Rabu, 30 September 2020
Sabtu, 21 September 2019
Mandar Writers And Culture Forum 2019
“Ajarkan sastra
kepada anak-anakmu karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi
pemberani” Demikian Umar Bin Khattab RA berwasiat. Andai sebagian besar manusia
‘menyukai’ sastra, maka bisa dibayangkan betapa dunia ini akan dipenuhi oleh
manusia-manusia pemberani namun berhati lembut, bak Umar bin Khattab. Sayang
sekali, hanya segelintir orang yang tertarik pada dunia sastra.
Di tengah ruwetnya persoalan bangsa, di tengah hancurnya
moral bangsa, dari kenakalan, hingga korupsi yang masih saja menggerogoti
negara ini, sastra hadir, diantaranya
untuk mengembalikan ruh bangsa yang telah nyaris mati. Maka telah menjadi tugas
kita, para pelaku sastra, untuk menyebarluaskan nilai-nilai moral yang tertuang
dalam karya-karya sastra dalam beragam bentuk.
Di zaman pra dan awal kemerdekaan, banyak karya-karya
fenomenal yang mampu mempengaruhi pola pikir dan pola sikap masyarakat.
Sebutkan beberapa roman, diantaranya Siti Nurbaya. Bahkan sampai saat ini
ungkapan ‘ini bukan zaman siti Nurbaya’ masih sering diucapkan sebagai kalimat
penolakan atas suatu perjodohan. Pertanyaannya, mampukah kita, dewasa ini, di
tengah rendahnya budaya literasi masyarakat, juga menghasilkan karya yang
mengisnpirasi?
Sastra bukan sekedar roman picisan yang hanya membuat
pembaca berurai air mata atau tersenyum bahagia. Sastra bukan sekedar kisah
yang kalau tidak happy ending pasti sad ending. Lebih dari itu, sastra
sejatinya berangkat dari keresahan hati akan realitas sosial yang terjadi.
Sastra adalah cerminan masyarakat di mana sebuah karya sastra berasal.
Maka, tidak bisa dipungkiri, sastra memegang peranan penting
terhadap pemulihan-pemulihan kondisi sosial yang kita alami sekarang. Karena
itulah, membudayakan sastra, mengajak para generasi untuk cinta membaca dan
menulis, atau sekedar menikmati sajian-sajian budaya, adalah salah satu yang
harus dilakukan demi terwujudnya masyarakat beradab dan berbudaya.
Untuk tujuan itulah sehingga MANDAR RITER ADN CULTURE FORUM I 2019
digagas dan dihelat untuk wilayah Sulawesi Barat. MWCF I 2019 dilkasanakan
bekerjasama dengan beberapa komunitas literasi Kegiatan ini merupakan forum
pertemun para penulis dan pekerja-pekerja kreatif di Sulawesi Barat sebagai
sebuah perayaan atas karya-karya yang telah dihasilkan. Kegiatan ini rencananya
akan dilaksanakan setiap tahun. MWFF diharapkan menjadi ruang berkreasi
menuangkan imajinasi menjadi sebuah karya yang menginspirasi.
NAMA KEGIATAN
Mandar Writers and
Culture Forum I (MWCF I) 2019
TEMA KEGIATAN
Putika: Spiritual, Sosiologis dan Masa Depan Mandar
TUJUAN KEGIATAN
Kegiatan
MWCF I 2019 bertujuan :
1. Memberikan
ruang bagi Penulis-penulis di Sulawesi Barat untuk berkreasi.
2. Memperkenalkan
budaya literasi bagi masyarakat Sulawesi Barat.
WAKTU PELAKSANAAN KEGIATAN
Mandar Writers and Culture Forum I (MWCF) I 2019 akan dilaksanakan pada
tanggal 25- 28 Oktober 2019Kontak Person
Muhammad Munir :
WA 082113008787
telp. 085228777027
HUSNI DJAMALUDDIN: "Ya, Betul. Dia Panglima. Titik!".
Catatan Muhammad Munir
Foto alm.Husni Djamaluddin saat Megawati Soekarno Putri kunjungan kerja ke Polewali Mandar, 26 Juni 2004 |
15 Tahun Sulawesi Barat ini, izinkan saya melisan tuliskan sosok Husni Djamaluddin, kendati saya bukan orang orang yang pernah berguru langsung. Bertemu pun tak pernah selain hanya melihatnya beberapa kali dalam kurun waktu 1999, 2000, 2001 dan terakhir 2004, itupun hanya sekedar melihatnya sepintas.
Pernah suatu ketika saya ditanya siapa yang menjuluki Husni Djamaluddin sebagai Panglima Puisi?. Pertanyaan ini tentu saja membuat saya tersentak sebab pembacaan dan pemahaman saya tentang beliau sebatas pada Trilogi Bacaan: Husni Djamaluddin Yang Saya Kenal; Adakah Kita Masih Bertanya?; Indonesia, Masihkah Kau Tanah Airku?. Saya yakin pertanyaan ini akan terus muncul dan bisa menjadi bom waktu bagi penggiat literasi ketika tak mampu memberikan jawaban.
Jumat, 10 Mei 2019
Minggu, 06 Mei 2018
Melacak Jejak Topole di Balitung (3) "Gara-Gara Literasi"
Melacak Jejak Topole di Balitung (3)
"Gara-Gara Literasi"
Pak Mansur dan Danu |
Secara geografis
Pulau Belitung berada pada posisi 2°30’ - 3°15’ Lintang Selatan dan 107°35’ -
108°18’ Bujur Timur pada bagian utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan,
sebelah timur Selat Karimata, sebelah Barat berbatasan dengan Selat Gaspar dan
batas Selatan dengan Laut Jawa. Pulau Belitung banyak dikelilingi pulau-pulau
besar dan kecil dengan jumlah sekitar 189 pulau. Luas wilayah Pulau Belitung
seluas 34.496 km² terdiri dari 4.800 km² daratan dan 29.606 km² perairan.
Daerah ini sekarang terbagi dalam dua wilayah kabupaten, Kabupaten Belitung
yang terletak di bagian barat pulai ini beribukota Tanjungpandan dan Kabupaten
Belitung Timur yang ibukotanya adalah Manggar. Di Belitung Timur inilah Ahok (Basuki
Tjahya Purnama) pernah menorehkan sejarah sebagai Bupati.
Setelah jadi Bupati, Ahok kemudian
mencoba meraih peruntungan ke Senayan dan lolos jadi Anggota DPR RI untuk
selanjutnya jadi Wakil Gubernur mendampingi Jokowi. Setelah Jokowi jadi RI 1,
Ahok kemudian menempati posisi nomor 1 di DKI. Untung tak dapat diraih, malang
tak dapat ditolak, Ahok disandung perkara Al-Maidah 51 yang terkesan
dipolitisasi sehingga harus menjadi pesakitan dan sekarang harus berada di
Hotel Prodeo. Gaerah Belitung Timur saat ini dinakhodai oleh saudara Yusril
Ihza Mahendra. Adapun Kabupaten Belitung yang ibukotanya Tanjungpandan ini
menjadi tujuan utama untuk melacak Jejak I Calo Ammana Wewang. Rupanya disini
pula DN. Aidit, tokoh sentral dalam perbincangan dan literatur Komunis
Indonesia ini dilahirkan.
Senja mulai menggoda, gemercik air
dari sungai kecil dibelakang Kandang Gapabel ikut menjadi penikmat suasana.
Diskusi tentang I Calo Ammana Wewang semakin seru ketika Mansur Mas’ud muncul
memenuhi panggilan Bang Yongki. Mansur Daeng Sila adalah sesepuh masyarakat
Bugis Belitung yang di internal Gapabel termasuk dituakan. Wajahnya sangat
familiar bagiku. Bukan lantaran sebelumnya sudah pernah bertemu, tapi lebih
disebabkan oleh kemiripan wajah dan postur tubuhnya dengan A’ba Tammalele.
Dalam hatiku, ini mungkin orang Mandar, bukan orang Bugis. Tapi bagaimanapun
antara Bugis dan Mandar sesungguhnya merupakan sebuah kesatuan yang utuh dan
integral ketika kita mentadabburinya dengan pepesan dari leluhur.
Kendati Pak Mansur juga barusan
mendengar nama I Calo Ammana Wewang, jelas dari mimik dan bahasa tubuhnya cukup
meyakinkanku bahwa di Belitung ini, misi utamaku akan sangat terbantu dengan
keberadaan Jaringan Pustaka Bergerak. Hal itu terbukti dari banyaknya mereka
menghubungi beberapa tokoh di Belitung ini dan menyampaikan informasi
kedatangan saya ini ke Belitung. Bahkan saat itu juga ada yang Yanto dkk datang
menyapa serta terlibat dalam diskusi awal yang membuatku tak merasakan lelah
dari perjalanan panjangku sejak pukul 23.00 kemarin dari Mandar ke Belitung.
Pak Rosihan, adalah salah satu tokoh budaya dan sejarawan adalah nama pertama
yang direkomendasikan kawan-kawan dari Gapabel, dan saya hanya mengiyakan,
kapan saja untuk bisa dipertemukan dengan beliau.
Setelah berdiskusi lebih 1 jam, mereka
kemudian pamit satu-satu. Dita dan Danu serta Bang
Jokie
telah memberiku spirit untuk tetap semangat. Sesaat setelah mereka pergi, Saya
kemudian minta ijin pada Pifin Herianto, pemuda gondrong yang ternyata
merupakan Ketua Gapabel. Pifin inilah yang menamniku di Kandang (sebutan untuk
Markas atau Sekretariat) untuk menyegarkan tubuh di kamar kecil yang ada
disamping kandang. Guyuran pertama air di Belitung begitu segar. Cuaca panas
dan seharian tak mandi membuat tubuhku terasa penat. Ti’au pai uwai anna ti’au alaweu” Sebuah bi’jar atau sejenis mantra leluhur yang kerap jadi pesan utama
kakekku saat pertama kali mandi di kampung orang. Sesederhana itulah kearifan
lokal leluhur Mandar bahwa air dimanapun didunia ini selain menjadi elemen
dasar kebutuhan manusia, air juga menjadi kunci pertama untuk menjaga diri
(jiwa dan raga) dimanapun.
Mandar adalah suku yang sejak tak lain
konotasi maknanya adalah air atau sungai. Filosofi tentang air yang mengalir
menemukan jati dirinya pada titik-titik terendah. Tak sekalipun air mencari
kesejatiannya pada titik-titik yang lebih tinggi. Air selalu mengalir pada
tempat-tempat yang rendah. Air ketika keluar dari mata air, akan terus mengalir
tenang, enggan berhenti. Kendati air dibendung pun ia tetap harus dialirkan
agar bendungan tak dibobol. Dalam skala terkecil air disumbat, maka ia akan
menghindari obyek yang menghalangi, terus dan terus mencari dimana titik bisa
mengalir dengan nyaman. Filosofi ini mengajari setiap generasi Mandar bahwa
dalam hal apapun, jangan pernah menjadi manusia yang angkuh dan ingin menjadi
yang paling benar atau disanjung. Pun jika ada yang mencoba mengganggu, maka
menghindarlah.
Begitulah
air. Ia mengalir mencari alur, membuat arus. Pada posisi ia selalu diganggu
kenyamannya maka tunggulah, air akan menjadi air bah yang mampu meluluh
lantakkan apa saja yang menghalanginya. Air hanya patuh kepada titah tuhan
untuk terus mencari alur untuk mengalir. Maka jangan heran jika orang yang
betul-betul Mandar hanya akan patuh pada orang yang patut untuk dipatuhi.
Selain filosofi, elemen air dan sungai rupanya menjadi simbol yang abadi dalam
literatur sejarah Mandar.
Tanah
Mandar berarti Tanah dan Air. Maka konsep tanah air itu terbukti bahwa 14
kerajaan di Mandar merupakan kerajaan yang dibangun dengan semangat Sipamandar atau Passemandarang yang maknanya saling mengautkan. Pitu Ulunna Salu (Tujuh kerajaan di hulu
sungai) dan Pitu Ba’bana Binaga
(Tujuh Kerajaan di muara sungai) adalah konsep Negara Konfederasi yang
leluhurnya pun berasal dari konsepsi tomanurung
yang kesemuanya identic dengan air (Tobisse
di Tallang, Tokombong di Bura, Tomonete di Tarauwe dan Todisesse di Tingalor) bahkan leluhur Pongkapadang dan Torije’ne’
yang dikonsepsikan sebagai manusia pertama peletak dasar peradaban di Mandar
ini tak lepas dari air. Pongkapadang
yang merupakan simbo air pegunungan dan Torije’ne
(istrinya) merupakan symbol air dari pesisir.
Lalu
kaitan Mandar dengan Belitung itu dimana? Selain Topole di Balitung yang
dibuang Belanda pada Abad-20, sebelumnya leluhur orang Mandar atau Raja
Sendana, Tomatindo di Balitung atau Tomottong di Balitung. Ia adalah sosok
yang sekitar abad ke-17 Masehi di
Kerajaan Sendana lahir sosok “Tomatindo di
Balitung” yang di negeri seberang berjuang melawan kebiadaban kolonialisme
Belanda. Beliau oleh Prof. Dr. H. Zainal Abidin Farid, SH. menyebutkannya
sebagai ”Sijago dari Selat Malaka”.
Dalam banyak catatan, Tomatindo di
Balitung juga diketahui banyak melahirkan falsafah yang berhubungan dengan
etika kepemimpinan di tanah Mandar, termasuk yang memasukkan bibit kayu jati ke
Mandar dan Tumarra (Timah) untuk
keperluan ladung dan pemberat pada alat tangkap ikan seperti pukat dan tappe (alat tangkap ikan dengan kail dan
tasi).
Maka tak salah kemudian jika saya
begitu yakin ke Belitung seorang diri, sebab di tanah ini pernah tertanam jazad
seorang raja dari Mandar yang tubuhnya itu diurai oleh tanah dan menjadi
saripati yang diserap oleh akar tanaman sehingga tanaman tumbuh dengan subur
dan menjadi nutrisi penting dalam proses metabolism tubuh manusia Belitung.
Jadi Mandar dan Belitung pernah terjalin hubungan kekerabatan yang begitu kuat,
maka hari ini saya menawarkan diri pada personil Gapabel bahwa inilah generasi
Mandar yang halal menjadi saudara kalian. Kalian adalah sosok-sosok yang sangat
berharga dan oleh karenanya, kalian saya abadikan dalam tulisan saya.
WW. House Belitong, 22 April 2018 23:40
Langganan:
Postingan (Atom)