Jumat, 13 Januari 2017

Tentang Kalinda'da' (Bagian 2)



1.    Kalinda’da’ Sebagai Karya Sastera

Kata Sastra berasal dari bahasa Sangsekerta dengan kata dasar “Sas” yang berarti instruksi atau ajaran. Sedangkan “Tra” berarti alat atau sarana. Secara umum sastra adalah hasil cipta manusia berupa tulisan maupun lisan, bersifat imajinatif, disampaikan secara khas, mengandung pesan (instruksi) yang bersifat relatif. Sastra dapat direpresentasikan dalam bentuk gambar, melody - music, lukisan ataupun karya lingkungan binaaan (arsitektur). Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “Kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.

Sastra dalam bahasa Inggiris disebut “Literature”, berasal dari kata “Litera” yang berarti tulisan yang bersifat pribadi. Istilah ini secara umum bermaksud mengidentifikasi makna yang terkandung dalam sebuah teks (tulisan) termasuk prosa, fiksi, drama dan puisi. Sebelumnya telah dikenal sastra lisan; seperti epic, legenda, mitos, balada (bentuk lain puisi lisan) dan cerita rakyat (folktale).

Dalam arti kesusatraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Disini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengepresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Sastra dapat dibagi menjadi dua, yaitu prosa dan puisi. Prosa adalah karya sastra yang tidak terikat, misalnya : Novel, Cerita/Cerpen, dan Drama. Sedangkan puisi adalah karya sastra yang terikat dengan kaidah dan aturan tertentu. Contoh karya sastra puisi yaitu : Puisi, Pantun, dan Syair.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), sastra dijelaskan sebagai berikut :
(1)   Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari);
(2)   Karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya;
(3)   Kitab suci Hindu; kitab ilmu pengetahuan;
(4)   Pustaka; kitab primbon (berisi ramalan, hitungan, dsb).
Wellek dan Austin Warren, berpendapat bahwa; Sastra adalah :
(1)   Sebuah ciptaan, kreasi, bukan Cuma imitasi;
(2)   Luapan emosi yang sepontan;
(3)   Bersifat otonom;
(4)   Otonomi sastra bersifat koheren (selaras bentuk dan isi);
(5)   Menghadirkan sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan; (6) Mengungkapkan sesuatu yang tidak terungkapkan dengan bahasa sehari-hari.[1]

2.    Bentuk Bentuk Sastra Prosa di Mandar

Selain kalinda’da’, ada berbagai macam karya sastra yang beredar dikalangan masyarakat Mandar, antara lain:
-            Pau-Pau Losong.

Pau-pau losong adalah salah satu bentuk karya sastra. Pomolitang atau dongeng yang dalam bahasa Inggris disebut folklore. Dongeng merupakan suatu cerita fantasi yang kejadian-kejadiannya tidak benar terjadi (Prof. Dr. Stjipto W, 1964:95). Pau-Pau Losong hidup dikalangan rakyat yang disajikan dengan cara bertutur lisan oleh tukang cerita, seperti pelipur lara dan pawang, termasuk jenis prosa fiksi yang tertua. Munculnya hampir bersamaan dengan adanya kepercayaan dan kebudayaan suatu bangsa.
Pada mulanya dongeng berkaitan dengan kepercayaan masyarakat yang kebudayaan primitif terhadap hal-hal yang supranatural dan manifestasinya dalam alam kehidupan manusia seperti animisme, dan lain-lain. Bagi manusia, dongeng berfungsi sebagai hiburan, keprcayaan yang bersifat yang bersifat didaktik (pengajaran moral dan nasehat bagi kehidupan), dan sumber pengetahuan. Yang terakhir ini dikemukakan oleh Jacob Grimn bahwa dongeng-dongeng menggambarkan peri kehidupan dan kebudayaan nenek moyang bangsa Jerman, serta sumber mempelajari bahasa dan menemukan hukum-hukum bahasa Jerman.

Berdasarkan isinya, dongeng digolongkan atas beberapa jenis, yaitu: mite, legenda, sage, fabel, parabel, dongeng alam, dongeng tentang peri dan hantu (ghots), dan dongeng jenaka. Dongeng-dongeng yang ada pada berbagai kebudayaan bangsa-bangsa di dunia boleh dikatakan bersifat universal, yaitu memiliki banyak persamaan dalam cerita-cerita dongeng itu. Ternyata budaya mendongeng juga lengket dengan kehidupan masyarakat Mandar.
Pada tahun-tahun 60 sampai 80-an. Tradisi mendongeng masih kerap kita saksikan dalam berbagai lapisan masyarakat. Umumnya setiap anak-anak mau tidur pada saat itu, ia selalu diantar dengan cara mendongeng. Materinya bermacam-macam, tapi yang sangat sering dijadikan materi adalah dengan menggambarkan tingkah laku binatang yang baik dan buruk yang dapat dicontohi oleh manusia misalnya dongeng I Puccecang annaq I Pulladoq (Kera dengan Pelanduk), di mana kera melaksanakan sifat yang baik dan pelanduk melaksanakan sifat yang kurang baik, atau tentang Asu mennaungguru lao di Posa (anjing berguru kekucing), tentang Nene Pakkande ate, dll.

-       Tolo’ (kisah)

Tolo’ adalah kisah yang menggambarkan liku-liku kehidupan dari seseorang tokoh dalam masyarakat misalnya kisah Tonisesse di Tingalor (seorang bidadari jatuh dari kayangan dan ditelan oleh seekor ikan Tingalor) dan tentang Ha’dara dari Renggeang. Tolo’ biasanya dinyanyikan oleh seorang pakkacaping saat tampil menghibur.

-       Sila-sila (silsilah)

Sila-sila adalah cerita yang menggambarkan suatu kerajaan dan nama-nama rajanya secara turun-temurun, misalnya silsilah raja-raja di Balanipa, Tabulahang, Aralle, Pamboang, Tabang, Mambi, Sendana, Bambang, Banggae dsb:

-       Pappasang (pesan-pesan luhur)

Pappasang adalah pesan yang menggambarkan ajaran norma, nasihat dan petuah bagi kehidupan seseorang, keluarga dan bagi kehidupan masyarakat yang lebih luas, misalnya pesan orang tua terhadap anak-anaknya, pesan seorang kakek terhadap pasangan suami isteri, pesan seorang sesepuh kepada warga masyarakat, pesan-pesan raja pada rakyatnya.[2]
Salah satu contoh pappasang adalah Naiyya Mara’dia, tammatindoi di bongi, tarrarei di allo, na mandandang mata di mamatanna daung ayu, dimalimbonna rura, dimadinginna litaq, diajarianna banne tau, diatepuanna agama” (Adapun seorang raja, tidak dibenarkan tidur lelap di waktu malam, berdiam diri dan berpangku tangan di waktu siang hari. Ia wajib selalu memperhatikan akan kesuburan tanah dan tanam-tanaman, berlimpah ruahnya hasil tambak dan perikanan, damai dan amannya Negeri/kerajaan, berkembang biaknya manusia/penduduk dan mantap teguhnya agama).

-       Mantra (Paissangang)

Mantra atau Paissangang sesungguhnya adalah salah satu bentuk karya sastra di Mandar. Misalnya “Passanreanging, Ranja’ ringe, Pittommuaneang- Pittowaineang, Panawar dll. Berikut salah satu mantera paissangang yang kerap digunakan oleh masyarakat Mandar :
(1)  Leseo mating anging
Nanaolai mating
Ipanjala-jala lino
Laso diting – Laso dini.
Wahai angin kau menghindarlah
Karena akan kesitu
Penjelajah dunia
Kejantanan (laso) disitu kejantanan (laso)juga disini

(2)      Russu’ a’dona (……….Nama orang)
Russu’ uwe’na
Kepo’ lawena
Matanna upadzipondo.
Bengkok tulangnya (…..Nama orang)
Terlipat pembuluh darahnya
Bibirnya tak lurus
Mata bolanya kusimpan di belakanku.

(3)      O….Matanna allo
Laoa’ alangang nyawana (….Nama orang)
Nyawana uponyawa
Ateu napoate
Atena upoate.
Wahai sinar mentari
Kau jemput nyawahnya/perasaannya (…Nama orang)
Perasaanya kujadikan perasaanku
Hatiku tersimpan di hatinya
Hatinya tersimpan dihatiku.

(4)      Pembolongo’o di pembolongammu
Memango’o di memangammu
Dao lamba-lamba
Siasayangngio luluare’mu.
Kau lebur dipelaburanku
Kau terperangkap diperangkapmu
Kau jangan kemana-mana
Kau saling menyayangi saudaramu. (Bersambung)
 


[1] Drs. Darmansyah, 2015
[2]Makalah Sri Musdikawati

Selasa, 10 Januari 2017

PERPUSTAKAAN RAKYAT SEPEKAN : Gerakan Literasi Berawal dari sini !

Oleh Muhammad Munir


Substansi peradaban dalam teori Ibnu Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Mengapa ilmu pengetahuan? Sebab secara pengetahuan kita boleh saja sepakat, tapi secara ilmu itu belum tentu. Konsep ilmu pengetahuan ini mencakup sebuah proses mulai dari membaca, menulis (literasi) sampai kepada komunitas yang mengembangkannya. Suatu peradaban mustahil lahir tanpa peran komunitas.

Ibnu Khaldun bahkan hanya membutuhkan sebuah komunitas kecil yang nantinya berproses menjadi komunitas besar. Komunitas biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itu akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang darinya timbul suatu sistem kemasyarakatan dan akhirnya lahirlah suatu negara. Kota Madinah, Kota Kordova, Kota Baghdad, Kota Samara, Kota Kairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan negara.

Tak berlebihan kiranya jika teori dan pernyataan ibnu khaldun tersebut dikorelasikan dengan kegiatan teman-teman di pambusuang. Perpustakaan Rakyat Sepekan (PRS) adalah agenda tahunan generasi muda di pambusuang yang di motori oleh Dahri Dahlan dkk.

Dahri dahlan, adalah putra daerah Mandar kelahiran Pambusuang yang jadi dosen di Universitas Mulawarman-Kaltim). PRS adalah biang dari sebuah komunitas kecil yang aktif mengembangkannya. PRS-1 mulai digelar pada tahun 2014, PRS-2 tahun 2015, dan PRS 3 digelar kembali tahun ini. Ajang PRS ini adalah penanda dari berkembangnya sebuah peradaban baru dimana ribuan buku di pajang yang menyulap lorong di sekitar masjid taqwa Pambusuang menjadi gelombang buku.

Seharian warga dan para pengunjung PRS akan sibuk memilah judul dan membaca buku sesuai selera. Yang juga menarik dari arena PRS ini adalah kegiatan diskusi yang diselenggarakan pada sore dan malam hari, serta didedikasikan kepada semua masyarakat secara gratis.

Pada perhelatan PRS ke-3 yang dibuka pada minggu, 13 Maret 2016, mengusung tema “bacai bacamu”. Sebagian orang menginterpretasi secara beragam tema mendasari punggawa PRS ini memakai tagline itu, sebab dalam kalimat bacai bacamu konon banyak digunakan oleh sebagian besar orang ketika mendapati oknum tertentu yang mempunyai kelakuan yang tak terkontrol. Orang yang mempunyai perilaku tidak sesuai dengan norma kesusialaan dan amasahoroan di di dalam kampung dan tidak mau mengindahkan peringatan dan nasehat, “bacai bacamu” adalah pilihan yang cukup untuk menimpalinya. Tapi sudahlah, ini bukan sesuatu yang mesti dipolemikkan atau diperdebatkan, sebab yang terpenting adalah substansi yang terkandung dalam PRS ini tersampaikan, dan Muhammad Ridwan Alimuddin juga sudah menegaskan bahwa pemaknaan dari tema tersebut adalah pemaknaan yang coba ditarik dari sisi literasinya, bukan pada mengusung persepsi negatif sebab perhelatan ini sungguh tak ada celah untuk masuk dalam pusaran pemikiran negatif.

PRS dari tahun ketahun dalam setiap agendanya, tradisi pinjam buku, gelar tikar atau terpal yang menjadi alas buku di pelataran masjid At-Taqwa Pambusuang itu dijajakkan, dipajang sampai menjadi alautan buku yang bebas dikunjungi oleh pembaca tanpa harus membayar. PRS III tahun ini menjadi lebih semarak dengan kehadiran nusa pustaka yang terletak pas di arena pajangan buku. Nusa pustaka siap menampung peserta diskusi dengan suasana yang nyaman dan ribuan koleksi buku tersusun rapih menunggu tangan-tangan lembut menyentuhnya. Diskusi lesehan di nusa pustaka menjadi penyaksi atas tema-tema diskusi dengan bermacam-macam tema dan narasumber ahli dibidangnya. PRS III dan Nusa Pustaka kini menjadi sebuah kesatuan yang utuh dan integral, tak terpisahkan, bergandengan mengusung semangat cendekia dalam melahirkan generasi ghuraba dan intelektual yang mapan.

Para pengunjung dan temn-teman kadang menganggap PRS ini adalah ajang pengisi waktu luang untuk menikmati sajian buku dari berbagai latar belakang disiplin ilmu. Nusa pustakapun kadang dijadikan obyek dari sebuah pernyataan konyol pengisi waktu luang itu. Kenapa konyol, karena pernyataan itu justru sangat paradoks dengan kenyataan, sebab di arena ini tak akan ada waktu luang selain belajar, membaca, diskusi yang tentunya menambah ilmu. Lihatlah, semua pengunjung dimanjakan dengan ribuan buku dari berbagai latar belkang ilmu dan judul. Lalu pada sore dan malam hari sebuah forum diskusi menanti.

Diskusi yang juga mempunyai tema yang secara spesifik diramu oleh penyelenggara untuk membantu dalam meningkatkan wawasan berfikir para peserta, baik sebagai masyarakat maupun sebagai pemerhati. Di diskusi prs itu ada praktisi, politisi yang merunut program dan kebijakan serta regulasi, ada sejarawan nasional JJ. Rizal, ada Maman Suherman, selebriti yang sekaligus menjadi notulen khusus di ajang ini, ada ustadz guru gaji yang mattale kittaq dengan tema agama dan peningkatan amaliah serta ubudiyah kita. Ada juga dosen, aktifis, pelajar dan mahasiswa, ada nelayan, petani dan pekerja kebun sampai pada pengangguran pun tak ketinggalan kesempatan untuk mendapatkan manfaat dari ide cerdas dan kreatif ini.

Dengan semuanya itu, PRS bukan lagi sebatas ajang menggali, membaca sesama dan memaknai pola pikir terhadap proses pengubahan sikap dan tata laku dalam upaya kemanusiaan melalui pola-pola ajar tertentu yang lasim kita sebut “pendidikan”, tapi sekaligus menjadi ruang untuk refreshing, liburan dan selfie bersama buku di Nusa Pustaka. Diskusi yang bercorak lingkungan, agama dan sastra (dongeng), bisa dikatakan telah berhasil menyulut dan menyalakan obor inspirasi yang tentu menjadi tantangan berikutnya bagi teman-teman penggagas dan pemuda setempat agar bagaimana obor tersebut dapat terbias penuh dan terang terus mengalahkan keterus-terangannya iklan Philips. Semangat lilin menyala dari apa yang masih gelap guna merambah jalan kemuara yang sehat, beriman, berbudaya, kreatif dan merdeka dari kebodohan untuk sampai pada makam minadzdzulumati ilan-nur, habis gelap terbitlah terang atau mungkin pessungo’pota pettamao randang.

Generasi Mandar hari ini dan kedepan harus selalu membatinkan bahwa belajar tidak hanya di sekolah dan di kampus, tapi bisa dimana saja. Karena sekolah dan kampus hanya mengetahui mata pelajaran, mata kuliah tetapi tidak telinga, mulut dan hati. Segala tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru dan segala benda adalah ilmu. Selain PRS, ada sebuah ghirah baru dari maraknya gerakan literasi, entah di Nusa Pustaka, Rumah Pustaka, Perahu Pustaka, Bendi Pustaka, Sepeda Pustaka, Rumpita (Rumah Kopi Dan Perpustakaan) kini menjadi solusi untuk menangkal benalu atau semacam parasit dalam dunia pembangunan karakter masa depan generasi bangsa, wabilkhusus bagi pemerintah yang kadang abai pada bagaimana menjadi bagian dari sebuah proses yang tak mereka sadari bahwa kegiatan yang sunyi dari lembar disposisi dan kwitansi berlogo kantoran adalah insan-insan yang telah mengambil alih sebagian tugas dan tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dengan tetap eksistnya prs, diharapkan budaya literasi kian bergema dan menempati ruang-ruang peradaban yang jika sejarahnya dirunut, justru peradaban itu sendiri besar dan berkembang seiring dengan tingginya semangat literasi yang hidup pada jamannya. Hal terpenting yang mesti menjadi spirit buat kita, bahwa literasi ini mesti tetap survive tanpa harus menjadikangerakan ini sebagai wadah atau alat untuk memperoleh anggaran dari kantong APBD.


Gerakan literasi sejatinya dimaknai sebagai wujud ibadah sosial yang mesti didasari dengan nawaitu dan kesadaran bahwa ini adalah kewajiban, bukan sesuatu yang harus dibangga-banggakan. Jika gerakan literasi ini motivasinya adalah pengabdian, maka tak harus ada yang menjadi siapa-siapa, mendapat apa-apa, cukup melakukan apa saja yang mampu kita lakukan sebagai bentuk pengabdian pada litaq pembolongan.