Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Jumat, 20 Januari 2017

BEBERAPA KONSEP PENGUKURAN “KESEJAHTERAAN MASYARAKAT” DI DUNIA



Oleh: Suyuti Marzuki

Hampir dapat dipastikan bahwa tujuan pembangunan manusia dari semua paham-paham pembangunan adalah membawa umat manusia menuju kepada kesejahteraan (Adesina, Social, & Programme, 2010; Dreher, 2006; Kumlin & Rothstein, 2005; Midgley, 2006).Bahkan jika ditinjau dari aspek penegakan hak-hak asasi manusia pun, sesungguhnya pembangunan manusia haruslah dalam rangka pemenuhan unsur-unsur kesejahteraannya (ADB, 2003; Ife, 2007, 2009).

Konsep dan pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat yang selama ini berkembang dan digunakan oleh beberapa Negara senantiasa mempergunakan ukuran yang bersifat multi-dimensional. Hal ini dapat dipahami karena isu kesejahteraan masyarakat memiliki kompleksitas persoalan yang sangat beragam, yang tidak bias diselesaikan melalui pendekatan satu dimensi/variabel (single dimension) saja.Berikut terdapat beberapa konsep pengukuran kesejahteraan yang digunakan oleh negara-negara maju di dunia hingga saat ini, yakni:

Human Development Index (HDI)

Konsep pengukuran HDI atau yang dikenal dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dikembangkan oleh UNDP guna menduukung konsep pembangunan berkelanjutan.Inti dari konsep kesejahteraan adalah melakukan "social invesment" guna menghasilkan SDM yang berkualitas sebagai motor penggerak utama pembangunan berkelanjutan. Indeks ini berfungsi untuk mengukur perkembangan pembangunan manusia di suatu negara, dengan 4 (empat) indicator utama, yakni: (1) angka melek huruf; (2) angka partisipasi pendidikan; (3) angka harapan hidup; dan (4) PDB PerKapita (dayabeli). Jadi, IPM melihat konsep kesejahteraan secara parsial, yakni dari sudut pandang pendidikan, kesehatan, dan tingkat pengeluaran riil untuk memenuhi kebutuhan per individu (Osberg & Sharpe, 2003; Setiawan & Hakim, 2013).
Gross National Happiness.

Konsep pengukuran kesejahteraan masyarakat ini diterapkan di sebuah Negara kecil, Bhutan di dekat negara India, Asia Tengah. Penggunaan konsep pengukuran "kebahagiaan" (happiness) menarik perhatian para ilmuwan sosial, ekonomi, maupun statistik. Indikator yang digunakan sangat "local specific" di sesuaikan dengan kondisi masyarakat Bhutan, seperti penguasaan bahasa Ibu, partisipasi budaya, ketersediaan terhadap akses kebutuhan dasar, tingkat partisipasi dalam kegiatan di level komunal (community vitality) atau kegotong royongan, serta keberlanjutan lingkungan.


Index Quality of Life.

Konsep pengukuran kesejahteraan ini mulai digunakan pada tahun 2005 dengan memfokuskan pada 9 variabel, yakni; (1) kesehatan; (2) kehidupan keluarga; (3) kehidupan masyarakat; (4) kesejahteraan materi; (5) keamanan dan stabilitas politik; (6) iklim dan geografi; (7) keamanan kerja; (8) kebebasan politik; dan (9) kesetaraan gender. Sumber data yang digunakan untuk pengukuran indeks ini beragam, mulai dari survei, sensus, dan laporan-laporan dari Biro Sensus Amerika Serikat atau data dari PBB (Veenhoven, 2004).

Prosperity Index

Konsep kesejahteraan ini memiliki 8 indikator, yakni; (1) ekonomi; (2) kesehatan; (3) kewirausahaan; (4) keamanan dan keselamatan; (5) tata pemerintahan (good governance); (6) kebebasan individu; (7) pendidikan; dan (8) modal sosial (social capital). Dalam perhitungannya, kedepalan indicator tersebut dihubungkan dengan peningkatan income per kapita, selanjutnya pendapatan per kapita ini sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan (wellbeing).
The Better Life Index.

Konsep pengukuran kesejahteraan ini banyak digunakan oleh negara-negara maju (OECD), dimana memiliki 11 indikator yakni; (1) perumahan; (2) pendapatan; (3) pekerjaan; (4) kemasyarakatan; (5) pendidikan; (6) lingkungan; (7) keterlibatan publik (civic engagement); (8) kesehatan; (9) kepuasan hidup (life satisfaction); (10) keamanan/keselamatan; dan (11) keseimbangan hidup (work-life balance).

The Economic Well-being Index (EWI)

Konsep pengukuran kesejahteraan ini memiliki 15 indikator dengan 4 dimensi, yakni; (1) dimensi konsumsi; (2) dimensi ketersediaan modal; (3) dimensi kesetaraan dari sisi pendapatan; dan (4) dimensi keamanan ekonomi. Adapun 15 indikatornya meliputi; (1) konsumsi per kapita; (2) angka harapan hidup; (3) pekerjaan yang tidak dinilai dengan upah (unpaid work); (4) tingkat kesenangan; (5) pengeluaran per kapita; (6) pengeluaran tidak terduga; (7) capital stock per capita; (8) sumber daya alam per kapita; (9) sumber daya manusia; (10) tingkat investasi; (11) tingkat kemerataan pendapatan; (12) tingkat kesenjangan; (13) tingkat pengangguran; (14) risiko sakit; (15) tingkat kerawanan miskin (Sumner, 2004).

Index of Happiness (Indeks Kebahagiaan)

Indeks kebahagiaan merupakan rata-rata dari angka indeks yang dimiliki oleh setiap individu. Di Indonesia pada tahun 2014, Indeks Kebahagiaan sebesar 68,28 pada skala 0–100. Semakin tinggi nilai indeks menunjukkan tingkat kehidupan yang semakin bahagia, demikian pula sebaliknya, semakin rendah nilai indeks maka penduduk semakin tidak bahagia. Indeks kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial. Kesepuluh aspek tersebut secara substansi dan bersama-sama merefleksikan tingkat kebahagiaan yang meliputi kepuasan terhadap: 1) kesehatan, 2) pendidikan, 3) pekerjaan, 4) pendapatan rumah tangga, 5) keharmonisan keluarga, 6) ketersediaan waktu luang, 7) hubungan sosial, 8) kondisi rumah dan aset, 9) keadaan lingkungan, dan 10) kondisi keamanan.

Human Wellbeing Index (HDI)

Demikian pula, Prescott-Allen mengatakan bahwa ekosistemdankesejahteraan memiliki keterkaitan lebih dari konsumsi sumber daya yang rendah (sehingga tidak dapat diukur secara memadai oleh The Ecological Footprint) serta lebih dari jumlah kebijakan dan praktik lingkungan suatu negara (yang diukur dengan Kelestarian Lingkungan Indeks). Ekosistem kesejahteraan, menurut Prescott-Allen, juga memiliki lima dimensi:
1.     Menjaga keragaman dan kualitas ekosistem lahan alami;
2.     Menjaga keragaman dan kualitas ekosistem air;
3.     Mengembalikan keseimbangan kimia atmosfer global dan kualitas udara setempat;
4.     Menjaga spesies liar dan gen dalam spesies domestikasi;
5.     Penggunaan sumber dayaalamdenganmempertimbangkandayadukungekosistem.


Prescott-Allen telah menghasilkan empat indeks: yang Wellbeing Index Manusia (HWI); Ekosistem Wellbeing Index (EWI); Indeks Kesejahteraan (menggabungkan HWI dan EWI, kemudian mengukur "sustainability"); dan Kesejahteraan / Stres Index (rasio berapa banyak kerugian pembangunan suatu negara yang tidak pada ekosistem global). The Wellbeing of Nations peta empat skor masing-masing negara ke sebuah grafik yang menunjukkan tidak hanya bagaimana negara-negara melakukan dalam hubungan satu sama lain, tetapi juga seberapa dekat mereka untuk mencapai titik "keberlanjutan" berdasarkan definisi oleh Prescott-Allen ini maka skor untuk kesejahteraan manusia dari aspek ekosistem "Keduanya harus diperlakukan sama  sama pentingnya," kata Prescott-Allen.

Berikut adalah 180 negara telah disurvey tingkat kesejahteraannya dikaitkan dengan indeks ekosistem.
Ecosystem menurun (yellow group) = Indek skesejahteraannya cukup (fair Human Wellbeing Index/ HWI)
Human deficit (blue group) = fair EWI; medium, poor, or bad HWI
Defisit ganda (red group) = baik WHI dan EWI medium, kategori miskin atau buruk.
Warna abu-abu adalah Negara yang belum disurvey.



Figure 1.Sumber (Internet)

Social Progress Index (SPI)

Awal mulanya indeks ini berangkat dari pemikiran Simon Smith Kuznets, yang terkenal atas studinya tentang pendapatan nasional dan komponen-komponennya. Kuznets adalah guru besar ilmu ekonomi di Universitas Pennsylvania (1930-54), Johns Hopkins (1954-60), dan Harvard (1960-71). Ia adalah presiden American Economic Association pada 1954.Kuznets mengubah cara pengukuran PDB. Dengan karya yang bermula pada 1930-an dan terus-menerus selama beberapa dasawarsa, Kuznets menghitung pendapatan nasional sejak 1869. Meskipun bukan ekonom pertama yang mencobanya, karya Kuznets terbilang sempurna dan teliti yang mengatur standar bidang ini.Karyanya didanai oleh lembaga nirlaba National Bureau of Economic Research, yang telah bermula pada 1920. Kuznets kemudian membantu U.S. Department of Commerce untuk menstandardisasi pengukuran Produk Nasional Bruto. Namun di akhir 1940-an, ia berpecah dengan departemen itu karena menolak menggunakan PDB untuk mengukur pekerjaan rumah tangga karena ini merupakan komponen produksi yang penting.

Berdasar pemikiran Kuznets ini, Michael Green ( https://www.ted.com/talks/michael_green_what_the_social_progress_index_can_reveal_about_your_country0  mengembangkan model SPI ini. Indeks Kemajuan Sosial meneliti indikator sosial dan lingkungan dengan tiga dimensi berbeda kemajuan sosial: 1) Kebutuhan Dasar Manusia, 2) dasar-dasar kebutuhan akan kesejahteraan manusia, dan 3) Peluang. Michael menjelaskan bahwa kesejahteraan manusia di abad 21 ini harus diukur dengan Indeks Kemajuan Sosial (Social Progress index).
Sepertinya indeks ini merupakan rangkuman dari keseluruhan indeks kesejahteraan yang telah ada sebelumnya. Penulis meyakini bahwa SPI ini cukup komprehensip dalam menilai tingkat kesejahteraan manusia saat ini.



Figure 2.Sumber Internet

Indeks Kesejahteraan di Indonesia

Sementara di Indonesia, Indeks kesejahteraan menggunakan 18 variabel. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia,sebagai lembaga pemerintah Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia,ditugaskan untuk mengadministrasi data dan informasi di Indonesia, mengintroduksi 18 indikator tentang kesejahteraan masyarakat meliputi sebagai berikut:
1.     Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP);
2.     Kepadatan Penduduk per km (KPP)
3.     Angka Melek Huruf (AMH);
4.     Rata-rata Lama Sekolah (RLS);
5.     Angka Harapan Hidup (AHH);
6.     Pengeluaran per Kapita (PPK);
7.     Persentase Rata-rata Pengeluaran untuk Konsumsi Makanan (PKM);
8.     Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Fasilitas Minum Sendiri (FMS);
9.     Persentase Rumah Tangga dengan Jenis Lantai Bukan Tanah (LBT);
10.  Persentase Rumah Tangga dengan Luas Lantai < 20 M2  (LLK);
11.  Persentase Rumah Tangga dengan Dinding Tembok (RDT);
12.  Persentase Rumah Tangga dengan Sumber Penerangan dari PLN (PLN);
13.  Persentase Rumah Tangga dengan Fasilitas Buang Air Besar Sendiri (BAB);
14.  Persentase Penduduk Miskin (RTM);
15.  Jumlah Pengangguran Terbuka (JPT);
16.  Persentase Penduduk yang Mengalami Keluhan Kesehatan Sebulan yang Lalu (PKK);
17.  Persentase Penduduk Mengalami Keluhan Kesehatan dan Kegiatannya Terganggu (PPB);
18.  Jumlah Penduduk Bekerja (JPB)

------------------------
DAFTARPUSTAKA

ADB. (2003). Adb and social protection.
Adesina, J. O., Social, T., & Programme, P. (2010). Rethinking the Social Protection Paradigm : Social Policy in Africa ’ s Development. Social Policy, 28–30. Retrieved from http://erd.eui.eu/media/BackgroundPapers/Adesina.pdf
Dreher, A. (2006). Does Globalization Affect Growth? Evidence from a New Index of Globalization. Applied Economics, 38, 1091–1110. https://doi.org/10.1080/00036840500392078
Ife, J. (2007). Human Rights and Peace. In Handbook of Peace and Conflict Studies (pp. 160–172). https://doi.org/12.4
Ife, J. (2009). Human Rights from Below-Achieving rights through community development. The Edinburgh Building CB2 8RU, Cambridge University Press.
Kumlin, S., & Rothstein, B. (2005). MAKING AND BREAKING SOCIAL CAPITAL The Impact of Welfare-State Institutions THE THEORY OF SOCIAL CAPITAL AND THE SCANDINAVIAN PUZZLE. COMPARATIVE POLITICAL STUDIES, 38(4), 339–365. https://doi.org/10.1177/0010414004273203
Midgley, J. (2006). Developmental Social Policy: Theory and Practice. Asian Journal of Social Policy, 2(1), 1–22. Retrieved from http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=intitle:Developmental+Social+Policy:+Theory+and+Practice#7
Osberg, L., & Sharpe, A. (2003). Human well-being and economic well-being: What values are implicit in current indices. … Inequality, Poverty and Human Well Being, …, 1–60. Retrieved from http://www.researchgate.net/publication/24130858_Human_Well-being_and_Economic_Well-being_What_Values_Are_Implicit_in_Current_Indices/file/50463519d0bc9e8da5.pdf
Setiawan, M. B., & Hakim, A. (2013). Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Jurnal Economia, 9(1), 18–26. https://doi.org/4102002
Sumner, A. (2004). Economic Well-being and Non-economic Well-being. UNU-WIDER Conference on Inequality, 4(30), 30–31.
Veenhoven, R. (2004). Subjective Measures of Well-being Ruut Veenhoven. World Institute for Development Economics Research.


Senin, 16 Januari 2017

PENYUSUNAN PETA STRATEGIS DAN KPI KEMENSOS 2016 MELALUI METODE BALANCESCOCARD

 
Oleh : Eva Rahmi Kasim

            Hasil evaluasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Kementerian Sosial tahun 2015,  ditandai dengan  adanya  pelaporan yang masih berorientasi pada kegiatan dan belum menggambarkan laporan kinerja yang sesungguhnya. Situasi ini tentu berpengaruh  terhadap pencapaian kinerja Kementerian Sosial  secara keseluruhan. Berangkat dari situasi yang kurang menggembirakan ini, Biro Perencanaan melakukan reformulasi perencanaan strategis Kementerian Sosial dengan pendekatan Balancescorard (BSC), yang dimulai secara bertahap sejak Oktober lalu dengan melibatkan para perencana dan fungsional terkait dengan perencanaan dan kebijakan di lingkungan Kementerian Sosial. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mewujudkan good governance di lingkungan Kementerian Sosial, dan tentunya mencapai penilaian SAKIP level A.
            Pendekatan metode Balances corecard  diadopsi karena pendekatan ini memiliki keunggulan lebih dari pendekatan yang dianut selama ini yang hanya bersifat normatif, umum  dan generik serta multi tafsir. Balances corecard  menawarkan pendekatan yang lebih pasti, spesifik, terukur dan jelas waktunya sehingga tidak multi tafsir. Menurut nara sumber, pakar balanced scorecard pemerintah Suyuti Marzuki yang juga telah menyelesaikan studi masternya bidang coastal engineering andmanajemen (2005) ini, pendekatan Balances corecard sudah banyak diadopsi dalam perencanaan strategis beberapa instansi pemerintah di Indonesia.  Keunggulan BSC adalah dapat menyeimbangkan indikator kepentingan perspektif Stake Holders dengan kepentingan performa lain yang mengacu ke masa depan, keseimbangan constituent internal dan eksternal organisasi, serta keseimbangan antara performa masa lalu dengan indikator yang berbentuk ukuran proses dan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
            Menurut Suyuti -yang banyak memberikan asistensi reformulasi dan rekonstruksi perencanaan strategis - beberapa Kementerian dan juga pemerintah daerah di Indonesia ini,   keunggulan lain metode ini adalah:
-       Memudahkan  organisasi menetapkan dan membangun Visi, Misi dan Peta Strategi,
-       Memudahkan mendefinisikan dan mengkomunikasikan Sasaran Strategi pada setiap Level Organisasi,. Strategi organisasi akan diterjemahkan kedalam rencana operasional dengan baik (put strategy into action) di semua tingkat jabatan di dalam organisasi. Selain itu, dapat menyelaraskan semua pihak dengan strategi yang dipilih melalui proses Cascading dan Aligment,
-       Memudahkan Monitoring pencapaian KPI dan Level Pimpinan hingga Level pelaksana secara real time,
-       Memudahkan melakukan rapat- rapat secara terukur untuk koordinasi pelaporan dan pengelolaan kinerja pemerintah.
-       Memudahkan melakukan pengawasan dan pembinaan pada setiap karyawan atas pencapaian Sasaran strategis dan KPI,
-       Serta memudahkan pengelolaan Kinerja SDM sehingga mendukung penerapan Reward and Punishment System (RPS),
-       Juga memudahkan pengelolaan kompetensi setiap karyawan/ASN dan melakukan asesmen dengan metode yang mudah disesuaikan (bank kompetensi),
-       Memudahkan pengelolaan Tindak Lanjut hasil evaluasi karyawan/ASN melalui Pemetaan Pengembangan SDM ASN.
-       Mempermudah pengelola organisasi mendapatkan Laporan cetak performa manajemen bisnisnya (Bisnis Proses) Manajemen kinerja organisasi akan selaras dengan strategi organisasi (strategy and performance management alignment) di semua tingkat jabatan di dalam organisasi. Akuntabilitas yang terjaga karena jelas siapa mengerjakan apa, serta apa indikator keberhasilannya di semua tingkat jabatan hingga individu di dalam organisasi.
-        
            Dari pertemuan penyusunan peta strategis Kementerian Sosial yang lalu, didapat kemajuan yang sangat signifiacant. Hal ini ditandai adanya peningkatan Sasaran Strategis Kemensosial yang semula berjumlah 2, berkembang menjadi 9,  begitu juga case cading-nya. Hal ini berarti sasaran yang akan dicapai menjadi  lebih jelas, lebih spesifik dan lebih terukur (lihat lampiran).
            Dalam pertemuan penyusunan peta strategis kementerian sosial itu, Suyuti juga mengingatkan, bahwa berdasarkan pengalamannya melakukan asistensi perbaikan kinerja beberapa instansi/Kementerianlembaga, kunci keberhasilan penerapan metode Balancescorecard ini  memerlukan keterlibatan aktif seluruh pemangku kepentingan, terutama, level pimpinan.  Ia mencontohkan proses yang terjadi di Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang semula dinilai kurang, setelah melakukan perubahan dengan pendekatan Balancescorecard ini mendapat penilaian yang sangat baik diantara kementerian dan lembaga yang ada, yang selanjutnya berdampak pada peningkatan tunjangan kinerja instansi yang bersangkutan.

 1. Eva Rahmi Kasim, Adalah Analis Kebijakan Madya Kementerian Sosial RI.