H.
Hapati Hasan, BA[1] adalah merupakan sosok peletak dasar
pembangunan di Kabupaten Mamuju. Ayahnya berasal dari Tapangkang (Tapalang
Barat). Hapati sebenarnya adalah nama ibunya yang dilekatkan pada namanya.
Ibunya adalah warga Baturoro Desa Tubo. Sejak kecil hingga dewasa Hapati Hasan
menetap di Baturoro. Pada saat umurnya beranjak remaja, Ia sangat piawai
memainkan kecapi (kacaping).
Dalam beberapa hasil penelusuran dan
keterangan didapatkan bahwa sosok Hapati Hasan muda adalah seorang remaja yang
nakal dan pemberani. Ia kerap mengencingi teman-temannya yang lagi asik
kumpul-kumpul disebuah tempat. Biasanya ia mengambil tempat yang agak diatas
dan kencing kebawah, sehingga teman-temannya tersiram air kencingnya.
Dimasa mudanya, ia mulai
berpetualang ke daerah Kalimantan dengan mengendarai perahu layar. Dalam
pelayarannya itu ia bertindak sebagai juru batu perahu yang berdiri didepan
perahu untuk meneropong kedepan dan mengarahkan perahu kemana akan diarahkan.
Sejak muda, ia sudah berpengalaman mengarungi lautan Majene, Mamuju, Kalimantan
bahkan sebagian pulau Jawa sudah ia jelajahi. Hal tersebut juga ditunjang oleh
ayahnya yang terkkenal memiliki banyak pohon kelapa. Inilah yang mendorongnya
untuk kemudian menjadi pelaut dan pedagang kopra. Dalam berdagang pun ia sangat
cermat soal hitung-menghitung sehingga ia dijadikan juru tulis.
Hapati Hasan muda juga salah satu
yang menjadi anggita kelasykaran atau Kris Muda, wadah pejuang Mandar yang
dipimpin oleh Andi Depu. Selain itu, ia jjuga aktif di perkumpulan Nahdhatul
Ulama (NU), terlebih ibunya juga tercatat sebagai salah satu pengurus fatayat
NU. Hapati Hasan juga aktif dikegiatan olahraga, ia jago main takrow dan
berkuda. Jarak antara Tubo dan Tapalang baginya sangat dekat sebab ia bisa
memacu kudanya dengan kencang tanpa pernah istirahat.
Pengembaraan Hapati Hasan sebagai
pemuda berandal di Mandar ternyata bisa juga mengecap pendidikan. Setamat SR,
ia melanjutkan SMP di Majene. Ia merantau ke sebuah daerah yang tak jauh. Tahun
1950 di Makassar ia mendaftar jadi tentara dan lulus. Setelah itu ia ikut
pendidikan kemiliteran di Pakkatto’. Usai pendidikan, ia ditempatkan sebagai
anggota batalion.
Pada saat bertugas di Batalion
itulah ia ketemu dengan seorang dara pendamping hidupnya: seorang dara
Jeneponto yang juga sedang menunaikan tugas sebagai guru SD Negeri di Bantaeng.
Mereka akhirnya sepakat untuk menikah.
Dari Bantaeng ia dipindahkan ke Bone
dengan pangkat Kapten. Ia dipercaya sebagai Pemegang Kas Militer (PKM). Usai
tugas di Bone ia dipindahkan ke Makassar, ditarik ke Kodam 14 Makassar. Saat
itu, situasi dan kondisi Makassar sedang genting, bukan hanya Makassar tapi
Negara pun dalam keadaan genting sebab PKI akan melancarkan kudeta terhadap
pemerintahan yang sah. Kondisi tersebut
membuat Hapati Hasan bekerja keras dan mulai membina pemuda di Makassar,
termasuk di Bontorannu Kec. Mariso tempat ia tinggal dibentuk semacam
pamswakarsa yang dijadikan kekuatan untuk melawan PKI di Makassar.
Rakyat dan tentara menyatu melawan
PKI dan Hapati Hasan dipercaya membinan teriotorial yang ada di Mariso. Hal ini
sejalan dg tugasnya membina pemuda bersama dengan tokoh agama yang bernama Musri
Hamdan. Jika kudeta PKI berhasil maka yang pertama akan dibunuh adalah Musri
Hamdan dan kedua adalah Hapati Hasan.
Menjadi
Bupati Mamuju
Pada penghujung tahun 1960-an,
Mamuju masih sangat rawan. Ketika itu, baru saja usai pertikaian. Bupati Mamuju
yang barus saja ditetapkan melalui SK Mendagri, Wahab Azasi dibunuh di daerah
pergolakan. Untuk mengisi kekosongan pemerintahan haruslah menunjuk orang yang
lebih tepat. Saat itu, masyarakat dan pemuda menginginkan Hapati Hasan untuk
menduduki jabatan bupati. Hipermaju, adalah wadah berhimpunnya mahsiswa Mamuju
di Makassar dipimpin oleh Gaus Bastari. Gaus Bastari memimpin sebuah delegasi
untuk menghadap Gubernur Sulsel untuk menyampaikan pernyataan sikap mendukung
Hapati Hasan sebagai Buapti Mamuju.
Tahun
1969 H. Hapati Hasan BA resmi dilantik sebagai Bupati Mamuju. Hapati Hasan
memerintah dengan kondisi Mamuju yang masih sangat tertinggal, penduduknya
masih bisa dihitung jari termasuk rumah-rumah belum seberapa. Mamuju sebagi
ibukota belumlah layak disebut kota, ia tampak sebagai gugusan perkampungan
kumuh. Sarana transportasi lebih-lebih. Bahkan ketika Hapati Hasan dilantik
saat itu, rombongan hanya bisa sampai di Majene, sebab kendaraan tak bisa
tembus ke Mamuju. Rombongan kemudian mengalihkan perjalanan melalui laut.
Program
pertama Hapati Hasan sebagai bupati adalah mengajak warga yang tinggal
dipegunungan untuk mengungsi ke daerah pegunungan yang lebih aman. Namun warga
Mamuju salah paham, mereka masih trauma dengan pergolakan-pergolakan yang
terjadi sebelumnya. Mereka juga khawatir kedatangan tentara tujuh sepuluh di
Mamuju. Dan kedatangan Hapati Hasan di
anggap bukan sebagai sosok yang diinginkan sebab mereka masih trauma
dengan tentara, apalagi Hapati Hasan juga datang dengan latar belakang sebagai
tentara.
Kondisi
itu tidak membuat Hapati Hasan berkecil hati. Ia terus berupaya untuk
menciptakan suasana yang kondusif sehingga membuat warga menjadi tertarik untuk
kembali ke komunitas mereka yang tersebar di Mamuju. Inilah keberhasilan Hapati
Hasan yang pertama setelah menjadi Bupati Mamuju.
Program
kedua yang dilakukan oleh Hapati Hasan adalah pengembangan fisik bersinergi
dengan pembangunan sumberdaya. Awal 1970-an, pembangunan sudah mulai Nampak.
Kantor DPRD Mamuju mulai terbangun, bangunan tanggul yang ada di kota Mamuju,
bahkan perintisan Bandara Tampa Padang sebagai tempat berpacunya pesawat
terbang merupakan bangunan yang dirintis oleh Hapati Hasan pada tahun 1970-an.
Model
kepemimpinan Hapati Hasan juga menggunakan sistim kekeluargaan, sehingga rumah
jabatan bupati dijadikan sebagai rumah rakyat. Tak ada jarak anatara bupati
dengan warganya. Pemandangan di rujab ini membuat orang yang datang tak bisa
membedakan mana anak bupati dan anak kebanyakan. Mereka kadang makan bersama
dalam jumlah yang banyak. Bahkan tak jarang masyarakat yang kebetulan lewat
diajak untuk singgah dan makan bersama. Kadang rumah jabatan bak dapur umum.
Itulah yang dilakukan oleh Hapati Hasan dengan warga yang dipimpinnya. Ia
berbaur begitu rupa, tak ada jarak, tak ada sekat yang membatasi.
Hamzah
Hapati Hasan yang saat ini menjadi unsur pimpinan di DPRD Sulawesi Barat adalah
anak ketujuh yang ikut berbaur dengan anak kebanyakan. Ia sangat dekat dengan
ayahnya dan termasuk paling banyak menemani ayahnya tidur. Hamzah adalah sosok
yang paling banyak merekam jejak ayahnya semasa memerintah sebagai bupati. Bisa
dibayangkan ketika harus mengunjungi wilayah Pasangkayu dan Kalumpang saat itu.
Tentu hal itu adalah salah satu kunjungan kerja yang paling mengerikan sebab
wilayah tersebut adalah wilayah baru terbuka dan sangat kental dengan kejadian
misterius yang kerap ia temukan dijalan.
Pada
tahun 1976, Hapati Hasan bersama Hamzah ke Jakarta mengurus dana proyek untuk
infrastruktur pembangunan Kabupaten Mamuju. Di Jakrta ia menginap di Hotel
Indonesia, hotel paling mewah dan ternama di Jakarta saat itu. Urusan tersebut
berjalan mulus dan sukses mengantongi anggaran sebesar 600 juta diantar
langsung ke Mamuju. Dan infrastruktur yang dibangun dari anggaran tersebut
adalah kota Mamuju yang ada sekarang (2006-ed.).
Hapati
Hasan tidak saja mendorong pembangunan fisik. Pengembangan SDM juga ia benahi
dengan mencetak kader pemuda potensial. Salah satu kadernya adalah Almalik
Pababari yang waktu itu tengah bersekolah di APDN. Gaus Bastari juga merupakan
kader muda yang ia persiapkan dan termasuk sangat dekat dengan Hapati Hasan.
Atas ajakan Hapati Hasanlah, Gaus Bastari memilih Golkar sebagai kendaraan
politiknya. Tentu saja masih banyak kader terbaiknya yang kini memegang jabatan
penting di pemerintahan.
Kalau
Hapati Hasan ke Makassar, ia kerap mengunjungi HIPERMAJU (Himpunan Pelajar
Mamuju) dan berdiskusi dengan kaum pelajar dan mahasiswa asal Mamuju. Ia juga
kerap menyambangi PERSUKMA (organisasi masyarakat Mamuju di Makassar). Ia
banyak menginspirasi generasi muda Mamuju untuk bangkit dari keterpurukan dan
ketertinggalan.
Ada
hal yang paling berkesan dalam jejak kehidupan seorang Hapati Hasan. Pada
Pemilu tahun 1971 (Pemilu pertama Orde Baru), GOLKAR memperoleh suara 99,9
persen dari jumlah pemilih yang ada. Ini menjadikan Hapati Hasan menjadi kader
terbaik yang menjadikan Kabupaten Mamuju sebagai peraih suara terbanyak bersama
Kabupaten Wajo. Hasil tersebut melahirkan sejumlah protes salah satu partai
yang menganggap Hapati Hasan tak membuka ruang gerak kepada partai-partai
selain Golkar untuk berkembang di Mamuju.
Protes
tersebut menjadi laporan yang sampai ke Makassar, di meja petinggi militer di
Sulawesi Selatan. Hapati Hasan pun dipanggil oleh Litsus Kodam untuk
klarifikasi. Dihadapan Litsus, Hapati Hasan menjelaskan bahwa ia tak pernah
memasung demokrasi di Mamuju. Perolehan Golkar di Mamuju adalah murni hasil
kerja nyata dari partai Golkar, sebab partai lain, jangankan aktifitasnya
kantor sekretariatnya saja tak ada. Litsus Kodam pun mafhum dan menganggap
bahwa perolehan suara Golkar di Mamuju adalah murni, bukan rekayasa.
Komitmen
Hapati Hasan datang ke mamuju adalah untuk membangun. Itu terbukti dengan
pembangunan pasar sentral pertama di Mamuju. Kolaborasi antara rakyat
pemerintah terjadi. Rakyat yang mengangkut pasir dan batu, sementara pemerintah
yang menyiapkan bahan-bahan bangunan lainnya termasuk pembiayaan pasar
tersebut. Hapati Hasan tampil sebagai pendorong gerak maju pembangunan di
tengah-tengah warganya. Pengabdiannya adalah membangun. Saat pertama dilantik,
ia membawa satu tim inti dari Makassar yang disebutnya sebagai gerbong
pembangunan, menemaninya merancang konsep-konsep pembangunan Kabupaten Mamuju.
Ayah
Wilianto (pengusaha sukses yang saat ini menjadi pemilik PT. Passokkorang dan
d’Maleo Hotel), juga seorang penguasaha sukses di Mamuju, ia seorang keturunan
China adalah sosok yang kerap membantu Hapati Hasan saat menemui kendala
keuangan dalam pemerintahannya. Ia kerap membantu bupati dalam membayarkan gaji
guru-guru dan staf di kantor kabupaten. Dialah partner bupati dalam
membangun.
Akses perdagangan untuk meningkatkan
laju perekonomian ia buka ke Kalimantan dan Makassar, bahkan ke pulau Jawa.
Mamuju adalah daerah penghasil kelapa (kopra) yang menjadi andalan perdagangan
regional, meski sesungguhnya Mamuju memiliki banyak sumber daya alam, tapi
belum terkelola dengan baik. Hasil hutan berupa rotan dan kayu hutan mulai
dibukakan akses dan ini sangat diminati oleh pengusaha-pengusaha dari tanah
Jawa.
Hubungan dengan petinggi-petinggi di
daerah sekitar wilayah Mandar juga sangat dekat. Jika dalam perjalanan dari Mamuju
ke Makassar, maka ia akan singgah dan bermalam di Majene sehingga dikenal
dengan sebuatan daerah transit.
Perkembangan Kota Mamuju pada
periode pertamanya memang belum terlalu signifikan peningkatannya, tapi tata
kota sudah mulai terlihat. Pada periode keduanya, Mamuju sudah mulai berubah.
Kantor Buapti yang dahulu berdinding papan diganti menjadi lebih permanen (sekarang
jadi kantor Panwaslu Kabupaten Mamuju). Jalan Mamuju-Majene sudah terbuka. Rumah
makan yang tadinya sangat susah ditemukan sudah mulai menjamur. Tak hanya kota
yang dibangun, Tarailu yang jaraknya ratusan kilo bahkan jadi prioritas
pembangunan. Ia memperkenalkan transmigrasi local (translokal). Warga Bugis pun
berbondong-bondong datang ke Tarailu dan menjadi komunitas yang padat.
Adat dan kearifan-kearifan local
juga dibangkitkan lewat cara memposisikan Andi Maksum Dai, salah seorang
pemangku adat Mamuju menjadi Ketua DPRD Mamuju. Begitupun Gaus Bastari juga
pernah jadi Ketua DPRD Mamuju ketika ia menjadi Bupati. Gaus Bastari bahkan
dinobatkan sebagai Ketua DPRD kabupaten termuda di Indonesia. Itu artinya bahwa
Hapati Hasan member ruang gerak kepada pemuda-pemuda potensi berkembang,
bersama-sama membangun kabupaten Mamuju.
Periode
kedua sebagai Bupati Mamuju hanya ia jalani selama 3 tahun sebab di tahun
keempat (1978) ia mengalami sakit serius. Kondisi fisiknya menurun.Ia lalu
berkesimpulan untuk mengundurkan diri menjadi bupati sebab membangun sebuah
daerah tak hanya butuh semangat, tapi juga dibutuhkan fisik yang prima.
Lagi-lagi Hapati Hasan membuat sebuah keputusan bijak yang mungkin hanyan
segelintir orang yang mampu untuk melakukannya.
Hapati Hasan betul-betul menjadi
bupati yang tak kenal lelah, ia terus berjuang untuk mengubah Mamuju menjadi
sebuah daerah yang maju. Kondisi fisiknya sesungguhnya sudah mulai pulih pada
tahun 1982, sehingga terdengar rumor bahwa ia digadang-gadang akan di angkat
menjadi Bupati Majene, tapi kemudian ia tolak dan memilih untuk istirahat saja.
Ketika suatu saat penyakitnya kambuh kembali, rupanya maut sudah menjemput dan
membawanya menghadap Tuhan-Nya untuk selama-lamanya.[2]