Jumat, 10 Mei 2019
Minggu, 06 Mei 2018
Melacak Jejak Topole di Balitung (3) "Gara-Gara Literasi"
Melacak Jejak Topole di Balitung (3)
"Gara-Gara Literasi"
Pak Mansur dan Danu |
Secara geografis
Pulau Belitung berada pada posisi 2°30’ - 3°15’ Lintang Selatan dan 107°35’ -
108°18’ Bujur Timur pada bagian utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan,
sebelah timur Selat Karimata, sebelah Barat berbatasan dengan Selat Gaspar dan
batas Selatan dengan Laut Jawa. Pulau Belitung banyak dikelilingi pulau-pulau
besar dan kecil dengan jumlah sekitar 189 pulau. Luas wilayah Pulau Belitung
seluas 34.496 km² terdiri dari 4.800 km² daratan dan 29.606 km² perairan.
Daerah ini sekarang terbagi dalam dua wilayah kabupaten, Kabupaten Belitung
yang terletak di bagian barat pulai ini beribukota Tanjungpandan dan Kabupaten
Belitung Timur yang ibukotanya adalah Manggar. Di Belitung Timur inilah Ahok (Basuki
Tjahya Purnama) pernah menorehkan sejarah sebagai Bupati.
Setelah jadi Bupati, Ahok kemudian
mencoba meraih peruntungan ke Senayan dan lolos jadi Anggota DPR RI untuk
selanjutnya jadi Wakil Gubernur mendampingi Jokowi. Setelah Jokowi jadi RI 1,
Ahok kemudian menempati posisi nomor 1 di DKI. Untung tak dapat diraih, malang
tak dapat ditolak, Ahok disandung perkara Al-Maidah 51 yang terkesan
dipolitisasi sehingga harus menjadi pesakitan dan sekarang harus berada di
Hotel Prodeo. Gaerah Belitung Timur saat ini dinakhodai oleh saudara Yusril
Ihza Mahendra. Adapun Kabupaten Belitung yang ibukotanya Tanjungpandan ini
menjadi tujuan utama untuk melacak Jejak I Calo Ammana Wewang. Rupanya disini
pula DN. Aidit, tokoh sentral dalam perbincangan dan literatur Komunis
Indonesia ini dilahirkan.
Senja mulai menggoda, gemercik air
dari sungai kecil dibelakang Kandang Gapabel ikut menjadi penikmat suasana.
Diskusi tentang I Calo Ammana Wewang semakin seru ketika Mansur Mas’ud muncul
memenuhi panggilan Bang Yongki. Mansur Daeng Sila adalah sesepuh masyarakat
Bugis Belitung yang di internal Gapabel termasuk dituakan. Wajahnya sangat
familiar bagiku. Bukan lantaran sebelumnya sudah pernah bertemu, tapi lebih
disebabkan oleh kemiripan wajah dan postur tubuhnya dengan A’ba Tammalele.
Dalam hatiku, ini mungkin orang Mandar, bukan orang Bugis. Tapi bagaimanapun
antara Bugis dan Mandar sesungguhnya merupakan sebuah kesatuan yang utuh dan
integral ketika kita mentadabburinya dengan pepesan dari leluhur.
Kendati Pak Mansur juga barusan
mendengar nama I Calo Ammana Wewang, jelas dari mimik dan bahasa tubuhnya cukup
meyakinkanku bahwa di Belitung ini, misi utamaku akan sangat terbantu dengan
keberadaan Jaringan Pustaka Bergerak. Hal itu terbukti dari banyaknya mereka
menghubungi beberapa tokoh di Belitung ini dan menyampaikan informasi
kedatangan saya ini ke Belitung. Bahkan saat itu juga ada yang Yanto dkk datang
menyapa serta terlibat dalam diskusi awal yang membuatku tak merasakan lelah
dari perjalanan panjangku sejak pukul 23.00 kemarin dari Mandar ke Belitung.
Pak Rosihan, adalah salah satu tokoh budaya dan sejarawan adalah nama pertama
yang direkomendasikan kawan-kawan dari Gapabel, dan saya hanya mengiyakan,
kapan saja untuk bisa dipertemukan dengan beliau.
Setelah berdiskusi lebih 1 jam, mereka
kemudian pamit satu-satu. Dita dan Danu serta Bang
Jokie
telah memberiku spirit untuk tetap semangat. Sesaat setelah mereka pergi, Saya
kemudian minta ijin pada Pifin Herianto, pemuda gondrong yang ternyata
merupakan Ketua Gapabel. Pifin inilah yang menamniku di Kandang (sebutan untuk
Markas atau Sekretariat) untuk menyegarkan tubuh di kamar kecil yang ada
disamping kandang. Guyuran pertama air di Belitung begitu segar. Cuaca panas
dan seharian tak mandi membuat tubuhku terasa penat. Ti’au pai uwai anna ti’au alaweu” Sebuah bi’jar atau sejenis mantra leluhur yang kerap jadi pesan utama
kakekku saat pertama kali mandi di kampung orang. Sesederhana itulah kearifan
lokal leluhur Mandar bahwa air dimanapun didunia ini selain menjadi elemen
dasar kebutuhan manusia, air juga menjadi kunci pertama untuk menjaga diri
(jiwa dan raga) dimanapun.
Mandar adalah suku yang sejak tak lain
konotasi maknanya adalah air atau sungai. Filosofi tentang air yang mengalir
menemukan jati dirinya pada titik-titik terendah. Tak sekalipun air mencari
kesejatiannya pada titik-titik yang lebih tinggi. Air selalu mengalir pada
tempat-tempat yang rendah. Air ketika keluar dari mata air, akan terus mengalir
tenang, enggan berhenti. Kendati air dibendung pun ia tetap harus dialirkan
agar bendungan tak dibobol. Dalam skala terkecil air disumbat, maka ia akan
menghindari obyek yang menghalangi, terus dan terus mencari dimana titik bisa
mengalir dengan nyaman. Filosofi ini mengajari setiap generasi Mandar bahwa
dalam hal apapun, jangan pernah menjadi manusia yang angkuh dan ingin menjadi
yang paling benar atau disanjung. Pun jika ada yang mencoba mengganggu, maka
menghindarlah.
Begitulah
air. Ia mengalir mencari alur, membuat arus. Pada posisi ia selalu diganggu
kenyamannya maka tunggulah, air akan menjadi air bah yang mampu meluluh
lantakkan apa saja yang menghalanginya. Air hanya patuh kepada titah tuhan
untuk terus mencari alur untuk mengalir. Maka jangan heran jika orang yang
betul-betul Mandar hanya akan patuh pada orang yang patut untuk dipatuhi.
Selain filosofi, elemen air dan sungai rupanya menjadi simbol yang abadi dalam
literatur sejarah Mandar.
Tanah
Mandar berarti Tanah dan Air. Maka konsep tanah air itu terbukti bahwa 14
kerajaan di Mandar merupakan kerajaan yang dibangun dengan semangat Sipamandar atau Passemandarang yang maknanya saling mengautkan. Pitu Ulunna Salu (Tujuh kerajaan di hulu
sungai) dan Pitu Ba’bana Binaga
(Tujuh Kerajaan di muara sungai) adalah konsep Negara Konfederasi yang
leluhurnya pun berasal dari konsepsi tomanurung
yang kesemuanya identic dengan air (Tobisse
di Tallang, Tokombong di Bura, Tomonete di Tarauwe dan Todisesse di Tingalor) bahkan leluhur Pongkapadang dan Torije’ne’
yang dikonsepsikan sebagai manusia pertama peletak dasar peradaban di Mandar
ini tak lepas dari air. Pongkapadang
yang merupakan simbo air pegunungan dan Torije’ne
(istrinya) merupakan symbol air dari pesisir.
Lalu
kaitan Mandar dengan Belitung itu dimana? Selain Topole di Balitung yang
dibuang Belanda pada Abad-20, sebelumnya leluhur orang Mandar atau Raja
Sendana, Tomatindo di Balitung atau Tomottong di Balitung. Ia adalah sosok
yang sekitar abad ke-17 Masehi di
Kerajaan Sendana lahir sosok “Tomatindo di
Balitung” yang di negeri seberang berjuang melawan kebiadaban kolonialisme
Belanda. Beliau oleh Prof. Dr. H. Zainal Abidin Farid, SH. menyebutkannya
sebagai ”Sijago dari Selat Malaka”.
Dalam banyak catatan, Tomatindo di
Balitung juga diketahui banyak melahirkan falsafah yang berhubungan dengan
etika kepemimpinan di tanah Mandar, termasuk yang memasukkan bibit kayu jati ke
Mandar dan Tumarra (Timah) untuk
keperluan ladung dan pemberat pada alat tangkap ikan seperti pukat dan tappe (alat tangkap ikan dengan kail dan
tasi).
Maka tak salah kemudian jika saya
begitu yakin ke Belitung seorang diri, sebab di tanah ini pernah tertanam jazad
seorang raja dari Mandar yang tubuhnya itu diurai oleh tanah dan menjadi
saripati yang diserap oleh akar tanaman sehingga tanaman tumbuh dengan subur
dan menjadi nutrisi penting dalam proses metabolism tubuh manusia Belitung.
Jadi Mandar dan Belitung pernah terjalin hubungan kekerabatan yang begitu kuat,
maka hari ini saya menawarkan diri pada personil Gapabel bahwa inilah generasi
Mandar yang halal menjadi saudara kalian. Kalian adalah sosok-sosok yang sangat
berharga dan oleh karenanya, kalian saya abadikan dalam tulisan saya.
WW. House Belitong, 22 April 2018 23:40
Melacak Jejak Topole di Balitung (2) "Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"
Melacak Jejak Topole di Balitung (2)
"Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"
Diskusi di Rumah Baca Akar, Kandang Gapabel Belitung |
Bertolak dari Bandara Soekarno Hatta tepat jam 10.25 pada Minggu pagi melalui Terminal 1A gate 4 Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ribuan rasa menyeruak yang membuatku terus membatin. Setelah tiba di Belitung, saya mengarah kemana ya? Postingan saya di grup Literasi Bangka Belitung tak ada respon, sampai kemudian pesawat Boeing 737 maskapai penerbangan Lion Air. Udara kian terik ketika pesawat tepat menyentuh runway Bandara Belitung. Pukul 11.30 para penumpang bergegas mengambil barangnya dari atas kabin pesawat. Sejurus kemudian mereka beranjak dan berjalan bagai serdadu menuju pintu keluar bagian depan pesawat. Aku masih duduk dengan tenang.
Aku sengaja menjadi orang yang
terakhir turun dari pesawat. Kurogoh kantong jaketku dan mengeluarkan gawai
untuk terhubung dengan dunia diluaran sana. Harapan terbesarku adalah sebuah
pesan yang bisa menolongku untuk melangkah pasti ketika kali pertama kakiku
menjejak di tanah Belitung. Harapan itu ternyata tak ada. Begitupun dengan yang
kuharapkan dari WAG Literasi Bangka Belitung. Ada asa yang terus kueja dalam
benakku bahwa tujuanku ke Belitung jelas merupakan sebuah wujud pengabdianku
pada tanah lehurku, Mandar.
Satu keyakinan bahwa di Belitung ini,
ada leluhurku yang merelakan seluruh apa yang dia miliki dan apa yang ada
padanya menjadi nutrisi bagi tanah Belitung. Inilah spirit yang terus membangun
jiwaku pada satu harapan bahwa: Ketika kakiku menginjak bumi Laskar Pelangi
ini, maka semua yang punya tapak di tanah ini pasti merasakan getarannya.
Keyakinan itu yang membuat jiwa besarku melangkah menuju terminal kedatangan
Bandara.
Dalam terik yang kian menusuk ubun,
ada sebuah pemandangan yang menghentak ketika akan melangkah masuk dalam
terminal kedatangan bandara. Tepat diatas bangunan bandara, sangat jelas sebuah
kalimat bertuliskan Bandara Internasional H. AS. Hananjoedin. Yah, Bandara Internasional
yang dimiliki oleh sebuah daerah sekelas kabupaten Belitung. Saya nyaris tak
percaya, jika di Kabupaten Belitung bagian barat ini memiliki fasilitas.
Berskala Internasional.
Berada diantara ratusan penumpang di
Terminal kedatangan, saya melihat sosokku berada di hutan belantara. Rimbun
semak manusia tak satupun aku kenal. Dengan sisa tenaga aku terus berjalan
menyusuri petunjuk keluar bandara, kata exit bagiku sudah sangat hafal dan
faham. Begitu tiba diluar bandara, para driver silih berganti menawarkan
layanan antar dan paket penginapan. "Maaf,
saya dijemput sama keluarga, Mas". Begitulah aku berdalih pada mereka.
Toh saya juga belum tahu akan mengarah kemana, sebab dari WAG tak satupun
tanggapan yang masuk. Setelah sebatang rokok Urban kunikmati, kucoba melangkah
ke arah kanan pintu terminal. Disudut kanan itu terdapat sebuah Kantin Darma
Wanita Bandara. Sekedar mengisi waktu sekaligus membayar tagihan perut yang
sejak pagi belum terpenuhi. Soto daging dan segelas kopi susu jadi pilihan.
Sekali-sekali saya mengintip layar
ponsel dan berharap ada info dari member WAG Bangka Belitung Literasi. Tak
terhitung berapa batang rokok yang saya jadikan nisan pada mangkok soto sebagai
asbak. Suara adzan tanda waktu dhuhur berkumandang dari masjid yang tak jauh
dari bandara. Kuucap syukur alhamdulillah
seiring takbir Allahu Akbar dengan lirih. Kepada Tuhan jualah
segalanya kuserahkan, sebab Dialah pemilik dan penentu segala rencana. Ketika
sedang asik-asiknya menyeruput kopi, tiba-tiba handphone-ku bergetar. Ternyata ada pesan masuk di WAG. Kali ini
pesan yang masuk ada di beranda WAG Literasi Bangka Belitung. Sederet kalimat
komentar tersusun beberapa baris. Pesan dari salah satu member WAG yang
mengucapkan selamat datang di Belitung.
Kalimat selanjutnya adalah permintaan
maaf sebab tak bisa menjemput ke Bandara lantaran hari ini bertepatan hari
Bumi, 22 April 2018. "Kak Munir
keluar dari bandara via taksi menuju ke belakang stadion dibawah warna-warni,
biasanya sopir faham itu sekret Gapabel". Komentar yang singkat itu
laksana terpaan hujan ditengah kemarau. "Siap.
Saya menikmati suasana dulu di bandara". Tulisku pada komentar sebagai
basa basi. Bandara Bulutumbang yang sekarang menjadi Bandara Internasional H.
AS. Hananjoedin ini tak lagi jadi penjara bagiku. Setidaknya aku sudah bisa
bergerak dengan arah yang jelas.
Gapabel (Gabungan Pecinta Alam
Belitung) itulah yang akhirnya menjadi titik awal kehadiran saya dalam misi
pelacakan Jejak I Calo Ammana Wewang. Jejak itu mulai mulai tampak sekaligus
menandai tapak pertamaku ketika keluar dari bandara. Sopir Taksi bernama Abus
(62 tahun) mengantar saya ke Kandang Gapabel. Dalam perjalanan menuju secret
Gapabel, Pak Abus yang ternyata orang Bugis ini banyak memberi info terkait
Belitung setelah mengetahjui bahwa saya dari Sulawesi.
Hanya dalam hitungan belasan menit
kami sudah tiba di Stadion Tanjungpandan. Kami mengelilingi jalanan disekitara
stadion mulai dan sampai di depan Kantor Kelurahan Pangkallalang Kec.
Tanjungpandan kami harus bertanya pada warga sekitar tentang Warna-Warni.
Ternyata warga faham betul tentang Warna-Warni yang ternyata adalah WW.House
Belitong. Kami kemudian memutar untuk mencari dimana Kandang Gapabel berpijak.
Sempat mobil kami melampaui Kandang yang kami cari, tapi rupanya Dita (Penanggungjawab
Rumah Baca Akar Belitung) melihat mobil kami melintas. Ia kemudian menelfonku
Via WA, dan meminta kami segera putar haluan untuk kembali.
Dari jarak yang tak terlalu jauh,
nampak seorang wanita berkaca mata bening yang langsung menyapa ketika mobil
yang saya tumpangi berhenti. Sebuah bangunan mungil model panggung yang cukup
artistik. Di beranda terdapat beberapa anak kecil yang sementara mewarnai
gambar. Begitulah Dita dan beberapa personil selama ini memesrai anak-anak
Belitung dalam penguatan literasi anak-anak. Rumah Baca Akar merupakan bentukan
program baru dari Gapabel untuk berkonstribusi dalam mencerdaskan anak negeri
ini melalui Jaringan Pustaka Bergerak Indonesia besutan Nirwan Ahmad Arsuka
dkk.
Rumah Baca Akar memang masih baru dan
menjadi satu-satunya rumah baca di Kota Tanjungpandan. Barang-barang di bagasi
mobil yang terdiri dari rangsel dan bagtour
kin berada di Beranda. Selain Dita dan anak-anak yang sedang asik mewarnai
gambar, ada juga anak muda bernama Danu yang menyambutku dengan sangat ramah.
Masyarakat Belitung pada umumnya sopan dan hormat pada tamu. Belajar dari Sopir
Taksi dan warga yang saya tanya tentang secretariat Gapabel tadi menjadi
indicator penilaian. Mereka langsung cair dan responsip.
Dita dan Danu menemaniku berbincang-bincang
santai. Kami berhadapan dimeja yang terbuat dari rangka perahu tradisional
Belitung. Panjang perahu sekitar 2 meter. Bagian atas ditutup dengan triplek 5
mm sehingga berfungsi ganda, bisa meja untuk belajar sekaligus meja buat ngopi
bareng. Selang beberapa menit kemudioan, muncul sosok yang agak kekar. Tubuhnya
besar agak hitam manis. Rupanya Bang Jokie (demikian sapaan pria yang bernama
lengkap Jookie Vebriansyah ini) inilah penggagas Gapabel. Bang Jokie ternyata
sosok yang sangat peramah. Tadinya saya agak ragu dan segan melihat
penampilannya. Tapi setelah mulai diskusi nampak sebuah pribadi yang sangat
arif dan empati.
Bang Jokie, Danu dan Dita sibuk
mengontak beberapa personil Gapabel. Dalam hitungan menit, sosok muda yang
bernama Wahyu Kurniawan muncul. Kami berjabat tangan. Tak lama kami pun larut
dalam diskusi. Saya mengutarakan maksud kedatangan ke Belitung. “Saat ini kami sedang mempersiapkan
penulisan Biografi salah seorang Tokoh Pejuang Mandar yang akan diusulkan
sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan dari Mandar Sulawesi Barat. Bel;iau
adalah I Calo Ammana Wewanng yang bergelar Topole di Balitung. Beliau ini
dibuang Belanda tahun 1907 dan berdiam kembali ke Mandar pada tahun 1944”.
Wahyu dan semuanya maksyuk
mendengarkan penuturan saya. Wahyu kemudian mengambil kamere digitalnya dan
meminta saya untuk berpose bersama Dokumen tentang I Calo Ammana Wewang dengan
memperlihatkan selembar Kaos Oblong bergambar I Calo Ammana Wewang dengan
tulisan ditas foto “Topole di Balitung”. Kaos tersebut sebagai penegasan bahwa
kami sejak dulu mengenal Belitung dalam gelar salah satu pejuang kami. Rupanya
Wahyu adalah seorang Jurnalis di Media POS Belitung. Ia mengorek keterangan
dari saya untuk rilisnya di Koran Harian Terbesar oplahnya di Belitung ini. Selain
Jurnalis, ia rupanya seorang Penulis Buku. Hal itu saya tau ketika ia
menyerahkan satu eks buku dengan cover warna oranye berjudul “Tambang Timah Belitong Dari Masa ke Masa”.
Setelah cukup keterangan, ia kemudian pamit dan berlalu meninggalkan Kandang
Gapabel. Bang Jokie, Danu, Dita masih menemani kami dengan kopi dan penganan
alakadarnya di sore menjelang senja itu.
Minggu, Rumah
Baca Akar, 22 April 2018
Melacak Jejak Topole di Balitung (1) "Iyau Tomandar"
Melacak Jejak Topole di Balitung (1)
"Iyau Tomandar"
Malam kian beranjak. Gerimis sempat
mengintip malu-malu ketika usai makan malam bersama keluarga besar Rumpita di
Warung Barokah di sudut kiri simpang tiga Taman Kota Tinambung yang terdapat
Patung Andi Depu. Warung Barokah menjadi alternatif bagi keluarga Rumpita untuk
jika dalam kondisi emergency. Warung Barokah bersih, makanannya enak dan
dikelola oleh orang Jawa. Menu favoritku di warung ini pasti nasi goreng kalau
bukan pangsit. Menunya pas dan terkesan murah untuk sekedar memanjakan lidah. 1
porsi nasi goreng maupun pangsitnya hanya dibandrol 10K.
Begitulah, setelah ngopi dan sedikit
diskusi dan berwejangan sama anak-anak Rumpita terkait beberapa agenda Wisata
Buku, saya akhirnya berkemas untuk bersiap-siap berangkat ke Makassar. Asrar
mengambil peran menunggu mobil yang kemudian disusul oleh Kadir, Adhy, Nizar,
Ade, Indi dan tentu saja Erna, mamanya Ibnu. Erna, sosok wanita yang dengan setia
merangkai do'a untuk saya, kendati harus melupakan kenikmatan do'a untuk
dirinya. Tepat pukul 22.30 menit, mobil Bus Sipatuo milik perusahan PIPOSS
berhenti tepat di depan Masjid Nurul Amin Kandemeng. Sisa kopiku masih sempat
kuseruput untuk selanjutnya saya berjalan menuju ke arah depan dimana mobil dan
anak-anak Rumpita menunggu.
Satu persatu kusalami, Aku larut pada
lingkup berkah ketika doa kulangitkan diantara pelukan kasih sayang dan ciuman
mesra pada kening istri dan anakku sebagai pola pamitan. Terima kasih sayang.
Kau masih setia dan merelakan duniamu kugelapi dan kuterangi ! Aku berangkat
sayang. I Love You.... Mesin mobil menderu, sedetik kemudian bergerak pelan
pada saat saya sudah duduk tenang di Jok kursi nomor tiga dibelakang kondektur dan
sopir. Dibilangan 21 April 2018 Pukul 22.40 menit menandai perjalanan panjangku
dimulai.
Bertolak dari Kota Para Daeng (Mandar)
menuju Kota Daeng (Makassar). Route Tinambung, Polewali, Pinrang, Parepare,
Barru, Panggkep, Maros berujung pada gerbang Bandara Internasional Hasanuddin.
Dingin AC mobil terasa menyengat sampai keulu hatiku ketika kondektur berteriak
Bandara....bandara....Lewat pintu bandara, mobil melaju masuk ke arah pintuk
keberangkatan bandara. Disamping jalan kiri kanan sepanjang akses ke termanal
bandara, nampak promosi OPPO F5 berjejer laksana serdadu.
Lebih dekat ke terminal OPPO diganti
dengan promosi produk Class Mild. Hingga saat jarum jam menunjuk angka 04-50
mobil berhenti tepat dipintu keberangkatan. Saya bangkit dari tempat duduk
menuju pintu keluar mobil bagian depan. Pas di trotoar pintu terminal
keberangkatan, puluhan anak-anak berhamburan menyerbu ke arah Bus yang saya
tumpangi. Bocah-bocah itu ternyata kawanan kuli panggul di bandara. Kendati
mungkin keberadaannya tidak resmi, sebab rata-rata mereka adalah anak usia
sekolah atau dibawah umur tapi paling tidak ada yang menarik untuk saya catat
dari mereka itu. Menunggu bag tour yang semalam saya bagasikan lewat kondektur,
belum sempat saya sentuh kopor itu sudah ditadah sama bocah-bocah kecil itu.
Saya berusaha merebutnya tapi dia
malah memotong jarak dan melompati pembatas besi tang terdapat di koridor
terminal bandara. Hanya satu kata yang terucap dari mulutnya saat saya ikut
dibelakangnya, "Saya bantuki pak,
ndak usah dibayar". Beberapa saat kemudian bag tourku diletakkan pas
dipintu masuk bandara. Kendati ia mengatakan tidak usah bayar, tapi sebagai
manusia, tentu saja uang 2.000an bukan masalah, justru lembaran 5.000an yang
saya serahkan. Pukul 06.00 pagi, setelah melalui pintu yang terdapat detektor
dan pelayanan boarding pas saya langsung menuju ke eskalator sebab panggilan
untuk Chek In sudah ada.
Pesawat milik maskapai penerbangan
Lion Air ini mengantar penumpang tujuan Jakarta termasuk saya yang transit di
Jakarta untuk menuju ke Kota Timah Belitung. Setelah melewati waktu tempuh 2.15
menit, pesawat akhirnya mendarat di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng tepat
pada jam 07.15 menit waktu Jakarta. Tiba diterminal kedatangan. Barisan pekerja
jasa travel dan hotel segera menyerbu menawarkan diri untuk layanan antar ke
tujuan. Dipintu keluar bandara, segera kuambil arah kiri untuk masuk ke
Terminal Keberangkatan 1 sambil menunggu penerbangan ke Belitung.
Didalam area terminal keberangkatan
segera kukabarkan pada sanak famili sebab jam 10.00 pesawat tujuan Jakarta
Belitung lepas landas. Pagi di lembar 22 April 2016 kurenda di ruang tunggu
Gate 4 Bandara Soekarno Hatta. Saat Handphone kuaktifkan, puluhan pesan via WA
masuk dari grup keluarga Rumpita. Termasuk pesan dari Yuyun Husni Djamaluddin,
yang menanyakan tindak lanjut dari hasil kesepakatan di Hotel Maleo Mamuju
mengenai pengembangan dunia literasi. Belum sempat japriannya kubalas, beliau
menelpon langsung. Poin penting dari percakapan kami adalah spirit yang kerap
ia ingat dari almarhum ayahnya, "Iyau
Tomandar". Bahasa yang singkat, namun penuh makna yang dalam dan
panjang untuk dinarasikan. Selain menjadi pengisi waktu menunggu pesawat,
rupanya diskusi saya dengan doktor cantik putri Sang Beruang Sulbar atau
Panglima Puisi ini ternyata memberi spirit untuk perjalanan saya ke Belitung.
Maka, sepakatlah saya dengan Mbak
Yuyun bahwa Diskusi Remapping Sulbar
harus mengusung tema Iyau Tomandar.
Demikian hasil perbincangan saya dengan dosen Perpolisian Masyarakat yang pada
Debat Kandidat Pilgub Sulbar 2017 lalu menjadi Host atau pemandu. Spirit "Iyau
Tomandar" dari Yuyun ini sampai ke Belitung menjadi sebuah jawaban
bahwa melacak jejak seorang diri dengan obyek Melacak Jejak Topole di Balitung
ini merupakan tindakan berani dan nekat. Begitulah teman-teman di Kandang
Gapabel mencandaiku. Jawaban singkat saya "Iyau
Tomandar" Pesawat akhirnya take
off menuju Belitung, Kota Laskar Pelangi tepat jam 10.30 dan tiba di
Bandara Belitung jam 11.25 menit.
Jakarta-Belitung,
Minggu 22 April 2018
Minggu, 06 Agustus 2017
CATATAN KECIL DISKUSI LITERASI BERSAMA WAKIL BUPATI MAJENE
Oleh : Muhammad Munir
Ba’da ashar, gerbang depan Stadion Mandar
Majene seketika menjadi lautan buku. Masyarakat Majene mulai dari umur balita
sampai kepada orang tua menyemut memadati area Lapak Buku pada edisi IV Majene
Membaca, tanggal 8 Agustus 2017. Para pengunjung Lapak Baca sontak dikejutkan
oleh salah salah seorang pengendara motor yang berhenti pas didepan palang
pembatas untuk masuk ke area Lapak Baca. Seorang lelaki turun dari boncengan
motor dan berjalan menuju area lapak baca. Sebuah pemandangan yang membuat para
pengunjung tersadar bahwa orang yang datang mengahampiri lapak baca itu
ternyata bukan pengunjung biasa.
Lelaki itu adalah Pak Lukman, Wakil Bupati Majene yang singgah
di Lapak Buku Rumpita karena tertarik dengan kaos bergambar dan bertuliskan
Kacaping. Tak ayal lagi, ia menjadi obyek jepretan kamer saat mulai membuka plastic
baju sampai ia membayarnya langsung ke salah satu personil Rumpita. Beliau dating
memenuhi undangan para penggiat literasi untuk berdiskusi dan lesehan.
Lukman, S. Pd., M. Pd. Demikian nama lengkap beliau. Saya tentu harus
menjabat tangan beliau dan mengucapkan terima kasih kepada beliau atas
apresiasinya terhadap gerakan ini. Meliahat beliau, tak ada yang terbersit dalam ingatan
saya selain sebuah peristiwa pada tahun
2002 sebelum daerah ini berwujud sebagai provinsi Sulawesi Barat. Entah beliau masih ingat atau tidak, saya bahkan pernah akrab dan menginap dirumah kediamannya. Saat itu,
penulis bersama Masruddin (Pegawai Pertanahan Kabupaten Majene) aktif sebagai
distributor CNI, salah satu perusahaan multi level marketing terkemuka di
Indonesia. Lukman terdafatar sebagai distributor CNI dan Masruddin sebagai up-linenya. CNI pada tahun 2002 itu
mencapai ledakan jumlah distributor melalui produk pupuk Plant Catalys. Penulis sebagai
distributor memang sangat aktif membantu mitra dalam sosialisasi dan persentasi
dilapangan. Penulis bahkan sampai ke Mamuju, Bambaloka, Lariang, Tikke,
Pasangkayu dan menyebrang ke wilayah Donggala (Lalombi-Watatu) untuk urusan
bisnis MLM ini.
Dari situ sosok dan pribadi beliau kukenal inci demi inci. Lewat bisnis MLM CNI inilah penulis mengenal Lukman. Tepat sauatu malam sempat
kami diskusi kecil menetapkan impian masing-masing, sebab perusahaan CNI adalah
perusahaan yang aktif mengembangkan usaha dan pengembangan diri distributor.
Penulis bahkan sangat ingat kala itu Pak Lukman sabang hari prospek dan menjual pupuk Plant Catalys kepada para
petani. Pak Lukman saat itu menetapkan
impiannya untuk menjadi Bupati Majene agar bisa membantu lebih banyak petani
dan membangun daerahnya, terutama daerah Lombo’na. Kekuatan impiannya itu betul-betul ia bangun hingga hari ini, 15 tahun lalu untuk kedua kalinya
saya berjabat tangan ia kini berstatus Wakil Bupati Majene periode
2015-2010. Saya bahkan sangat yakin bahwa dengan impian yang kaut, ia pasti bisa meraih
cita-citanya sebagai orang nomor satu di Kabupaten Majene. Amin.
Sang inspirator dan motivator ini lahir di
Majene pada tanggal 24 Desember 1967. Ia terlahir sebagai masyarakat biasa tapi
mampu menjadi manusia yang luar biasa. Putra pasangan Nurma dan Hj. Cindara ini
menyelesaikan pendidikannya di SD 20 Somba pada tahun 1980. Selesai di SLTP 1
Somba tahun 1983, ia
kemudian memilih melanyelesaikan pendidikan tingkat atasnya di
SMA 1 Majene. Selesai SMA ia tak langsung melanjutkan pendidikannya namun lebih
tertarik bekerja sebagai wiraswasta.
Sebelum masuk dalam dunia politik praktis,
suami dari Rahmatia ini aktif di organisasi kemasyarakatan. Ia memilih KNPI sebagai
organisasinya untuk berbakti pada masyarakat. Dari menjadi sekretaris KNPI
Kecamatan Sendana sampai ia dipercaya menjadi Ketua KNPI Kec. Sendana. Suka duka Lukman membangun impiannya, memang sungguh
menyakitkan. Ia bahkan pernah dihina dan dicibir dengan pernyataan bahwa Lukman
cocoknya hanya sebagai Cleaning Service di kantoran saja. Ternyata semua itu ia
dapat bantahkan, sebab pada tahun 2009,
ia menjadi Sekretaris Kosgoro Kabupaten Majene sekaligus bergabung menjadi
pengurus partai Golongan Karya.
Dari partai Golkar inilah ia mulai meraih
mimpi-mimpinya dan berhasil menjadi anggota DPRD Majene. Tahun 2014 kembali
terpilih dan dipercaya sebagai Wakil Ketua DPRD Majene. Setahun menjadi Unsur
Pimpinan di lembaga ini ia memberanikan diri menerima tawaran Fahmi Massiara
sebagai calon wakil bupati pada pilkada serentak tahun 2015 dan takdir
mempertemukannya untuk menjadi orang nomor dua di Kabupaten Majene.
Legislator yang kini menjadi Wakil Bupati ini
hadir diskusi literasi bersama para
penggiat literasi yang diinisiasi oleh teman-teman Pemerhati Pendidikan
EDUCARE. Lukman sangat mengapresiasi kegiatan ini. Kedepan, kegiatan seperti
ini mesti terus dikembangkan dan ditebarkan disetiap sudut dan ruang di daerah
ini. Silahkan jalan, jika dalam kegiatan kalian mendapatkan kendala, sampaikan
pada kami. Saya akan siap duduk bersama kalian untuk menyelesaikan semua
proplem yang menghambat gerakan kalaia. Demikan Lukman memotivasi para
penggerak literasi yang dihadiri banyak warga Majene.
“Saya siap kapan saja ada waktu duntuk berdisikusi terkait Majene Membaca ini. Kedepan, saya membutuhkan para pengiat untuk duduk bersama merumuskan formula dan kiat pengembangan dan penguatan literasi di Majene”. Tegas Lukman.
Rabu, 02 Agustus 2017
BAKRI LATIEF : KALINDA'DA' KONTEMPORER (Cinna, Cinnau, Cinnamu, Cinnata, Cinnana)
PENGANTAR PENULIS
Dengan
rahmat dan karunia Allah SWT. Penulis akhirnya bisa menyusun dan
menyelesaikan buku Kumpulan Kalinda’da Kontemporer Mandar “Cinna, Cinnau, Cinnamu, Cinnata,
Cinnana” yang di dalamnya memuat
narasi ratusan kalinda’da’ yang
penulis gubah dalam rentang waktu yang lama. Selain itu,.
Tujuan penulisan buku ini juga adalah upaya untuk
mengabadikan karya-karya sastra yang sepanjang sejarahnya hanya berkutat di
wilayah tutur dan lisan. Dengan tersusunnya buku ini, diharapkan masyarakat
bisa dengan mudah memilah jenis kalinda’da’ yang akan di tampilkan dalam setiap
acara/pagelaran.
Kalinda’da’ yang penulis gubah ini terbagi dalam beberapa
kelompok atau jenis kalinda’da’ yang bercerita tentang Cinta, Cinta Kepada
Allah, kepada Muhammad, Kepada Al-Qur’an sampai kepada lingkungan dan cinta
muda-mudi. Itulah sebabnya judul buku ini mengusung “Cinna, Cinnau, Cinnamu,
Cinnata, Cinnana” sebab didalamnya nyaris semua bentuk cinta terakumulasi dalam
percikan kalinda’da ini.
Dengan
terbitnya buku ini penulis menyampaikan penghormatan dan penghargaan serta
ucapan terima kasih kepada Bapak Drs. Darmansyah (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia
Cabang Sulbar). Tanpa dukungan beliau, buku ini mungkin tak akan pernah ada
rak-rak buku. Kepada Dinda Muhammad Asri Abdullah, Ketua Masyarakat Sejarawan
Indonesia Kab. Polman. Serta Ananda Muhammad Munir yang merelakan hampir setiap
waktunya untuk mengumpul dan mengetik ulang naskah-naskah yang telah penulis
selesaikan. Naskah Puaji Tokke (Kumpulan Puisi Mandar) adalah buku pertama yang
penulis percayakan kepadanya untuk menjadi editor
sekaligus member hak kuasa atas penerbitan karya-karya saya. Buku ini adalah
naskah kedua yang juga lahir dari keuletannya menyortir dan menyunting serta
mengedit naskah-naskah yang lusuh dalam tas penulis.
Almarhum
Husni Djmaluddin, Syarbin Syam, Drs.
Abdul Muis Mandra, Andi Syaiful Sinrang, MT. Azis Syah, Ahmad Patingari, Nurdahlan Jirana,
Ali Sjahbana. Mereka adalah sosok
yang ikut mewarnai proses lahirnya peradaban di tanah Mandar. Mereka adalah guru yang
penulis jadikan inspirasi dalam
berkarya. Olehnya, buku ini penulis halalkan untuk menjadi amal jariyah dan
berharap setiap pembaca berkenan mengirimkan bacaan Surah Al-Fatihah yang
pahalanya adalah buat mereka.
Terkhusus
ucapan terima kasih kepada orang tua kami Nurdin Hamma, Drs. Suradi Yasil, M.Si. yang banyak memberikan
literatur, saran dan masukan kepada penulis.
Penulis
mengharapkan kritikan dari pembaca yang budiman untuk dijadikan bahan perbaikan
pada edisi berikutnya. Disana-sini, tentu terdapat banyak kekurangan Kritik dan saran dari pembaca
sekalian adalah hal yang penulis tunggu-tunggu. Dan kepada Allah SWT jua kita berserah diri sebagai pemilik kebenaran
mutlak, dan semoga kita semua dimudahkan dalam mencari ilmu-Nya. Amin !
Tinambung, 1 Agustus 2017
BAKRI LATIEF
Tinambung, 1 Agustus 2017
BAKRI LATIEF
TELAH TERBIT : Buku PU'AJI TOKKE (Kumpulan Puisi Mandar Bakri Latief)
PENGANTAR PENERBIT
Jumlah suku di Indonesia menurut data tahun 2016 sekitar
1340 suku. Jumlah ini merupakan suku terbanyak di dunia. Indonesia pun memiliki
jumlah bahasa daerah 700-an lebih.
Suku Mandar tersebar di wilayah Sulawesi Barat yang luas.
Kali ini, kami mendapatkan berkah karya-karya puisi berbahasa Mandar. Mungkin
di edisi lain, dapat kami terjemahkan puisi berbahasa Mandar ini. Pekerjaan
yang tidak mudah, juga bukan membuat kami menyerah. Malahan, membuat kami
bangga untuk dapat menerbitkannya. Sungguh jarang kita mengenal budaya, adat,
dan bahasa yang banyak itu.
Kumpulan puisi Mandar ini berjudul: Puisi Mandar
"Puaji Tokke", yang artinya Haji Tokek. Dituliskan oleh penyair
Bakrie Latif, yang akrab disapa dengan Papa Dita, lahir tahun 1949 di
Tinambung, kawasan Calo-Calo. Seorang penyair dan seniman lukis yang sederhana,
humanis, dan menjadi tumpuan harapan penyair-penyair muda juga seniman lainnya
untuk tak lelah berkarya. xix
Banyak puisi-puisi ini yang bernada satir. Relevan kepada
keadaan saat ini yang tak tentu budaya juga adat bangsa yang ragam ini akan
dibawa ke mana. Puisi-puisi Papa Dita ini seolah mengentak kita jangan terlena
dengan 'dunia' luar, agar bangun segera dari lelap yang dibuai berbagai macam
hiburan-hiburan yang monoton dan kosong. Bukan semua itu tak dibolehkan, tetapi
janganlah dilupakan akar berpijak bangsa yang besar ini. Akar untuk saling
menyapa saling mengenal, bahwa sungguh banyak budaya dan bahasa yang perlu
dikenal, dijelajahi, dan dipelajari.
Agaknya, buku puisi Mandar ini menjadi penyejuk dan madu
segar di tengah-tengah carut keadaan yang mencekam. Membawa kembali keramahan,
senyuman, tolong-menolong, toleransi, yang merupakan sendi-sendi persatuan dari
Timur hingga Barat selamanya.
Puaji Tokke.
Marry Rose
CEO - Rosebook
Langganan:
Postingan (Atom)