Sabtu, 21 September 2019

Mandar Writers And Culture Forum 2019



“Ajarkan sastra kepada anak-anakmu karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani” Demikian Umar Bin Khattab RA berwasiat. Andai sebagian besar manusia ‘menyukai’ sastra, maka bisa dibayangkan betapa dunia ini akan dipenuhi oleh manusia-manusia pemberani namun berhati lembut, bak Umar bin Khattab. Sayang sekali, hanya segelintir orang yang tertarik pada dunia sastra.
Di tengah ruwetnya persoalan bangsa, di tengah hancurnya moral bangsa, dari kenakalan, hingga korupsi yang masih saja menggerogoti negara ini,  sastra hadir, diantaranya untuk mengembalikan ruh bangsa yang telah nyaris mati. Maka telah menjadi tugas kita, para pelaku sastra, untuk menyebarluaskan nilai-nilai moral yang tertuang dalam karya-karya sastra dalam beragam bentuk.
Di zaman pra dan awal kemerdekaan, banyak karya-karya fenomenal yang mampu mempengaruhi pola pikir dan pola sikap masyarakat. Sebutkan beberapa roman, diantaranya Siti Nurbaya. Bahkan sampai saat ini ungkapan ‘ini bukan zaman siti Nurbaya’ masih sering diucapkan sebagai kalimat penolakan atas suatu perjodohan. Pertanyaannya, mampukah kita, dewasa ini, di tengah rendahnya budaya literasi masyarakat, juga menghasilkan karya yang mengisnpirasi?
Sastra bukan sekedar roman picisan yang hanya membuat pembaca berurai air mata atau tersenyum bahagia. Sastra bukan sekedar kisah yang kalau tidak happy ending pasti sad ending. Lebih dari itu, sastra sejatinya berangkat dari keresahan hati akan realitas sosial yang terjadi. Sastra adalah cerminan masyarakat di mana sebuah karya sastra berasal.  
Maka, tidak bisa dipungkiri, sastra memegang peranan penting terhadap pemulihan-pemulihan kondisi sosial yang kita alami sekarang. Karena itulah, membudayakan sastra, mengajak para generasi untuk cinta membaca dan menulis, atau sekedar menikmati sajian-sajian budaya, adalah salah satu yang harus dilakukan demi terwujudnya masyarakat beradab dan berbudaya.
Untuk tujuan itulah sehingga MANDAR RITER ADN CULTURE FORUM I 2019 digagas dan dihelat untuk wilayah Sulawesi Barat. MWCF I 2019 dilkasanakan bekerjasama dengan beberapa komunitas literasi Kegiatan ini merupakan forum pertemun para penulis dan pekerja-pekerja kreatif di Sulawesi Barat sebagai sebuah perayaan atas karya-karya yang telah dihasilkan. Kegiatan ini rencananya akan dilaksanakan setiap tahun. MWFF diharapkan menjadi ruang berkreasi menuangkan imajinasi menjadi sebuah karya yang menginspirasi.


NAMA KEGIATAN
Mandar Writers and Culture Forum I (MWCF I) 2019

TEMA KEGIATAN
Putika: Spiritual, Sosiologis dan Masa Depan Mandar

TUJUAN KEGIATAN
Kegiatan MWCF I 2019 bertujuan :
1.      Memberikan ruang bagi Penulis-penulis di Sulawesi Barat untuk berkreasi.
2.      Memperkenalkan budaya literasi bagi masyarakat Sulawesi Barat.

WAKTU PELAKSANAAN KEGIATAN
Mandar Writers and Culture Forum I (MWCF) I 2019 akan dilaksanakan pada tanggal 25- 28 Oktober 2019

Kontak Person 
Muhammad Munir : 
WA 082113008787
telp. 085228777027

HUSNI DJAMALUDDIN: "Ya, Betul. Dia Panglima. Titik!".

Catatan Muhammad Munir
Foto alm.Husni Djamaluddin saat Megawati Soekarno Putri kunjungan kerja ke Polewali Mandar, 26 Juni 2004

15 Tahun Sulawesi Barat ini, izinkan saya melisan tuliskan sosok Husni Djamaluddin, kendati saya bukan orang orang yang pernah berguru langsung. Bertemu pun tak pernah selain hanya melihatnya beberapa kali dalam kurun waktu 1999, 2000, 2001 dan terakhir 2004, itupun hanya sekedar melihatnya sepintas.
Pernah suatu ketika saya ditanya siapa yang menjuluki Husni Djamaluddin sebagai Panglima Puisi?. Pertanyaan ini tentu saja membuat saya tersentak sebab pembacaan dan pemahaman saya tentang beliau sebatas pada Trilogi Bacaan: Husni Djamaluddin Yang Saya Kenal; Adakah Kita Masih Bertanya?; Indonesia, Masihkah Kau Tanah Airku?. Saya yakin pertanyaan ini akan terus muncul dan bisa menjadi bom waktu bagi penggiat literasi ketika tak mampu memberikan jawaban.

Minggu, 06 Mei 2018

Melacak Jejak Topole di Balitung (3) "Gara-Gara Literasi"

Melacak Jejak Topole di Balitung (3)
"Gara-Gara Literasi"

Pak Mansur dan Danu
  
      Secara geografis Pulau Belitung berada pada posisi 2°30’ - 3°15’ Lintang Selatan dan 107°35’ - 108°18’ Bujur Timur pada bagian utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah timur Selat Karimata, sebelah Barat berbatasan dengan Selat Gaspar dan batas Selatan dengan Laut Jawa. Pulau Belitung banyak dikelilingi pulau-pulau besar dan kecil dengan jumlah sekitar 189 pulau. Luas wilayah Pulau Belitung seluas 34.496 km² terdiri dari 4.800 km² daratan dan 29.606 km² perairan. Daerah ini sekarang terbagi dalam dua wilayah kabupaten, Kabupaten Belitung yang terletak di bagian barat pulai ini beribukota Tanjungpandan dan Kabupaten Belitung Timur yang ibukotanya adalah Manggar. Di Belitung Timur inilah Ahok (Basuki Tjahya Purnama) pernah menorehkan sejarah sebagai Bupati.
          Setelah jadi Bupati, Ahok kemudian mencoba meraih peruntungan ke Senayan dan lolos jadi Anggota DPR RI untuk selanjutnya jadi Wakil Gubernur mendampingi Jokowi. Setelah Jokowi jadi RI 1, Ahok kemudian menempati posisi nomor 1 di DKI. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Ahok disandung perkara Al-Maidah 51 yang terkesan dipolitisasi sehingga harus menjadi pesakitan dan sekarang harus berada di Hotel Prodeo. Gaerah Belitung Timur saat ini dinakhodai oleh saudara Yusril Ihza Mahendra. Adapun Kabupaten Belitung yang ibukotanya Tanjungpandan ini menjadi tujuan utama untuk melacak Jejak I Calo Ammana Wewang. Rupanya disini pula DN. Aidit, tokoh sentral dalam perbincangan dan literatur Komunis Indonesia ini dilahirkan.


          Senja mulai menggoda, gemercik air dari sungai kecil dibelakang Kandang Gapabel ikut menjadi penikmat suasana. Diskusi tentang I Calo Ammana Wewang semakin seru ketika Mansur Mas’ud muncul memenuhi panggilan Bang Yongki. Mansur Daeng Sila adalah sesepuh masyarakat Bugis Belitung yang di internal Gapabel termasuk dituakan. Wajahnya sangat familiar bagiku. Bukan lantaran sebelumnya sudah pernah bertemu, tapi lebih disebabkan oleh kemiripan wajah dan postur tubuhnya dengan A’ba Tammalele. Dalam hatiku, ini mungkin orang Mandar, bukan orang Bugis. Tapi bagaimanapun antara Bugis dan Mandar sesungguhnya merupakan sebuah kesatuan yang utuh dan integral ketika kita mentadabburinya dengan pepesan dari leluhur.
          Kendati Pak Mansur juga barusan mendengar nama I Calo Ammana Wewang, jelas dari mimik dan bahasa tubuhnya cukup meyakinkanku bahwa di Belitung ini, misi utamaku akan sangat terbantu dengan keberadaan Jaringan Pustaka Bergerak. Hal itu terbukti dari banyaknya mereka menghubungi beberapa tokoh di Belitung ini dan menyampaikan informasi kedatangan saya ini ke Belitung. Bahkan saat itu juga ada yang Yanto dkk datang menyapa serta terlibat dalam diskusi awal yang membuatku tak merasakan lelah dari perjalanan panjangku sejak pukul 23.00 kemarin dari Mandar ke Belitung. Pak Rosihan, adalah salah satu tokoh budaya dan sejarawan adalah nama pertama yang direkomendasikan kawan-kawan dari Gapabel, dan saya hanya mengiyakan, kapan saja untuk bisa dipertemukan dengan beliau.
          Setelah berdiskusi lebih 1 jam, mereka kemudian pamit satu-satu. Dita dan Danu serta Bang Jokie telah memberiku spirit untuk tetap semangat. Sesaat setelah mereka pergi, Saya kemudian minta ijin pada Pifin Herianto, pemuda gondrong yang ternyata merupakan Ketua Gapabel. Pifin inilah yang menamniku di Kandang (sebutan untuk Markas atau Sekretariat) untuk menyegarkan tubuh di kamar kecil yang ada disamping kandang. Guyuran pertama air di Belitung begitu segar. Cuaca panas dan seharian tak mandi membuat tubuhku terasa penat. Ti’au pai uwai anna ti’au alaweu” Sebuah bi’jar atau sejenis mantra leluhur yang kerap jadi pesan utama kakekku saat pertama kali mandi di kampung orang. Sesederhana itulah kearifan lokal leluhur Mandar bahwa air dimanapun didunia ini selain menjadi elemen dasar kebutuhan manusia, air juga menjadi kunci pertama untuk menjaga diri (jiwa dan raga) dimanapun.
          Mandar adalah suku yang sejak tak lain konotasi maknanya adalah air atau sungai. Filosofi tentang air yang mengalir menemukan jati dirinya pada titik-titik terendah. Tak sekalipun air mencari kesejatiannya pada titik-titik yang lebih tinggi. Air selalu mengalir pada tempat-tempat yang rendah. Air ketika keluar dari mata air, akan terus mengalir tenang, enggan berhenti. Kendati air dibendung pun ia tetap harus dialirkan agar bendungan tak dibobol. Dalam skala terkecil air disumbat, maka ia akan menghindari obyek yang menghalangi, terus dan terus mencari dimana titik bisa mengalir dengan nyaman. Filosofi ini mengajari setiap generasi Mandar bahwa dalam hal apapun, jangan pernah menjadi manusia yang angkuh dan ingin menjadi yang paling benar atau disanjung. Pun jika ada yang mencoba mengganggu, maka menghindarlah.
Begitulah air. Ia mengalir mencari alur, membuat arus. Pada posisi ia selalu diganggu kenyamannya maka tunggulah, air akan menjadi air bah yang mampu meluluh lantakkan apa saja yang menghalanginya. Air hanya patuh kepada titah tuhan untuk terus mencari alur untuk mengalir. Maka jangan heran jika orang yang betul-betul Mandar hanya akan patuh pada orang yang patut untuk dipatuhi. Selain filosofi, elemen air dan sungai rupanya menjadi simbol yang abadi dalam literatur sejarah Mandar.
Tanah Mandar berarti Tanah dan Air. Maka konsep tanah air itu terbukti bahwa 14 kerajaan di Mandar merupakan kerajaan yang dibangun dengan semangat Sipamandar atau Passemandarang yang maknanya saling mengautkan. Pitu Ulunna Salu (Tujuh kerajaan di hulu sungai) dan Pitu Ba’bana Binaga (Tujuh Kerajaan di muara sungai) adalah konsep Negara Konfederasi yang leluhurnya pun berasal dari konsepsi tomanurung yang kesemuanya identic dengan air (Tobisse di Tallang, Tokombong di Bura, Tomonete di Tarauwe dan Todisesse di Tingalor) bahkan leluhur Pongkapadang dan Torije’ne’ yang dikonsepsikan sebagai manusia pertama peletak dasar peradaban di Mandar ini tak lepas dari air. Pongkapadang yang merupakan simbo air pegunungan dan Torije’ne (istrinya) merupakan symbol air dari pesisir.


Lalu kaitan Mandar dengan Belitung itu dimana? Selain Topole di Balitung yang dibuang Belanda pada Abad-20, sebelumnya leluhur orang Mandar atau Raja Sendana, Tomatindo di Balitung atau Tomottong di Balitung. Ia adalah sosok yang sekitar abad ke-17 Masehi di Kerajaan Sendana lahir sosok “Tomatindo di Balitung” yang di negeri seberang berjuang melawan kebiadaban kolonialisme Belanda. Beliau oleh Prof. Dr. H. Zainal Abidin Farid, SH. menyebutkannya sebagai ”Sijago dari Selat Malaka”. Dalam banyak catatan, Tomatindo di Balitung juga diketahui banyak melahirkan falsafah yang berhubungan dengan etika kepemimpinan di tanah Mandar, termasuk yang memasukkan bibit kayu jati ke Mandar dan Tumarra (Timah) untuk keperluan ladung dan pemberat pada alat tangkap ikan seperti pukat dan tappe (alat tangkap ikan dengan kail dan tasi).
Maka tak salah kemudian jika saya begitu yakin ke Belitung seorang diri, sebab di tanah ini pernah tertanam jazad seorang raja dari Mandar yang tubuhnya itu diurai oleh tanah dan menjadi saripati yang diserap oleh akar tanaman sehingga tanaman tumbuh dengan subur dan menjadi nutrisi penting dalam proses metabolism tubuh manusia Belitung. Jadi Mandar dan Belitung pernah terjalin hubungan kekerabatan yang begitu kuat, maka hari ini saya menawarkan diri pada personil Gapabel bahwa inilah generasi Mandar yang halal menjadi saudara kalian. Kalian adalah sosok-sosok yang sangat berharga dan oleh karenanya, kalian saya abadikan dalam tulisan saya.
                  
WW. House Belitong, 22 April 2018                                                                        23:40