Rabu, 04 Mei 2016

NAPAK TILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian 4) " Dari Sa' Adawang menjadi Sendana: "


0leh: Muhammad Munir-Tinambung

Pertemuan dua kakak beradik yang kemudian sepakat membangun perkampungan yang bernama Sa' Adawang dan mulai menerapkan kepemimpinan Memmara-maraqdia ini kemudian berkembang menjadi pusat peradaban. Tongkat yang dipakai oleh Tomesaraung Bulawang saat menuju ke Sa'Adawang itu dipancangkan dan tumbuh dengan subur. Atas dasar kayu atau pohon yang dinamakan Sendana itulah nama Sa'Adawang diganti menjadi Sendana. Cerita tentang Sendana.
Di Sendana Daeng Palulung bersama istirinya, Tomesaraung Bulawang melahirkan empat orang anak, dua orang laki-laki dan dua orang perempuan, masing-masing bernama : Ita’da’ (kelak menurunkan bangsawan hadat di Putta’da’); Puatta I Sa’adzawang (kelak yang menurunkan Pa’bicara Kaiyyang);  Indara (kelak menurunkan bangsawan raja di Sendana) dan Patta Pance’ (kelak menurunkan raja-raja di kerajaan Mamuju). Indara (Inda) kawin dengan Tomanurung di Langi’ dan melahirkan tiga orang anak masing-masing bernama Daeng Maritu’, Daeng Malona’ dan Tasaripi’ (perempuan). Daeng Maritu inilah yang melahirkan keturunan Mara’dia Sendana.
                Membincang sejarah tentang Sendana laksana memasuki hutan belantara, banyaknya versi dan penulis yang semuanya menulis dengan versi yang berbeda. Pembaca kemudian digiring kesemak tutur yang tak lagi peduli keilmiahan sebuah cerita sejarah. Cerita tutur berkembang dan menjadi acuan dari masa kemasa. Dalam tulisan Darmansyah berjudul “Sejarah dan Pemerintahan Kerajaan Sendana” mengutip tuturan Muhammad Soenoesi, Pa’bicara Tangnga Sendana yang juga pernah ditulis oleh Drs. H. Kalang Sadaid dalam “Sejarah Sendana Selayang Pandang” sebagai masukan pada seminar Kebudayaan Mandar yang dilaksanakan di Majene pada tahun 1984. Disebutkan dalam tulisan itu bahwa kerajaan Sendana pertama kali didirikan oleh I Mana Pahodo, berdasarkan sumber dari salah seorang pemuka adat Ulu Salu, Tumpang Parengge. I Mana Pahodo adalah Mara’dia pertama di kerajaan Sendana dengan gelar “Tomesaraung Bulawang” orang yang bertopi emas.
                Dari sumber tersebut pembaca dihadapkan pada dua situasi yang membingungkan. Sumber pertama menyebutkan bahwa Tomesaraung Bulawang adalah seorang perempuan yang diperistri oleh Daeng Palulung sementara sumber kedua mengatakan bahwa Tomasaraung Bulawang adalah I Mana Pahodo yang tak lain adalah Mara’dia pertama Sendana. Sementara dalam penelusuran ditemukan berdasarkan petunjuk dari tokoh adat bahwa makam yang ada di Sa’Adawang adalah Daeng Palulung (Topapo) dengan istrinya yang benama Tomesaraung Bulawang. Penulis kemudian mengambil kesimpulan bahwa perbedaan tersebut bisa jadi karena penafsiran gona atau gelaran yang kemudian terlanjur dilisan tuliskan secara turun temurun. Jika memang I Mana Pahodo adalah Tomesaraung Bulawang itu juga bisa deiterima, pun istri Daeng palulung bernama Tomesaraung Bulawang juga bisa dietrima dengan pertimbangan sebagai gelaran. Hal sama juga terjadi di Balanipa. Todilaling di Gowa punya gelaran I Billa-Billami, dan setelah punya anak gelaran itu digunakan oleh anaknya yang bergelar Tomepayung.
                Berdasarkan beberapa perbedaan tersebut, penulis berharap semua tokoh adat, sejarawan di sendana mesti membuat kesepakatan sehingga nantinya informasi yang akan ditulis adalah mengandung keseragaman, nukan keberagaman pendapat. Sebab jika perbedaan-perbedaan itu tidak segera disudahi, maka generasi berikutnya akan dilanda krisis kepercayaan terhadap sejarah perruqdusanna (asal-usulnya). Mungkin bijak jika perbedaan tersebut kita tarik benang merahnya dengan asumsi bahwa Sa’adzawang pertama kali ditemukan oleh Dettumana/Demmangana atau I Mana Pahodo dari Tabulahan yang  memimpin di era “Bawa Tau”. Begitu juga Daeng Palulung dan Topapo serta Daeng Sirua atau Todzibonde adalah orang yang sama dan diberi amanah sebagai pemimpin atas dasar kemampuan pengetahuan dan pemikirannya yang lebih maju.
                Dengan berakhirnya era bawa tau, maka Sa’Adawang kemudian berubah nama menjadi Sendana yang sekaligus menjadi penanda bahwa telah terjadi sebuah perubahan mendasar dari sistim bawa tau ke sistim memmara-mara’dia. Istilah Memmara-mara’dia juga digunakan sebab pada era Daeng Palulung belum memenuhi syarat untuk disebut sebagai kerajaan. Syarat menjadi sebuah kerajaan atau Mara’dia bagi Sendana adalah ketika pusat pemerintahannya berada di Podang, yaitu di era Puatta I Podang. Sistem pemerintahan Memmara-mara’dia ini masih bisa dipadankan dengan Tomakaka atau banua. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya persekutuan Bocco tallu yaitu Sendana, Alu,dan Taramanu. Persekutuan itu berawal ketika Daeng Sirua menikah dengan anak dari Tomakaka di Alu.
                Sampai disini sudah bisa dirumuskan periodesasi sejarah Kerajaan Sendana yaitu dari periode Bawa Tau di era Dettumana dan I Mana Pahodo, periode Memara-mara’dia di era Daeng palulung dan periode kerajaan atau mara’dia di era Puatta I Podang yang juga ditandai dengan berpindahnya pusat pemerintahan Sendana dari Sa’Adawang ke Podang. Perpindahan pusat pemerintahan juga didasari oleh pertimbangan peningkatan taraf hidup masyarakat kerajaan Sendana, yaitu dengan mengelola perikanan dan kelautan, karena perkebuanan dan pertanian sudah bisa diandalkan. Sa’dawang yang mempunyai hamparan luas untuk persawahan dan luasan perbukitan dan pegunungan yang hijau dianggap cukup untuk menghidupi warga dari hasil kebun dan pertanian. Postur tanah dan kontur alam Podang juga tak jauh beda dengan Sa’Adawang, yaitu mempunyai luasan lahan persawahan dan perkebunan.
                Pengembangan pada bidang pertanian, perkebunan, perikanan inilah yang membuat Sendana berjaya dan mencapai puncak keemasannya di era Puatta Iku’bur. Sendana tak lagi bisa diremehkan. Ia punya rakyat yang terjamin penghidupannya, sehingga pemerintah (Negara) waktu itu bisa menjadi kerajaan yang penyuplai logistik bagi kerajaan tetangga yang menjadi sekutunya. Saat persekutuan Ba’ba Binanga, Sendanalah yang menyuplai logistik ke Balanipa saat menghadapi perang. Pertimbangan kesejahteraan itu pulalah yang melatarinya sehingga Sendana menjadi Indo atau Ibu bagi persekutuan di Ba’ba Binanga yaitu Balanipa, Banggae, Pambauang, Sendana, Tappalang, Mamuju dan Binuang. (Bersambung)


Selasa, 03 Mei 2016

NAPAK TILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian3) " Sa'Adawang dalam imperium Sejarah Kerajaan Sendana "


0leh: Muhammad Munir-Tinambung

Desa Putta'da adalah salah satu desa yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Sendana Kabupaten Majene. Drs. Darmansyah adalah salah satu orang yang pernah menjadi Kepala Desa sebelum memilih masuk jalur politik untuk menjadi anggota DPRD Majene. Berawal dari sebuah aktifitas pemerhati lingkungan, Darmansyah berhasil menjadi Kepala Desa Putta'da. Desa Putta'da dan masyarakatnya menjadi bagian dari investasi pilitik yang mengantarnya menjadi Anggota DPRD sampai sekarang mempertemukan takdirnya sebagai Ketua DPRD Majene.
Di DPRD, Darmansyah membuat Putta'da tidak saja menjadi sebuah desa yang sedikit maju dibanding desa pegunungan yang lain, tapi ia juga berhasil memperjuangkan semua dusun di wilayah Desa Putta'da menjadi sebuah Desa. Diantara Dusun yang berhasil ia perjuangkan menjadi desa tersebut adalah Lalattedong, Binanga, Leppangan, Pundau dan Paminggalan. Saat ini Darmansyah lagi mengawal sebuah perda tentang Pelestarian Cagar Budaya di Kab. Majene. Ini adalah salah satu diantara obsesi besar yang akan ia wujudkan selama ia menjabat jadi Ketua DPRD.
Darmansyah juga menginginkan jejak sejarah peradaban di Mandar tidak sekedar menjadi sejarah tutur dan mitos, melainkan bisa dibuktikan dengan keberadaan situs yang kelak bisa lebih benar dan ilmiah. Kedepan ilmu sejarah dibutuhkan lebih tangguh untuk merekonstruksi apa saja yang sudah di fikirkan, di kerjakan, di katakan dan di alami oleh orang terdahulu. Namun, bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri, sebab sejarah mempunyai kepentingan masa kini dan bukan untuk masa yang akan datang. Olehnya itu, perkembangan ilmu sejarah dituntut konstribusinya menuju hal yang lebih benar, rasional, obyektif dan ilmiah. Jika ilmu sejarah tidak tangguh untuk itu, maka kemajuan-kemajuan zaman seperti sekarang ini justru akan menghilangkan kesadaran penghuni zamannya sendiri. Ketika masa lalu tidak lagi bisa di tengok, apalagi pada masa berikutnya, maka generasi akan rusak. Kedepan sejarah dibutuhkan sebagai pengawal setiap idea of progres.
Membincang sejarah Kerajaan Sendana tak bisa dilepaskan dari sebuah nama Kampung yang bernama Sa'Adawang yang konon ditemukan oleh Daeng Tumana (Dettumana/Demmangana) salah satu keturunan dari Tomakaka Tabulahan di Pitu Ulunna Salu. Suatu ketika Tomakaka Tabulahan turun gunung bersama pengikutnya untuk mencari keperluan kebutuhan hidup digunung seperti ikan, garam dll. Dalam perjalanan mereka menemukan kawasan yang panorama alamnya sangat indah. Hal ini membuat Tomakaka tertarik untuk menjadikan wilayah itu sebagai tempat peristirahatan saat turun dari gunung ke pantai. Dalam perjalanan sejarah, wilayah ini tidak saja menjadi persinggahan tapi sebagian dari orang Tabulahan dijadikan sebagai tempat bermukim secara tetap.
Kondisi alam dan kontur tanah memang sangat mendukung sebagai hunian baru, sebab selain bukit dan gunung yang hijau subur, juga terdapat luasan tanah datar yang cocok dijadikan tanah persawahan. Wilayah Sa'Adawang kian hari kian bertambah perduduk yang mendiaminya, sehingga terbentuk sebuah komunitas masyarakat yang berkoloni itu mendaulat Daeng Tumana sebagai orang yang dipertuan atau tomakaka yang kepemimpinan awalnya disebut sebagai "Bawa Tau". Kepemimpinan Daeng Tumana belumlah memenuhi persyaratan sebagai sebuah kerajaan selain hanya sebuah komunitas atau banua.
Hingga pada suatu hari Daeng Palulung datang bersama Istrinya yang bernama Tomesaraung Bulawang. Daeng Palulung sebagaimana disebutkan dalam lontar adalah adalah keturunan bangsawan kerajaan Luwu dan Tomesaraung Bulawang adalah salah satu putri dari Arung Pone (Bone). Seperti yang dikisahkan dalam lontaraq yang dikutip oleh Darmansyah menyebutkan, Daeng Palulung sampai ke Sa'Adawang adalah proses akhir dalam perjalannya mencari adiknya Daeng Sirua yang meninggalkan Luwu menuju Timpuru-Donggala. Daeng Sirua sendiri dikisahkan berangkat dari Donngala menuju Labuan Rano (Tappalang sekarang).
Di Labuang Rano tersebut ia memerintahkan pengawalnya kedarat untuk mencari kayu bakar. Didarat, pengawalnya tadi dikejar oleh bara api yang membuatnya harus lari ke pantai dan melapor ke tuannya. Berdasarkan laporan itulah, I Daeng Sirua memerintahkan pengawalnya naik kedarat menangkap bara api itu. Ternyata setelah bara itu ditangkap oleh pengawal dan diserahkan ke Tuannya adalah penjelmaan dari sebuah keris yang diberi nama I Jarra atau Ijarre dan lebih dikenal dengan nama I Po’ga. Daeng Sirua kemudian menuju ke arah selatan dan tiba di Parrassangan. Di Parrassangan mereka menebas hutan sampai ke sungai Mosso.
Saat yang sama Daeng Palulung juga tiba ditempat itu. Sebuah pertemuan dari hampir sepuluh tahun pencariannya terhadap adiknya, Daeng Sirua. Pertemuan yang membahagiakan itu kemudian membuatnya mencari tempat dan tiba disebuah wilayah yang bernama Lakkading.Sebulan lebih ia tinggal di Lakkading. Dari Lakkading, Daeng Palulung dan Daeng Sirua kemudian menuju sebuah gunung yang disana telah dihuni oleh keturunan dari Tabulahang yaitu Sa'Adawang. Proses kepemimpinan Bawa Tau dilanjutkan oleh Daeng Palulung. Daeng Palulung inilah yang mengubah konsep kepemimpinan Bawa tau menjadi Memmara-Mara'dia sebab ia lebih memilki pengalaman dalam menata pemerintahan lantaran berasal dari Luwu dan Bone.(Bersambung)


Senin, 02 Mei 2016

NAPAK TILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian2) " Makam Daeng Palulung dan Daeng Sirua "


0leh: Muhammad Munir-Tinambung

Turun dari puncak Buttu Suso dengan ketinggian diatas 700 meter dari permukaan laut, penelusuran dilanjutkan dengan mencari keberadaan Makam Daeng Palullung. Dengan diantar oleh I Tangka, salah satu petani sawah di areal perkapungan Sa'Adawang kami berjalan meniti pematang sawah. Setelah itu menembus semak belukar ke sebuah bukit yang berada pas di kaki gunung Buttu Bulidzo. Buttu Bulidzo ini memiliki situs berupa Gua Bulidzo. Gua yang memiliki panjang sekitar 10 meter dengan lebar 4,5 cm dan tinggi ruang kurang lebih 1,5 meter. Menurut pengakuan Jahar dan I Tangka, gua tersebut memiliki sejarah yang panjang sepanjang sejarah peradaban masyarakat Kerajaan Sendana. Gua ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang berharga. Dalam perjuangan melawan penjajah, gua inipun berperan sebagai pusat persembunyian para pemimpin pasukan untuk memantau lawan.
Dari balik semak belukar tepat di lereng gunung Bulidzo tersebut, terdapat 2 buah makam yang diyakini sebagai makam Topapo atau Daeng Palulung, suami dari Tomesaraung Bulawang. Entah pertimbangan apa, sehingga makamnya harus terpisah dari istri tercintanya, Tomesaraung Bulawang. Justru disekitar makamnya terdapat makam Daeng Sirua. Makam Daeng Sirua ini ditandai dengan batu yang bentuknya sangat sederhana. Daeng Sirua dan Daeng Palulung adalah bersaudara. Daeng Sirua inilah yang menikah dengan putri Mara'dia Alu (Puatta Di Saragiang) yang kemudian menjadi awal pertalian dalam membentuk persekutuan Bocco Tallu, yaitu Alu, Sendana dan Taramanu. Kedua makam tersebut juga tak luput dari penggalian dan penjarahan benda-benda purbakala pada tahun 1971-1973. Hanya saja, menurut informasi dari I Tangka, di situs ini, tak banyak harta kekayaan yang berhasil didapatkan oleh para penjarah. Bekas galiannya masih nampak dan membuat kondisi situs ini dangat memprihatinkan. Penggalian dan penjarahan kubuuran tua oleh masyarakat sekitar inilah yang menghilangkan jejak kepurbakalaannya.
Penggalian situs purbakala yang dilakukan oleh masyarakat Putta’da Sendana ini adalah bentuk kejahatan yang lebih kejam dari penjajah Belanda. Penjajah Belanda, meski mengambil untung dari aset bangsa ini, tapi tetap menjaga kelestarian cagar budaya dan menyimpan banyak arsif tentang sejarah lampau kerajaan ini. Yang ironi kemudian, karena jusru warga peribumi yang nota bene keturunan dari Topapo atau Daeng Palulung ini justru rela dan tak merasa berdosa menjarah kekayaan yang dimiliki oleh leluhur mereka. Peristiwa penjarahan benda-benda purbakala dari tahun 1971 sampai hari inipun terus dilakukan oleh masyarakat. Tak terkecuali pemerintah juga sudah seenaknya merubah, merusak, memindahkan situs-situs budaya yang merupakan jejak nenek moyang.
Sejatinya, situs sejarah dan artefak tersebut dijaga, dipelihara olen masyarakat dan pemerintah, bukan malah menjadi pelaku dari proses itu. Apapun alasannya, jika menyangkut benda-benda purbakala, itu tak bisa ditolerir. Meski dengan alasan pembangunan sekalipun semestinya tidak dilakukan, sebab benda atau situs tersebut adalah cagar budaya yang sekaligus menjadi sumber informasi untuk penelitian membuktikan eksistensi mereka pada masa lalu itu ke generasi selanjutnya. Situs tersebutlah yang akan menerangkan bahwa pernah di Sa'Adawang ini,  terbangun sebuah peradaban, sebuah kampung tua yang didalamnya pemerintahan dalam bentuk tomakaka sampai bentuk kerajaan (Mara'dia) pernah terlakonkan.
Merusak, memindahkan dan menghilangkan situs-situs tersebut adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak hanya terhadap masyarakat hari ini, tapi menjadi sebuah proyek pengkaburan yang berimbas pada pengibulan sejarah kedepan. Dan tindakan ini tentu saja harus difahami sebagai dosa turunan dari masyarakat pelaku penjarahan maupun pemerintah yang melakukannya atas dasar apapun. Pemerintah seharusnya menjadi pelestari dari semua situs yang terdapat dalam peta wilayah pemerintahannya. Masyarakat juga seharusnya merasa malu ketika didaulat dalam acara upacara adat sebagai Puang, Daeng tapi disatu sisi ia melupakan dan menjadi pelaku dari proses penjarahan atas aset kekayaan leluhurnya.
Saatnya keturunan adat tidak saja bangga karena dipanggil Puang, Daeng tapi mesti merasa bertanggung jawab terhadap situs sejarah perru'dusang. Tomesaraung Bulawang dan Daeng Palulunglah yang membuat mereka jadi terhormat, kaya dan dipanggil Puang, Daeng tapi ketika melihat kondisi makam leluhur mereka justru berbanding terbalik dengan kehormatan yang membuatnya merasa bangga. Malulah kita hari ini yang punya strata Puang dan Daeng tapi tak mengetahui atau membiarkan situs sejarah leluhur dijarah, dirusak, dipindahkan, dihilangkan. Lalu dimana letak Puang dan Daeng akan dialamatkan andai kata tak ada leluhur ? Masihkan gelar itu pantas disematkan pada mereka yang tak peduli dengan leluhur yang membuatnya punya kedudukan terhormat?

NAPAKTILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian 1) " Putta'da dan Perkampungan Tua Sa' Adawang "


0leh: Muhammad Munir

Nun jauh disebuah persawahan yang berada diatas puncak gunung Desa Putta'da Kec. Sendana, rahasia itu mendekam. Rahasia-rahasia yang selama ini dikunci dalam sebuah peti, bahkan sekedar berceritapun tak boleh seenaknya. Lontar-Lontar yang menyimpan rahasia itu tak boleh dilongok, kecuali lewat prosesi dan ritual khusus dengan memotong seekor kambing bahkan kerbau. Sabtu, 2 April 2016 lalu, sebuah perjalanan untuk menguak rahasia-rahasia dalam lontar-lontar Mandar tersebut dimulai. Terik mentari mulai menusuk, pukul 10.00 gunung dipinggiran desa Putta'da yang menghubungkan ke Puncak Buttu Suso mulai ditaklukkan meski dengan nafas tersengal sengal, persendian seakan remuk dan cucuran keringat mengalir deras dari pori-pori.

Drs. Darmansyah, adalah sosok Ketua DPRD Majene yang mungkin satu-satunya Ketua DPRD di Sulbar ini, punya ide dan semangat untuk mengungkap rahasia-rahasia yang kerap hanya dimitoskan dalam cerita tutur. Penulis mengikuti agenda penelusuran ini bersama teman-teman dari Balanipa, yaitu Salahuddin dan Faisal. Setelah 1,5 jam perjalanan akhirnya kami tiba dipuncak sebuah gunung dengan panorama yang memukau. Nampak sebuah areal persawahan yang menghijau diantara lereng gunung Buttu Suso. Menurut Jahar, sang penunjuk jalan yang dari awal mengikuti perjalanan kami mengatakan bahwa disinilah peradaban Sendana dimulai. Dahulu, areal persawahan dipuncak gunung inilah perkampungan Sa'Adawang, tempat dimana pertama kali, Topapo Daeng Palulung mendefenisikan cintanya pada Tomesaraung Bulawang. Tak banyak yang tahu, Daeng Palulung dan Tomesaraung Bulawang inilah yang melahirkan I Ta'da, Puatta Sa'Adawang, Indara dan Puatta I Pance.

Matahari nampak mematuk diubun-ubun ketika melewati bukit-bukit dipinggiran sawah Kampung Sa'Adawang. Ternyata Makam Tomesaraung Bulawang berada agak dipuncak perkampungan. Kondisinya begitu memprihatinkan, berada di antara semak belukar, tak terawat dan hanya terdiri dari 3 bongkahan batu yang menjadi penanda. Menurut informasi, bahwa makam ini adalah makam dimana harta kekayaan Tomesaraung Bulawang ikut dikuburkan saat ia mangkat. Hal tersebut terbukti setelah tahun 1973 makam ini digali oleh oknum masyarakat yang tak bertanggung jawab. Dan informasi dari masyarakat yang melihat proses penggalian dan penjarahan benda purba kala tersebur menyebutkan bahwa dari makam Tomesaraung Bulawang itu ada banyak keramik, emas dan harta kekayaan lainnya yang berhasil dikeluarkan dari makam itu. "Mungkin sekitar 1 truk, pak. Barang-barang itu diangkut malam hari sekitar jam satu dini hari". Demikian salah seorang warga yang enggan disebut namanya bercerita.

Nampak Darmansyah membersihkan semak belukar yang menutupi makam, ia bahkan tak peduli akan membuat tubuhnya gatal. Ia membetulkan posisi dan membersihkan wilayah situs makam dan sekitarnya. Setelah dianggap sudah cukup untuk menjadi penanda sebuah situs makam, perjalanan dilanjutkan ke puncak Buttu Suso. Entah apa arti dari kata Suso yang melekat dipuncak yang dari atas puncak itu terlihat semua wilayah pesisir dari Pamboang, Sendana sampai Tubo. Buttu Suso ini pada masa revolusi juga dijadikan benteng untuk melawan penjajah Belanda. Tiba dipuncak buttu Suso tepat pada jam 12.30 siang. Bukan hanya terik matahari yang panas mendera. Tapi wilayah perut sudah mulai menuntut haknya, sebab jam sudah menunjukkan waktu makan siang.

Tak ada makan siang, tak ada rumah makan, sementara jarak tempuh untuk pulang masih membutuhkan waktu tiga jam untuk bisa mendapatkan makanan. Dalam kondisi lapar dan haus tersebut, beruntung disekitaran gunung Buttu Suso ini banyak tumbuh Jambu Batu yang setiap saat berbuah. Jambu batu itulah yang kemudian menjadi pilihan untuk mengganjal perut. Untuk pertama kalinya, penulis harus menuliskan sejarah " Bersama Rombongan: Ketua DPRD Majene makan siang dengan jambu batu di puncak gunung".
            
Inilah awal dari sebuah proses untuk mendokumentasikan beberapa situs sejarah masa silam. Berat memang, tapi berkat dorongan rasa yang menyeruak untuk mengungkap tabir peradaban tua di Mandar, tebing jurang, kerikil tajam, duri-duri dari semak belukar yang terus menusuki tak membuat semangat menelusur itu pupus karenanya. Ada sebauah tanggung jawab besar yang lahir dari keresahan ketika membaca buku sejarah yang kadang mengajak kita hanya merenung, menghayal tanpa pernah tahu bagaimana model perkampungan yang mereka tempati saat mengendalikan sebuah kerajaan yang berdaulat. Ini penting, sebab bagaimana mungkin generasi kita bisa mengambil ibrah dari sebuah peristiwa jika fikirannya hanya dilingkupi kebingungan yang kerap menjadikan kita penasaran.
           
Melalui penelusuran  inilah sebuah fakta-fakrta sejarah kami dokumentasikan dari titik ordinat yang bisa diakses. Lewat ini pula penulis merasa kecewa dengan manusia-manusia yang kebetulan diuntungkan menjadi keturunan bangsawan, yang dipanggil Puang dan Daeng, yang dalam setiap upacara adat diposisikan dengan perlakuan yang berbeda. Mereka terlalu dihormati, mereka bahkan merasa terhormat. Namun dibalik itu semua, makam leluhur yang menjadi penyebab kasta mereka dinaikkan dari yang lain justru tak terawat. Penulis yakin, mereka masih banyak yang tak tahu dimana makam leluhur yang menjadikannya dipanggil Puang dan Daeng. Merasa terusikkah mereka ketika makam leluhurnya dalam kondisi yang tak sepantasnya?. Ah, semoga tulisan ini menjadi penggugat untuk sekedar menggugah hati mereka.
(Bersambung)
             Gambar: Lontaraq Gulung di Kecamatan Sendana. (Doc. Muhammad Rahmat Muchtar)