Tampilkan postingan dengan label Legislasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Legislasi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 29 Januari 2017

ABM-ENNY DAN PENGUATAN SISTEM KELEMBAGAAN PEMERINTAH

Tulisan ini adalah catatan Bapak Suyuti Marzuki, tokoh ahli dibidang manajemen yang telah menyelesaikan studi masternya bidang coastal engineering and manajemen (2005). Berikut catatan singkatnya menyikapi Pelaksanaan Debat Publik Tahap 2 Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Barat 2017, di Ballroom d'Maleo Hotel mamuju, 29 Januari 2017 : 

Ada satu agenda hal yang yg maha penting yang luput dipertajam pada debat Gubernur di Sulawesi Barat, yaitu ketika bicara soal pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, yaitu “SISTEM KELEMBAGAAN PEMERINTAH” yang oleh pakar Manajemen Organisasi kenamaan dunia, Piter Dracker (Drucker, 1954) menempatkan system kelembagaan sebagai Roh-nya organisasi hidup atau mati, organisasi belanjut atau mati suri.

Sejalan dengan ini pakar dan penemu teori manajemen organisasi berbasis balanced scorecard (Kaplan & Nagel, 2004; Kaplan & Norton, 1996) lantas meletakkan kelembagaan ini dalam sebagai salah pondasi organisasi pemerintah (Lawrie & Cobbold, 2004) maupun organisasi swasta atau korporat ((Shen, Chen, & Wang, 2016). Prof. Paul S. Kaplan dan Prof David P Norton, menempatkannya pada perspektif dasar dari empat perspektif utama dalam teori balanced scorecard yang telah berkembang di seluruh belahan dunia yaitu pada “perspective Learn and Growth” (Persfektif Pembelajaran dan Pertumbuhan dalam organisasi).

Apa keempat fondasi itu?
1. Sistem Pengembangan SDM
2. Sistem Kelembagaan pemerintah
3. Sistem data dan informasi
4. Sistem penganggaran organisasi

Ada apa dan Mengapa Kelambagaan pemerintah?

Kelembagaan pemerintah itu harus dipahami sebagai suatu hal yang sangat berbeda dengan kelembagaan dunia bisnis/korporat. Jika kelembagaan swasta dibangun dena tujuan dan atas dasar mengejar keuntungan/profit, maka dalam hirarki kelembagaan pemerintah justru Masyarakatlah yang herus menjadi tujuan utama pembangunan.


Sehingga sangat dibutuhkan pemimpin daerah yang benar2 memiliki pengalaman dan kemampuan dalam mengelola organisasi pemerintahan.
Untuk mencari pemimpin seperti ini tidaklah mudah, dibutuhkan sebuah proses panjang dalam pembelajarannya sebagaimana yang telah sy dijelaskan di atas pada perspektif Learn and Growth.

INGAT, sekali lagi bahwa seseorang yang sukses dalam dunia bisnis/korporat, belum tentu akan bisa mengelola lembaga pemerintah. karena tujuan dan filosofinya serta hirarki bekernya kedua organisasi ini sangatlah bertolak belakang. Swasta mengejar keuntungan, sedangkan pemerintah menekankan Stakeholders menuju kesejahteraan masyarakatnya.

Beberapa hal pokok yg dapat dilakukan dalam memperkuat kelembagaan daerah ini menuju Good governace meliputi:
1) Penataan organisasi daerah yang efisien dan efektif secara terintegrasi
2) Meningkatkan dan mengukur kinerja seluruh organisasi daerah
3) Kepala SKPD harus paham betul apa tugas fungsinya masing2 yang tertuang di dalam peta strateginya.
4) SKPD harus fokus membangun sektornya masing2 berdasarkan janji-janji kerja dan indicator kinerja utama (IKU) yang telah dibangun.
5) Program-program dan kegiatan-kegiatan SKPD harus benar2 sinkron dan mendukung Peta Strategi pemerintah daerah (peta strategi Gubernur) dari kelima MISI daerah (Provinsi)
6) harus bisa mencari sumber2 pendanaan dari pusat dan luar, jangan tergantung kepada gubernur saja.
7) Menciptakan birokrasi yang benar2 melayani masyarakat, tiap SKPD ada tim reaksi cepat atas pengaduan masyarakat terkait tugas fungi sektornya masing2 SKPD
😎Dan seterusnya……..


Di Provinsi Sulawesi Barat, saya hanya melihat pada sosok ABM, yang sudah sangat matang dan sarat pengalaman dalam mengelola organisasi pemerintah......

Citation:
Drucker, P. (1954). Peter Drucker on the profession of management. The Journal of Academic Librarianship. https://doi.org/10.1016/S0099-1333(98)90121-5
Kaplan, R. S., & Nagel, M. E. (2004). Improving Corporate Governance with the Balanced Scorecard. NACD Directors Monthly, 28, 6–10.
Kaplan, R. S., & Norton, D. P. (1996). Using the Balanced Scorecard as a Strategic Management System. Harvard Business Review, (October 1993), 75–86. https://doi.org/10.1016/S0840-4704(10)60668-0
Lawrie, G., & Cobbold, I. (2004). Third-generation balanced scorecard: evolution of an effective strategic control tool. International Journal of Productivity and Performance Management, 53(7), 611–623. https://doi.org/10.1108/17410400410561231
Shen, Y.-C., Chen, P.-S., & Wang, C.-H. (2016). A study of enterprise resource planning (ERP) system performance measurement using the quantitative balanced scorecard approach. Computers in Industry, 75, 127–139. https://doi.org/10.1016/j.compind.2015.05.006

.................Cermati pada gambar berikut
:

Sabtu, 28 Januari 2017

Sabtu, 21 Januari 2017

BANGUN MEMBANGUN PEMBANGUNAN.


Catatan Waktu Luang Muhammad Rahmat Muchtar


Kredo pemikiran apa lagi yang mesti kita terapkan dalam hidup bermasyarakat terutama hal membangun. Kawan satu mengatakan pembangunan ekonomi lebih utama, sedang kawan dua menguatkan pembangunan SDM. Kawan tiga pun berkilah : “Contohnya saya yang tak dapat menempuh pendidikan tinggi karena ortu tidak mampu secara material“. Tekanan ekonomi akibat SDM ?. Kawan empat tak mau kalah : “ Cuma inilah yang mampu kami kerjakan karena SDM terbatas “. Tekanan SDM akibat ekonomi ?. segalanya teramat berarti. Hematku, dikampung-kampung banyak manusia potensial yang berkepribadian kuat tanpa pendidikan tinggi tapi tidak mendapat ruang. Itu berarti pembangunan SDM macet ! Banyaknya sarjana-sarjana yang menganggur tanpa dapat membuka peluang kemandirian & kesejahteraan. Apakah penyebabnya daya pembangunan ekonomi atau SDM? Cari sendiri.

Teman lainnya berceloteh : keduanya model pembangunan diatas tidak bisa mantap tanpa ulama dan mubaligh serta orang-orang bertaqwa. Nah, kalau demikian apakah tugas ulama dan mubaligh dalam pembangunan? Saya kira tugas mereka adalah: menolong membangkitkan dan mengerahkan potensi-potensi dalam diri manusia agar bisa semaksimal mungkin mampu mengembangkan diri dan menjawab problem-problem lingkungannya. Jadi ulama dan mubaligh bertugas untuk memperkaya rohani manusia agar menjadi sadar dan kemanusiaannya. Partisipasi mereka bukanlah mencangkul, membangun pabrik, berdemonstrasi atau membuat partai, Fungsi mubaligh hakekatnya adalah fungsi kebudayaan (spiritual culture) atau fungsi mentalitas. Hanya sayang, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa fungsi mental para mubaligh, ulama atau rohaniawan tersebut telah digunakan untuk memundurkan mental bangsa dan bukan memajukannya. (Ahmad Wahib : Pergolakan Pemikiran 1971)

Saudara sekampung menimpali : berarti yang belum tuntas terjamah adalah pemberdayaan atau pembangunan “spiritual”..? batinku, mana aku tahu sebab ialah yang maha tahu ! Ada baiknya kita kaji apa itu pembangunan material dan apa itu pembangunan spiritual. Bagi saya pembangunan material ialah : pembangunan ekonomi, teknologi, pengajaran, keahlian, ketrampilan dan manajemen. Sedang pembangunan spiritual ialah pembangunan politik, kebudayaan, pengembangan kesenian, filsafat dan penyuburan hidup berkeTuhanan. Bagi saya-andaikata keduanya tidak terpisah hanya secara teoritis –pembangunan spiritual jelas setidak-tidaknya tidak dibawah pembangunan material. Untuk bangsa Indonesia yang masih tradisional, bagi saya pembangunan spiritual menjadi lebih penting. Fungsi pembangunan spiritual dalam ikut melancarkan pembangunan material ialah mengembangkan potensi dalam diri manusia dan dalam bimbingan antar manusia agar secara maksimal mendorong pembangunan material.

Fungsi pembangunan material dalam ikut melancarkan pembangunan spiritual ialah menyediakan fasilitas-fasilitas material agar pembangunan spiritual itu bisa terjadi dan lancar. Jadi pembangunan spiritual berfungsi mendidik dan mengarahkan manusia-manusia agar semaksimal mungkin mampu mengeksploitir kemungkinan-kemungkinan material di sekitarnya. Jelas dengan begitu pembangunan spiritual tidak hanya identik dengan pembangunan masjid, madrasah, gereja, Departemen Agama atau memperbanyak sarjana dan mahasiswa IAIN. Malahan bila mendapat pengisian seperti sering terjadi sekarang ini, hal-hal seperti di atas lebih banyak menghasilkan kemerosotan spiritual. Terus terang aku sangat curiga dengan mereka yang menamakan diri golongan atau pejuang-pejuang spiritual sekarang ini, sebab pada hakekatnya mereka itu adalah orang-orang atau golongan-golongan yang secara spiritual jauh ketinggalan dari mereka yang dituduh mengabaikan pembangunan spiritual. Ternyata pengertian spiritual di Indonesia telah memperoleh pengertian yang salah, yaitu diluar konteks pembangunan material-spiritual. (Ahmad Wahib : Pergolakan Pemikiran 1971)

Bila kita lihat fenomena yang mengemuka, capaian-capaian dan pola serta cara yang berkembang di Indonesia temporer ini, maka pra dan pasca pemikiran Ahmad Wahib ini terlahir terasa bagus dikuliti atau dijadikan sebagai acuan untuk mencapai jalan keluar kedepan. Tentu dengan penyesuaian kondisi perkembangan. Tapi kita bisa lihat dan rasakan bagaimana bobot perkembangan pembangunan juga dampaknya, baik dikampung, kecamatan, kabupaten, provinsi dan seterusnya, lewat TV, medsos, Koran dll.

Sebagaimana ia yakin bahwa problem pokok di Indonesia ialah problem spiritual. Problem spiritual dan problem material memang sama-sama ada dan saling berkait. Tetapi kesulitan-kesulitan dalam pembangunan material yang disebabkan oleh hambatan-hambatan spiritual jauh lebih besar dari pada kesulitan-kesulitan dalam pembangunan spiritual yang disebabkan oleh hambatan-hambatan material.

Kawan 1,2 & 3 serta teman-teman lainnya sontak sadar waktu : aiii.. Kerja…kerja…kerja, Bangun Membangun Pembangunan. “ Mupiala Boa “.
By. Rahmat
Jakarta, januari 2017

Jumat, 20 Januari 2017

BEBERAPA KONSEP PENGUKURAN “KESEJAHTERAAN MASYARAKAT” DI DUNIA



Oleh: Suyuti Marzuki

Hampir dapat dipastikan bahwa tujuan pembangunan manusia dari semua paham-paham pembangunan adalah membawa umat manusia menuju kepada kesejahteraan (Adesina, Social, & Programme, 2010; Dreher, 2006; Kumlin & Rothstein, 2005; Midgley, 2006).Bahkan jika ditinjau dari aspek penegakan hak-hak asasi manusia pun, sesungguhnya pembangunan manusia haruslah dalam rangka pemenuhan unsur-unsur kesejahteraannya (ADB, 2003; Ife, 2007, 2009).

Konsep dan pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat yang selama ini berkembang dan digunakan oleh beberapa Negara senantiasa mempergunakan ukuran yang bersifat multi-dimensional. Hal ini dapat dipahami karena isu kesejahteraan masyarakat memiliki kompleksitas persoalan yang sangat beragam, yang tidak bias diselesaikan melalui pendekatan satu dimensi/variabel (single dimension) saja.Berikut terdapat beberapa konsep pengukuran kesejahteraan yang digunakan oleh negara-negara maju di dunia hingga saat ini, yakni:

Human Development Index (HDI)

Konsep pengukuran HDI atau yang dikenal dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dikembangkan oleh UNDP guna menduukung konsep pembangunan berkelanjutan.Inti dari konsep kesejahteraan adalah melakukan "social invesment" guna menghasilkan SDM yang berkualitas sebagai motor penggerak utama pembangunan berkelanjutan. Indeks ini berfungsi untuk mengukur perkembangan pembangunan manusia di suatu negara, dengan 4 (empat) indicator utama, yakni: (1) angka melek huruf; (2) angka partisipasi pendidikan; (3) angka harapan hidup; dan (4) PDB PerKapita (dayabeli). Jadi, IPM melihat konsep kesejahteraan secara parsial, yakni dari sudut pandang pendidikan, kesehatan, dan tingkat pengeluaran riil untuk memenuhi kebutuhan per individu (Osberg & Sharpe, 2003; Setiawan & Hakim, 2013).
Gross National Happiness.

Konsep pengukuran kesejahteraan masyarakat ini diterapkan di sebuah Negara kecil, Bhutan di dekat negara India, Asia Tengah. Penggunaan konsep pengukuran "kebahagiaan" (happiness) menarik perhatian para ilmuwan sosial, ekonomi, maupun statistik. Indikator yang digunakan sangat "local specific" di sesuaikan dengan kondisi masyarakat Bhutan, seperti penguasaan bahasa Ibu, partisipasi budaya, ketersediaan terhadap akses kebutuhan dasar, tingkat partisipasi dalam kegiatan di level komunal (community vitality) atau kegotong royongan, serta keberlanjutan lingkungan.


Index Quality of Life.

Konsep pengukuran kesejahteraan ini mulai digunakan pada tahun 2005 dengan memfokuskan pada 9 variabel, yakni; (1) kesehatan; (2) kehidupan keluarga; (3) kehidupan masyarakat; (4) kesejahteraan materi; (5) keamanan dan stabilitas politik; (6) iklim dan geografi; (7) keamanan kerja; (8) kebebasan politik; dan (9) kesetaraan gender. Sumber data yang digunakan untuk pengukuran indeks ini beragam, mulai dari survei, sensus, dan laporan-laporan dari Biro Sensus Amerika Serikat atau data dari PBB (Veenhoven, 2004).

Prosperity Index

Konsep kesejahteraan ini memiliki 8 indikator, yakni; (1) ekonomi; (2) kesehatan; (3) kewirausahaan; (4) keamanan dan keselamatan; (5) tata pemerintahan (good governance); (6) kebebasan individu; (7) pendidikan; dan (8) modal sosial (social capital). Dalam perhitungannya, kedepalan indicator tersebut dihubungkan dengan peningkatan income per kapita, selanjutnya pendapatan per kapita ini sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan (wellbeing).
The Better Life Index.

Konsep pengukuran kesejahteraan ini banyak digunakan oleh negara-negara maju (OECD), dimana memiliki 11 indikator yakni; (1) perumahan; (2) pendapatan; (3) pekerjaan; (4) kemasyarakatan; (5) pendidikan; (6) lingkungan; (7) keterlibatan publik (civic engagement); (8) kesehatan; (9) kepuasan hidup (life satisfaction); (10) keamanan/keselamatan; dan (11) keseimbangan hidup (work-life balance).

The Economic Well-being Index (EWI)

Konsep pengukuran kesejahteraan ini memiliki 15 indikator dengan 4 dimensi, yakni; (1) dimensi konsumsi; (2) dimensi ketersediaan modal; (3) dimensi kesetaraan dari sisi pendapatan; dan (4) dimensi keamanan ekonomi. Adapun 15 indikatornya meliputi; (1) konsumsi per kapita; (2) angka harapan hidup; (3) pekerjaan yang tidak dinilai dengan upah (unpaid work); (4) tingkat kesenangan; (5) pengeluaran per kapita; (6) pengeluaran tidak terduga; (7) capital stock per capita; (8) sumber daya alam per kapita; (9) sumber daya manusia; (10) tingkat investasi; (11) tingkat kemerataan pendapatan; (12) tingkat kesenjangan; (13) tingkat pengangguran; (14) risiko sakit; (15) tingkat kerawanan miskin (Sumner, 2004).

Index of Happiness (Indeks Kebahagiaan)

Indeks kebahagiaan merupakan rata-rata dari angka indeks yang dimiliki oleh setiap individu. Di Indonesia pada tahun 2014, Indeks Kebahagiaan sebesar 68,28 pada skala 0–100. Semakin tinggi nilai indeks menunjukkan tingkat kehidupan yang semakin bahagia, demikian pula sebaliknya, semakin rendah nilai indeks maka penduduk semakin tidak bahagia. Indeks kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial. Kesepuluh aspek tersebut secara substansi dan bersama-sama merefleksikan tingkat kebahagiaan yang meliputi kepuasan terhadap: 1) kesehatan, 2) pendidikan, 3) pekerjaan, 4) pendapatan rumah tangga, 5) keharmonisan keluarga, 6) ketersediaan waktu luang, 7) hubungan sosial, 8) kondisi rumah dan aset, 9) keadaan lingkungan, dan 10) kondisi keamanan.

Human Wellbeing Index (HDI)

Demikian pula, Prescott-Allen mengatakan bahwa ekosistemdankesejahteraan memiliki keterkaitan lebih dari konsumsi sumber daya yang rendah (sehingga tidak dapat diukur secara memadai oleh The Ecological Footprint) serta lebih dari jumlah kebijakan dan praktik lingkungan suatu negara (yang diukur dengan Kelestarian Lingkungan Indeks). Ekosistem kesejahteraan, menurut Prescott-Allen, juga memiliki lima dimensi:
1.     Menjaga keragaman dan kualitas ekosistem lahan alami;
2.     Menjaga keragaman dan kualitas ekosistem air;
3.     Mengembalikan keseimbangan kimia atmosfer global dan kualitas udara setempat;
4.     Menjaga spesies liar dan gen dalam spesies domestikasi;
5.     Penggunaan sumber dayaalamdenganmempertimbangkandayadukungekosistem.


Prescott-Allen telah menghasilkan empat indeks: yang Wellbeing Index Manusia (HWI); Ekosistem Wellbeing Index (EWI); Indeks Kesejahteraan (menggabungkan HWI dan EWI, kemudian mengukur "sustainability"); dan Kesejahteraan / Stres Index (rasio berapa banyak kerugian pembangunan suatu negara yang tidak pada ekosistem global). The Wellbeing of Nations peta empat skor masing-masing negara ke sebuah grafik yang menunjukkan tidak hanya bagaimana negara-negara melakukan dalam hubungan satu sama lain, tetapi juga seberapa dekat mereka untuk mencapai titik "keberlanjutan" berdasarkan definisi oleh Prescott-Allen ini maka skor untuk kesejahteraan manusia dari aspek ekosistem "Keduanya harus diperlakukan sama  sama pentingnya," kata Prescott-Allen.

Berikut adalah 180 negara telah disurvey tingkat kesejahteraannya dikaitkan dengan indeks ekosistem.
Ecosystem menurun (yellow group) = Indek skesejahteraannya cukup (fair Human Wellbeing Index/ HWI)
Human deficit (blue group) = fair EWI; medium, poor, or bad HWI
Defisit ganda (red group) = baik WHI dan EWI medium, kategori miskin atau buruk.
Warna abu-abu adalah Negara yang belum disurvey.



Figure 1.Sumber (Internet)

Social Progress Index (SPI)

Awal mulanya indeks ini berangkat dari pemikiran Simon Smith Kuznets, yang terkenal atas studinya tentang pendapatan nasional dan komponen-komponennya. Kuznets adalah guru besar ilmu ekonomi di Universitas Pennsylvania (1930-54), Johns Hopkins (1954-60), dan Harvard (1960-71). Ia adalah presiden American Economic Association pada 1954.Kuznets mengubah cara pengukuran PDB. Dengan karya yang bermula pada 1930-an dan terus-menerus selama beberapa dasawarsa, Kuznets menghitung pendapatan nasional sejak 1869. Meskipun bukan ekonom pertama yang mencobanya, karya Kuznets terbilang sempurna dan teliti yang mengatur standar bidang ini.Karyanya didanai oleh lembaga nirlaba National Bureau of Economic Research, yang telah bermula pada 1920. Kuznets kemudian membantu U.S. Department of Commerce untuk menstandardisasi pengukuran Produk Nasional Bruto. Namun di akhir 1940-an, ia berpecah dengan departemen itu karena menolak menggunakan PDB untuk mengukur pekerjaan rumah tangga karena ini merupakan komponen produksi yang penting.

Berdasar pemikiran Kuznets ini, Michael Green ( https://www.ted.com/talks/michael_green_what_the_social_progress_index_can_reveal_about_your_country0  mengembangkan model SPI ini. Indeks Kemajuan Sosial meneliti indikator sosial dan lingkungan dengan tiga dimensi berbeda kemajuan sosial: 1) Kebutuhan Dasar Manusia, 2) dasar-dasar kebutuhan akan kesejahteraan manusia, dan 3) Peluang. Michael menjelaskan bahwa kesejahteraan manusia di abad 21 ini harus diukur dengan Indeks Kemajuan Sosial (Social Progress index).
Sepertinya indeks ini merupakan rangkuman dari keseluruhan indeks kesejahteraan yang telah ada sebelumnya. Penulis meyakini bahwa SPI ini cukup komprehensip dalam menilai tingkat kesejahteraan manusia saat ini.



Figure 2.Sumber Internet

Indeks Kesejahteraan di Indonesia

Sementara di Indonesia, Indeks kesejahteraan menggunakan 18 variabel. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia,sebagai lembaga pemerintah Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia,ditugaskan untuk mengadministrasi data dan informasi di Indonesia, mengintroduksi 18 indikator tentang kesejahteraan masyarakat meliputi sebagai berikut:
1.     Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP);
2.     Kepadatan Penduduk per km (KPP)
3.     Angka Melek Huruf (AMH);
4.     Rata-rata Lama Sekolah (RLS);
5.     Angka Harapan Hidup (AHH);
6.     Pengeluaran per Kapita (PPK);
7.     Persentase Rata-rata Pengeluaran untuk Konsumsi Makanan (PKM);
8.     Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Fasilitas Minum Sendiri (FMS);
9.     Persentase Rumah Tangga dengan Jenis Lantai Bukan Tanah (LBT);
10.  Persentase Rumah Tangga dengan Luas Lantai < 20 M2  (LLK);
11.  Persentase Rumah Tangga dengan Dinding Tembok (RDT);
12.  Persentase Rumah Tangga dengan Sumber Penerangan dari PLN (PLN);
13.  Persentase Rumah Tangga dengan Fasilitas Buang Air Besar Sendiri (BAB);
14.  Persentase Penduduk Miskin (RTM);
15.  Jumlah Pengangguran Terbuka (JPT);
16.  Persentase Penduduk yang Mengalami Keluhan Kesehatan Sebulan yang Lalu (PKK);
17.  Persentase Penduduk Mengalami Keluhan Kesehatan dan Kegiatannya Terganggu (PPB);
18.  Jumlah Penduduk Bekerja (JPB)

------------------------
DAFTARPUSTAKA

ADB. (2003). Adb and social protection.
Adesina, J. O., Social, T., & Programme, P. (2010). Rethinking the Social Protection Paradigm : Social Policy in Africa ’ s Development. Social Policy, 28–30. Retrieved from http://erd.eui.eu/media/BackgroundPapers/Adesina.pdf
Dreher, A. (2006). Does Globalization Affect Growth? Evidence from a New Index of Globalization. Applied Economics, 38, 1091–1110. https://doi.org/10.1080/00036840500392078
Ife, J. (2007). Human Rights and Peace. In Handbook of Peace and Conflict Studies (pp. 160–172). https://doi.org/12.4
Ife, J. (2009). Human Rights from Below-Achieving rights through community development. The Edinburgh Building CB2 8RU, Cambridge University Press.
Kumlin, S., & Rothstein, B. (2005). MAKING AND BREAKING SOCIAL CAPITAL The Impact of Welfare-State Institutions THE THEORY OF SOCIAL CAPITAL AND THE SCANDINAVIAN PUZZLE. COMPARATIVE POLITICAL STUDIES, 38(4), 339–365. https://doi.org/10.1177/0010414004273203
Midgley, J. (2006). Developmental Social Policy: Theory and Practice. Asian Journal of Social Policy, 2(1), 1–22. Retrieved from http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=intitle:Developmental+Social+Policy:+Theory+and+Practice#7
Osberg, L., & Sharpe, A. (2003). Human well-being and economic well-being: What values are implicit in current indices. … Inequality, Poverty and Human Well Being, …, 1–60. Retrieved from http://www.researchgate.net/publication/24130858_Human_Well-being_and_Economic_Well-being_What_Values_Are_Implicit_in_Current_Indices/file/50463519d0bc9e8da5.pdf
Setiawan, M. B., & Hakim, A. (2013). Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Jurnal Economia, 9(1), 18–26. https://doi.org/4102002
Sumner, A. (2004). Economic Well-being and Non-economic Well-being. UNU-WIDER Conference on Inequality, 4(30), 30–31.
Veenhoven, R. (2004). Subjective Measures of Well-being Ruut Veenhoven. World Institute for Development Economics Research.