Rabu, 20 Maret 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (10)


Puasa Memerdekakan Para Jomblo

Fase dimana seseorang berapi-api, pikirannya kuat dan fresh, punya keinginan yang tinggi dan memiliki perasaan yang menggebu-gebu, segala sesuatu selalu ingin dicoba. Masa ini disebut dengan remaja, ya namanya masa remaja. Kata lainnya masa keemasan. Masa remaja adalah waktu luang untuk meraih banyak pengetahuan, prestasi, pengalaman, manfaat, impian karena masa remaja adalah masa dimana daya ingat sangat kuat. Selain itu ada juga satu hal yang justru remaja sangat menggemarinya, itulah pacaran. Faktanya, satu gemaran ini mampu meruntuhkan pengetahuan, prestasi, dan hal-hal positif lainnya pada kalangan remaja.

Begitu banyak remaja yang menjalin kasih dengan lawan jenisnya dan amatlah sedikit remaja yang menjomblo sebagai pilihan hidupnya. Jomblo dianggap sebagai kata aib dan diskriminasi. Jomblo diartikan sebagai kesendirian atau tidak mempunyai pasangan. Benarkah? Jomblo bukan sendiri, sejak kapan anda sendiri? Jomblo bukan tidak memiliki pasangan, sejak kapan anda tidak memiliki pasangan? Religiusnya nih, kapan Allah meninggalkanmu sehingga ada suatu waktu anda sendiri dan tidak mempunyai pasangan. Padahal Allah sendiri berkata setiap makhluk ciptaan-Nya berpasang-pasangan.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْ ۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti." (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 13)

Di bulan ramadhan, ada satu prilaku menarik sekaligus memprihatinkan. Prilaku ini sudah mengkristal dan menjadi tradisi khusus di bulan ramadhan. Golongan remaja menjadikan bulan ramadhan sebagai moment instimewa untuk berduaan, ngabuburiet bareng pacar. Padahal ramadhan itu aslinya memenjarakan hawa nafsu tapi malah sibuk berduaan. Miris kan?

Selain dijadikan moment istimewa untuk berduaan, krusialnya ia (pacaran) memilki juga metode dakwah. Ia ikut andil berdakwa sebagaimana mesjid-mesjid ramai penceramah, siraman ruhani ketika bulan puasa. Target atau sasaran dakwanya tertuju pada orang jomblo. Ia memakai metode bermesraan di tempat ramai, ngabuburit di sore hari menjelang buka puasa, dan juga memenuhi hasrat postingan di media sosial seperti Facebook, TikTok, Instagram dan aplikasi medsos lainnya.

Selanjutnya, ia juga memiliki judul-judul dakwah yang mau diceramahkan. Seperti penyemangat diri, menghilangkan rasa minder, menjauhkan diri dari bullyan dan lain sebagainya. Padahal belum dilihat efek sampingnya seperti tekanan harus ngabarin tiap hari, tekanan harus bangunin makan sahur, tekanan dianggap tidak peka, tekanan pesan WhatsApp lambat dibalas dianggap sudah ada yang lain, dan lain-lain.

Lanjut ke efek samping kedua, ketika lambat ngabarin dan lain sebagainya akan membuat pasangan hilang semangat, banyak ngelamun, suka menyendiri, menghabiskan banyak waktu di kamar, semua kegiatan dianggap sia-sia, menganggap hidupnya tidak ada artinya lagi, kurang bergaul, mudah sedih, gampang tidak fokus pada masa depan, dan lain lain.

Lanjut ke efek samping ketiga (efek tertinggi) pacaran mengakibatkan hamil diluar nikah, bunuh diri, banyak berbohong, sering minta uang ke orang tua buat biaya pacaran, banyak maksiat, banyak menyia-nyiakan waktu, mendekati zina, banyak dosa dan lain sebagainya.

Bersyukurlah wahai para jomblo karena tidak pacaran sejatinya menyelamatkan kamu dari hal-hal negatif, dan juga menjauhkan dari efek samping yang telah disebutkan diatas. Bersyukurlah wahai para jomblo karena puasa yang hakikatnya pelajaran atau latihan pengendalian hawa nafsu membantumu jauh dari efek buruk pacaran. Makan minum yang jelas bisa dan tidak haram dilarang apalagi pacaran yang tidak jelas asal usulnya. Dengan puasa, orang jomblo merdeka karena jauh dari bullyan dan hal-hal negatif lainnya.

Oleh karena itu, menjadi jomblo jangan setengah-setengah. Masa menjomblo adalah masa mengamati potensi, masa meluruskan tujuan, mengekspresikan bakat, masa menggapai cita-cita, kesempatan mewujudkan impian, kebebasan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Menjadi jomblo total adalah berkah bukan hinaan. Wallahu a'lam bisshowab.

Doa hari ke 10

اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْمُتَوَكِّلِيْنَ عَلَيْكَ وَ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْفَائِزِيْنَ لَدَيْكَ وَ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ إِلَيْكَ بِإِحْسَانِكَ يَا غَايَةَ الطَّالِبِيْنَ

Artinya : Ya Allah! Mohon jadikanlah aku diantara orang-orang yang bertawakkal kepada-Mu, dan jadikanlah aku diantara orang- orang yang menang disisi-MU, dan jadikanlah aku diantara orang-orang yang dekat kepada-MU, dengan kebaikan-MU, Wahai Tujuan orang-orang yang memohon


DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (3)

By Ahmad M. Sewang

Sejak dahulu dikenal dua tokoh ulama sufi, yaitu K.H. Muhammad Tahir, Imam Lapeo Beliau melanlang buana belajar sampai ke Turki dan beliaulah yang membawa Tarekat Syadziliyah ke Mandar. Ulama Pambusuang lainya yang terkenal adalah K.H. Muhammad Saleh beliau belajar di Arab Saudi berpuluh tahun dan membawa Tarikat Qadiriyah ke Mandar. Anehnya, kedua terekat ini tidak tersebarluas di Pambusuang melainkan di luar Pambusuang, yaitu di Lapeo dan Majene. Kenapa tidak menyebar di Pambusuang? akan diuraikan tersendiri.

Sejalan terbukanya akses untuk studi ke Perguruan tinggi di bidang agama, muncul pula ahli di bidang ini, yaitu Dr. K.H. Mochtar Husein yang dapat dianggap Assabiqunal Awwalun, juga dikenal melahirkan banyak ilmuan seperti Dr. dr. Iqbal Mocntar, sekarang tinggal di kota Daha dan bekerja disana sebagai dokter ahli, Dr. Zainal Arifin Mochtar, ahli tatanagara di UGM, dan Dr. Zulkifli Mochtar yang sekarang kawin dan bermukim di Jepang. Generasi kedua setalah al Sabiqunal Awwalun, yaitu Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, M.A., sedang generasi berikutnya yang sudah menyelesaikan tingkat doktoraknya. Mereka bermunculan kemudian setelah  akses pendidikan semakin bagus, yaitu:
1.DR.MUH.HARAS RASYID
2.DR.UBBADAH M.YASIN
3.DR.SALAHUDDIN 
SOPU
4.DR.DALIF USMAN
5.DR.MALKAN MUHAMMAD ALI
6.DR.HAMZAH AZIZ
7.DR.MABRUR INWAN. 8.DR.RAJAB
9.DR.MUSLIMIN KADIR
10.DR.ASWAD KADIR

Mohon maaf jika ada yang terlupakan ditulis, tidak lain semata-mata bukan karena kesengajaan tetapi karena keterbatasan atau penulis belum tahu. Sejak dahulu banyak orang datang menimbah ilmu di tempat ini. Misalnya H. M. Asyik berasal dan pengusaha Hotel di Makassar merasa bangga pernah belajar di desa ini. Ia pernah menegur seseorang setelah mendengar bacaan Al Qur‘annya, menurutnya "Tidak begitu yang pernah saya terima di Pambusuang," katanya suatu waktu. Apalagi dari daerah sekitar Pambusuang, misalnya dari K.H. Muhammad Idrus yang berasal dari Soreang juga pernah belajar di Pambusuang, beliau jugahijrah dan hijrah ke Polewali guru saya membaca kitab kuning ketika sekolah di Polewali. 

Dari ilmuwan umum di kampung ini termasuk Prof. Dr. Baharuddin Lopa, S.H, beliau termasuk keluarga terpelajar dan juga dianggap Assabiqunal Awwalun di desa ini di bidang pengetahuan umum,  saudaranya Dr. Nursiah Lopa SH, Prof. Dr. Tahir Lopa, Dr. Ahmad Lopa, SH. Yang juga dilahirkan di desa ini adalah Prof. Dr. Basi Hasanuddin, nama yang disebut terakhir ini termasuk keluarga berpendidikan, seperti almarhum Prof. Dr. Makmun Hasanuddin, dan Dr. Rahmat Hasanuddin. 

Wasalam,
Kompleks GPM, 20 Maret 2024

AHMAD M. SEWANG || DIASPORA ULAMA MANDAR

FOOTNOTE HISTORIS:
DIASPORA ULAMA MANDAR
By Ahmad M. Sewang 

Kata migrasi berbeda dengan: diaspora. Ensiklopedia mendefinisikan bahwa migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain dalam sebuah negara untuk menetap permanen atau sementara. Sedang diaspora adalah perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain yang melintasi toritorial negara untuk menetap permanen atau bersifat sementara. 

Al-Quran dan hadis memotivasi umat untuk studi terus-menerus dengan meninggalkan tempat melakukan diaspora sampai ke ujung dunia. Dalam Islam studi baru berakhir saat manusia sudah mengakhiri hidupnya di dunia fana. Umat dianjurkan meninggalkan kampung halaman pergi belajar mendalami ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan, dimaksudkan nantinya bisa mencerdaskan dan mencerahkan masyarakatnya jika mereka kembali dari studinya. (Lihat Al Qur‘an)

Agaknya itu pula yang memotivasi banyak ulama Mandar jauh sebelum kemerdekaan meninggalkan kampung halaman bertahun-tahun melakukan diaspora pergi menuntut ilmu pengetahuan dengan menetap permanen atau sementara di negara lain, misalnya:
1. Annangurutta H. Muhammad Tahir, Imam Lapeo, belajar sampai ke Istambul Turki. Di sana beliau menerima tarekat Syaziliah yang kemudian disebarkan di Tana Mandar saat beliau kembali. Beliau berpuluh tahun melakukan migrasi dan bertahun-tahun berdiaspora di Singapura, Mekah, dan Turki.
2. Annangurutta H. Syekh Yasin al-Mandari meninggalkan kampung Pambusuang sejak awal 1940-an pergi belajar agama di tanah suci. Beliau jadi warga negara Saudi dan tidak pernah kembali lagi ke Mandar sampai meninggal dunia di Mekah awal tahun 1980. Saya terkesan ketika ditugaskan mengawas ujian Kopertais di Asadiyah Sengkang. Di sana bertemu AGH Abdullah Maratan, Lc. dan mengkisahkan pada saya bahwa dia banyak menimba ilmu pada Syekh Yasin al-Mandari di Mekah.
3. Syekh Sayyid Hasan Jamalullail melakukan diaspora ke Mekah sejak anak-anak dan orang Mandar menggelarinya sebagai, "Kamus Arab Berjalan." Ia menguasai bahasa Arab secara detail dan megajarkannya ketika kembali dari Mandar. 
4. Dr. Nawawi Yahya, beliau meninggalkan kampug Karama untuk studi di Mesir. Dia adalah doktor pertama orang Mandar di al-Azhar University. Disertasinya menyangkut masalah Zakat yang tebalnya lebih tiga ribu halaman. Ia kawin dengan wanita Mesir. Sejak meninggalkan kampung halaman, hanya sekali kembali ke Karama tahun 1984 dan saat itu pula beliau dipanggil Allah swt. Saya bersyukur karena sempat bertemu ketika kembali ia ke Mandar dan saya mengundangnya ke Majene untuk memberi kuliah umum di Fakultas Syariah IAIN Filial Majene.
5. AGH Muhammad Saleh, ulama yang lama tinggal di tanah suci tafaqqahu fi al-din. Beliau kembali ke tanah air setelah 16 tahun berdiaspora di Mekah dan Madinah. Beliau mendapat syahadah dari Syekh al-Malik dan Tarekat Qadiriyah dari Syekh Habib al-Haddad. Dialah pembawa dan menyebar tarekat Qadiriyah pertama di Tana Mandar.
6. Annangurutta H. Jalaluddin Abdul Gani tinggal berpuluh tahun di Mekah Beliau melakukan diaspora hampir bersamaan waktunya dengan Syekh Yasin al Mandari dan kembali ke Mandar segera serelah proklamasi kemerdekaan RI. Setelah kembali di tana Mandar beliau aktif mengajar dan menyebarkan Islam.
7. Syekh Abdillah el- Mandari melakukan diaspora ke Mekah. Beliau menjadi warga negara Saudi dan menjadi tempat bagi orang Mandar dan Bugis bersyekh ketika mereka melaksanakan ibadah Haji.

Natijah
1. Sesuai perintah al-Quran, mereka berdiaspora berpuluh tahun menuntut ilmu dan setelah kembali ke tanah air, mereka ikut berkontribusi mencerdaskan umat dan menyebarkan Islam.
2. Kebanyakan para ulama Mandar menjadikan tanah suci Mekah sebagai destinasi diaspora menuntut ilmu.
3. Tulisan ini baru sedikit di antara para ulama diaspora Mandar. Saya yakin masih banyak lagi belum terungkap. Tulisan ini sekedar mendorong teman-teman untuk melakukan penelitian mendalam.
4. Saya mengharapkan kiranya dalam waktu dekat segera terealisasi sebuah buku, "Diaspora Manusia Mandar," sebagai legacy untuk generasi masa kini dan masa depan. "Orang besar adalah yang bisa menghargai warisan masa lalunya untuk kehidupan lebih baik di masa depan."

Wassalam,
Cengkareng Jakarta, 17 Desember 2018 direwriting, 27 Febr. 2024

Selasa, 19 Maret 2024

TUNDA TO'DO' PULI I CALO AMMANA WEWANG

TUNDA TO'DO" PULI I Calo' Ammana Wewang kepada Para Kalula' yang beliau rekrut.   

Indi tia batuammu Daeng, Balango Tarrara’na Mandar. Madondonna duambongi anna’ diang pole namarropo-ropo’ petawunna Mandar. Mua’ siruppa’ di sasia’, naupeapparmi sasi Naupepa’disammi tu'u lembong, 

Mua’ siruppa' di galungnga’ nasipettombanganma’ ressa’ namepa’disang di petawung, Mua’ siruppa’ di buttua’, nasiaccuramma’ buttu.

(lnilah prajurit Tuanku, jangkar pantang terbongkar dari Mandar, Besok atau lusa (kapan saja) ada yang mau mendaulat Mandar, Jika hamba bertemu di lautan, maka lautlah tempat pembaringanku, dan berbantal di atas ombak. Jika aku bertemu di sawah, maka aku akan bergelimang di lumpur, dan berbantal di pematang. Jika aku bertemu di gunung, maka aku siap rubuh bersama gunung".

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (09)


Demi Waktu 

Di saat mendapati hal-hal yang sulit diprediksi, anda mungkin sering mendengar atau bahkan pernah juga berkata: "biar waktu yang akan menjawab." Seringkali seseorang atau kita semua memberikan kesempatan kepada waktu untuk menjawab apa yang sulit kita pecahkan. Padahal disaat berkata demikian pun sebenarnya kita sudah dii lingkaran waktu. Waktu adalah makhluk yang paling tidak kenal simpati atau empati. Apa dan bagaimanapun keadaanmu waktu akan tetap berjaan dari waktu ke waktu yang lain. Ia tidak akan pernah menoleh kebelakang sedikitpun. Ia tidak memiliki toleransi, dispensasi atau semacamnya. Ibarat kata, urusanmu ya urusanmu, urusanku ya urusanku. Ia akan tetap ada pada misi waktunya, kemarin saat ini dan yang akan datang.

Terkadang kita bersemangat menyambut dan menjalani waktu namun juga kadang berharap agar waktu berputar lambat. Begitulah keadaan kita dihadapan waktu. Kita hanya tahu kalau waktu terus berjalan dan tidak ada sedetik-sedikitpun kesempatan untuk memutar kembali waktu yang telah kita lewati. Kita juga tahu kalau tiap-tiap orang hanya bisa berada di satu keadaan dari tiga keadaan waktu; telah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi. Kita hanya mampu berada di keadaan "sedang" itupun rasa-rasanya kita terpaksa atau dijabr. Begitu perkasa waktu ini. 

Sebenaranya yang ingin saya sampaikan adalah begitu berharganya waktu dan alangkah ruginya kita yang senantiasa menyianyiakannya. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَٱلۡعَصۡر   إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡر   إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ

"Demi masa, sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran." (QS. Al-'Asr 103: Ayat 1-3)

Al-Qur'an sangat menaruh perhatian terhadap waktu, perhatian ini menunjukkan betapa pentingnya waktu. Pada surah diatas seakan-akan Allah berkata: "Demi masa, sungguh manusia diliputi kerugian kalau menyia-nyiakan masa (waktu) itu." Dan ternyata pada ayat ketiga Allah memberikan bocoran untuk kita yang tidak mau dirugikan. Terdapat empat orang yang tidak akan rugi berdasarkan ayat ini. Orang yang beriman, amal saleh, pendakwah dan motivator.

Selain ayat diatas, banyak di surah lainnya dalam al-Quran yang Allah menyinggung tentang waktu yang memakai waw qosam atau waw yang bermakna sumpah. Menurut pengertian yang masyhur di kalangan para penafsir. Apabila Allah memakai waw qosam atau atau sumpah, maka hal tersebut memiliki pesan dan pelajaran yang sangat penting. Rata-rata Allah memakai waw qosam ketika menyinnggung masalah waktu. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَٱلسَّمَآءِ وَٱلطَّارِقِ
"Demi langit dan yang datang pada malam hari." (QS. At-Tariq 86: Ayat 1)

وَٱلۡفَجۡرِ
"Demi fajar," (QS. Al-Fajr 89: Ayat 1)

وَٱلشَّمۡسِ وَضُحَىٰهَا
"Demi matahari dan sinarnya pada pagi hari," (QS. Asy-Syams 91: Ayat 1)

وَٱلَّيۡلِ إِذَا يَغۡشَىٰ
"Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)," (QS. Al-Lail 92: Ayat 1)

وَٱلضُّحَىٰ
"Demi waktu duha (ketika matahari naik sepenggalah)," (QS. Ad-Duha 93: Ayat 1)

Ayat-ayat diiatas semuanya dimulai dari huruf "waw" yang bermakna sumpah. Artinya Allah telah menetapkan kepada hambanya akan adanya pertanggungjawaban terhadap waktu. Sehingga kelak nanti ada empat pertanyaan pokok yang sekaitan dengan waktu. Umur dihabiskan untuk apa, masa muda digunakan dihabiskan kemana, dari mana hartanya diperoleh dan kemana ia membelanjakannya dan yang terakhir tentang ilmu kemana diamalkan. Empat hal inilah yang harus dipetanggungjawabkan nanti.

Akankah kita dalam keadaan rugi ataukah sebaliknya? Biarkan waktu yang menjawab! Masihkah kata ini akan kita ucapkan? Demi waktu, ia tidak akan memberimu kesempatan. Demi waktu, kesempatan hanya ada di kita masing-masing. Wallahu a'lam bisshowab.

Doa hari ke 09

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ لِيْ فِيْهِ نَصِيْبًا مِنْ رَحْمَتِكَ الْوَاسِعَةِ وَ اهْدِنِيْ فِيْهِ لِبَرَاهِيْنِكَ السَّاطِعَةِ وَ خُذْ بِنَاصِيَتِيْ إِلَى مَرْضَاتِكَ الْجَامِعَةِ بِمَحَبَّتِكَ يَا أَمَلَ الْمُشْتَاقِيْنَ

Artinya : Ya Allah! Anugerahilah untukku sebagian dari rahmat-MU yang luas, dan berikanlah aku petunjuk kepada ajaran- ajaran-MU yang terang, dan bimbinglah aku menuju kepada keridhaan-MU yang penuh dengan kecintaan-MU, Wahai harapan orang-orang yang merindu

Usman Suil

Senin, 18 Maret 2024

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (02)

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (2)
by Ahmad M. Sewang

PAMBUSUANG AWALNYA BERKENALAN DENGAN ISLAM KONSERFATIF TRADISIONL

Kampung ini memiliki paham keagamaan yang konservatif tradisional. Konserfatif berarti bersifat mempertahankan keadaan dan tradisional berarti cendrung mempertahankan kebiasaan yang bersifat tradisi. Karena itu pula gerakan keagamaan pertama sampai di tempat ini. Sungguh benar kaidah sejarah bahwa paham agama yang berkembang di sebuah masyarakat ditentukan oleh paham apa yang pertama bersentuhan masyarakat itu;   maka tidak heran jika mereka lebih memilih paham NU yang datang menyusul kemudian. Di akhir tahun 1939-an Paman saya K. H. Muh. Yasin (Annangguru Kacing) seorang yang terpandang ulama di desa ini. Ketika terjadi perbedaan paham tarekat keagamaan dengan seorang tokoh, membuat ia komflik, dampaknya ia berhijrah ke Mekkah dengan menjual semua harta bendanya yang ada di kampung. Beliau beruntung ketika tiba di Mekkah, karena dipercaya memberikan pengajian di Mesjd Haram dan menjadi Syekh bagi jemaah yang menunaikan ibadah haji dari Nusantara. 

Sejak ia meninggalkan tanah air tidak pernah lagi kembali ke kampung sampai ia meninggal dunia tahun 1980. Tulisan  ini menggambarkan bahwa seseorang di kampung ini dianggap sesat jika ada orang lain berbeda pendapat dengannya. Itu juga sebabnya, jika ada paham yang beda dengan yang ada dianggapnya sesat, dapat dipahami jika paham di desa ini bersifat ho.ogen, yaitu konvensional tradisionalis yang akan dikemukakan pada uraian berikutnya.

Sekitar tahun 1983 saya mendapat tugas dari IAIN Alauddin ke Perguruan Asadiyah Sengkang untuk mengawas ujian Kopertais. Di sana saya bertemu dengan dosen senior, Abdullah Maratan. Beliau berkisah tentang pengalaman pribadinya ketika di Mekkah bahwa yang mengajar mengaji di Masjid Haram adalah Syekh Muhammad Yasin al Mandary. Penilitian ini berusaha menyampaikan seobjektif mungkin tanpak memihak kepada satu paham atau firqah keagamaan. Saya pun sedang berusaha melakukan redepinisi muslim berdasarkan pengalaman rihlah di lima benua dan bertemu berbagai tokoh dari berbagai paham keagamaan. Yaitu seorang muslim jika ia sudah bersyahadat dengan tulus berdasarkan Alquran dan Hadis; itu adalah saudara kita sesama muslim yang wajib di cintai. Mungkin ada yang tidak senang pada pandangan seperti ini, tetapi merasa saya sudah tidak lagi butuh pujian seseorang. Saya sekarang berpandangan biarlah banyak orang benci asal Allah dan Rasulnya tetap mencintai.

Wasalam,
Kompleks GPM, 19 Maret 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (08)


Puasa dan terorisme

Kurang lebih lima tahun yang lalu pembunuhan dengan cara sadis memakai alat peledak ditengah-tengah keramaian. Menjadi moment penting untuk kita renungi adegan radikal tersebut. Kejadian ledakan bom di Polrestabes Surabaya, senin, 14 Mei 2018 pagi, pada kelompok  umat islam tertentu  menyambut bulan suci ramadhan dengan cara membunuh.

Kejadian ini sangat memprihatinkan bagi umat islam tanpa terkecuali. Kenapa tidak, sebab adanya ketidaksesuaian antara ideologi dan praktiknya dalam tubuh islam itu sendiri. Padahal kita tahu bahwa banyak ayat dalam al-qur’an yang menekankan untuk tidak adanya paksaaan dalam beragama dan ayat yang berkaitan dengan toleransi serta ayat yang berbicara masalah dilarangnya saling menyakiti apalagi membunuh. 

Mentalitas para kaum jihadisme sebenarnya telah jauh dari alam kerumunan, telah melanggar fitrahnya dan telah hilang nilai estetik dalam jiwanya, membuang empati dalam dirinya dan mengandalkan selera pribadinya. Kesadaran terhadap antar kelompok telah mati sehingga yang tumbuh kuat adalah kesadaran kepada individualitas kelompoknya sendiri. Nah ini tentu berbahaya apabila penyakit seperti ini terus menyebarkan virus-virusnya sebab akan membuat hidup ini menjadi ajang pertarungan. 

Dari sisi gerakan sosial, saya teringat salah satu gold power bangsa seperti Tan Malaka, beliau pernah bertutur: terbentur, terbentur, terbentur hasilnya akan terbentuk maksud dari kata ini tidaklah salah, karena untuk menciptakan hasil yang utuh maka memerlukan benturan terlebih dahulu. Akan tetapi kita membutuhkan  kejelian untuk menginterpretasi perkataan tersebut. Jika tidak, maka kesannya bahwa terbentur akan terbentuk sepenuhnya akan mendukung para kaum terorisme. 

Beliau mengatakan demikian dalam suasana genting dan konteksnya pada saat itu memang pas dan tepat untuk menguatkan atau memberikan motivasi kepada para pejuang bangsa pada saat itu. Kemudian akan lebih tepat jika kita artikan saat ini yaitu jiwa yang mengalami benturan beberapa kali akan terbentuk dengan sendirinya. Makin banyak huru-hara dalan kehidupan akan membuat jiwa semakin tegar dan kuat. Saya kira lebih tepat kita tafsirkan seperti itu. 

Sementara dari sisi bulan suci ramadhan, maka kita dapat melihat perintah yang mewajibkan melaksanakan puasa. Dalam tinjauan ilmu ushul fiqhinya, dapat kita mengintip sedikit dari pembahasan mafhum muwafaqahnya. Artinya kita dapat melihat apa saja yang diwajibkan dalam puasa. Seperti adanya pelarangan untuk tidak makan, minum, menggunjing orang lain. Kalau yang halal saja tidak diperbolehkan (seperti makan)  maka mebunuh apalagi.

Pendapat dari ilmuan islam seperti imam Gazali terkait masalah puasa. Menurut beliau, puasa merupakan ibadah yang cukup tua sebab perintah untuk menjalankannya tidak hanya pada kaum nabi penutup akan tetapi juga pada nabi-nabi sebelumnya. Dari nabi Adam sampai hari ini puasa telah diperintahkan hanya saja konteks pelaksanaannya yang berbeda. Ini membuktikan betapa mulianya bulan suci ramadhan.

Bukti kemuliaan bulan suci ramadhan yang lain adalah dengan adanya perintah untuk menyambut kedatangannya. Itu artinya bahwa bulan puasa memiliki kandungan yang levelnya tinggi. Mengapa Allah mewajibkan makhluknya untuk berpuasa? Apakah keuntungannya kembali kepada-Nya? Jawabannya adalah bahwa hakikat ibadah suci ini tidaklah berbicara masalah untung dan rugi. Allah mewajibkan sebab Dia sangat mengerti faedah dan manfaat bagi manusia, baik lahir maupun bathinnya. Bukankah ini adalah bentuk kasih sayangNya? Tentu jawabannya adalah ia sebab puasa itu melenyapkan dimensi setan dalam diri dan dengan puasa kesabaran menjadi lebih kokoh.

Imam Gazali juga mengatakan, pada dasarnya Allah tidak butuh lapar dan hausnya akan tetapi butuh manfaatnya. Dari sini kita dapat melihat, orang yang berpuasa hanya pada tingkatan lapar dan haus, biasanya akhir puasanya melakukan pembalasdendaman dengan cara makan sebanyak-banyaknya pada waktu berbuka puasa. Rumusnya “Puasa + lapar dan haus = balas dendam”. Ini tentu sangat berkaitan dengan tindakan para kaum jihadisme saat ini. Hubungannya yaitu Menegakkan syariat islam dengan cara kebencian. Lalu  apa hubungannya dengan balas dendam? Hubungannya adalah sama-sama dalam ruang kebencian dan sama-sama rakus. Puasa orang pada level lapar dan haus akan rakus dalam berbuka puasa begitu juga dengan kaum jihadisme (dalam tanda kutip) mereka rakus dalam meneggakkan syariat, akibatnya membunuh islam dari dalam.

Doa hari ke 08

اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ رَحْمَةَ الأَيْتَامِ وَ إِطْعَامَ الطَّعَامِ وَ إِفْشَاءَ السَّلاَمِ وَ صُحْبَةَ الْكِرَامِ بِطَوْلِكَ يَا مَلْجَأَ الآمِلِيْنَ

Artinya : Ya Allah, anugrahilah kepada kami rasa sayang terhadap anak-anak yatim dan suka memberi makan (orang miskin) serta menyebarkan kedamaian dan bergaul dengan orang-orang mulia dengan kemurahanmu wahai tempat berlindung bagi orang-orang yang berharap

Tulisan lama lima tahun lalu (Jakarta Timur, 15 Mei 2018)

Usman Suil

Minggu, 17 Maret 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (07)


Dituliskan untukmu berpuasa

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,"
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 183)

Hal menarik dalam ayat ini adalah dari kata "Kutiba" yang artinya diwajibkan. Padahal kalau dilihat dari segi bahasa seharusnya memakai kata "furidha" (yaa ayyuhalladzina aamanu furidha) atau "wujiba" (yaa ayyuhalladzina aamanu wujiba)  yang artinya diwajibkan. Seperti niat shalat yang memakai kata "Fardh". Tetapi pada ayat ini memakai kata yang berbeda tetapi memiliki arti yang sama, yakni sama-sama mempunyai arti "diwajibkan."

Kalau dikembalikan dari makna aslinya dari kata "kutiba" berarti "telah dituliskan" bukan "diwajibkan" tetapi seluruh umat islam sepakat kalau artinya adalah diwajibkan dan corak tafsir fiqhi ini sangat populer di kalangan Muslim. Penceramah-penceramah di mesjid ketika membacakan ayat puasa ini semuanya mengartikan yang sama yakni "diwajibkan" bukan "dituliskan" sebagaimana dari kata dasar aslinya. Barangkala memang kita tidak pernah terpikirkan kesana atau karena memang sifatnya sangat rahasia.

Terkait hal ini, ada satu ulama Indonesia yang pernah menyinggung makna kutiba pada ayat puasa ini, beliau adalah Prof. Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin, M.A, yang dikenal sebagai Buya Syakur, beliau yang tidak lama ini telah tutup usia semoga amal ibadahnya diterima disisi-Nya. Heningkan cipta sejenak untuk mengirimkan surah al-fatiha untuk beliau. Al-Fatihah. Aamiin..

Beliau menafsirkan kata kutiba tersebut sebagai perintah puasa yang kewajibannya secara tertulis dan juga tanda bahwa puasa itu sangat penting. Beliau membagi dua jenis perintah dari Allah. Yaitu perintah secara lisan dan yang lainnya perintah secara tulisan. Puasa termasuk perintah secara tulisan. Beliau melanjutkan dengan memberikan perumpamaan seperti halnya undangan dalam suatu acara yang ditulis kemudian di stempel lalu ditanda tangani. Seperti itulah perintah puasa yang distempel secara resmi oleh Allah. Untuk itu kata perintah  ayat dalam ini memakai kata kutiba yang artinya dituliskan.

Sementara menurut K.H. Musta'in Syaifi'i bahwa kata kutiba memilki perspektif psikologis. Makna kata "kutiba" (dituliskan) menjadi lebih memandang bahwa manusia itu sesungguhnya telah dicatat oleh Allah Swt untuk berpuasa. Bermakna pula bahwa sejatinya manusia telah digariskan atau ditakdirkan oleh Allah untuk melakukan puasa. Utamanya puasa ramadhan. Berpuasa berarti menahan hawa nafsu walaupun hawa nafsunya telah dihalalkan. 

Lantas, hal apa yang bisa dijadikan pelajaran? Terlepas dari kedua makna yang telah disampaikan diatas bahwa al-Quran memilki begitu banyak rahasia di dalamnya. Sebagaimana kata Sahabat Nabi Ali bin Abi Thalib, "setiap huruf pada ayat Allah memiliki empat puluh makna dan disetiap satu makna memilki empat puluh kandungan rahasia." Seumur hidup pun hanya untuk mempelajari Al-Quran tidak akan cukup mengurai semua makna-makna di dalamnya. Terbukti sudah ratusan bahkan ribuan kitab tafsir al-quran yang dikarang oleh para ulama-ulama Islam yang isinya tetap saja berbeda-beda. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلۡمُتَّقِينَ
"Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa," (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 2)

Doa hari ketujuh

اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ فِيْهِ عَلَى صِيَامِهِ وَ قِيَامِهِ وَ جَنِّبْنِيْ فِيْهِ مِنْ هَفَوَاتِهِ وَ آثَامِهِ وَ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ ذِكْرَكَ بِدَوَامِهِ بِتَوْفِيْقِكَ يَا هَادِيَ الْمُضِلِّيْنَ

Artinya : Ya Allah, bantulah aku untuk berpuasa dan shalat malam serta jauhkan aku dari kesia-siaan dan perbuatan dosa. Anugrahi aku di dalamnya dengan dawamnya ingat pada-Mu dengan taufik-Mu wahai yang menunjuki orang tersesat

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (01)

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (1)
by Ahmad M. Sewang 

Pendekatan antropologi sejarah adalah upaya memahami suatu masyarakat dengan memperhatikan wujud praktek keagamaan dalam sebuah  perkembangan. Motivasi yang mendorong penulis meneliti desa ini adalah ketika mendengar pernyataan seorang dosen UNM di sebuah pertemuan bahwa Desa Pambusuang yang berpenduduk sedikit tetapi terbanyak memproduksi ulama dan ilmuan di Sulawesi Barat. Mendengar itu saya mulai mengumpulkan peristiwa-pristiwa penting dalam sejarah desa ini. Hasilnya saya kirim ke beberapa tokoh dan WA untuk dikritisi. Dengan tujuan yang sama kita rencanakan untuk merencanakan seminar di desa ini setelah lebaran nanti dengan mengundang mereka yang sementara studi atau bekerja di  luar. Saya sadar seperti ungkapan Imam Syafii, "Semakin banyak saya tahu, semakin banyak yang saya tidak tahu." Mengingat ilmu Tuhan begitu luas, sedang umur manusia terbatas(Lihat QS al Kahfi 109).
Desa Pambusuang  berada di Kabupaten Polman, Provinsi Sulawesi Barat km 286 sebelah utara kota Makassar. Desa ini terbelah dua oleh jalan poros yang membentang di tengah dari Timur ibu kota kabupaten Polewali menuju Barat ke kota Majene. Di sebelah utara desa terbentang gunung yang disebut gunung Lego dan di sebelah selatan terdapat teluk yang disebut teluk Mandar. Menurut salah seorang guru Pesantren, Ilham Sopu bahwa jumlah murid ibtidaiyah, Stanawiyah, dan Aliyah yang tergabung dalam Pesantren Nuhiyah sekitar400 murid. 

Ulama pertama kali yang menyebarkan Islam dan mermelahirkan banyak ulama dari generasi ke generasi adalah KH Muhammad Nuh yang diperkirakan lahir pada abad ke-19. Karena itu namanya diabadikan dalam bentuk lembaga pesantren bernama Pesantren Nuhiyah.
Dari KH Muhammad Nuh kemudian memunculkan generasi berikunya, yaitu K. H. Muhammad Tahir (Imam Lapeo), selanjutnya generasi K. H. Sahabuddin (Annangguru Hawu), K. H. Muh. Yasin (Annangguru Kacing), K. H. Muh. Alwi (Annangguru Kaiyyang), kemudian generasi K. H. Muhammad Saleh, K. H. Abd. Galib (Annangguru Gale), K. H. Abd Hafid, K. H. Ismail, K.H. Sayyid Thaha, K.H. Abd. Hadi, KH. Muh. Said, K. H. Abdullah dan K. H. Abd. Rasyid (Imam Sawang). Para generasi di atas, kemudian disusul generasi berikunya, yaitu
Generasi K. H. Muh. Yasin, K. H. Abdurrahman, K.H. Syauqaddin dan K. H. Muh. Alwi. Kemudian lahir generasi  terakhir sebagai pembina pengajian di Pambusuang sekarang, di antaranya K. H. Muh. Bisri Jinis (pengasuh pondok pesantren Nuhiyah sekarang), KH. Abd. Syahid Rasyid (Ketua MUI Polman/pengaruh pondok pesantren Jare'je Pambusuang), K. H. Muhasib Kamaluddin dan K. H. Herman Aziz. Generasi terakhir ini, mereka tdak lagi berguru langsung secara fisik pada generasi ulama  di atas (KH. Hafid)

Generasi sekarang yang konsen pada pengajian dan pendalaman nahwu sharaf yang langsung  pada praktik pengajian kitab kuning secara terus menerus setiap hari dalam bentuk halakah adalah KH Syahid Rasyid. Di samping Pesantren Nuhiyah yang pengasuhnya melakukan pengajian kitab kuning di masjid Jsmi' Pambusuang, maka dapat diprediksi masa depan akan banyak melahirkn ulama. Bahkan informasi yg didapatkan, generasi santri muda di Pambusuang (khususnya di ponpes Jare'je) sudah biasa dalam pengajian membaca kitab-kitab standar atau kitab kuning yang lain. Perlu diketahui, setiap bulan suci Ramadhan, Pambusuang didatangi para santri musiman
belajar nahwu saraf selama satu bulan Ramadhan dari berbagi daerah di Suawesi Selatan dan Barat.

Setelah mencoba meneliti secara sambil lalu desa ini, mulai saya rethinking bahwa andai belum doktor, saya akan jadikan desa ini sebagai objek penelitian karena begitu menarik tentang potensi sumber daya insan yang dimiliki desa ini. Saya berdoa semoga ada generasi baru bisa melanjutkannya dalam bentuk penelitian disertasi, saya meneliti Islamisasi Gowa ketika dapat kesempatan riset selama setahun di Leiden University karena belum melihat ada penelitian yang menarik di Mandar. Itu juga alasan untuk menyebarkan tulisan in agar ada mahasiswa doktoral menelitinya. Sekali lagi bahwa saya merasa gembira jika ada generasi baru menjadikan desa ini sebagai objek peneletian disertasi, selain itu saya harap pada pembaca yang ingin para netizen menkritisinya nanti setela selesai semua ditelaah, berhubung karena tulisan ini berseri. Jadi alangkah sempurnanya jika nanti selesai  semua dibaca, baru dikritisi. Saya bereharap setelah sekesai lebaran saya mengundang turun ke Pambusuang untuk seminar tentang sejarah desa ini   dengan mengharapkan seluruh terpelajar penduduk hadir pada seminar nanti di desa ini. Sebagai orang yang lahir di desa ini, maka saya telah menulis biografi dan auto biografi pribadi yang diharapkan sebagai bahan yang bisa melengkapi⁰⁰ para peneliti yang berminat nanti. (Bersambung)

Wasalam,
Komleks GFM,  18 Maret 20240

Sabtu, 16 Maret 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (06)


Menumbuhkembangkan Sikap Wara'

Ada dua penyebab seseorang hanya akan mendapatkan lapar dan haus di bulan suci ramadhan, yaitu kebodohan dan kurangnya kehati-hatian. Sikap menyepelekan sesuatu adalah pangkal dari segala perbuatan maksiat. Ketidakhati-hatian inilah yang membuat kita selau merasa aman melakukan maksiat. Tidak memiliki tanggung jawab juga dikarenakan sikap wara tidak pernah kita tekuni. Korupsi dan kolusi mudah terpapar kepada para pejabat karena tidak memiliki sikap kehati-hatian. Banyak pejabat tidak amanah karena juga tidak menumbuhkan sifat wara dalam dirinya.

Begitu besar kasih sayang Allah yang selalu memberikan jalan kepada setiap hambanya termasuk dalam ibadah puasa sebagai jalan menempuh kemuliaan. Ibadah puasa mengajarkan sikap wara'. Kembali dari definisi wara adalah kehati-hatian maka puasa termasuk cara untuk menumbuhkembangkan sifat wara'. Dalam puasa kita tidak diperbolehkan makan, minum dan jima'. Artinya sesuatu yang halal pun dilarang  maka bagaimana dengan yang haram? Bukankah ini bisa dikatakan bahwa puasa itu mengajarkan wara?

Dasar bagi keutamaan ruhaniah adalah apa yang telah diharamkan Allah. Oleh karena itu maqam kesucian seseorang ditentukan dari semampu apa ia menjauhkan diri dari perkara yang haram. Ketika menekuni sikap wara pada setiap prilaku akan memudahkan seseorang untuk melepaskan diri dari apa yang telah dilarang Tuhan. Puasa melampaui ini semua dengan kata lain puasa adalah wara diatas wara (wara plus). Karena puasa merupakan neraca tahunan bagi umat Islam untuk menginstropeksi diri sejauh mana ia telah menjauhkan diri dari perkara haram dan sedekat apa ia telah melaksanakan perintah-perintah-Nya. 

Diriwayatkan bahwa Imam Ali Zainal Abidin pernah berkata: "berdusta dalam masalah-masalah sepele akan melahirkan melakukan keberanian-keberanian dalam masalah besar." Berarti seseorang yang apabila menyepelekan setiap perkara dosa sekecil apapun itu akan menuntun dirinya untuk melakukan dosa besar lantaran tidak mengajari dirinya untuk bersikap wara.

Ketika output puasa adalah "takwa" maka kendaraan yang pas untuk dipake bagi setiap sopir adalah sikap wara'. Karena dengan wara' ia akan lebih hati-hati terhadap segala sesuatu yang dianggap ragu atasnya. Akan menolak barang yang syubhat, perkara yang tidak diketahui halal-haramnya. Sufyan Ats-Tsaury menegaskan: "saya tidak melihat yang lebih mudah ketimbang wara'. Jadi apa yang mengganjal dalam dirimu tinggalkan saja."

Suatu ketika Rasulullah mendengar seorang perempuan memaki-maki budaknya pada bulan Ramadhan, beliau pun memanggil perempuan itu kemudian menyuruhnya untuk berbuka puasa. Perempuan itu menjawab: innii sho'imah (aku berpuasa). Rasulpun berkata: bagaimana mungkin kamu berpuasa sedang kamu memaki-maki budakmu." Juga suatu ketika seseorang berkata kepada Nabi, bahwa seseorang telah berpuasa di siang hari menghabiskan malamnya untuk shalat tetapi lidahnya menyakiti tetangganya. Nabi menjawab: dia di neraka." 

Rasulullah bersabda: 

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْع وَالْعَطْش 

Artinya, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga” (HR An-Nasa’i).

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ
"Maka celakalah orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya." (QS. Al-Ma'un 107: Ayat 4-5)

Orang yang lalai dalam shalatnya adalah mereka yang apabila shalat tidak menghadirkan kehati-hatian, karena tidak kehati-hatiannya itulah yang membuat dirinya pamer ketika shalat sebagaimana diperjelas pada ayat berikutnya.

ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ
"yang berbuat riya'," (QS. Al-Ma'un 107: Ayat 6)

Jadi supaya ibadah kita tidak hanya pada kekeringan tenggorokan dan kekosongan perut, maka berusaha semaksimal mungkin untuk menumbuhkembangkan prilaku wara'. Melatih agar menjadi lebih kuat sehingga kita termasuk orang yang panen banyak di bulan ini. Wallahu a'lam bisshowab.

Doa hari keenam

اَللَّهُمَّ لاَ تَخْذُلْنِيْ فِيْهِ لِتَعَرُّضِ مَعْصِيَتِكَ وَ لاَ تَضْرِبْنِيْ بِسِيَاطِ نَقِمَتِكَ وَ زَحْزِحْنِيْ فِيْهِ مِنْ مُوْجِبَاتِ سَخَطِكَ بِمَنِّكَ وَ أَيَادِيْكَ يَا مُنْتَهَى رَغْبَةِ الرَّاغِبِيْنَ

Artinya : Ya Allah! Janganlah Engkau hinakan aku di bulan ini karena perbuatan maksiatku terhadap-MU, dan janganlah Engkau cambuk aku dengan cambuk balasan-MU. Jauhkanlah aku dari hal-hal yang dapat menyebabkan kemurkaan-MU, dengan kelembutan dan ketinggian rahmat-Mu, Wahai pegangan terakhir orang-orang yang berkeinginan

Usman Suil.