Kamis, 12 Mei 2016

Bilik Baca Rumpita Majene Terbentuk

Hari ini, 12 Mei 2016, Bilik Baca Rumpita yang beralamat di Lembang Majene mulai diisi dengan buku. Bilik Baca Rumpita dikelola oleh Mahasiswa Unsulbar. Mereka adalah Adnan, Amar dkk. Bilik Baca Rumpita ini akan launching perdana 17 Mei 2016. Bilik Baca Rumpita ini dibawah Koordinasi saudara Ardiansyah Laise. 


PROGRAM RUMAH KOPI DAN PERPUSTAKAAN (RUMPITA) yang berpusat di Kandemeng Desa Batulaya Kec. Tinambung Kab. Polewali Mandar terus digalakkan. BILIK BACA RUMPITA adalah sebuah upaya penguatan literasi dibeberapa tempat. Bilik Baca Rumpita dibentuk sebagai upaya untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Rumpita dan Bilik Bacanya tidak sekedar menggelar buku di beberapa titik, tapi sekaligus menyediakan tempat khusus untuk membaca buku. Pihak Manajemen Rumpita menyediakan buku untuksetiap Bilik Baca Rumpita.

Bilik Baca Rumpita ini diupayakan ada disepuluh titik untuk Kabupaten Majene dan Polewali Mandar. Pihak Rumpita menyuplai buku bacaan minimal 100 eksemplar untuk menjadi bahan bacaan ditempat yang sudah ditunjuk. Syaratnya mudah, cukup sediakan tempat dan rak buku serta penanggung jawab. Membaca di Bilik Baca Rumpita GRATISSSSS !

Untuk saat ini sudah terbentuk 5 titik Bilik Baca Rumpita. 2 unit di Majene dan 3 di Polewali Mandar. Kedepan pihak Rumpita akan terus membukua Bilik Baca Rumpita ini tapi disesuaikan dengan jumlah koleksi di Rumah Buku. 
================================================================

Bagi yang ingin berdonasi buku untuk pengembangan literasi Rumpita silahkan berhubungan dengan kami di RUMPITA atau langsung di Bilik Baca Rumpita Lembang, Unsulbar, Kandemeng, Matakali dan Katumbangan.


DAFTAR KOLEKSI BUKU
BILIK BACA RUMPITA LEMBANG MAJENE

1.       PEMBANGUNAN SOSIAL (WACANA IMPLEMENTASI DAN PENGALAMAN EMPIRIK)
2.       PEDOMAN CEPAT PINTAR MEMBACA DAN MENULIS AL-QUR’AN
3.       TUNTUTAN SHALAT DAN DO’A
4.       LOCAL WISDOM
5.       KAJIAN (MENJEMBATANI TEORI DAN PERSOALAN MASYARAKAT DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN)
6.       LEGISLASI DPR
7.       KAJIAN KEBIJAKAN PUBLIK
8.       KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA
9.       STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN DAN PERLINDUNGAN-PEMBERDAYAAN PETANI
10.   UPAYA PENINGKATAN KERJASAMA IDONESIA – AS DI SEKTOR PERTAMBANGAN
11.   KEBIJAKAN PENGEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
12.   MATERI BELAJAR JUZ ‘AMMA DO’A
13.   PERANAN SUBSIDI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL
14.   DAMPAK EKONOMI KRISIS EROPA TERHADAP KEUANGAN, RIIL DAN LINGKUNGAN
15.   PERJALANAN SEORANG AMERIKA COLIN POWEL
16.   KETIKA SAKURA BERBUNGAN
17.   DELTA FORCE
18.   MARANDANNA UWAI MANDAR
19.   LOPI DAN LIPA SA’BE TOMANDAR
20.   PAQBANDANGANG PEPPIO
21.   DINAMIKA POLITIK PEMEKARAN DAERAH
22.   DINAMIKA PENDIDIKAN DI INDONESIA
23.   HUKUM DAN HUKUM PIDANA
24.   PRAKTIK PENEGAKAN HUKUM BIDANG LALU LINTAS
25.   STRUGGLE FOR SUCCES
26.   PAKKACAPING MANDAR
27.   TO SEN-TOKU RAID
28.   KISAH-KISAH 99 ASMAUL HUSNA UNTUK ANAK
29.   RAPOT MERAH AA GYM
30.   JUDI BUNTUT MENGAPA SELALU ADA ?
31.   BUDAYA KERJA NELAYAN INDONESIA DI DAERAH JAWA TENGAH
32.   LISTRIK TEORI DAN PRAKTEK
33.   MATERI SOSIALISASI MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT RI
34.   BUNGA RAMPAI MODEL PENYELENGGARA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
35.   INSTRUMEN PEMBANGUNAN EKONOMI DALAM PROGRAM LEGISLASI BIDANG EKONOMI
36.   KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI OTONOMI KHUSUS DI PAPUA DAN ACEH
37.   KEBIJAKAN STRATEGIS BIDANG PENDIDIKAN TINGGI, TRANSFER DANA, PERMINYAKAN DLL
38.   KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
39.   NEGERI ANAK MANDAR
40.   EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
41.   SUPPLY CHAIN MANAGEMENT
42.   ADA SEAL ADA CINTA
43.   MEMBELA ORANG TUA NABI
44.   EKONOMI PANCASILA
45.   PERSONAL BALANCED SCORE CARD
46.   RPUL INDONESIA-DUNIA TAHUN 2008-2009
47.   PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN INFLUENZA A BARU
48.   PANDUAN PENYULUHAN PENGENDALIAN PENYAKIT KUSTA DAN FRAMBUSIA MENURUT AGAMA ISLAM
49.   PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN BULAN IMUNISASI ANAK SEKOLAH
50.   MODUL TOT PENGENDALIAN OSTEOPOROSIS
51.   PETUNJUK TEKNIS PENGGANTIAN TRIVALENT ORAL POLIO VACCINE MENJADI BIVALENT ORAL POLIO VACCINE DAN INTRODUKSI INACTIVATED POLIO VACCINE
52.   PEDOMAN PENGENDALIAN JAPANESE ENCEPHALITIS
53.   SICACING DAN KOTORAN KESAYANGAN 2!
54.   PENEUMONIA BALITA
55.   MENGUTAMAKAN RAKYAT
56.   HIMPUNAN UNDANG-UNDANG KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN
57.   JARINGAN YAHUDI INTERNASIONAL DI NUSANTARA
58.   MEMBACA AYAT-AYAT MANDAR
59.   PERSIAPAN MENUJU PEMBENTUKAN KAWASAN EKONOMI KHUSU PROVINSI KALIMANTAN BARAT
60.   PENDIDIKAN KELUARGA BERWAWASAN GENDER
61.   KISAH TELADAN 25 NABI DAN RASUL
62.   PUISI MANDAR KALINDAQDAQ DALAM BEBERAPA TEMA
63.   GUS DUR MENGARUNGI JAGAT SPIRITUAL SANG GURU BANGSA
64.   PERENCANAAN PENDIDIKAN SUATU PENDEKATAN KOMPREHENSIF
65.   POTRET PEDAGANG KAKI LIMA
66.   SEJARAH DAN HERITAGE KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA SOLO
67.   FUNGSI LEGISLASI
68.   KAJIAN KEBIJAKAN PUBLIK
69.   POLITIK EKOLOGI
70.   PENEGAKAN HUKUM INDONESIA
71.   LIPA SA’BE MANDAR
72.   WASPADAI PNS DIKALANGAN REMAJA
73.   ISLAMIC BANGKING AND INTEREST
74.   WALASUGI
75.   ANALISIS KEBUTUHAN INSTRUMEN KEBIJAKAN PENDUKUNG
76.   CHEMICAL PEAKS IN MY LIFE TIME
77.   FENG SUI INTERIOR
78.   SUTYOSO DALAM CATATAN MEDIA MASSA
79.   TABLIGH
80.   SURAT DAN PUISI ANAK-ANAK UNTUK PAK HARTO
81.   PENAWAR BAGI HATI
82.   PENCAPAIAN TUJUAN KE 6 (HIV/AIDS, MALARIA, TUBERKULOSIS) DAN TUJUAN KE 7 PELESTARIAN LINGKUNGAN DI PROVINSI MALUKU UTARA DAN SULAWESI
83.   REVOLUSI DARI DESA
84.   SABILI : SBY MASIH SAJA GAMANG
85.   MENCEGAH DAN MENGATASI BAHAYA LISAN
86.   PARADIGM BARU (PEMBELAJARAN KEAGAMAAN)
87.   MENUJU MAHKAMAH KEADILAN
88.   MEMBUAT SUMUR RESAPAN
89.   PELANGI
90.   AGAR BADAI CEPAT BERLALU
91.   BERGURU KE NEGERI KANGURU
92.   POLITIK DAN BLBI
93.   REFLEKSI 10 TAHUN SAYA BNI
94.   FUNGSI HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
95.   MENGAPA SAYA MEMILIH NEGARA ISLAM
96.   KEAJAIBAN SEDEKAH
97.   TOKOH SRIKANDI PROFESI PENGUSAHA DAN PENDIDIKAN INDONESIA
98.   PERAN PARLEMEN DALAM PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN MELALUI UNDANG – UNDANGN BAGI KEPENTINGAN PUBLIK
99.   INDONESIA YANG KITA KEHENDAKI
100.                        DEKONSTRAKSI KECEMASAN (KONSOLIDASI SEMANGAT KEBANGSAAN)
101.                        DASAR – DASAR EPISTIMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
102.                        PANDUAN PEMASYARAKATAN
103.                        PAHAM AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH
104.                        KESEHATAN MENTAL DAN TERAPI ISLAM
105.                        BERSAMA MENTERI DESA MEMBANGUN INDONESIA DARI DESA
106.                        BERPIKIR DAN BERJIWA BESAR
107.                        INFLASI DAN SOLUSINYA
108.                        STUDI PEMILU EMPIRIS
109.                        KOMANDO TERITORIAL DAN BUDAYA POLITIK TNI

Pengelola:
ADNAN HP. 0812 4567 2145
AMAR
 

Selasa, 10 Mei 2016

SIMPUL SEJARAH FLAMBOYANT, CAK NUN DAN MANDAR (Bagian 6) “ Jejak Maiyah Mandar, Cak Nun dan Cammana "



Oleh: Muhammad Munir - Tinambung

Kehadiran Cak Nun ditengah-tengah masyarakat Mandar tidak sebatas kata. Kepada Cak Nun, Masyarakat Mandar selalu berupaya mappasippappas loa anna liq-a (sesuai antara ucapan dan langkah-nya). Bukan hanya Cak Nun yang mengaku sebagai orang Mandar, namun sebaliknya orang Mandar memberi penghargaan kepada Cak Nun sebabagi warga Mandar Kehormatan. Melalui kesepakatan tokoh-tokoh Mandar antara lain, Husni Djamaluddin (penyair), Baharuddin Lopa (Dirjen LP & Sekjen Komnas HAM era Orde Baru), Andi Mappatunru Sompawali (tokoh Adat, Mantan Anggota DPR), S. Mengga (Mantan Bupati Polewali Mamasa), dan sejumlah tokoh lainnya melalui acara halal bihalal Yayasan Sipamandar Cak Nun disemati peniti emas. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1999. Tentu saja penyematan peniti emas itu tidaklah seharga dengan apa yang Cak Nun lakukan demi Mandar.
Sejak tahun 1987, Cak Nun kerap datang ke Mandar dengan membawa serta teman-teman seniman, penulis, aktor, aktris semisal WS. Rendra, Eko Tunas, Cicic Paramida, Haddad Alwi, Imam Budi Santoso, dll untuk membina dan mengembangkan kretifitas Pemuda Mandar yang tergabung dalam Jamaah Maiyah Papperandang Ate. Dalam tulisan-tulisan Cak Nun juga banyak memperkenalkan Mandar dipentas Nasional, binaan-binaannya di Flamboyant kerap diboyong ke Jogyakarta, Jakarta, Surabaya dll untuk sekedar ditampilkan dan diperkenalkan. Mak Cammana menjadi Maestro Parrawana Towaine juga tidak lepas dari peran Cak Nun. Dalam proses apapun, orang Mandar selalu menjadikan Cak Nun sebagai sosok yang pantas dan layak dimintai pertolongan. Termasuk dalam hal perjuangan pemebentuka Sulawesi Barat, keberadaan Cak Nun tak bisa dinafikan. Singkat kata, Cak Nun tak mengenal kata tidak demi Mandar-nya.
Totalitas seorang Cak Nun membuat Mandar sebagai kebanggaan itulah, tak heran kemudian jika Cak Nun diposisikan sebagai sosok yang patut untuk dipatuhi dalam segala hal. Kepedulian dan pengorbanan Cak Nun di Mandar memang sangatlah patut diacungi jempol. Ditengah keras dan ektrimnya rezim Soeharto mengawasi dan mencekal Cak Nun untuk tampil berbicara didaerah manapun di Indonesia, ia tak pernah mengenal kata tidak. Termasuk peristiwa tahun 1997 ketika Teater Flamboyant menghelat seminar  bertajuk “Kebebasan Berekspresi, Dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia” yang menyandingkan Cak Nun dengan Baharuddin Lopa. Cak Nun tahu resiko yang akan ia hadapi ketika tampil dalam seminar itu. Flamboyant sebagai penyelenggara juga sudah siap dengan resiko apapun yang menimpanya, tapi demi cintanya pada Cak Nun maka semuanya terasa indah.
 Pada saat acara digelar, aparat kepolisian dipimpin Wakapolres Polewali Mamasa (sekarang Polewali Mandar) bersikeras tidak memperkenankan Emha Ainun Nadjib berbicara. Tentu, panitia panik, termasuk Barlop, pak Husni Djamaluddin dan Andi Mappatunru. Bahkan Hamzah Ismail sebagai ketua Flamboyant saat itu menjadi tumbal bagi sosok Cak Nun. Tumbal dalam artian, jika Cak Nun berbicara pada seminar itu, maka penjara adalah tempatnya menginap. Menyerahkah panitia Flamboyant dan tokoh-tokoh Mandar saat itu ? Ternyata tidak. Orang Mandar Tinambung tidak kehabisan akal. Dalam kondisi daruratpun, selalu ada uapaya kreatif untuk mengelabui aparat keamanan. Acara Seminar tetap berjalan. Barlop bicara sepatah kata, Cak Nun hanya hadir dan tidak berbicara di tempat acara.
Seminar langsung ditutup karena aparat kepolisian tetap berjaga. Setelah ditutup peserta seminar langsung diarahkan ke rumah Andi Mappatunru, sesepuh masyarakat Mandar. Disanalah Cak Nun berbicara pada peserta seminar. Petugas tak bisa berbuat apa-apa, sebab secara hukum ia hanya punya hak untuk mencekal di tempat acara seminar, tapi didalam rumah tadak ada aturan yang mengatkan mereka mencekal Cak Nun untuk berbicara.Inilah siasat perlawanan Mandar pada rezim Soeharto yang tak lain merupakan siasat Baharuddin Lopa, Husni Djamaluddin, Zubair Rukkawali, Alisjahbana, bersama puluhan anak muda Tinambung. Dengan demikian Hamzah Ismail bisa bernafas lega, sebab bayang-bayang penjara terlepas dari hidupnya.
Jejak Cak Nun di Mandar akan terus terlukiskan dan terpateri dihati. Jamaah Maiyah Papperandang Ate dan Mak Cammana adalah keabadian Cak Nun, Cammana adalah kekasih sekaligus ibundanya di Mandar. Sosok Cammana adalah wanita yang luar biasa bagi Cak Nun. Wanita yang piawai memainkan rebana sambil melantunkan lagu dengan nada yang tinggi. Dan bagi Cammana, nada tinggi tak membuat mimiknya berubah. Ia tetap santai melangitkan untaian kalindaqdaq sebagai shalwat kepada kekasihnya Rasulullah. Cinta Rasul telah mentautkan jiwa Cak Nun dan Cammana menikmati wajah Tuhan yang Maha rahman dan rahim. Cinta keduanya bertemu memesrai Mandar dan Tuhannya.

Akhirnya, penulis menyampaikan ribuan rasa, jutaan asa pada sosok Cak Nun, pada Flamboyant, pada Cammana dan pada semua generasi Mandar. Semoga rasa, asa itu mengantar kita pada masa dimana kita mampu menemukan jati diri untuk membangun cusuar mimpi untuk tak lagi sanksi pada eksistensi cinta. Mandar adalah refleksi kemanusiaan kita untuk menuju kepada terminal akhir perjalanan usia kita. Jangan lagi kita menghujat setiap hajatan yang melibatkan insan untuk bercinta dengan Rasul dan Tuhannya, sebab Cak Nun tak pernah mengajarkan kebencian pada sosok manapun, melainkan menjadi insan yang bermanfaat pada sesama dan mati menyejarah. Terima kasih Cak Nun, semoga pertemuan kita kali ini bukanlah yang terakhir, tapi menjadi awal pertemuan kita selanjutnya. (Selesai) 

Sabtu, 07 Mei 2016

YANG CREATIF DARI RUMPITA, JURAGAN PASAR DAN APPEQ JANNANGANG


RUMPITA atau RUMAH KOPI DAN PERPUSTAKAAN adalah wadah para penggiat literasi di Mandar yang lahirdengan konep Rumah Buku dan Cafe Baca. Cafe Baca didesain dengan menyediakan fasilitas buku bacaan, jaringan internet dan ruang diskusi budaya, politik, sejarah, seni, bimbingan belajar baca lontaraq dan desain blog versi web dan android. Dalam kegiatan literasinya, RUMPITA tidak menggunakan APBD dari instnsi manapun. Untuk menunjang operasional kegiatan literasi maka cafe atau RUMAH KOPI menyediakan berbagai menu minuman dan makanan khas antara lain, kopi doang, kopi susu, teh susu, sara’ba, ubi, bakwan, binte’, mie rebus, mie goreng an pisang goreng nugget dan macam-macam cemilan. Semua menu tersebut dapat dinikmati oleh pengunjung dengan harga yang terjangkau. RUMAH KOPI DAN PERPUSTAKAAN ini beralamat di Jalan Trans Sulawesi Depan Masjid Nurul Amin Kandemeng Desa Batulaya Kec. Tinambung Kab. Polewali Mandar.

RUMPITA adalah gagasan yang memadukan budaya literasi dengan entrepreneur yang mencari keuntungan dengan cara bermartabat, mencerdaskan. Bendera JURAGAN PASAR Abdul Rasyid Ruslan adalah konsultan dan sponsor tunggal dalam pematangan strategi konsep dan gerakan. Kedepan, RUMPITA mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mencetak generasi cerdas, mandiri dan visioner.

Berberapa program utama RUMPITA adalah sebagai berikut;
1.       GELAR BUKU atau Gerakan Literasi dengan membaca buku. Kegiatan ini dilaksanakan dibeberapa tempat yang berbeda. Sasaran utamanya adalah wilayah-wilayah pelosok dan terpencil serta mengunjungi sekolah-sekolah tingkat SD,SMP dan SMA serta UNIVERITAS.
2.      BILIK BACA RUMPITA atau PERPUSTAKAAN MINI yang dibentuk oleh relawan Rumpita. Relawan RUMPITA ini menyediakan tempat atau ruang baca dan rak buku serta pengelola perpustakaan. Buku disediakan oleh Pihak Manajemen RUMPITA.
3.       PENULISAN BUKU. Program ini merupakan program khusus yang diperuntukkan bagi para penulis yang berkeinginan menerbitkan buku. Desain Sampul, tata letak, lay out sampai percetakan dikelola oleh RUMPITA.
4.       BIMBINGAN BELAJAR meliputi kegiatan belajar membaca aksara lontaraq, desain blog versi web dan android. Kegiatan ini dipandu langsung oleh instruktur berpengalaman, ZULFIHADI atau ZUL ELANG BIRU. Bimbingan MENULIS juga tersedia dan dipandu langsung oleh Drs. DARMANSYAH, MUHAMMAD MUNIR, HENDRA DJAFAR, RUSNAIM SUNUSI, SYUMAN SAEHA dll.

5.       LOMBA MENULIS adalah program tahunan yang digagas untuk meningkatkan minat menulis generasi muda agar beranjak dari budaya tutur lisan menjadi tulisan. Lomba menulis hanya dibuka untuk usia SMP, SMA dan MAHASISWA.  

SIMPUL SEJARAH FLAMBOYANT, CAK NUN DAN MANDAR (Bagian 5) “ Jejak-jejak Cak Nun di Mandar ”


 
Oleh: Muhammad Munir - Tinambung
Sabtu, 30 April 2016 pukul 14.00 siang menjadi jawaban dari semua do’a-do’a dan keinginan penulis untuk bertatap muka dan berdiskusi dengan Cak Nun. Cak Nun adalah sosok yang seandainya periode kenabian masih ada, maka bagi orang Flamboyant dan jamaah maiyah Mandar, Cak Nun adalah Nabi. Betapa tidak, setahun penulis berdomisili di Tinambung, tak pernah sekalipun dan tak satupun orang yang pernah bercerita miring tentang Cak Nun. Cak Nun lebih diposisikan sebagai sosok panrita, annagguru yang malaqbiq-nya setingkat tosalama, ia dirindukan, ditiru, dicinta dan menjadi sosok yang senantiasa dinanti kehadirannya. Dan Villa Bogor Majene menjadi awal bagi penulis untuk bersentuhan langsung dengan Cak Nun. Dan dari pertemuan itu, penulis menemukan jawaban mengapa suami Novia Kolopaking ini begitu dirindukan oleh orang Mandar, khususnya Jamaah Maiyah Mandar.

Bagi penulis, ia memang sosok yang komunikasinya dengan Allah SWT. Hal itu jelas terlukis dari wajahnya yang bercahaya, mendengar suaranya yang teduh dan merdu menjadi penannda betapa dalam jiwa itu tersimpan niat yang begitu tulus dan ikhlash membangun kepribadian bangsai ini menjadi lebih baik, tidak saja sebagai manusia, juga memanusiakan manusia. Cak nun tidak saja mampu membaca Al-Qur’an dengan fasih tapi juga memahami simpul-simpul Al-Qur’an yang membuatnya dahsyat. Dengan ditemani Khalid Rasyid, Firman Syahrial dan Ilham Chaidir Jalil, penulis menemukan sesuatu yang tersirat dari sosok yang wajahnya tak termakan usia dan tak pernah sakit itu. Bagi penulis ini adalah salah satu rahmat yang juga banyak dimiliki para Tosalama di Mandar. Cak Nun memang sejak tahun 1987 telah sampai pada pembacaan Mandar-nya secara kualitas, kuantitas maupun nilai. Hal itulah yang kemudian membuatnya mendeklarasikan dirinya sebagai orang Mandar yang lahir di Jombang.

Mandar dalam pandangan Cak Nun bahkan menolak ketika Khalid Rasyid menyebut pesan-pesan luhur Mandar itu dengan sebuatan kearifan lokal (local wisdom), ia membantah dan menegaskan bahwa Mandar bukan saja kearifan lokal, tapi Mandar adalah ajaran yang universal bahkan sebelum Nusantara berwujud Indonesia, di Mandar telah lahir Indonesia lebih dahulu. Sebelum agama Islam masuk, di Mandar telah memfaktualkan substansi dari ajaran-ajaran kenabian sepanjang zaman. Mandar dari dulu telah mempunyai ajaran kebenaran dan konsep kenegaraan yang hari ini tidak dimilki oleh Indonesia. Indonesia dalam pandangan Cak Nun ini adalah negara yang salah asuh, lebih diperparah lagi setelah era reformasi bergulir. Demikian sekelumit cerita yang penulis gambarkan dari bersentuhan langsung denga Cak Nun.    
Untuk kesekian kalinya, Cak Nun kembali ke negerinya yang pada tahun 1987 mulai ia temu kenali. Ada banyak cerita tentang Cak Nun yang penulis dengar dari Nurdin Hamma, Hamzah Ismail, Abdul Rahmana Karim, M.Sukhri Dahlan, Haidir Jamal dan senior-senior Flamboyant entah di Rumpita, Uwake, Bantaran Sungai dan di Barung-Barung tentang bagiman Cak Nun pertama kali menginjakkan kakinya ke Mandar. Nurdin Hamma, salah satu budayawan dan tokoh sejarah di Tinambung pernah bercerita khusus tentang bagaiman Cak Nun pertama kali datang ke Mandar. Menurut Nurdin Hamma, ongkos mendatangkan Cak Nun dari Jogya ke Mandar saat itu senilai Rp.300.000,-. Untuk menyediakan dana sejumlah itu, harus kerja urunan. Menurut Hamzah Ismail dalam tulisannya," Jejak Ratu Sepuh Nusantara Di Bhumi Mandar” dengan gamblang menjelaskan bahwa hasil kerja urunan itu akhirnya terkumpul dana yang cukup untuk menerbangkan Cak Nun dari tanah Jawa ke Mandar.
Dengan dana itu, maka Alisjahbana menyampaikan ke Emha (atau Cak Nun). Emha menyetujui untuk datang ke Mandar. Teater Flamboyantpun memebentuk panitia kecil untuk mengurusi kedatangannya, sebahagian yang lain mulai aktif latihan musik, yang akan dipertunjukkan ke khalayak bersama Emha Ainun Nadjib. Tiba pada waktu yang ditentukan, Emha bergerak dari Jawa ke Mandar melalui Makassar. Dari Makassar Emha mengendarai bus menuju Mandar. Saat tiba di depan rumah yang dijadikan sebagai sekretariat panitia sekaligus menjadi tempat hunian Emha saat berada di Mandar, ia disambut dengan penuh kegembiraan. “Emha datang!”, beberapa dari anak-anak Muda Flamboyant berteriak-teriak.
Mereka berdiri di sepanjang jalan dalam jejeran panjang. Bagai prajurit yang menantikan datangnya panglima yang dihormatinya. Setelah turun dari bus yang ditumpanginya, berdesak-desakkan orang-orang mendatanginya, memeluknya dan menciumi tangannya. Lucunya, beberapa orang yang tidak mengenali sebelumnya, menganggap bahwa sosok Emha Ainun Nadjib, adalah sosok kiyai, seorang tua yang mengenakan gamis dan surban. Tapi saat turun dari bus, ia mengenakan jaket kulit dan berambut gondrong serta melangkah dengan gagah, pupuslah bayangan awal itu. Ternyata Emha seorang muda, jauh dari sosok seorang kiyai.
Selama di Mandar, Emha Ainun Nadjib melakukan aktifitas. Memimpin langsung workshop, memandu anak-anak muda dalam diskusi dengan aneka topik, mandi ke sungai Mandar, sambil menantang anak-anak Mandar berlomba menyelam. Disamping itu Emha Ainun Nadjib harus rela menerima daulat masyarakat Mandar, khususnya kaum ibu, yang beramai-ramai dating membawa sebotol dua botol air mineral, meminta keberkatan dari doa-doanya. Ada beragam topik masalah yang diajukan mereka ke Cak Nun; penyembuhan, pengasihan, dan soal rejeki. Demikian sekelumit jejak-jejak Cak Nun di Mandar. Kedatangan Cak Nun ternyata menjadi berkah, sebab bukan hanya Cak Nun yang datang tapi juga beberapa aktor seni, aktris dan penulis yang hari ini telah menjadi tokoh nasional. (Bersambung)

Kamis, 05 Mei 2016

Info Buku: Mengeja Mandar Lewat Balanipa

PENGANTAR PENULIS

@SYUKUR
Syukur Alhamdulillah, hanya kata itulah yang pantas saya ucapkan, lain tidak. Sebab Allah senantiasa memberikan limpahan kasih sayang-Nya, sehingga saya selalu bisa berfikir dan bertindak dalam memenuhi kebutuhan sebagai proses pemenuhan dari semua keinginan. Dan dengan proses itu sampai hari ini, Allah masih tetap bersedia menyuplai oksigen dan nitrogennya untuk saya nikmati dengan bernafas, dan ternyata hal itu adalah sebuah proses yang diinginkan oleh Allah untuk selalu punya mental sukses dan tidak melulu punya mental gagal. Atas semuanya itu, buku ini mampu saya selesaikan.
Betapa tidak, saya adalah salah satu makhluk Allah yang bisa bertahan hidup karena disuplai oksigen dan nitrogen untuk bisa bernafas. Andai kata untuk benafas saya diharuskan membayar seperti layaknya saat diopname di rumah sakit. Saya mungkin sudah lama menyerah. Sebab di apotik untuk beli oksigen dan nitrogen, jangankan untuk hidup sehari, untuk bertahan hidup satu hari, satu detik saja pasti sudah bangkrut. Karena ternyata kebutuhan manusia untuk oksigen perharinya adalah 2.880 liter dan nitrogen sebanyak 11.376 liter. Jika dikalikan dengan harga satuan di apotik, oksigen harganya Rp. 25.000,- perliter dan nitrogen dilabeli dengan harga Rp. 9.950,-perliternya. Kalkulasinya adalah Rp. 170 juta/hari. Jika dihitung perbulan maka asupan oksigen dan nitrogen untuk dapat bernafas dan bertahan hidup, saya harus siapkan uang sekitar 5, 1 miliar. Ini baru sebulan, bagaimana jika 1 tahun...?. Subhanallah !
Dan semua itu digratiskan oleh Allah, coba kiranya Allah menjualnya kepada kita, orang kaya sekelas Chairul Tanjung, Robert T. Kiyosaki, Donal Trump, Bill Gates pun tidak akan sanggup dan mampu membayar biaya nafasnya. Oleh karenanya, siapapun kita, apapun kondisi kita saat ini, syukur itu mesti tetap ada dan kita rutinkan setiap saat.

@SHALAWAT
Salam dan shalawat kepada Nabiyullah Muhammad Saw, manusia pilihan yang dipilih oleh Allah untuk teladan bagi kita semua. Muhammad adalah manusia tersukses dan terkaya dan patut kita contoh untuk mensifati sifat Allah yang Al Ghaniy dan Al Mughniy. Salam dan shalawat ini menjadi asa buat kita, semoga Rasulullah membalas shalawat kita dengan mengakui kita sebagai umatnya dan merekomendasikan kita untuk menjadi pengikutnya, dan nanti di akhirat Rasulullah berkenan mendisposisi project proposal kita untuk berada dalam rio-Na Puang Allah Taala.

@MENULIS SEJARAH MANDAR
Membincang Mandar sebagai sebuah objek, selalu memungkinkan banyak orang atau penulis untuk bisa menginterpretasinya secara berbeda dan beragam. Hal ini memang sangat memungkinkan, sebab Mandar itu sendiri belum melahirkan sebuah konsep yang seragam tentang Mandar yang sebenarnya. Namun sebagai manusia Mandar, tentu tidak berlebihan jika hari ini kita tetap berupaya untuk menjadikan Mandar sebagai sebuah identitas yang tidak hanya ingin diterima “ada” tetapi juga sekaligus “diakui”. Untuk proses itu, sejarah harus selalu kita tulis, untuk memberi jawaban dan bukti-bukti sebagai bentuk rekonstruksi masa lalu. Sejarah dibutuhkan untuk merekonstrukai apa saja yang sudah di fikirkan, di kerjakan, di katakan dan di alami oleh orang terdahulu. Namun, bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri, sebab sejarah mempunyai kepentingan masa kini dan bukan untuk masa yang akan datang.
Perkembangan ilmu sejarah dituntut konstribusinya menuju hal yang lebih benar, rasional, obyektif dan ilmiah. Tantangan kedepan membutuhkan sejarah sebagai pengawal setiap idea of progres. Jika ilmu sejarah tidak tangguh untuk itu, maka kemajuan-kemajuan zaman seperti sekarang ini justru akan menghilangkan kesadaran penghuni zamnnya sendiri. Ketika masa lalu tidak lagi bisa di tengok, apalagi pada masa berikutnya, maka generasi akan rusak yang identik dengan orang yang tidak memahami peradaban manusia sebelumnya.
Demikian halnya Mandar hari ini, generasi Mandar harus memahami peradaban manusia sebagai gugusan etnik yang mendiami wilayah yang cukup luas di Provinsi Sulawesi Barat ini. Buku Mengeja Mandar Lewat Balanipa ini adalah sebuah langkah awal mengenal Mandar. Mengapa mengeja atau mempelajari Mandar melalui Balanipa? Sebab Balanipa adalah Sambolangiq atau sebagai Ama (Bapak) di Pitu Baqbana Binanga. Dengan dasar itulah sehingga kata ‘mengeja’ saya gunakan sekaligus menggambarkan bahwa saat ini, penulis pun lagi belajar mengeja Mandar, belum mahir membaca, apalagi menulis Mandar. Ibarat bayi yang baru lahir, jangankan tertawa, menangis saja belum tahu.
Buku “Mengeja Mandar Lewat Balanipa” ini awalnya hanya sebagai upaya untuk mensosialisasikan gerakan perjuangan Pembentukan Kabupaten Balanipa di internal Barisan Muda Pembela Balanipa (BMP-Balanipa) yang saya gagas dengan Rustan dkk. di Botto pada sekitar tahun 2011. Dan saat itu, penulis berencana meluncurkan buku ini saat ketuk palu pengesahan RUU DOB Balanipa di Senayan, namun ternyata sampai tahun 2015, RUU tersebut semakin tak jelas ujung nasibnya, sehingga buku ini tak pernah diterbitkan.
Seiring berjalannya waktu, naskah buku ini kemudian saya revisi dan mengadakan perombakan-perombakan di dalamnya, sehingga yang nampak kemudian adalah buku yang tidak lagi menjadi sebuah penyemangat perjuangan, tapi mewujud sebagai gugatan penulis untuk menggugagah kesadaran kita sebagai manusia Mandar, wabilkhusus generasi muda, untuk kembali menemu kenali sejarah perruqdusang, tradisi dan kearifan lokal di Mandar-Balanipa.
Buku yang terdiri dari 6 BAB ini, BAB petmama membahas tentang sejarah perkembangan penulisan sejarah Mandar dan pengenalan Mandar. Dimana pada tahapan itu, ada sebuah mentalitas yang muncul dalam penulisan sejarah Mandar selama ini, di mana aroma konstruksi penulis sangat terasa dalam alur penulisan sejarah Mandar, sehingga nampak seperti naskah sinetron dan film yang di dalamnya terdapat unsur pemeran yang bersifat oposisi biner (binary oposition), yakni pemeran protagonis dan antagonis. Bahkan sejarah dibuat hanya untuk meneguhkan kepentingan penguasa dan kelompok dominan. Dan parahnya, kita melihat dan mendengar penguasa tiba-tiba menjadi “sejarawan” dan lalu menulis sejarah sesuai dengan nalurinya.
Pada BAB kedua, saya mencoba merunut sejarah peradaban dunia lalu kemudian menelusur sejarah peradaban di Mandar. Dengan demikian, pembaca bisa mengetahui periodesasi sejarah dari mulai keberadaan manusia dalam kitab sampai pada proses manusia mengenali kebudayaan yang membentuk sebuah peradaban maju. Peradaban Mesir kuno, Sungai Hindus sampai pada gelombang migrasi besa-besaran dan lalu mencoba mengaitkannya dengan mulatau di Sungai Saqdang (dalam buku-buku sejarah Mandar yang beredar).
Periodesasi ini penting, sebab dalam membincang sejarah peradaban Mandar, kerap kita menemukan penggunaan nama, gelar yang sama dalam catatan sejarah. Misalnya, Pongka Padang, I Kadzake Letteq dll., sering juga kita menemukan adanya kesimpang-siuran dalam memahami sejarah, dimana kejadian pada masa pemerintahan kerajaan (Arajang/Maraqdia) dikaitkan dengan kejadian yang berlangsung pada masa tomakakaq. Dari periodesasi inilah kita harapkan generasi kedepannya semakin sadar dan terlecut jiwanya untuk terus mempelajari sejarah perruqdusang leluhur Mandar.
BAB ketiga, saya sedikit lebih fokus pada mengenalan produk kebudayaan Mandar, semisal saqbe Mandar, kesenian tradisional sampai kepada lagu klasik, kalindaqda, situs dan cagar budaya yang masih tetap di jaga dan lestari di Mandar. Ini penting sebagai sebuah proses pengenalan dasar kepada generasi muda agar tergugah untuk mempelajari dan menjadi pelaku dalam melestarikan kesenian tradisional dan produk kebudayaan Mandar tersebut. Adalah sebuah kecelakaan ketika leluhur kita mampu menciptakan dan membangun kebudayaan besar, tapi tak ada regenerasi yang tercipta. Oleh karenanya, dibutuhkan kesadaran kolektif untuk berbuat apa yang mampu dan bisa kita lakukan. Sebagai generasi, inilah yang saya ingin persembahkan.
BAB keempat, saya lebih condong meramu informasi tentang keberadaan tokoh-tokoh besar yang lahir dari rahim peradaban Mandar Balanipa. Tokoh yang saya tampilkan ini bukan tokoh-tokoh Mandar secara umum, melainkan tokoh yang lahir di Balanipa, para pappatumballeq litaq dan beberapa generasi yang Mandar Balanipa yang menginspirasi. Mulai dari I Manyambungi Todilaling, I Billa-Billami Tomepayung, Daetta Tommuane, Daeng Rioso, I Calo Ammana Wewang, Tokape, Tokeppa, Tosalamaq Imam Lapeo, Annangguru Saleh, S. Mengga, Darmawan Mas’ud, Kalman Bora, Cammana, Marayama, sampai kepada generasi pejuang kemerdekaan dan pembaharu Hj. Andi Depu, Baharuddin Lopa, Husni Djamaluddin, Nurdin Hamma, Bakri Latief, Ahmad Asdy, Ajbar Abdul Kadir, Syamsul Samad, Abdul Rahim, sampai kepada Muhammad Ridwan Alimuddin, Ramli Rusli dll. Ada sekitar kurang lebih 40-an profil tokoh tersebut ada dalam buku ini.
Pada BAB kelima saya membahas tentang bunga rampai litaq Mandar Balanipa, mulai dari simbol kebudayaan Mandar, seperti Beruq-Beruq di Kandemeng, upacara-upacara tradisional dan sakral, permainan rakyat seperti jekka, logo, gasing, karacang sampai pada persoalan kutika, guna-guna dan doti. Yang baru dalam penulisan ini adalah, pada acara seperti pammunuang, papasiala, peuriq, pappadai toyang, pappakeqde boyang, saya lengkapi dengan prosesi pembacaan barzanji menurut ath-thirillah yang berhubungan dengan jenis upacara yang dilakukan oleh masyarakat Mandar.
Dengan demikian buku ini selain menjadi sebuah rujukan, bahan diskusi, sekaligus menjadi buku petunjuk praktis bagi masyarakat yang melaksanakan upacara adat, syukuran dan walimah karena memuat teks barzanji yang menggnakannya cukup disesuaikan dengan jenis acara yang dihelat oleh warga. Misalnya, peuriq dan pappadai toyang. Cukup buka BAB lima dan cari bagian yang membahas tentang peuriq, baca teks-nya dan ikuti petunjuknya sampai selesai.
Mengapa Barzanji ini dicantumkan, sebab Kitab Barzanji itu sendiri tidak harus dibaca dengan runtut, runut sampai 19 ath-thirillah, sebab dalam beberapa praktek yang dilakukan orang tua kita, pembacaan barzanji tidak semua sama dalam setiap acara yang dilaksanakan. Misalnya acara pappakeqdeq boyang, pammunuq dan pappadai toyang beda proses dan bacaannya pada saat acara meuriq, mappasiala, mesunnaq dan lain-lain. Selain itu, saya juga mengulas tentang panggereang beke, papparappi tomate, pattarawe, zikkir appe, dll.
Dan terkhir, pada BAB keenam hanya mengisinya dengan lampiran beberapa informasi penting mengenai aksara lontaraq dan beberapa kegiatan penulis yang berhubungan dengan Mandar.
@TERIMA KASIH
Bagian ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada istri saya Hernawati Usman, kedua orang tua saya, saudara-saudariku, dan anak-anakku. Jika ternyata saya tidak mampu mewariskan rumah mewah, mobil mewah, rekening gendut untuk kalian, maka buku ini adalah warisan berharga buat kalian dan berharap jadi shadaqah jariyah untuk saya.
Ucapan yang sama buat guru-guru saya di MI DDI Botto di MTs DDI Baru’ di MAN Polmas (sekarang Polman), di STAI DDI Polmas (sekarang IAI DDI Polewali Mandar). Semoga ilmu yang kalian ajarkan padaku bernilai IBDAH DAN SHADAQAH JARIYAH. Buku ini juga ananda persembahkan buat kalian semua, teriring kiriman alfatihah buat yang telah berpulang ke rahmatullah.
Teristimewa, orang tua dan guru saya Nurdin Hamma, Hamzah Ismail, Drs. Darmansyah, Ramli Rusli, H.A. Murad, Mattotorang, S.Sos. dan semua personil Komunitas Rumah Pustaka, Rumah Buku, Rumah Kopi, Rumah Musik Beru-Beru Orchestra, Rumah Pusaka dan adik-adikku di Unasman, Unika dan Unsulbar serta personil BM-Balanipa serta para panitia dan pendukung acara Road Show Indonesia Menulis, Tetap semangat ! Dan Salam Literasi. Maaf, tidak disebutkan satu-satu.
Balanipa, 2011-2016
Penulis



MUHAMMAD MUNIR

SIMPUL SEJARAH FLAMBOYANT, CAK NUN DAN MANDAR (Bagian 4) “ Emha Ainun Nadjib Orang Mandar Yang Lahir di Jombang ”


Oleh: Muhammad Munir
Untuk kesekian kalinya, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun menyambangi Jamaah Maiyah Mandar, setelah kedatangannya yang terakhir pada tahun 2011 dengan tajuk Safinatun Najah. Dengan mengusung tema Risalah Cinta di Jazirah Mandar yang dipusatkan di Lapangan Sepak Bola Pambusuang, 30 April 2016, Cak Nun bersama Group Shalawat Kyai Kanjeng dan Jaringan Maiyah Nusantara-nya memukau ribuan penonton yang berduyungan memadati lapangan di Desa Bala Kecamatan Balanipa tersebut. Hanya butuh beberapa menit setelah shalat isya, jamaah dari latar belakang yang berbeda-beda hadir dalam pertunjukkan luar biasa, tapi tetap dengan desain yang biasa. Biasa dalam artian, Cak Nun tidak butuh dipanggungkan, tidak butuh panggung, tidak mau ada sekat yang menghalanginya dengan jamaah.
Cak Nun memang punya cirri khas yang mungkin tak akan pernah bisa dimiliki oleh yang lain. Tampilan khas, siraman rohani diantara ribuan pengunjung yang lirih bershalawat itu mengalir laksana air sungai Mandar. Siraman rohani dan lantunan shalawat dari Cak Nun dan Kyai Kanjengnya kadang menghempas dan mendesir bagai ombal di teluk Mandar. Maka jadilah Cak Nun suntuk bercengkrama dengan ribuan manusia Mandar hingga jam 00.30 dini hari. Andai Cak Nun berbicara sampai shubuh, para Jamaah itupun akan tetap setia dan tak mau beranjak. Masyarakat maksyuk dalam untaian kata yang sungguh memikat, letupan-letupan, guyonan dan banyolannyapun penuh hikmah. Materi-materi ceramahnya yang menggugat seakan jamaah tak merasa tergugat, tapi justru menjadi tergugah. Pokoknya, Cak Nun dalam pandangan penulis memang merupakan salah satu rahmat Allah yang masih disasakan untuk memanusiakan manusia dan hidup dalam kasih sayang bersama cinta. Cinta yang universal? Tinggal sekarang, apakah kita sebagai Mandar hanya memaknai Cak Nun dan ceramahnya sebagai ajang membesarkan identitas atau menjadi ruang untuk membangun pribadi Mandar masa depan. 
Itulah Cak Nun, satu dari jutaan penduduk Indonesia yang menulis banyak buku tapi tak satupun buku yang pernah ia baca. Ia memiliki jutaan jamaah, tapi tak pernah ia gunakan jamaahnya untuk mendulang suara pada ajang kontestasi politik praktis.  Mari coba membaca sedikit riwayat Cak Nun sembari dengan tetap bermunajat kepada Allah. Bahwa berkomunikasi dengan Allah tak harus jadi Cak Nun, cukup menjadi pengagum Cak Nun untuk selanjutnya rasa kagum itu bermuara pada kekaguman kita pada Dzat yang Maha yaitu Allah yang telah melahirkan cintanya kepada kita melalui Cak Nun. Cak Nun mempunyai nama lengkap Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib adalah seorang tokoh intelektual berkebangsaan Indonesia yang mengusung napas Islami. Pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 ini sekaligus sosok yang begitu berjasa bagi Masyarakat Mandar. Lewat dialah, Mandar kian dikenal secara nasional. Ia bahkan mengaku sebagai orang Mandar dibeberapa kali kesempatan entah saat tampil dalam aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Bulan atau di Jamaah Maiyah Kenduri Cinta, Mocopat Syafaat Yogyakarta, Padhangmbulan Jombang, Gambang Syafaat Semarang, Bangbang Wetan Surabaya, Paparandang Ate Mandar, dan Maiyah Baradah Sidoarjo, serta Obro Ilahi Malang, Hongkong dan Bali.
Cak Nun merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Darussalam Gontor setelah melakukan ‘demo’ melawan pimpinan pondok karena sistem pondok yang kurang baik, pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian ia pindah ke Yogyakarta dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi. Sabrang Mowo Damar Panuluh adalah salah satu putranya yang kini tergabung dalam grup Band Letto.
Cak Nun bukanlah seorang yang tiba-tiba menjadi seorang tokoh. Ia mempnyai proses sejarah hidup menginspirasi. Lima tahun ia hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975, belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha. Masa-masa itu, proses kreatifnya dijalani juga bersama Ebiet G Ade (penyanyi), Eko Tunas (cerpenis/penyair), dan EH. Kartanegara (penulis). Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Cak Nun juga pernah terlibat dalam produksi film RAYYA, Cahaya di Atas Cahaya (2011), skenario film ditulis bersama Viva Westi.
                Cak Nun tidak terkait secara formal yang dapat dijadikan alasan akademis maupun intelektual untuk secara metodologis menyimpulkan adanya hubungan antara gerakan Jamaah Maiyah yang memperoleh inspirasi, pembimbingan, pengayoman dan pengajaran dari seorang Cak Nun dengan gagasan-gagasan pemikiran dan ideology yang berkembang dalam sufisme. Cak Nun secara formal bukan anggota tarekat ataupun pernah berguru dan menerima ijazah dari seorang Syekh Tarekat tertentu, bahkan tidak mempelajari tasawuf melalui jalur pendidikan baik formal, informal maupun non-formal. Tetapi aneh bin ajaib, pemikiran apapun yang terkandung dalam literature tasawuf bisa dengan gampang dan gamblang Cak Nun menguraikannya. Buka kitab al-Futuhat al-Makkiyah, suatu karya monumental Ibn Arabi sebagai contoh dan lacak topic yang menguraikan martabat wujud, maka anda dapat lebih mengerti gagasan itu dalam satu kali pertemuan dengan Cak Nun disbanding beberapa kali pertemuan bahkan beberapa semester tapi tetap tak mengerti di hadapan professor pengajar materi tasawuf pada perguruan tinggi Islam dan non-Islam di Indonesia.
Itulah Cak Nun yang dimiliki oleh Indonesia, tentu saja milik Mandar sebab Cak Nun adalah Mandar itu sendiri. Mandar dan simpul-simpul lokal wisdom-nya bagi Cak Nun bukanlah materi yang bersifat lokal, tapi kearifan-kearifan itu ia manifestasikan secara universal dan menjadi salah satu material dan elemen paling penting dalam struktur bangunan rahmatan lil alamin. Dalam konsep rahmatan lil alamin itu keberadaan Cak Nun tak lagi terbantahkan bagi Mandar, Indonesia bahkan dunia. (Bersambung)