Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 April 2017

ANGGUKAN RITMIS SANG LEGENDARIS (1) Sumaati : I Bonggo dan Totalitas dalam Dunia Tolo’



ANGGUKAN RITMIS SANG LEGENDARIS (1)
Sumaati : I Bonggo dan Totalitas dalam Dunia Tolo’

Sumaati bersama kedua istrinya


I Bonggo, kisah pemuda pandundu manyang yang mencoba memintal harapannya kepada seorang wanita yang dikenal alim dan annagguru pangaji. I Bonggo adalah salah satu contoh pemuda yang punya optimisme yang tinggi. Keinginan untuk menyunting wanita shalehah melupakan jatidirinya yang sebenarnya.Ia memohon pada orang tua dan keluarga besarnya untuk bisa melamar wanita yang diidamkannya itu. Kendati orang tuanya merasa tak yakin akan diterima oleh wanita tersebut, tapi kasih sayangnya pada sibuah hatinya mengalahkan kekhawatirannya untuk ditolak oleh keluarga sang guru ngaji yang cantik dan jadi bunga desa.

Kendati ia sangat sadar dengan keadaan anaknya yang hobi menenggak minuma keras, tapi tetap ia mencoba untuk memulai tahapan mambarumba'be (maanna pau kepada pihak keluarga wanita) Pada suatu malam, ayah dari I Bonggo ini menamatkan keraguan dan kekhawatirannya untuk menghadap secara resmi ke keluarga wanita annangguru pangaji. Ia diterima oleh keluarga guru ngaji tersebut dengan sangat dingin. Ayah I Bonggo tetap berusaha menutupi rasa dongkolnya pada sikap keluarga wanita yang diinginkan anaknya. Pelan setelah berbasa-basi, ia mulai mengutarakan maksud kedatangannya kepada tuan rumah untuk rencana melamar anaknya jika diperkenankan.

Belum selesai ucapan ayah I Bonggo, ayah sang guru ngaji tersebut langsung menimpali dengan kataikata yang begitu kasar. " Lebih baik anakku menikah dengan I Bari (anjing peliharaannya) dari pada harus dikahkan dengan anakmu I Bonggo. Ayah I Bonngo laksana disengat listrik dengan daya tinggi. Ia tak mampu menanggun beban mental atas ucapan ayah wanita yang diimpikan anaknya. Jangankan diberi kesempatan untuk dimintai uang panai', ia bahkan lebih memuliakan anjing dari pada I Bonggo. Ayah I Bonggo kemudian pamit dengan perasaan yang begitu teriris.

Bayangan kata-kata ayah guru ngaji tadi terus membuat tekanan darahnya naik. Ia tak menerima penghinaan tersebut. Kata-kata yang diucapkannya pada malam itu sangat ia ingat pada saat Marumba'be. "Purama guli-guliling, mappikkir mattimbangngi, ana'u I Bonggo naupalambi' akkattana naditoe'I sarana lao digala'garta...." "Mua' melo' le'ba'di ana'u memmuane, mala'bi tia I bari' anna I bonggo". Kata-kata itu terus melingkupi pikiran ayah I Bonggo. Dalam hatinya ia terus bergumam "Mane namarumba'be tau meparuai dami pau kadzae. Tak rela diperlakukan seperti itu, ia kemudian memerintahkan kepada I Bonggo untuk pergi mambatta tarring (menebang bambu) dan memintanya untuk tidak keluar-keluar pada malam jum'at.

"Malam jum'at nanti, kamu jangan keluar-keluar. Kamu bantu bapak untuk melakukan ritual. Wanita itu mesti jadi istrimu Bonggo" Kata orang tua setengah baya itu kepada I Bonggo. Setelah malam jum'at, I Bonggo dan ayahnya masuk ke kamar, ia meminta kepada I Bonggi untuk bakar menyan (undung). Tak lama kemudia ayahnya keluar ke bollo (beranda rumah) sambil mappelo bakal. Disamping untuk menghalau dingin ia juga terus berusaha melafalkan sebuah mantra yang didapatnya dari salah seorang guru spritualnya dari Pappang Limboro.

Lafadz mantra ini merupakan sossorang dari leluhur to Pappang dan Lamase. Malam semakin larut, I Bonggo dan ayahnya maksyuk dalam dekapan malam yang mengirimkan embun (undu ditangnga bongi). Tak lama kemudian, pelan tapi pasti kesunyian malam itu rekah. Terdengan suara anjing melolong diikuti gonggongan yang saling bersahutan. Ayah I Bonggo setengan berteriak kedalam ruangan yang ditempati I Bonggo melaksanakan ritual. Bonggo, engga'na Maroca asu, diang kapang di'e tau naitae" " Apadi Bari' namaroca tendo'o? " Kata ayah I Bonggo pada anjingnya yang dari tadi mengonggong dibawah bollo tempatnya duduk marrokok bakal malam itu.

Tania I Bari', Puang. Iyau. Meloa mating diboyatta, salilia lao I Bonggo" Kata suara yang tiba-tiba muncul dari arah tangga rumahnya. Dari kesunyian dan gelapnya malam itu muncul sesosok bayangan seorang wanita berkerudung hitam. Wanita tersebut tak lain adalah sang wanita yang diimpikan I Bonggo. Annangguru pangaji itu tak kuasa menanggung rindu yang seketika membuncah dan hanya menemukan kedamaian hatinya ketika melihat balimbungan (bubungan rumah) I Bonggo.

Annangguru pangaji yang cantik itu datang merelakan dirinya untuk hidup bersama I Bonggo. Sossorang dari Pappang itu menguasai diri wanita cantik itu. Bersikukuh tetap pada pilihannya untuk pulang setelah I Bonggo menikahinya. Orang tuanya tak sanggup menahan malu atas kelakuan putrinya. I Bonggo dan ayahnya merasa bahagia dan bangga. Ia bisa mendapatkan pujaan hatinya sekaligus meruntuhkan keangkuhan orang tuanya pada khalayak. Bonggo kemudian menjadi orang yang paling bahagia bisa mendapatkan mojang desa yang sangat ia kagumi.

Kisah I Bonggo dengan Annangguru pangaji itu adalah salah satu Tolo' kacaping yang kerap dinyanyikan oleh Sumaati ketika tampil makkacaping diberbagai daerah yang menyelenggarakan hajatan dan mengundangya untuk tapil makkacaping. Selain I Bonggo, toloq yang kerap ia nyanyikan adalah I Ha'dara, I Sunusi, I Bidol dan I Po'gol. I Po'gol adalah sosok tommuanesekaligu tomuanena Mandar. I Po'gol melegenda dalam lantunan tolo' Sumaati. Kakek dari Zarkawi Rauf ini dikisahkan dalam lagu kacaping Sumaati dengan kesetiaan I Pati, istrinya dan keberaniannya melawan S. Mengga dan pasukannya. Ia terbunuh dalam insiden disekitaran wilayah Lambanan. Sumaati sendiri adalah sosok pakkacaping yang tersohor pada tahun 50-an sampai 70 an. (Bersambung)

Saat selesai wawancara dengan putra sulung Sumaati, Amiruddin

Selasa, 07 Maret 2017

Muhammad Munir : Menamatkan Sungai Dengan Puisi




HIKAYAT SUNGAIKU !
(Ketika Pasir jadi Pasar)

Sungai Mandar
Jika fragmen yang tercipta bagimu hanya menggores luka
Aku mungkin harus membentak sunyi diantara lelapnya toturunammu
Atau menyebutmu kenangan yang meranggas perlahan di ringkih hati
lalu menyemai harap,
segalanya akan kembali seperti semula
“Karena apa yang tertinggal,” katamu,”seperti sisa jejak kaki
di bibir pantai yang lenyap terhapus hempasan ombak”

Sungai Mandar
Pada uwakeq tarrattas kucoba melilitkan hatiku
Pada pappang tarraqba kucoba menanam asaku
Dan pada pasirmu kucoba merepih pilu
Agar tak hanya bisa bersenandung
Dan membuat segenap angan terbang liar mencabik cakrawala
seraya menyimpan segala asa dan rindu pada diam,
pada keheningan
pada lagu lama yang kita lantunkan
dan bergema lirih hingga ke sudut sepi sanubari
“Karena apa yang kini ada”, ucapmu lagi,
Adalah tempat dimana angin segala musim bertiup
dan arus semua sungai bermuara yang kerap
membuat kita gamang pada pilihan :
“meniti samar masa depan
ataukah menggenggam nostalgia
dan ikut karam bersamanya”
Sungai Mandar
Aku masih punya mimpi yang kusarikan di
doaku pada tuhanku diatas sana
Teruslah mengalir dan buatlah tujuh samudra lagi
Agar penambangmu bisa menimbang
Antara rasa, asa dan masa depan arusmu dari hulu ke
muara.

Senja di Bantaran Sungai Mandar
20 Ramadhan 1436 H.


SUNGAI MANDAR
(Dari Mata Air ke Air Mata)

Pernah sekali aku melihatmu
keluar dari celah batu,
dari ujung-ujung akar,
dari bongkahan tanah berpasir,
Berjalan pelan, mengalir Terus,
terus dan terus menerus
Tetes, setetes dan tetesan menetes
Rembes merembes
Mata air
Pertama kukenal,
ketika lelah tak letih mengikuti
Jadilah kau pilihan hatiku
ketika peluh meluluh nyaliku,
enggan kompromi
Pertama kali jua kau mengalir diantara sumsum dan urat nadi
Sesekali kau menyapaku lewat pori
Aku mengenalmu
Begitu dalam
Mata air
Pernah kuingin membuat danau,
Membuat samudera,
membuat kondensasi air,
membuat hujan,
untuk sekedar memberimu ruang untuk aku semakin dekat.
Dan dengan halus kau janjikan
dan jadikan sungai, laut, danau  dan samudera itu
tepat ketika aku beranjak dari tempat dimana aku pertama mengalirkanmu ketubuhku. 
Mata air
Kau benar,
janjimu pasti
dan aku melihat sosok tuhan yang begitu santun menyayangi alam dan makhluk-Nya. 
Kaukah sifat Tuhan itu,
dan dari sifat apa kau dicipta?
Sebab aku ada dan dicipta dari sifat Tuhan itu.
Jangan-jangan kau adalah aku
Tapi, tak mungkin mata air itu aku.
Aku adalah mata air,
bukan
Aku hanya punya air mata
Air mata
Pertama kukenal ketika kurasakan mata air itu
menamat hausku
Dan air mata itu keluar ketika syukurku memuncak
sebab dahaga yang mencekik itu telah hilang
Air mata
Aku memang tak lagi bisa menjadi mata air,
ketika melihat karyamu diabaikan
Danaumu dikeringkan,
sungaimu di rusak,
samuderamu jadi tong sampah
Aku ingin menyerapahi mereka,
tapi mereka memaki aku
Lalu air mata ini mengalir
Mencari mata air
Menemukan tuhan
Lalu Tuhan menyapaku
Jangan bersedih, kata-Nya
Hapus air matamu, jadilah mata air
Agar mereka menjadikan tujuh samudra lagi dari air mata mereka.
Air mata,
Mata Air
Tanah air dan air tanah
Adalah Mandar
Litaq Mandarku adalah Tanah air !

Sungai Mandar, 28 Juni 2015


SUNGAIKU....!
(Dari Sugiging ke Teriakan)

Tahukah kamu Wahai Sungai Mandarku?
Bahwa Sang leluhur memuliakanmu
Tapi, arusmu dari hulu kemuara,
Tanpa sadar membuat skenario kolektif
untuk sebuah proses pemiskinan dan pembodohan
Dan mereka mengkerangkengmu dalam ketidak berdayaan
Mereka datang laksana malaikat penolong
Gagah dan kuat bak buldoser atau pun ekscapator
Baju terstrika rapi bermobil mewah laksana pemilik sungai
Mereka datang membawa makananmu
membawa harapan-harapan baru
agar mereka tetap bisa berdaya
Dan penduduk DAS Mandar tak berdaya
Lalu hanya bisa berkata iye, Puang !
Bantaran sungaimu tertindas
baket demi baket dan laju truk bak tuyul penambang
Hentikan !
Hentikan skenario ini
Lupakan semua model bantuan itu
Tinggalkan zona nyaman itu
carilah zona barakkaq disungaimu
agar tak lagi ada eksploitasi
Biarkan kemiskinan menemani sampai ia letih mengikutimu
Wahai tanamandar tanah leluhur
Pegang erat tangan rakyat miskinmu
Pegang erat tangan nelayan miskinmu
Peluk erat bayi busung laparmu yang terkapar
Nyatakan perang pada tengkulak pasir
Lawan semua bentuk ketidak adilan
dan nikmatilah sungaimu
Sebagaimana moyangmu menikmatinya
Merdeka !

Sungai Mandar 03 Juli 2015

MENAMATKAN SUNGAIKU

Kukaramkan diriku
pada kedalaman limbong tammeppalisu
Kutemukan bongkah-bongkahan kerisauan
ketika sungaiku di rasuk perusak
Dan ada begitu banyak kepapaan yang kutemukan
ketika perasuk itu mengeruk
Tanpa sadar aku terseret arus yang menghantamku dari hulu
Kutemukan diriku terisak dimuara yang sekarat
Nafasku sesak dalam piatu
Dan sebelum aku bisa menarik nafas kedua
Ombak dari teluk Mandar menyapuku
Tubuh kerontangku terhempas kembali menantang arus sungai Mandar
Dimanakah aku ?
Sebegitu buramkah aku mengenali Mandarku
Hingga tak lagi aroma dan auranya kufahami
Semenit kemudian aku beringsut kebibir sungai
Menambang takdirku
pada uwakeq yang aku tak tahu entah aku bisa dikenali sebagai orang Mandar
atau justru aku minder dari perusak demi tidurku beberapa saat
Penambang menembang
Tambang menantang
Mandarku menentang
Diambang kebimbangan
Hakayat sungaiku ditambang
Akankah sampah juga ikut berdendang
Sementara aku harus tertendang?
Oh Sungaiku !
Uwai randang
Uwai tomanurung
Kuhalalkan jiwaku demi arus-Mu !

Lekopa’dis, 06 Maret 2017