplementatif  peranannya  dalam jaringan maritim yang bertolak dari Selat Makassar. Hamid juga berhasil membuat empat pola pelayaran yang disumbangkan Mandar dalam peta pemahaman pelayaran Nusantara yakni pelayaran pantai, pelayaran selat, pelayaran lintas selat, dan pelayaran lintas laut lepas. 

Jangkauan jaringan maritim yang digerakkan orang Mandar melalui pelayaran dan perdagangan, seperti digambarkan Hamid, tidak sebatas di Selat Makassar. Dalam masa kejayaan khususnya dalam periode 1900—1940, pelayaran Mandar ke timur hingga  Ambon maka dikenal lah era ini sebagai ’Masa Ambon’. Sedangkan jangkauan pelayaran Mandar ke barat sampai ke Singapura sehingga periode ini masih diingat sebagai ‘Masa Singapura’. Periode 1940—1951 dicatat sebagai masa surut, namun pelaut Mandar masih bertahan. Alhasil pelayaran orang Mandar seperti dipaparkan dalam buku ini, telah merajut pulau-pulau hampir ke seluruh bagian Nusantara: ke barat hingga pantai barat Sumatera di Samudera Hindia, dan Singapura hingga Selat Malaka, ke timur sampai pantai  barat Papua, dan Ternate. Sedangkan ke utara mencapai Tawao ke selatan hingga Flores dan Timor.  

Dalam periode terakhir (1952—1980) pelukisan Hamid mengenai jaringan pelayaran Mandar dari pelabuhan berlangsung hanya dari Pambauwang ke Majene. Dalam masa ini, pemerintah  mengeluarkan peraturan untuk memberantas penyelundupan dan perompakan, karena gangguan keamanan di Selat Makassar, yang dipicu pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pelabuhan Majene dan Pambauwang menjadi rebutan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan DI/TII. Faktor itulah sebagai penanda berakhirnya kejayaan pelayaran Mandar yang menyebabkan runtuhnya pelabuhan Pambauwang. Sejak itu banyak orang Mandar keluar berdiaspora ke pulau-pulau kecil di Kalimantan Selatan dan membangun jaringan di pantai barat Sulawesi.

Capaian tidak kalah penting dari karya Hamid adalah dalam pendekatan struktural yang ia gunakan. Kajian sejarah dengan pendekatan ini tidak selalu menghasilkan kisah yang datar membosankan atau sejarah tanpa manusia, tanpa agensi. Dalam dekade 1950—1960 ketika masa surut justru menampakkan jaringan Majene yang menghasilkan pengusaha sukses seperti Pua Abu dan Haji Sakir. Struktur tidak selalu menjadi kendala tetapi sebagai peluang bagi agensi yang mampu memanfaatkannya. Dualitas struktur seperti dikemukakan Anthony Giddens, coba diuji oleh Hamid sehingga akan terbuka kajian lebih luas dan mendalam dari aspek ini. 

Kini telah bertambah lagi deretan karya sejarah maritim dari tangan sejarawan Indonesia, yang masih dalam hitungan jari. Apalagi dengan telah berpulangnya dua sejarawan maritim dari Universitas Hasanuddin dalam satu-tiga tahun belakangan, tempat Hamid kini mengajar sebagai staf dosen tidak tetap. Dengan penyampaian kalimat yang lugas, buku ini mudah dicerna.   

Selamat membaca

Depok, April 2020.

MUAZ ABDULLAH ||Mengubah Tantangan Jadi Peluang


Muaz Abdullah adalah putra Mandar kelahiran R. Soeparman Wonomulyo yang dalam tubuhnya juga mengalir darah Pattae, Pattinjo dan Batak (marga Matondang). Ia lahir dari rahim Hj. Sania setelah dipersunting oleh seorang perwira polisi bernama Abdullah. Abdullah Matondang mentahbiskan hidupnya jadi pengayom masyarakat Mandar pada era 70an sampai 90an. Ia bahkan pernah menjabat sebagai Kapolsek Sumarorong dan beberapa daerah lain menjadi jejaknya dalam mengabdi pada negara lewat lembaga Polri. 

Muaz tercatat sebagai Caleg DPRD Sulbar di Partai Golkar punya kisah yang tergolong rumit hingga akhirnya bertengger diantara deretan  No. 7 dapil Polman A atau Sulbar 3. Keputusan Muaz beranjak dari dunia bisnis dan terjun ke dunia politik tentu bukan keputusan biasa, melainkan sebuah pilihan yang harus siap ditampar oleh resiko. Sebab hari ini, dunia perpolitikan kita telah tercerabut dari akar sejarahnya. Politisi yang bertarung di beberapa Pemilu pada dua dekade terakhir ini sungguh harus membuat kita ikut resah dan prihatin. Mereka tanpa malu menjadikan uang sebagai tameng untuk mempedaya rakyat demi sebuah ambisi kekuasaan yang ambigu. Ketidak mampuan mereka bertarung secara demokratis memaksa mereka berlogika uang. Anehnya, rakyat yang menjadi konstituen mereka ikut gembira meski hanya ketemu uang recehan setiap 5 tahun. 

Inilah fakta hari ini, politisi tak berintegritas dan rakyat tanpa karakter telah menguasai negeri ini. Kenyataan ini tentu tak harus dibiarkan, sebab jika demokrasi dan rakyat telah terbeli oleh para pemilik uang, maka negara ini berada diambang kehancuran. Ini salah satu aksi bunuh diri negara jika kita tak memiliki kesadaran kolektif untuk menghentikan nyanyian dan goyangan asyik politisi kotor. 

Maka tidak salah jika kemudian Muaz, Entrepreneur yang sempat sukses di Bumi Vovasanggayu ini membuat keputusan yang terkesan berani. Meninggalkan area Pasangkayu berarti menanggalkan ratusan bahkan miliaran pundi rupiah untuk masa depannya. Tapi bukan Muaz jika tak berani mengambil resiko. Muaz adalah sosok yang menjadikan uang sebatas telapak tangannya saja. Uang dan kekayaan tak pernah merajai hatinya. Itulah Muaz. Maka kemudian ketika lahir keputusan menjadi politisi ia dengan gampang mengucap Bismilllah.... Kita berjuang untuk rakyat, menang bersama rakyat dan harus senang bersama rakyat pada setiap kontestasi Pemilu lima tahunan.

Keputusan itu lahir 3 tahun lalu dan mulai berdialektika dengan warga yang terkesan abai padanya, karena dianggap tak pantas jadi wakil rakyat. Penilaian itu tentu saja tidak salah, sebab mereka kebanyakan memahami politisi adalah mereka yang berjubel, berdasi, bergaya dan harus tampak gagah karena bermodal. Muaz tak memiliki itu. Muaz tak punya sejumlah rekening gendut selain harapan untuk mengabdi. Apakah politik bisa diraih hanya dengan harapan? Tentu saja tidak. Apakah menjadi anggota DPR mutlak harus dengan uang? Tentu saja tidak. Sebab selain uang, jabatan politik bisa diperoleh dari soliditas keluarga. Keluarga yang komitmen membangun solidaritas dengan keluarga yang lain. Keluarga yang berani tampil beda sebagai mitra utama mengubah peluang jadi tantangan. Menjadi kelompok keluarga yang pada akhirnya meretas kemustahilan menjadi kemungkinan yang MUNGKIN. 

Mungkin ini berat, mungkin ini tak mudah, mungkin juga tidak mungkin. Tapi jika kita yakin dan berfikir kolektif untuk menang. Maka mulai hari ini mari tularkan keyakinan kita bersama Muaz dengan cara rebut semua suara keluarga. Minta sebanyak-banyaknya doa rakyat agar pada Pemilu 14 Februari 2014, suara Muaz di setiap TPS jadi Pantastis. Amin. Mari Menjadi Keluarga MUAZ ABDULLAH, SE. 
Selamat Berjuang. 

Minggu, 17 Desember 2023

KOA-KOAYANG

 

KOA-KOAYANG berasal dari nama koa', sejenis burung yang sudah jarang ditemukan dan hampir punah. Burung koa’ ini mempunyai ciri berbadan besar, terbang tinggi sekuat tenaga. Menurut Nurdin Hamma (budayawan Balanipa), selain 'koa' burung ini dahulu dijuluki 'kali arung' (kali artinya kadhi atau hakim dan arung adalah yang dituakan atau pemimpin) . Burung kali arung ini diberi kesempatan oleh tuhan meluruhkan seluruh bulunya dan mentakdirkannya jatuh sebelum menggapai arasy.
Dahulu kala, koa-koayang dikenal dengan nama 'pammanu-manu', ini menjadi ritual pada acara pernikahan di Mandar. Pammanu-manu ini dilaksanakan pada malam setelah proses akad nikah disiang harinya. Mempelai wanita dipakaikan kostum dari sarung yang tak dikenal oleh mempelai laki-laki. Sehingga lelaki harus mencari dan mengejar wanitanya sampai ia dapatkan. Ini menjadi sebuah ritual pernikahan yang mengandung hiburan.
Perjalanan selanjutnya kemudian dieksflorasi menjadi seni pertunjukan seni tradisi parrawana tommuane yang kemudian dinamai pakkoa-koayang. Pada fase ini pakkoa-koayang menjadi sebuah seni pertunjukan yang berlangsung puluhan tahun dan tampil kadang dibuatkan panggung. Untuk saat ini, kelompok parrawana tommuane yang masih melestarikan tradisi ini adalah kelompok rebana yang ada di Lamase Kec. Tinambung.
Pakkoa-Koayang pertama kali diangkat dalam seni teater oleh kelompok Teater Flamboyant (TF) yang diberi judul Koa-Koayang. Sutradara Teater Koa-Koayang awalnya Amru Sa'dong sekaligus penulis naskahnya tahun 1997, lalu adaptasi naskah Koa-koayang yang ditulis Rahman Baas pada pentas teater di TMII Jakarta tahun 2010 yang di sutradarai oleh Ramli Rusli beberapa kali. Kemudian pentas trater koa-koayang 2014 kembali di Jakarta disutradarai oleh Candrawali, kemudian teater koa-koayang 2015 di Mamuju kembali sutradarai oleh Ramli Rusli.
Tahun 1997 itu menjadi momentum paling bersejarah karena lewat penampilan dipentas seni teater di IAIN Sunan Kalijaga Jogyakarta ini, melahirkan sebuah konsep cerdas mengenai pembacaan kondisi bangsa Indonesia dibawah pemerintahan Soeharto selama 32 tahun. Lewat bangsa koa-koayang dari Mandar ini sampai pada simpulan bahwa Indonesia selama ini berada di selangkangan elit yang tak serius dan kesalahan paling besar terletak pada ketidak seriusannya dalam pengertian tidak boleh berfikir normal dalam situasi tidak normal.

SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.
#ensiklopediasulbar #pusakaku_official #mandar #pusakaku

Minggu, 10 Desember 2023

JEPA

JEPA adalah makanan tradisional yang terbuat dari singkong atau ubi yang diparut terlebih dahulu kemudian diperas untuk menghilangkan kadar airnya dan kemudian diayak dan dicampurkan dengan parutan buah kelapa untuk memberinya rasa gurih dan nikmat. 

Jepa dapat dijadikan sebagai bahan makanan pokok, pengganti nasi karena kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi, seperti yang selalu dijadikan bahan logistik oleh para nelayan Mandar saat melaut, dimana di laut lepas mereka membutuhkan bahan makanan yang dapat disajikan dengan cepat sebagai pengganti nasi. Pada beberapa orang yang telah berumur dan mengidap penyakit sistemik seperti diabetes melitus maka jepa dapat dijadikan bahan makanan non nasi yang dikonsumsi saat makan siang dan makan malam. Kandungan karbohidratnya kurang lebih sama dengan yang dikandung oleh nasi. 

Untuk jenis-jenis jepa anda dapat menemukannya dalam berbagai macam modifikasi, pengggolongan jenis jepa adalah berdasarkan bahan pembuatnya, misalnya saja : 1. Jepa katong, yaitu jepa yang terbuat dari katong atau sagu 2. Jepa golla mamea, yaitu jepa yang memiliki campuran gula merah atau gula aren di dalamnya 3. Jepa-jepa, yaitu jepa dengan ukuran yang lebih kecil (bahan logistik utama nelayan Mandar saat melaut) yang dibuat dengan membuat permukaan jepa agak tipis lalu kemudian dijemur, setelah dijemur ia kemudian dihancurkan, lalu untuk proses penyajiannya bisa dicampurkan dengan gula aren atau dengan potongan daging kelapa muda.

Membuat bahan utama jepa sederhananya adalah dengan terlebih dahulu memarut ubi kayu atau singkong, lalu kemudian hasil parutan tersebut diperas untuk dikeluarkan kandungan airnya. Ampas yang tertinggal lah (berwarna putih) yang menjadi bahan utama pembuatan jepa. Ini yang lalu di campur dengan bahan-bahan lain untuk melengkapi bahan utamanya misalnya dengan menambahkan parutan kelapa, atau gula merah (gula aren). Untuk jepa yang seperti biasanya, tanpa campuran apa-apa bahan utama ini kemudian ditaburkan diatas piring berbentuk bundar dari tanah liat dan dipanaskan diatas tungku. Wanita Mandar biasa menggunakan tungku yang terbuat dari tanah liat untuk memanaskan jepa. 

Untuk membuat kuliner Mandar yang lezat ini kaum wanita atau ibu-ibu biasa membuatnya dengan alat yang disebut dengan nama panjepangang dengan bentuk seperti piring namun dengan permukaan yang halus terbuat dari tanah liat. Membuat jepa membutuhkan keterampilan dalam menuang bahan baku diatas panjepangang dengan gerakan yang agak cepat dan terukur, jika terlalu lama memanggangnya maka permukaan jepa akan terlihat hitam, cukup dengan membuatnya berwarna coklat keemasan maka jepa tersebut sudah bisa diangkat.

Menyinggung soal nilai gizi jepa, sepertinya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap hal ini. Proses pengolahannya yang sedemikian rupa mungkin saja akan mengurangi beberapa kandungan gizi didalamnya. Belum lagi metode pengolahan yang lama seperti misalnya dengan pengeringan. Namun sejak dulu kuliner ini telah menggantikan fungsi beras atau nasi sebagai karbohidrat yang notabene digunakan sebagai sumber energi untuk tubuh. Sejatinya jepa telah lama berfungsi sebagai sumber karbohidrat efisien yang mudah dibuat.

SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.
#ensiklopediasulbar #pusakaku_official #mandar #pusakaku 


 

Selasa, 14 November 2023

KONE-KONE'E

KONE-KONEE  adalah salah satu jenis bahasa yang banyak digunakan oleh komunitas masyarakat di Campalagian, Mapilli dan Nepo/buku. Wilayah ini dikenal  sebagai daerah Tallum boccoe pada masa sesudah kerajaan Passokkorang hancur. Kone-Konee  memiliki sejarah yang amat unik, Campalagian pun termasuk kampung yang unik karena ia hanya menyandang nama sebagai nama kecamatan tapi tak diketahui dan tak dikenal dusun Campalgian, desa Campalagian, yang ada kemudian adalah kampung  atau pasar Tomadio.

Sejatinya, masyarakat Campalagian menggunakan bahasa Mandar, tapi ternyata tidak. Mereka memiliki bahasa sendiri yang sangat jauh berbeda dengan bahasa Mandar. Bahasa kone-konee adalah bahasa Bugis dialek ke tujuh. Almarhum Prof. Darmawan pernah bercerita bahwa dulu ada kampung yang bernama Cempalagi di Bone, Sulawesi Selatan, yang didiami oleh masyarakat Bugis. Saat itu masih jaman kerajaan, suatu hari terjadi perebutan kekuasaan antara kakak beradik yang ingin menggantikan tahta ayahnya  sebagai raja yang telah baru saja meninggal dunia. Pemilihan pun dilakukan, namun karena sang kakak mempunyai watak keras, sombong dan serakah maka tidak ada rakyat yang mendukung.

Sebaliknya sang adik yang baik hati dan dermawan didukung penuh oleh rakyat di Cempalagi (sebuah nama gunung yang terletak di pesisir teluk Bone),  tepatnya di Desa Mallari Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone, kira-kira 14 km di sebelah utara kota Watampone).

Sang kakak pun marah karena tidak terima kekalahannya. Ia pun berniat membunuh sang adik. Berkat ketulusan sang adik, ia mundur menjadi raja dan menyerahkan tahtanya kepada kakaknya. Namun sang kakak sudah terlanjur marah, sehingga ia tetap tidak terima keputusan adiknya itu. Akhirnya sang adik dan semua rakyat yang mendukungnya memutuskan untuk kabur dari Campalagi menuju daerah yang aman. Sang kakak ternyata tetap mengejar adik dan semua rakyat yang ikut. Akhirnya sang adik tiba di perbatasan kerajaan Balanipa (yang saat itu dibatasi oleh sungai Mapilli). Mereka  berharap mendapat perlindungan dari Balanipa karena ia tau kakaknya tidak mungkin masuk ke kekuasaan kerajaan lain.

Selang beberapa lama kemudian,  raja Balanipa akhirnya memutuskan untuk memberikan satu wilayahnya kepada sang adik raja Campalagi ini untuk tinggal bersama pengikutnya asalkan mereka mau tetap tinggal di Balanipa. Sang adik dan pengikutnya setuju dan gembira dengan keputusan raja Balanipa tersebut.

Akhirnya mereka semua tinggal dan menetap di Balanipa dan wilayah itu diberi nama Campalagian. Jadi jangan heran jika orang di wilayah ini memakai bahasa kone-kone’e yang tak lain adalah bahasa Bugis dialek ke tujuh.

SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.


 

Senin, 13 November 2023

KULIWA

KULIWA merupakan ritual yang banyak dilaksanakan oleh masyarakat Mandar entah di pesisir maupung di pegunungan. Kuliwa dalam pandangan masyarakat terkesan menjadikannya sebagai sesuatu yang hukumnya ‘wajib’ dilaksanakan. Kuliwa sesungguhnya adalah simbol pernyataan syukur kepada sang pencipta atas sebuah pencapaian atau reski dari-Nya.

Pada masyarakat pesisir, kuliwa dilaksanakan ketika akan “meresmikan” sesuatu, baik benda maupun kegiatan, misalnya: meresmikan perahu, alat tangkap (jala dan gae) dan ketika memulai kegiatan penangkapan. Mereka meyakini, jika tidak melakukan kuliwa ketika akan memulai turun ke laut (pelayaran pertama), maka boleh jadi akan ada sesuatu hal yang merisaukan hati di dalam pelayaran.

Dalam prakteknya, kuliwa dilaksanakan ketika akan ‘meresmikan’ sesuatu, baik benda maupun kegiatan, misalnya: meresmikan perahu, alat tangkap dan ketika memulai kegiatan penangkapan (setelah lama tidak melaut). Nelayan biasa juga melakukan kuliwa dalam pertengahan musim motangnga ketika pada beberapa operasi pertama mereka tidak memperoleh hasil.

Kuliwa dilaksanakan di kediaman punggawa posasi’ yang dipimpin oleh seorang pemuka agama (panrita) dan dihadiri oleh awak kapal (sawi kappal). Jika meresmikan perahu, acara kuliwa (pembacaan barasanji) dilaksanakan di atas perahu. Demikian juga ketika meresmikan roppong yang telah selesai dibuat, tapi praktek kuliwa untuk roppong sudah lama tidak dilaksanakan. Acara inti dalam kegiatan kuliwa adalah pembacaan barasanji yang dipimpin oleh seorang pemuka agama. Selesai membaca barasanji, dilanjutkan dengan pembacaan do’a kepada Allah SWT untuk memohon keselamatan dan rezeki. Kemudian acara dilanjutkan dengan menyantap hidangan yang telah disediakan.[1]

Pada sebagian besar masyarakat pegunungan, kuliwa dilakukan pada saat mendapatkan anugerah berupa pembelian barang berharga seperti mesin atau kendaraan bermotor. Kuliwa dilakukan dengan menggelar ritual do’a selamatan untuk barang yang mereka baru saja beli. Bagi kedaraan atau mesin biasanya menggunakan makanan yang manis-manis. Ini merupakan ussul agar dalam menggunakan barang tersebut selalu diberkati oleh Allah hal-hal yang menyenangkan dan terjauhkan dari hal-hal yang merisaukan.
SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.


 

Minggu, 12 November 2023

KAWAO

KAWAO adalah ‘gurita raksasasa’ yang dipercayai sebagai isyarat baik atau sebaliknya pertanda buruk bagi nelayan yang sedang melaut. Agar terhindar bertemu dengan kawao, perlu disiapkan sesajian berupa makanan atau telur yang dibuang ke dalam laut sebagai persembahan.
Kepercayan kepada makhluk gaib seperti kawao ini juga ditemukan dalam kepercayaan nelayan di Wakatobi dan mereka menyebutnya dengan gurita berkaki sembilan. Kawao di tengah laut bisa ditafsirkan sebagai pertanda akan terjadi musibah atau malah sebaliknya yaitu, keberuntungan. Makhluk kawao ini sering dilihat atau muncul di tempat-tempat tertentu seperti di Baturoro di Kabupaten Majene atau di Tanjung Rangas (semacam segitiga bermuda) di laut Mandar (Dahri Dahlan, Rahman Hamid, 2018).
Kemunculan kawao ditengah laut menurut Suradi Yasil (2022:81), dari kejauhan matanya yang sebesar bola kaki menyala seperti lampu listrik yang menyala kemerah-merahan. Ketika mendekat seluruh jari-jarinya (tentakel) tampak menyala di dalam laut. Ia menyerang dengan melilitkan salah satu jari-jarinya melingkari badan perahu atau menarik tiangnya lalu membalikkannya. Giginya seperti paruh burung kakatua sebesar kapak yang dapat melukai atau membunuh mangsanya.
Untuk menghindari serangan kawao, maka awak kapal ketika berada diperairan yang disinyalir tempat tinggal kawao seperti di Pulau Sembilan (antara pulau Kalimantan Selawesi), termasuk Tanjung Ngalo, Tanjung Buku dan lainnya akan memadamkan lampu atau memindahkan semua benda yang menyala di perahu. Ritual membuang terasi atau tembkau di laut adalah salah satu cara yang dilakukan para awak kapal. Ada juga yang menirukan suara kokok ayam untuk memberikan rasa takut pada makhluk ini sebab suara kokok ayam identik dengan daratan dan kawao tidak menginginkan tinggal di dekat perkampungan.
SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.

 

Senin, 06 November 2023

CALONG

CALONG (1) atau paccalong adalah ragam kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Mandar. Calong ini adalah salah satu jenis musik yang sangat unik, karena hanya terbuat dari bahan dasar buah kelapa dan bambu.

Alat musik ini biasanya dimainkan secara solo. Pada masa sebelum tahun 90-an  banyak dijumpai jenis musik ini dimainkan oleh para petani yang sementara mitteppe (menunggu kebun yang sudah menjelang panen) termasuk maqdongi (menjaga burung yang mengganggu/memakan padi yang sudah berisi dan siap panen), biasa juga di pakai di rumah-rumah pohon tempat menunggu langsat (rang-orang).

Jenis alat musik ini kerap digunakan masyarakat sebagai penghibur dari rasa sunyi dan kesepian (karena waktu itu belum ada alat pemutar musik). Calong ini kemudian dalam perkembangannya mengalami kemajuan dan biasa di mainkan/di pentaskan secara massal, seperti yang terlihat pada pembukaan pekan olahraga Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2007 lalu di Polewali Mandar. Dan bahkan Sahabuddin (Kanne Bala) memoles jenis kesenian tradisional ini menjadi sebuah pertunjukkan yang menarik dan menghibur karena dikolaborasikan dengan beberapa alat musik lainnya seperti biola dan harmonika yang di selenggarakan pada peringatan HUT Sulbar ke-8 di Gor Mario Pappang Campalagian dalam pameran dokumentasi perjuangan dan diskusi sejarah bertajuk “Mengguat Senyum Westerling” (19 November 2012).

Hal yang sama dilakukan oleh rumah musik Beru-Beru Orchestra Kandemeng Pimpinan Ainun Nurdin. Di komunitas ini segala macam musik tradisional dikolaborasi, ditampilkan dalam even-even resmi dan diajarkan secara gratis (tidak ada pungutan resmi dari pihak rumah musik).