Pertama-tama
saya ucapkan terima kasih kepada adinda, Muhammad Ridwan Alimuddin (Pustakawan
Armada Pustaka Mandar) yang telah dengan sudih bersilaturrahmi, memberikan
tanggapan terhadap tulisan saya berjudul “Bhinneka Tunggal Ika Dalam Perspektif
Mandar”. Beliau memberikan tanggapan di Radar Sulbar edisi 13 januari 2017
dalam halaman opini dengan judul “Apakah Kata “Tunggal” dalam Bhinneka Tunggal
Ika Bahasa Mandar.
Tentu kita sepakat bahwa tujuannya adalah menjalin hubungan bersahabatan yang
lebih akrab. Dan tidak setuju jika merusak hubungan silaturrahmi. Perbedaan
pendapat bila disikapi secara arif dan bijaksana tentulah menambah keakraban
diantara kita. Begitu juga perbedaan pendapat akan menjadi rahmat bila niatnya
untuk menemukan ilmu pengetahuan demi kemaslahatan ummat.
Opini
yang saya tulis di Radar Sulbar edisi 9 januari 2016 bukanlah semata-mata
dilatar belakangi polemik di dunia maya atas pernyataan saya pada saat menjadi
pemateri diskusi akhir tahun di gedung Assamalewuang kabupaten Majene, 30
Desember 2016. Sebelumnya juga menyampaikan materi yang sama pada orasi dengan
tema Bhinneka Tunggal Ika dalam acara “Nusantara Bersatu” yang diselenggarakan
oleh Dan Dim 1401 Majene di lapangan Prasamya Majene. Tulisan/Opini di Radar
Sulbar lebih dari menjalin persatuan dalam keberagaman demi keutuhan NKRI yang
didalamnya juga bagian dari suku, bahasa dan budaya Mandar.
Adinda
sendiri mengakui bahwa pernyataan itu telah dikutip di media online, Mandarnews.com (30 desember 2016), dengan kalimat sebagai
berikut “Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyang Indonesia tidak berasal
dari bahasa Sansekerta. Tapi berasal dari bahasa Mandar. Saya katakan Bhinneka
Tunggal Ika berasal dari kata bahasa Mandar itu. Bhinneka tunggal, tunggal
bahasa Mandar, Situnggalang. Bukan bahasa Sangsekerta itu Bhinneka Tunggal Ika,
saya katakana bahasa Mandar. Tunggal mesa kan. Inggai situnggalang, berduel”. Tulisan yang
sepotong-sepotong itu, bukanlah pernyataan yang utuh karena ada perdebatan,
pertanyaan kemudian diklarifikasi.
Perlu
diketahui bahwa acara yang digelar pada tanggal 30 desember 2016 itu, merupakan
forum ilmiah. Dialogis yang sekali lagi merupakan diskusi, perdebatan,
pertanyaan, dan klarifikasi yang utuh, bukan kutipan sepotong-sepotong. Dan
kesimpulannya tentu ada pada panitia penyelenggara. Supaya pernyataannya
sempurna saya berharap utuk tidak mengutip di media online, lebih baik
bersilaturrahmi secara langsung.
Saya
hanya mengingatkan kepada pembaca yang budiman akan pesan keimanan di dalam
kitab kebenaran mutlak “Ya ayyuhal-lazina amanu in ja ‘akum fasiqum binaba’in
fa tabayyanu an tusibu qaumam bijahalatin fa tusbihu ‘ala ma fa ‘altum nadimin:
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu
membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan
suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu
itu (QS: Al-Hujurat; 6). Harus dijadikan pembelajaran bahwa berita yang tidak
sempurna (tidak utuh), dipotong-potong lebih-lebih yang beredar di dunia maya,
sering kali menimbulkan perselisihan. Apalagi jika didorong keegoisan pribadi,
merasa pintar dan benar sendiri – orang lain bodoh dan salah. Tentu bukanlah
itu sebagai warga Negara yang baik dan sangat jauh dari hakekat Bhinneka
Tunggal Ika.
Alhamdulillah,
adinda juga telah membenarkan bahwa kata “Tunggal” ada juga dalam kosa kata
bahasa Mandar (paragraf-4) yang juga bisa ditemukan dalam kosa kata bahasa lain
di Nusantara lalu mengutif beberapa daerah yang menggunakan juga kosa kata
“Tunggal”. Dan saya pikir tidak ada salahnya, jika orang lain juga menggunakan
dan mengakui sebagai bahasanya. Perlu diingat bahwa pada mulanya manusia
berasal dari diri yang satu dan bahasanya pasti sama (satu), karena
beranak-pinak (populasi) serta perkembangan peradaban, maka perkembangan
bahasapun mengikutinya. Dan tidak menutup kemungkinan dikemudian hari, ada kosa
kata bahasa Mandar yang diakui sebagai bahasa dunia.
Kamus
bahasa Mandar yang disusun oleh Abdul Muttalib yang diterbitkan oleh Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta
(1977) tentu kita sependapat bahwa bukanlah satu-satu rujukan. Banyak kosa kata
bahasa Mandar dan kaya makna tidak ditemukan dalam karya Abdul Muttalib.
Adinda Ridwan yang saya hormati !. Makna yang saya maksudkan dalam tulisan itu,
khususnya pada paragraf pertama. Poinnya adalah, bahwa hakekat atau makna
kalimat Bhinneka Tunggal Ika itu adalah semua budaya, bahasa, ras, suku, agama
dan kepercayaan bersatu dalam Ke-Bhinneka-an. Beragam tetapi terbingkai secara
tunggal kedalam NKRI. Adapun sejarah proses penciptaan lambang Negara Garuda
Pancasila dengan semboyang Bhinneka Tunggal Ika, saya percaya kita semua juga
sudah mempelajarinya.
Referensi
dan atau rujukan terhadap Lambang Negara Garuda Pancasila dengan semboyang
Bhinneka Tunggal IKa tentulah tidak sedikit diantara anak bangsa yang paham dan
telah membacanya. Saya mempunyai pengalaman pribadi (tentu bukan kebanggan),
pernah menjadi mahasiswa (S2) Pasca Sarjana pada jurusan Hukum Tata Negara
(tidak selesai), juga pernah juara harapan 2 pada lomba pidato dan debat
tentang Pancasila (Simulasi P4) tingkat Provinsi Sulawesi Selatan, mewakili
kabupaten Majene (1994/1995). Dari pengalaman dan hasil kajian-kajian itu dapat
menjadikan diri serta menunjukkan karakter yang mulia sebagai bangsa yang
berdudaya.
Poin
yang harus diambil dari semua tulisan serta pidato-pidato saya tentang Bhinneka
Tunggal Ika, adalah agar kita sebagai warga Mandar tetap terlibat secara
langsung maupun tidak langsung dalam upaya menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Bukan hanya kata “Tunggal” yang harus
dibesar-besarkan, sehingga melahirkan kesan, bahwa Darmansyah itu sebagai ketua
DPRD kabupaten Majene, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Sulbar, Pendiri
Taman Bacaan Bura’ Sendana, tidak paham Bhinneka Tunggal Ika.
Saya memohon ma’af kepada semua pihak, jika saya mengharapkan tanggapan akan adanya gagasan-gagasan baru, pemikiran-pemikiran baru, ide-ide baru yang cemerlang untuk mempertebal rasa persatuan dalam ke-Bhinnekaa-an dengan tujuan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan justru merusak hubungan persaudaraan diantara anak bangsa.
Saya memohon ma’af kepada semua pihak, jika saya mengharapkan tanggapan akan adanya gagasan-gagasan baru, pemikiran-pemikiran baru, ide-ide baru yang cemerlang untuk mempertebal rasa persatuan dalam ke-Bhinnekaa-an dengan tujuan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan justru merusak hubungan persaudaraan diantara anak bangsa.
Masyarakat
Sejarawan Indonesia Sulawesi Barat berencana bekerjasama dengan Universitas
Hasanuddin (UNHAS) dan Universitas Sulawesi Barat akan mengadakan Silaturrahmi
melalui dialog kebangsaan dengan tema “Bhinneka Tunggal Ika Dalam Perspektif
Mandar”. Kepada semua pihak mulai dari Akademisi, kalangan profesi, politisi,
sejarawan, budayawan, pelajar, masyarakat secara umum untuk mengikuti acara
tersebut. MSI berharap semoga dalam acara itu dapat melahirkan pemikiran,
gagasan, ide yang berasal dari tanah Mandar untuk Indonesia yang lebih baik.
Jadwalnya akan diumumkaan kemudian.