Melacak Jejak Topole di Balitung (2)
"Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"
|
Diskusi di Rumah Baca Akar, Kandang Gapabel Belitung |
Bertolak dari Bandara Soekarno Hatta
tepat jam 10.25 pada Minggu pagi melalui Terminal 1A gate 4 Bandara
Internasional Soekarno Hatta. Ribuan rasa menyeruak yang membuatku terus
membatin. Setelah tiba di Belitung, saya mengarah kemana ya? Postingan saya di
grup Literasi Bangka Belitung tak ada respon, sampai kemudian pesawat Boeing
737 maskapai penerbangan Lion Air. Udara kian terik ketika pesawat tepat
menyentuh runway Bandara Belitung. Pukul 11.30 para penumpang bergegas
mengambil barangnya dari atas kabin pesawat. Sejurus kemudian mereka beranjak
dan berjalan bagai serdadu menuju pintu keluar bagian depan pesawat. Aku masih
duduk dengan tenang.
Aku sengaja menjadi orang yang
terakhir turun dari pesawat. Kurogoh kantong jaketku dan mengeluarkan gawai
untuk terhubung dengan dunia diluaran sana. Harapan terbesarku adalah sebuah
pesan yang bisa menolongku untuk melangkah pasti ketika kali pertama kakiku
menjejak di tanah Belitung. Harapan itu ternyata tak ada. Begitupun dengan yang
kuharapkan dari WAG Literasi Bangka Belitung. Ada asa yang terus kueja dalam
benakku bahwa tujuanku ke Belitung jelas merupakan sebuah wujud pengabdianku
pada tanah lehurku, Mandar.
Satu keyakinan bahwa di Belitung ini,
ada leluhurku yang merelakan seluruh apa yang dia miliki dan apa yang ada
padanya menjadi nutrisi bagi tanah Belitung. Inilah spirit yang terus membangun
jiwaku pada satu harapan bahwa: Ketika kakiku menginjak bumi Laskar Pelangi
ini, maka semua yang punya tapak di tanah ini pasti merasakan getarannya.
Keyakinan itu yang membuat jiwa besarku melangkah menuju terminal kedatangan
Bandara.
Dalam terik yang kian menusuk ubun,
ada sebuah pemandangan yang menghentak ketika akan melangkah masuk dalam
terminal kedatangan bandara. Tepat diatas bangunan bandara, sangat jelas sebuah
kalimat bertuliskan Bandara Internasional H. AS. Hananjoedin. Yah, Bandara Internasional
yang dimiliki oleh sebuah daerah sekelas kabupaten Belitung. Saya nyaris tak
percaya, jika di Kabupaten Belitung bagian barat ini memiliki fasilitas.
Berskala Internasional.
Berada diantara ratusan penumpang di
Terminal kedatangan, saya melihat sosokku berada di hutan belantara. Rimbun
semak manusia tak satupun aku kenal. Dengan sisa tenaga aku terus berjalan
menyusuri petunjuk keluar bandara, kata exit bagiku sudah sangat hafal dan
faham. Begitu tiba diluar bandara, para driver silih berganti menawarkan
layanan antar dan paket penginapan. "Maaf,
saya dijemput sama keluarga, Mas". Begitulah aku berdalih pada mereka.
Toh saya juga belum tahu akan mengarah kemana, sebab dari WAG tak satupun
tanggapan yang masuk. Setelah sebatang rokok Urban kunikmati, kucoba melangkah
ke arah kanan pintu terminal. Disudut kanan itu terdapat sebuah Kantin Darma
Wanita Bandara. Sekedar mengisi waktu sekaligus membayar tagihan perut yang
sejak pagi belum terpenuhi. Soto daging dan segelas kopi susu jadi pilihan.
Sekali-sekali saya mengintip layar
ponsel dan berharap ada info dari member WAG Bangka Belitung Literasi. Tak
terhitung berapa batang rokok yang saya jadikan nisan pada mangkok soto sebagai
asbak. Suara adzan tanda waktu dhuhur berkumandang dari masjid yang tak jauh
dari bandara. Kuucap syukur alhamdulillah
seiring takbir Allahu Akbar dengan lirih. Kepada Tuhan jualah
segalanya kuserahkan, sebab Dialah pemilik dan penentu segala rencana. Ketika
sedang asik-asiknya menyeruput kopi, tiba-tiba handphone-ku bergetar. Ternyata ada pesan masuk di WAG. Kali ini
pesan yang masuk ada di beranda WAG Literasi Bangka Belitung. Sederet kalimat
komentar tersusun beberapa baris. Pesan dari salah satu member WAG yang
mengucapkan selamat datang di Belitung.
Kalimat selanjutnya adalah permintaan
maaf sebab tak bisa menjemput ke Bandara lantaran hari ini bertepatan hari
Bumi, 22 April 2018. "Kak Munir
keluar dari bandara via taksi menuju ke belakang stadion dibawah warna-warni,
biasanya sopir faham itu sekret Gapabel". Komentar yang singkat itu
laksana terpaan hujan ditengah kemarau. "Siap.
Saya menikmati suasana dulu di bandara". Tulisku pada komentar sebagai
basa basi. Bandara Bulutumbang yang sekarang menjadi Bandara Internasional H.
AS. Hananjoedin ini tak lagi jadi penjara bagiku. Setidaknya aku sudah bisa
bergerak dengan arah yang jelas.
Gapabel (Gabungan Pecinta Alam
Belitung) itulah yang akhirnya menjadi titik awal kehadiran saya dalam misi
pelacakan Jejak I Calo Ammana Wewang. Jejak itu mulai mulai tampak sekaligus
menandai tapak pertamaku ketika keluar dari bandara. Sopir Taksi bernama Abus
(62 tahun) mengantar saya ke Kandang Gapabel. Dalam perjalanan menuju secret
Gapabel, Pak Abus yang ternyata orang Bugis ini banyak memberi info terkait
Belitung setelah mengetahjui bahwa saya dari Sulawesi.
Hanya dalam hitungan belasan menit
kami sudah tiba di Stadion Tanjungpandan. Kami mengelilingi jalanan disekitara
stadion mulai dan sampai di depan Kantor Kelurahan Pangkallalang Kec.
Tanjungpandan kami harus bertanya pada warga sekitar tentang Warna-Warni.
Ternyata warga faham betul tentang Warna-Warni yang ternyata adalah WW.House
Belitong. Kami kemudian memutar untuk mencari dimana Kandang Gapabel berpijak.
Sempat mobil kami melampaui Kandang yang kami cari, tapi rupanya Dita (Penanggungjawab
Rumah Baca Akar Belitung) melihat mobil kami melintas. Ia kemudian menelfonku
Via WA, dan meminta kami segera putar haluan untuk kembali.
Dari jarak yang tak terlalu jauh,
nampak seorang wanita berkaca mata bening yang langsung menyapa ketika mobil
yang saya tumpangi berhenti. Sebuah bangunan mungil model panggung yang cukup
artistik. Di beranda terdapat beberapa anak kecil yang sementara mewarnai
gambar. Begitulah Dita dan beberapa personil selama ini memesrai anak-anak
Belitung dalam penguatan literasi anak-anak. Rumah Baca Akar merupakan bentukan
program baru dari Gapabel untuk berkonstribusi dalam mencerdaskan anak negeri
ini melalui Jaringan Pustaka Bergerak Indonesia besutan Nirwan Ahmad Arsuka
dkk.
Rumah Baca Akar memang masih baru dan
menjadi satu-satunya rumah baca di Kota Tanjungpandan. Barang-barang di bagasi
mobil yang terdiri dari rangsel dan bagtour
kin berada di Beranda. Selain Dita dan anak-anak yang sedang asik mewarnai
gambar, ada juga anak muda bernama Danu yang menyambutku dengan sangat ramah.
Masyarakat Belitung pada umumnya sopan dan hormat pada tamu. Belajar dari Sopir
Taksi dan warga yang saya tanya tentang secretariat Gapabel tadi menjadi
indicator penilaian. Mereka langsung cair dan responsip.
Dita dan Danu menemaniku berbincang-bincang
santai. Kami berhadapan dimeja yang terbuat dari rangka perahu tradisional
Belitung. Panjang perahu sekitar 2 meter. Bagian atas ditutup dengan triplek 5
mm sehingga berfungsi ganda, bisa meja untuk belajar sekaligus meja buat ngopi
bareng. Selang beberapa menit kemudioan, muncul sosok yang agak kekar. Tubuhnya
besar agak hitam manis. Rupanya Bang Jokie (demikian sapaan pria yang bernama
lengkap Jookie Vebriansyah ini) inilah penggagas Gapabel. Bang Jokie ternyata
sosok yang sangat peramah. Tadinya saya agak ragu dan segan melihat
penampilannya. Tapi setelah mulai diskusi nampak sebuah pribadi yang sangat
arif dan empati.
Bang Jokie, Danu dan Dita sibuk
mengontak beberapa personil Gapabel. Dalam hitungan menit, sosok muda yang
bernama Wahyu Kurniawan muncul. Kami berjabat tangan. Tak lama kami pun larut
dalam diskusi. Saya mengutarakan maksud kedatangan ke Belitung. “Saat ini kami sedang mempersiapkan
penulisan Biografi salah seorang Tokoh Pejuang Mandar yang akan diusulkan
sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan dari Mandar Sulawesi Barat. Bel;iau
adalah I Calo Ammana Wewanng yang bergelar Topole di Balitung. Beliau ini
dibuang Belanda tahun 1907 dan berdiam kembali ke Mandar pada tahun 1944”.
Wahyu dan semuanya maksyuk
mendengarkan penuturan saya. Wahyu kemudian mengambil kamere digitalnya dan
meminta saya untuk berpose bersama Dokumen tentang I Calo Ammana Wewang dengan
memperlihatkan selembar Kaos Oblong bergambar I Calo Ammana Wewang dengan
tulisan ditas foto “Topole di Balitung”. Kaos tersebut sebagai penegasan bahwa
kami sejak dulu mengenal Belitung dalam gelar salah satu pejuang kami. Rupanya
Wahyu adalah seorang Jurnalis di Media POS Belitung. Ia mengorek keterangan
dari saya untuk rilisnya di Koran Harian Terbesar oplahnya di Belitung ini. Selain
Jurnalis, ia rupanya seorang Penulis Buku. Hal itu saya tau ketika ia
menyerahkan satu eks buku dengan cover warna oranye berjudul “Tambang Timah Belitong Dari Masa ke Masa”.
Setelah cukup keterangan, ia kemudian pamit dan berlalu meninggalkan Kandang
Gapabel. Bang Jokie, Danu, Dita masih menemani kami dengan kopi dan penganan
alakadarnya di sore menjelang senja itu.
Minggu, Rumah
Baca Akar, 22 April 2018