Jumat, 20 Januari 2017

Kacaping Mandar Ala Bamba Tipalayo

MENEMBUS GUNUNG MEMBELAH LAUT



(04)
Diambang malam kutelisik pojok demi pojok
Diberanda dan serambi serta sisi kanan kiri ruangmu
Dan malam jua yang mengantarmu lari dan berjalan bersamaku
Menembus gunung membelah laut
Mengawal sebuah kisah yang nyaris melelerkan darah
Sebab peluh dan air mata tak mampu lagi menolongmu

Utara, selatan, selatan tenggara, tenggara, timur, timur laut, timur barat daya
Semua memeberiku ruang untuk mangantarmu ke dunia baru
Dan kerinduan jualah yang mengantarmu menemukan takdirmu
Menembus gunung membelah laut
Mengusung sebuah harapan tanpa pernah menoleh kekiri dan kekanan lagi
Maju dan terus maju hingga malam berlalu dan menghilangkan jejakmu
Yang ada hanya serapah makian yang mencincang segala tentangmu

Menembus laut membelah gunung
Sebuah kisah tragedi yang seakan kuanggap komedi
Aku mungkin sudah gila
Karna semua harus kupertaruhkan untuk melukai mereka
Namun, andaikan mendapatkanmu aku harus gila
Maka gila bagiku adalah sebuah kebanggaan !
Mari kuantar engkau ke gerbang
Disana ada spektra fenomena alam
Yang mungkin bisa kau selami
Menarilah bersamaku, meski air mata
Tak  mampu kau urai

Data’e,
30 Januari 2013

JEJAK LITERASI RUMPITA SULBAR

BEBERAPA KONSEP PENGUKURAN “KESEJAHTERAAN MASYARAKAT” DI DUNIA



Oleh: Suyuti Marzuki

Hampir dapat dipastikan bahwa tujuan pembangunan manusia dari semua paham-paham pembangunan adalah membawa umat manusia menuju kepada kesejahteraan (Adesina, Social, & Programme, 2010; Dreher, 2006; Kumlin & Rothstein, 2005; Midgley, 2006).Bahkan jika ditinjau dari aspek penegakan hak-hak asasi manusia pun, sesungguhnya pembangunan manusia haruslah dalam rangka pemenuhan unsur-unsur kesejahteraannya (ADB, 2003; Ife, 2007, 2009).

Konsep dan pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat yang selama ini berkembang dan digunakan oleh beberapa Negara senantiasa mempergunakan ukuran yang bersifat multi-dimensional. Hal ini dapat dipahami karena isu kesejahteraan masyarakat memiliki kompleksitas persoalan yang sangat beragam, yang tidak bias diselesaikan melalui pendekatan satu dimensi/variabel (single dimension) saja.Berikut terdapat beberapa konsep pengukuran kesejahteraan yang digunakan oleh negara-negara maju di dunia hingga saat ini, yakni:

Human Development Index (HDI)

Konsep pengukuran HDI atau yang dikenal dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dikembangkan oleh UNDP guna menduukung konsep pembangunan berkelanjutan.Inti dari konsep kesejahteraan adalah melakukan "social invesment" guna menghasilkan SDM yang berkualitas sebagai motor penggerak utama pembangunan berkelanjutan. Indeks ini berfungsi untuk mengukur perkembangan pembangunan manusia di suatu negara, dengan 4 (empat) indicator utama, yakni: (1) angka melek huruf; (2) angka partisipasi pendidikan; (3) angka harapan hidup; dan (4) PDB PerKapita (dayabeli). Jadi, IPM melihat konsep kesejahteraan secara parsial, yakni dari sudut pandang pendidikan, kesehatan, dan tingkat pengeluaran riil untuk memenuhi kebutuhan per individu (Osberg & Sharpe, 2003; Setiawan & Hakim, 2013).
Gross National Happiness.

Konsep pengukuran kesejahteraan masyarakat ini diterapkan di sebuah Negara kecil, Bhutan di dekat negara India, Asia Tengah. Penggunaan konsep pengukuran "kebahagiaan" (happiness) menarik perhatian para ilmuwan sosial, ekonomi, maupun statistik. Indikator yang digunakan sangat "local specific" di sesuaikan dengan kondisi masyarakat Bhutan, seperti penguasaan bahasa Ibu, partisipasi budaya, ketersediaan terhadap akses kebutuhan dasar, tingkat partisipasi dalam kegiatan di level komunal (community vitality) atau kegotong royongan, serta keberlanjutan lingkungan.


Index Quality of Life.

Konsep pengukuran kesejahteraan ini mulai digunakan pada tahun 2005 dengan memfokuskan pada 9 variabel, yakni; (1) kesehatan; (2) kehidupan keluarga; (3) kehidupan masyarakat; (4) kesejahteraan materi; (5) keamanan dan stabilitas politik; (6) iklim dan geografi; (7) keamanan kerja; (8) kebebasan politik; dan (9) kesetaraan gender. Sumber data yang digunakan untuk pengukuran indeks ini beragam, mulai dari survei, sensus, dan laporan-laporan dari Biro Sensus Amerika Serikat atau data dari PBB (Veenhoven, 2004).

Prosperity Index

Konsep kesejahteraan ini memiliki 8 indikator, yakni; (1) ekonomi; (2) kesehatan; (3) kewirausahaan; (4) keamanan dan keselamatan; (5) tata pemerintahan (good governance); (6) kebebasan individu; (7) pendidikan; dan (8) modal sosial (social capital). Dalam perhitungannya, kedepalan indicator tersebut dihubungkan dengan peningkatan income per kapita, selanjutnya pendapatan per kapita ini sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan (wellbeing).
The Better Life Index.

Konsep pengukuran kesejahteraan ini banyak digunakan oleh negara-negara maju (OECD), dimana memiliki 11 indikator yakni; (1) perumahan; (2) pendapatan; (3) pekerjaan; (4) kemasyarakatan; (5) pendidikan; (6) lingkungan; (7) keterlibatan publik (civic engagement); (8) kesehatan; (9) kepuasan hidup (life satisfaction); (10) keamanan/keselamatan; dan (11) keseimbangan hidup (work-life balance).

The Economic Well-being Index (EWI)

Konsep pengukuran kesejahteraan ini memiliki 15 indikator dengan 4 dimensi, yakni; (1) dimensi konsumsi; (2) dimensi ketersediaan modal; (3) dimensi kesetaraan dari sisi pendapatan; dan (4) dimensi keamanan ekonomi. Adapun 15 indikatornya meliputi; (1) konsumsi per kapita; (2) angka harapan hidup; (3) pekerjaan yang tidak dinilai dengan upah (unpaid work); (4) tingkat kesenangan; (5) pengeluaran per kapita; (6) pengeluaran tidak terduga; (7) capital stock per capita; (8) sumber daya alam per kapita; (9) sumber daya manusia; (10) tingkat investasi; (11) tingkat kemerataan pendapatan; (12) tingkat kesenjangan; (13) tingkat pengangguran; (14) risiko sakit; (15) tingkat kerawanan miskin (Sumner, 2004).

Index of Happiness (Indeks Kebahagiaan)

Indeks kebahagiaan merupakan rata-rata dari angka indeks yang dimiliki oleh setiap individu. Di Indonesia pada tahun 2014, Indeks Kebahagiaan sebesar 68,28 pada skala 0–100. Semakin tinggi nilai indeks menunjukkan tingkat kehidupan yang semakin bahagia, demikian pula sebaliknya, semakin rendah nilai indeks maka penduduk semakin tidak bahagia. Indeks kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial. Kesepuluh aspek tersebut secara substansi dan bersama-sama merefleksikan tingkat kebahagiaan yang meliputi kepuasan terhadap: 1) kesehatan, 2) pendidikan, 3) pekerjaan, 4) pendapatan rumah tangga, 5) keharmonisan keluarga, 6) ketersediaan waktu luang, 7) hubungan sosial, 8) kondisi rumah dan aset, 9) keadaan lingkungan, dan 10) kondisi keamanan.

Human Wellbeing Index (HDI)

Demikian pula, Prescott-Allen mengatakan bahwa ekosistemdankesejahteraan memiliki keterkaitan lebih dari konsumsi sumber daya yang rendah (sehingga tidak dapat diukur secara memadai oleh The Ecological Footprint) serta lebih dari jumlah kebijakan dan praktik lingkungan suatu negara (yang diukur dengan Kelestarian Lingkungan Indeks). Ekosistem kesejahteraan, menurut Prescott-Allen, juga memiliki lima dimensi:
1.     Menjaga keragaman dan kualitas ekosistem lahan alami;
2.     Menjaga keragaman dan kualitas ekosistem air;
3.     Mengembalikan keseimbangan kimia atmosfer global dan kualitas udara setempat;
4.     Menjaga spesies liar dan gen dalam spesies domestikasi;
5.     Penggunaan sumber dayaalamdenganmempertimbangkandayadukungekosistem.


Prescott-Allen telah menghasilkan empat indeks: yang Wellbeing Index Manusia (HWI); Ekosistem Wellbeing Index (EWI); Indeks Kesejahteraan (menggabungkan HWI dan EWI, kemudian mengukur "sustainability"); dan Kesejahteraan / Stres Index (rasio berapa banyak kerugian pembangunan suatu negara yang tidak pada ekosistem global). The Wellbeing of Nations peta empat skor masing-masing negara ke sebuah grafik yang menunjukkan tidak hanya bagaimana negara-negara melakukan dalam hubungan satu sama lain, tetapi juga seberapa dekat mereka untuk mencapai titik "keberlanjutan" berdasarkan definisi oleh Prescott-Allen ini maka skor untuk kesejahteraan manusia dari aspek ekosistem "Keduanya harus diperlakukan sama  sama pentingnya," kata Prescott-Allen.

Berikut adalah 180 negara telah disurvey tingkat kesejahteraannya dikaitkan dengan indeks ekosistem.
Ecosystem menurun (yellow group) = Indek skesejahteraannya cukup (fair Human Wellbeing Index/ HWI)
Human deficit (blue group) = fair EWI; medium, poor, or bad HWI
Defisit ganda (red group) = baik WHI dan EWI medium, kategori miskin atau buruk.
Warna abu-abu adalah Negara yang belum disurvey.



Figure 1.Sumber (Internet)

Social Progress Index (SPI)

Awal mulanya indeks ini berangkat dari pemikiran Simon Smith Kuznets, yang terkenal atas studinya tentang pendapatan nasional dan komponen-komponennya. Kuznets adalah guru besar ilmu ekonomi di Universitas Pennsylvania (1930-54), Johns Hopkins (1954-60), dan Harvard (1960-71). Ia adalah presiden American Economic Association pada 1954.Kuznets mengubah cara pengukuran PDB. Dengan karya yang bermula pada 1930-an dan terus-menerus selama beberapa dasawarsa, Kuznets menghitung pendapatan nasional sejak 1869. Meskipun bukan ekonom pertama yang mencobanya, karya Kuznets terbilang sempurna dan teliti yang mengatur standar bidang ini.Karyanya didanai oleh lembaga nirlaba National Bureau of Economic Research, yang telah bermula pada 1920. Kuznets kemudian membantu U.S. Department of Commerce untuk menstandardisasi pengukuran Produk Nasional Bruto. Namun di akhir 1940-an, ia berpecah dengan departemen itu karena menolak menggunakan PDB untuk mengukur pekerjaan rumah tangga karena ini merupakan komponen produksi yang penting.

Berdasar pemikiran Kuznets ini, Michael Green ( https://www.ted.com/talks/michael_green_what_the_social_progress_index_can_reveal_about_your_country0  mengembangkan model SPI ini. Indeks Kemajuan Sosial meneliti indikator sosial dan lingkungan dengan tiga dimensi berbeda kemajuan sosial: 1) Kebutuhan Dasar Manusia, 2) dasar-dasar kebutuhan akan kesejahteraan manusia, dan 3) Peluang. Michael menjelaskan bahwa kesejahteraan manusia di abad 21 ini harus diukur dengan Indeks Kemajuan Sosial (Social Progress index).
Sepertinya indeks ini merupakan rangkuman dari keseluruhan indeks kesejahteraan yang telah ada sebelumnya. Penulis meyakini bahwa SPI ini cukup komprehensip dalam menilai tingkat kesejahteraan manusia saat ini.



Figure 2.Sumber Internet

Indeks Kesejahteraan di Indonesia

Sementara di Indonesia, Indeks kesejahteraan menggunakan 18 variabel. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia,sebagai lembaga pemerintah Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia,ditugaskan untuk mengadministrasi data dan informasi di Indonesia, mengintroduksi 18 indikator tentang kesejahteraan masyarakat meliputi sebagai berikut:
1.     Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP);
2.     Kepadatan Penduduk per km (KPP)
3.     Angka Melek Huruf (AMH);
4.     Rata-rata Lama Sekolah (RLS);
5.     Angka Harapan Hidup (AHH);
6.     Pengeluaran per Kapita (PPK);
7.     Persentase Rata-rata Pengeluaran untuk Konsumsi Makanan (PKM);
8.     Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Fasilitas Minum Sendiri (FMS);
9.     Persentase Rumah Tangga dengan Jenis Lantai Bukan Tanah (LBT);
10.  Persentase Rumah Tangga dengan Luas Lantai < 20 M2  (LLK);
11.  Persentase Rumah Tangga dengan Dinding Tembok (RDT);
12.  Persentase Rumah Tangga dengan Sumber Penerangan dari PLN (PLN);
13.  Persentase Rumah Tangga dengan Fasilitas Buang Air Besar Sendiri (BAB);
14.  Persentase Penduduk Miskin (RTM);
15.  Jumlah Pengangguran Terbuka (JPT);
16.  Persentase Penduduk yang Mengalami Keluhan Kesehatan Sebulan yang Lalu (PKK);
17.  Persentase Penduduk Mengalami Keluhan Kesehatan dan Kegiatannya Terganggu (PPB);
18.  Jumlah Penduduk Bekerja (JPB)

------------------------
DAFTARPUSTAKA

ADB. (2003). Adb and social protection.
Adesina, J. O., Social, T., & Programme, P. (2010). Rethinking the Social Protection Paradigm : Social Policy in Africa ’ s Development. Social Policy, 28–30. Retrieved from http://erd.eui.eu/media/BackgroundPapers/Adesina.pdf
Dreher, A. (2006). Does Globalization Affect Growth? Evidence from a New Index of Globalization. Applied Economics, 38, 1091–1110. https://doi.org/10.1080/00036840500392078
Ife, J. (2007). Human Rights and Peace. In Handbook of Peace and Conflict Studies (pp. 160–172). https://doi.org/12.4
Ife, J. (2009). Human Rights from Below-Achieving rights through community development. The Edinburgh Building CB2 8RU, Cambridge University Press.
Kumlin, S., & Rothstein, B. (2005). MAKING AND BREAKING SOCIAL CAPITAL The Impact of Welfare-State Institutions THE THEORY OF SOCIAL CAPITAL AND THE SCANDINAVIAN PUZZLE. COMPARATIVE POLITICAL STUDIES, 38(4), 339–365. https://doi.org/10.1177/0010414004273203
Midgley, J. (2006). Developmental Social Policy: Theory and Practice. Asian Journal of Social Policy, 2(1), 1–22. Retrieved from http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=intitle:Developmental+Social+Policy:+Theory+and+Practice#7
Osberg, L., & Sharpe, A. (2003). Human well-being and economic well-being: What values are implicit in current indices. … Inequality, Poverty and Human Well Being, …, 1–60. Retrieved from http://www.researchgate.net/publication/24130858_Human_Well-being_and_Economic_Well-being_What_Values_Are_Implicit_in_Current_Indices/file/50463519d0bc9e8da5.pdf
Setiawan, M. B., & Hakim, A. (2013). Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Jurnal Economia, 9(1), 18–26. https://doi.org/4102002
Sumner, A. (2004). Economic Well-being and Non-economic Well-being. UNU-WIDER Conference on Inequality, 4(30), 30–31.
Veenhoven, R. (2004). Subjective Measures of Well-being Ruut Veenhoven. World Institute for Development Economics Research.


Kamis, 19 Januari 2017

Pesona Cakkuriri

HM. SAID SAGGAF : Bupati Pertama Kabupaten Mamasa





        Mamasa pada tahun 1940. Ketika itu Mamasa masih dalam status pemerintahan kewedanan. Meski masih kewedanan tapi Mamamsa sudah sangat dikenal dengan panorama alamnya yang memesona.  Drs. HM. Said Saggaf, M.Si[1] lahir disebuah yang terletak di Desa Buntu Buda pada 27 Desember 1942. Said Saggaf adalah buah cinta dari pasangan Saggaf dengan Hj. Sannang.
             
Dalam darahnya masih mengalir turunan Bugis. Ia lahir 4 bersaudara, Hj. Nadira, Said Saggaf, Hj. Salwiyah dan Syarifuddin Saggaf. Said Saggaf melalui masa kecilnya di Mamasa. Ia mulai sekolah di SR 2 Mamasa selama 6 tahun dan lanjut SMP di kota yang sama. Pada saat kelas 3 SMP ia pindah ke Parepare dan menamatkan pendidikannya di kota niaga tersebut.
             
Said Saggaf melalui proses pertumbuhannya dengan biasa-biasa. Ia suka mandi-mandi dan main bola layaknya anak kebanyakan. Padahal Said Saggaf secara ekonomi lahir dari keluarga yang tergolong berada di Mamasa. Kakeknya adalah orang pertama yang memiliki mobil di Mamasa. Bahkan Saggaf, bapaknya sudah memakai motor gede, Harley Davidson.
            
Said Saggaf sejak SD sampai SMP tidak ada yang menonjol dari segi pendidikan. Nanti pada saat di SMA barulah agak menonjol, terutama bahasa Inggrisnya. Tahun 1962 ia lanjut kuliah di UNHAS mengambil Fakultas Sospol jurusan administrasi Negara. Ia tak terlalu aktif dalam organisasi mahasiswa kecuali organisasi daerah. Dulu ia sempat menjadi Ketua KPMPM (Kesatuan Pelajar Mahasiswa Polewali Mamasa), wadah berhimpunnya mahasiswa Polmas di Makassar. Ia aktif bersama Yultan Lebu, Sumama (Wonomulyo), Muhammad, Madjid Burhan (Tinambung) dan Yonatan Puallilin (Mamasa).

 Pada saat Said Saggaf sudah di tingkat lima di Unhas, ia mendaftar pegawai dan lulus jadi PNS dan ditempatkan di Kabupaten Sidrap. Ia beruntung sebab diangkat jadi PNS. Praktis kuliahnya putus meski sesungguhnya ia  diberi kesempatan tetap kuliah oleh Zainal Wali Amrullah yang saat itu menjabat sebagai Kepala Direktorat PMD Provinsi Sulawesi Selatan, namun ia tetap konsentrasi untuk bekerja sebagai PNS.

Menjadi PNS tentu saja hidupnya berubah. Tahun 1972 ia menjadi Kepala Kantor PMD Kabupaten Takalar dan menikah dengan seorang dara Bugis yang bernama Hj. Aisyah. Ketika salah seorang pejabat di jajaran PMD Takalar ditugasi kuliah di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta, Anwar Bangki’. Anwar Bangki menolak sehingga atas nama Pemerintah Provinsi, ia lalu menugaskan Said Saggaf sampai tahun 1974 dan kembali ke Sulawesi Selatan. Disana ia diangkat menjadi Kepala Sub Dit Prasarana Perekonomian Desa Kantor PMD Provinsi Sulawesi Selatan 1975-1977.

Said Saggaf dekat dengan Ketua DPRD Kabupaten Wajo, H. A. Mungkace, sehingga ia meminta agar bisa ditugaskan di daerah Wajo. Atasannya, Zainal Wali Amrullah saat itu juga setuju sehingga ia dipindah tugaskan menjadi Kepala PMD Kabupaten Wajo. Ia bertugas disana delapan tahun lebih dan berhasil menjadikan Kantor PMD Wajo sebagai pilot project Kantor PMD se-Indonesia Timur.

Pada tahun 1985 ia dipindah tugaskan menjadi Kepala PMD Kota Makassar sampai tahun 1989. Walikota saat itu dijabat oleh Yansi Raib. Selanjutnya HZB. Palaguna, Gubernur Sulsel mengangkatnya menjadi Sekda di Kabupaten Soppeng mulai 1989 sampai 1993. Atas berbagai prestasi yang sempat ia raih sehingga DPRD Kabupaten Bantaeng memilihnya menjadi Bupati selama satu periode (1993-1998)

Setelah mengakhiri jabatannya sebagai Bupati Bantaeng, ia kembali diangkat oleh Gubernur Palaguna untuk menjadi Kepala Diklat Provinsi Sulawesi Selatan dan dijalaninya sampai tahun 2001. Periode 2001-2002 ia bekerja sebagai widyaswara pada diklat regional IV Makassar, sekaligus pangkatnya dinaikkan dari Pembina utama muda golongan IV/C ke utama madya golongan IV/D.

Ketika Mamasa resmi menjadi Kabupaten, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002, atas nama Menteri Dalam Negeri, Gubernur HZB. Palaguna menunjuknya sebagai pejabat Bupati Mamasa. Selanjutnya pada pertengahan tahun 2003, Said Saggaf dipasangkan dengan Victor Paotonan, S.Sos sebagai Calon Bupati Mamasa untuk jabatan Bupati periode 2003-2008. Saat itu pemilihan di parlemen Mamasa dimenangkan oleh pasangan ini.

Demikianlah, ia resmi menjadi Bupati Mamasa dengan kondisi betul-betul memulainya dari nol. Mamasa pada waktu itu betul-betul terbelakang sehingga yang dilakukan pertama kali adalah memperbaiki prasarana dasar, baik infrastruktur maupun seperti pendidikan, pariwisata, kesehatan dan pertanian.   

Ia juga mengajak DPRD Mamasa selaku mitra pemerintah daerah agar anggaran APBD sebagian besar diperuntukkan untuk dialokasikan pada pembukaan akses jalan antar kabupaten, kecamatan dan desa. Akses jalan dimulai dengan rintisan dan pengerasan seperti jalur Mamasa-Tabang-Tator langsung dibuka dengan lebar delapan meter.

Said Saggaf ingin mewujudkan Mamasa sebagai kota wisata untuk menarik minat wisatawan masuk ke daerahnya. Berbagai pertimbangan itu didasari oleh pengakuan turis-turis yang sempat masuk ke Mamasa. Para Turis itu menilai Mamasa sebagai kota yang indah, beautiful scenary. Dengan demikian, tak ada jalan lain selain membangun infrastruktur dan prasarana dasar. Setelah itu baru beralih ke pembangunan kantor bupati, DPRD, Gabungan dinas-dinas, kantor camat, puskesmas dan sekolah-sekolah yang semuanya harus bertingkat dua, terutama sekolah yang berada di ibukota Mamasa.

Said Saggaf menilai bahwa Kabupaten Mamasa adalah kabupaten yang SDM-nya rendah dalam semua lini, baik aparat maupun pemerintah. Maka selaku bupati, ia ingin membuat perubahan mendasar, yaitu perubahan pola fikir dan perilaku.  Dengan dasar itu, ia berobsesi menjadikan Mamasa sebagai kota mungil, small beautiful. Ia juga ingin akses jalanan antar kecamatan dan desa meningkat agar  mobilitas barang dan uang menjadi lancer. Dengan demikian, maka periodenya yang lima tahun bisa berpacu dengan kabupaten lain yang ada di Sulawesi Barat.

Hal yang juga sangat ia perhatikan adalah toleransi antar umat beragama. Mengingat Mamasa adalah kabupaten yang mayoritas beragama Kristen dan kepercayaan alu’ todolo’-Mappurondo bisa terjalin untuk memfaktualkan pesan  Mesa Kada Dipotuo Patang Kada dipomate.[2]


[1] Bupati Pertama Kabupaten Mamasa Periode 2003-2008
[2] Sarman Sahuding, 2006