Minggu, 24 Maret 2024

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (7)

By Ahmad M. Sewang

Sejak pertama kali
menginjakkan kaki di PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1986 sudah menggariskan sebuah kaidah sebagai pedoman hidup dalam beragama bahwa semua mazhab, aliran, dan organisasi dalam Islam sepanjang secara tulus berpegang pada al Quran dan hadis sebagai premis utama, mereka itu adalah saudara sesama muslim yang tidak bisa dikeluarkan dari Islam, sekali pun berbeda firqah. Menurut yang saya pahami sampai sekarang kaidah tersebut terus dikembangkan di PPs PTKIN seluruh Indonesia.

 Umat masih terperangkap dengan sekat-sekat sempit yang diciptakannya sendiri. Mereka menganggap dirinya sendiri dan kelompoknyalah paling benar, sedang kelompok lain tidak ada benarnya. Klaim kebenaran inilah membuat stagnan umat berabad-abad. Sebagai contoh, saya sendiri mengalaminya. Pernah dalam sebuah seminar saya mengutip pendapat seorang ilmuwan, Dr. Firanda Andirja Abidin, Lc., M.A., Alumni universitas Madinah, kemudian segera mendapat teguran dari salah seorang peserta yang justru sudah menyandang gelar professor riset. Alasaannya,  melarang mengutip ilmuwan itu karena dia berfaham Wahhabi. Menurut saya, tidak semua ajaran Wahabi negatif yang harus dihindari, tetapi sebaliknya ada pula positif. Di antara jasa besar Dr. Firanda adalah satu-satunya orang Indonesia dipercaya pemerintah Arab Saudi membawakan pengajian di Masjid Nabawi dalam bahasa Indonesia, dan membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa ke dua di Arab Saudi. Saya mengenal beliau ketika di Madinah. 

Karena itu umat harus memiliki kemanpuan selelktif kepada pendapatnya yang positif. Pendapatnya yang negatif tentu tidak perlu diterima. Sebaliknya tidak semua  pendapat kelompok sendiri lebih baik dibanding dengan yang lain. Bahkan pendapat sendiri bisa ditolak jika membawa mudarat atau bikin  keonaran dalam masyarakat. Masih ada sebagian masyarakat muslim lebih leluasa mengutip pendapat ilmuwan non Muslim daripada sesama muslim sendiri hanya karena beda mazhab. Seperti saya temukan pada sebuah komunitas Muslim Indonesia di pinggiran kota Melbeurne, Australia. Mereka sengaja kami datangi bersama Zamahsary Dzafir dan kawan-kawan lainnya. Komunitas tersebut sementara mengajarkan Tafsir al Misbah, karya Prof. Quraish Shihab. Ketika saya tanyakan kelebihan dan kekurangan tafsir itu. Menurutnya, kelebihannya terletak pada bahasa yang digunakan, lebih mudah diterima masyarakat Muslim Indonesia di Melbourne, tetapi kekurangannya, karena penafsirnya banyak mengutip pendapat al-Tabataba'i, sedang at-Tabataba'i adalah penganut mazhab Syiah. Namun, setelah saya tanyakan pada Prof. Quraish Syihab setiba di Indonesia, beliau menjawab, kenapa jika mengutip pendapat Plato, Agustinus dan Goerge Sarton tidak dimasalahkan? Mendengar itu, saya terdiam tak menjawab. Seperti halnya, di Unhas saya sering diundang menguji di universitas ini. Mereka sering mengutip pandangan Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Ibn Khaldun. Bagi Unhas pendapat siapapun yang relevan harus diakomodir, tetapi sebaliknya, walaupun pendapat sendiri jika tidak relevan, apalagi bikin kacau masyarakat, maka hindari jangan dikutip.

Mengutip pendapat mazhab lain bukan berarti sesuatu yang terlarang, seperti mengutip pendapat non muslim langsung menjadi non muslim juga, melainkan menunjukkan keberanian menembus batas demi memperluas wawasan, seperti pendapat Prof. Quraish Shihab, "Semakin luas wawasan seseorang ilmuan berbanding lurus dengan sikap keterbukaan dan ketidakfanatikan pada seseorang." Ini juga menunjukkan kebesaranng hati dan penghormatan pendapat sesama muslim walau beda mazhab. Ketiga, pendapat lain dikutip karena dianggap lebih relevan dan lebih kontektual. Terkadang ada sebagian orang karena fanatik pada paham mazhabnya, membuat mereka terperangkap pada sekat-sekat sempit yang diciptakannya sendiri. Sehingga mereka tak peduli lagi pada pandangan ulama lainnya. Grand al Azhar, Pimpinan Pusat Muhammadiah, Prof. Din Syamsuddin dan almarhum mantan Ketua PB NU, KH Hasyim Muzadi serta 150 ulama se dunia, mereka ikut menyetujui risalah Amman. Salah satu  keputusannya bahwa tidaklah adil jika melakukan generalisasiasi pendapat satu kelompok kecil dari Sunni atau Syiah, kemudian dinisbahkan secara keseluruhan ke seluruh mazhab itu. Inilah sebuah kesalahan fatal dan salah satu faktor rumitnya membangun persatuan umat.

Keengganan bergabung secara struktural pada organisasi mainstream dimaksudkan agar bisa menjadi media untuk mempersatukan umat walau pada skala kecil seperti IMMIM. Sebagai mantan ketua umum  DPP IMMIM saya telah berusaha menghimpun anggota tanpa memandang latar belakang mereka. Bahkan saya bisa menikmati bergaul dengan sahabat-sahabat yang berbeda latar belakang organisasi tersebut. Saya pun patut bersyukur karena keinginan itu saya bisa inpelementasikan dengan menulis sebuah buku di tengah  era masih timbulnya perbedaabn. Buku itu berjudul, "Persatuan Islam dan Saling Menghargai Perbedaan." Buku itu berkesimpulan kita hanya bisa bersatu bila siap menghargai perbedaan dalam masalah furu'. Sebab perbedaan semacam ini adalah sunatullah, sebuah kekayaan dan rahmat untuk umat. dalam usaha berfastabiqul khaerat. Karena itu organisasi Islam mana pun mengundang saya dalam pengembangan Islam saya hadiri. Saya pernah diundang di kantor NU Wilayah untuk berbicara pengembangan dakwah ke depan dan saya pun penuhi. Sekarang saya diundang jadi dosen PPS, pembina mata kuliah Studi Peradaban Islam di Universitas Muhammadiyah Makassar. Saya pun menjalankan tugas itu dengan senang hati. Jadi dalam masalah akademik pasti saya penuhi pada setiap undangan, termasuk undangan seminar di HMI walau tidak pernah di kader di organisasi ini. Beberapa tahun lalu saya diundang berceramah di Unismu dan juga saya ladeni.

Akhirnya, setelah saya pulang kampung saya melihat sudah banyak perubahan yang terjadi. Sejalan dengan berjalannya waktu dan perubahan zaman. Semakin panjang bentang waktu melihatnya, semakin banyak terlihat perubahan itu. Kehidupan di kampung sudah hampir sama dengan di kota. Bahkan tidak lagi seragam paham keagamaan, tetapi sudah mulai transisi ke arah beraneka ragam. Hal ini karena sudah mulai beberapa keluarga anaknya dikirim ke kota untuk belajar. Mereka ini yang membawa paham baru ke kampung. Muhammadiyah yang dianggap paham sesat dahulu sudah mulai dianggap sebagai teman bersama mencari kebenaran. Dalam ilmu sosial dikatakan, "Tidak ada yang tetap di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri." Dalam QS al-Rahman, 26-28, dikatakan,-
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Maka nikmat Tuhan  yang manakah yang kamu dustakan?
 Dalam ilmu budaya agama pun mengalami perubahan. Saya masih ingat waktu anak-anak, belum ada jam, radio, apa lagi tv. Beragama atau berpuasa berpedoman pada tanda-tanda alam, misalnya berbuka jika ayam sudah naik di praduan pertanda bahwa matahari sudah terbenam. Demikian pula kalau fajar sudah terbit ditandai jika ayam sudah mulai berkokok. Beragama ke depan akan mengalami perubahan.

"Sebagai tanda syukur pada-Mu ya Allah saya ingin mengucapkan terima kasih,
1. Engkau telah membukakan jalan untuk studi dan reset sampai di manca negara dan bertemu aneka macam pendapat, manusia yang cukup berarti dan memperkaya khazanah dalam menjalani samudra kehidupan. Saya berkeyakinan, andai bukan karena kehendak-Mu saya tetap tinggal di kampung seperti masyarakat kebanyakan niscaya saya akan jadi terlibat dalam professi sebagai nelayan atau petani.

2. Sebagai hamba, sepertinya merasa malu memohon lagi sesuatu yang bersifat duniawi pada-Mu, seperti panjang umur sebab jangan sampai dianggap sebagai hamba tak tahu diri dan tak tahu bersyukur, seperti Engkau firmankan secara berulang-ulang dalam QS  al-Rahman, 
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.

Wassalam,
Makassar,  25 Maret 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar