Rabu, 20 Maret 2024

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (4)

By Ahmad M. Sewang

Awal tahun 1940-an seorang pempinan Muhammadiyah sekaligus sebagai kadi di Ibu Kota Afdeling Mandar, Majene.  Karena kedudukannya itu, menbuat beliau diberi kesempatan sebagai khatib salat Jumat di masjid Jami di kampung ini. Beliau bernama K.H. Zainal Abidin. Waktu itu sebagai imam di Pambusuang H. Sahbuddin (biasa dipanggil Annangguru Hawu). Selesai Jumat Anangguru Hawu serta merta tidak setuju K.H. Zainal Abidin atas materi hotbahnya bahkan beliau sengaja membuatkan Kalindada yang menggambarkan pemahaman keagamaan ketika itu. Disampaikan tidak lama setelah selesai Jumat, kalindada itu berbunyi:

Polei Muhammadiyah
Namarrusa agama
Nasiturui 
Maradianna sara.

Mokai tia marola
Iman di Pmbusuang
Apa tania 
Agamana Nabitta

Artinya:
Muhammadiyah datang
Bermaksud merusak agama
Mereka bekerja sama atau
pemerintah agama

Tidak ingin menyerah
 Imam di Pambusuang
Sebab yang dibawa
Bukan agama dari Nabi

(Waktu itu Muhammadiyah
Dianggap bukan agama yang bersumber dari Nabi).

(Diperoleh dari wawncara Hj. Asia mantu H. Hawu)

Dalam periode berikunya K.H. Zainal Abidin datang kembali di kampung ini menyelenggarakan Majlis Taklim di rumah Ayahnya, H. Kumma yang dikenal sebagai penerima Muhammadiyah pertama di kampung ini. Beliau termasuk orang pertama siswa Normal Islam di Majene, di sinilah dia menerima Muhamadiyah karena di antara gurunya adalah dari anggota Muhammadiyah. Kedatangan Muhammadiyah di Pambusuang, ternyata diprotes oleh Annagguru Syekh Yasin al-Mandary (Annangguru Kacing) beliau setelah itu ke Mekah jadi warga negara Saudi dan beliau dipercaya memberi pengajian di Masjid Haram. Menurut wawancara dengan keluarga bahwa kepergian ke Saudi karena perbedaan paham tarekat dengan salah seorang tokoh di kampung. Jadi dahulu seakan tidak boleh ada perbedaan pendapat, berbeda adalah salah dan dianggap kafir. Perbedaan semacam ini, gtngan perjalanan waktu mengalami perubahan, tidak setajam lagi dengan beberapa dekade lalu bahkan cenderung saling memahami. Dalam menerima data sejarah saya seialu melewati dua prosedur sbagaimana dianjurkan metode sejarah, yaitu:
1. Mempertanyakan apakah orang ini mampu dan mau memberi data?
2. Selalu mencari second opinion agar data lebih bisa dipercaya.

Kita kembali ke K.H. Zainal Abidin setelah beliau didemo di Pambusuang. Menurut wawancara langsung dengan K.H. Zainal Abidin, menurutnya, "Saya dibawakan keris (Annagguru Kacing)." Kemungkinan sejak saat itulah, tidak pernah lagi Muhammadiyah ke kampung ini. Sampai terjadi periode perubahan, yaitu semakin banyaknya orang terdidik di kampung ini membuat orang tidak lagi banyak memperbincangkan organisasi Muhammadiyah. 

Perbahan itu terjadi bersamaan booming orang pergi sekolah sekitar tahun 1970-an, maka banyak generasi baru yang melanjutkan studi ke Makassar, ada yang lanjut ke Perguruan Tinggi Umum ada pula ke Perguruan Tinggi Agama. Mereka inilah yang pulang dan sekaligus membawa pembaharuan di kampung sehingga perbedaan antara mazhab cendrung untuk tidak setajam dahulu. Mereka berubah saling memahami apalagi interaksi antara firqah di perantauan. Bahkan sekarang ada yang kawin mawin, seperti  iparnya K.H. Muchtat Husein adalah anggota Muhammadiyah. Malah keluarga yang dahulu bertenkar karena perbedaan paham terekat, sekarang sudah menjalin sebuah kelkeuargaan saling kawin-mawin seakan tidak pernah terjadi komplik masa lalu. Saya sendiri sejak keluar dari kampung studi cemdrung memahami perbedaan mazhab atau firqah dalam Islam dan menganggap peristiwa itu sudah masa lalu. Orang yang masih keras menghadapi perbedaan, menurut Quraisy Sihab, orang yang terlambat lahir, maunya ia lahir di awal tahun-40 an atau kurang bergaul, sama dengan orang yang hidup ditempurung, setelah tempurung di buka baru sadar bahwa di atas tempurung masih ada langit. Bahkan sekarang saya menulis sebuah buku tentang fikih perbedaan dengan berpedoman pada, buku ulama besar Mesir. Seorang ulama besar dari Mesir, Direktur Ulama Sedunia. Almarhum Prof. Dr. Syekh Yusuf al Qardawi berkedudukan di Qatar. Setelah bukunya saya bahas. Saya komunikasi dengan Dr. dr. Iqbal Moctar Husein di QatarV agar dipertemukan. Sayang sekali beliau terlanjur dipanggil Allah kehadiratNya sebelum terealisasi pertemuan itu. Beliau berkata bahwa perbedaan adalah sunnatullah dalam rangka fastabiqul khaerat, jika ada orang menghendaki, kita sependapat atau seragam saja. Beliau berpandangan لم يكن و قوعه (Tidak mungkin terjadi dalam realitas) karena bertentangan dengan sunnatullah. Tentang bagaimana pengaruh pendidikan pada diri saya, bisa dibaca pada buku biografi saya.

Wasalam, 
Kompleks GPM. 21 Maret 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar