Senin, 05 Februari 2024

MENGENAL DR. MUHAMMAD NAWAWI YAHYA ABDURRAZAQ, MA. DAN KARYA MONUMENTALNYA



SEKILAS RIWAYAT INTELEKTUAL DAN KEULAMAAN 
DR. MUHAMMAD NAWAWI YAHYA ABDURRAZAQ, MA.  
DAN KARYA MONUMENTALNYA

Oleh: Wajidi Sayadi

Sehubungan hari ini Senin, 5 Pebruari 2024 diperingati Haul wafatnya Dr. Muhammad Nawawi Yahya, MA oleh para alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir yang tergabung dalam Organisasi  Internasional Alumni al-Azhar (OIAA) wilayah Sulawesi Barat, berikut ini kami menuliskan sedikit riwayat intelektual dan keulamaan Dr. Muhammad Nawawi Yahya,MA., sebagai putera Mandar yang mengukir prestasi Internasional di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. 

Dr. Muhammad Nawawi Yahya Abdurrazaq lahir di Dusun Manjopai (Mojopahit) Desa Karama Kecamatan Tinambung Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat pada tahun 1929. 
Dr. Muhammad Nawawi Yahya dibesarkan dan dididik dalam lingkungan keluarga yang kental dan ketat dengan tradisi agama Islam. Ayahnya adalah KH. Yahya Abd Razak seorang ulama yang kharismatik dan disegani. Beliau imam masjid Jami Tanwir al-Masajid di Manjopai. Rumah tempat tinggalnya banyak berderetan dan berjejeran di rak-rak dan lemari kitab-kitab kuning dari berbagai disiplin keilmuan. Kitab-kitab ini merupakan peninggalan dari milik ayahnya sebagai seorang ulama. 

Dr. Muhammad Nawawi Yahya dilahirkan dari seorang ibu yang luar biasa bernama Hj. Siti Fatimah Abdullah. Adapun saudara-saudaranya adalah H. Muhammad Zawawi Yahya, H. Muhmmad Nahrawi Yahya, Hj. Maawiyah Yahya, Hj. Jugariyah Yahya, dan Ir. Hj. Jawiyah Yahya. 

Masa kecil dan remaja Dr. Muhammad Nawawi Yahya di kampung halaman Manjopai Desa Karama Tinambung dengan asuhan bimbingan dari ayah dan guru-guru lainnya. Riwayat Pendidikan formalnya tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah diselesaikan di daerahnya kelahirannya di masa penjajahan Belanda dan bangsa Jepang. 

Dua tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dinyatakan secara resmi, terjadi suatu peristiwa bencana peradaban kemanusiaan bagi masyarakat Mandar yang terpusat di Galung Lombok oleh kekejaman Westerling. Peristiwa ini dikenal di Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan, sebagai pembantaian korban 40.000 jiwa oleh Westerling, pada tanggal 2 Pebruari 1947. 
Dalam peristiwa pembantaian masyarakat Mandar oleh Westerling di Galung Lombok, selain ribuan korban tewas juga banyak tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh pemuda ditangkap dengan semena-mena. Salah seorang diantaranya adalah saudara Muhammad Nawawi sendiri ikut tertangkap namanya Muhmmad Zawawi Yahya. 

Sehari setelah peristiwa Westerling di Galung Lombok ini, Muhammad Nawawi Yahya yang pada wakut itu umurnya 18 tahun tinggalkan Manjopai Karama menuju Sawitto di Kabupaten Pinrang atas inisiatif dari ayah dan keluarganya. Selama tiga tahun di Pinrang menyelesaikan sekolah Madrasah Aliyah. Tahun 1950, Beliau berangkat ke Mekah bergabung bersama rombongan jamaah haji. Selain untuk melaksanakan ibadah haji, niat utamanya adalah tinggal dan belajar di Mekah. Beberapa tahun tinggal di Mekah belajar, hingga akhirnya berangkat pindah ke Kairo Mesir. 

Sejak usia yang masih muda itulah Muhammad Nawawi Yahya tinggalkan kampung halaman pergi belajar dan belajar di Mekah kepada papar ulama besar pada zamannya hingga pindah dan masuk belajar di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. 
Perjalanan dan pengabdian umurnya lebih banyak digunakan di luar negeri termasuk di Eropa pernah tinggal beberapa lama di Belanda sebelum berlabuh dan tinggal menetap belajar di Kairo Mesir.

Suatu saat Muhammad Nawawi Yahya mengalami sakit dan dirawat di rumah sakit kebetulan ditangani oleh seorang perawat perempuan. Perawat tersebut statusnya janda punya empat orang anak. Selama di berada pembaringan di rumah sakit, Beliau tidak mau dilihat auratnya dan apalagi disentuh oleh perempuan yang tidak halal baginya atau yang bukan mahramnya, akhirnya Beliau melamar dan menikahi janda tersebut yang berprofesi sebagai perawat di rumah sakit. Istrinya ini sangat berjasa mengantarkan Beliau hingga menyelesaikan Disertasinya dan berhasil meraih gelar Doktor di bidang Zakat pada tahun 1980. 

Proses karir intelektual dan keulamaannya dibentuk sejak dini melalui ayah, guru-guru, ulama-ulama di kampung halaman serta keluarga, dilanjutkan pendalamannya  di Mekah hingga dimatangkan di Kairo Mesir. 

Muhammad Nawawi Yahya masuk di Fakultas Syariah wa al-Qanun yang dianggap konsisten menulis tentang zakat perspketif perbandingan madzhab sejak program Magister dan dikembangkan serta disempurnakan pada Program Doktor. 

Muhammad Nawawi Yahya satu almamater dan program studi  dengan Syekh Yusuf al-Qaradhawi di Fakultas Syariah wa al-Qanun. Syekh Yusuf al-Qaradhawi lebih tua tiga tahun, Beliau lahir tahun 1926 sedang Muhammad Nawawi Yahya lahir 1929. 
Yusuf al-Qaradhawi menulis disertasi berjudulفقه الزكاة دراسة مقارنة لأحكامها وفلسفتها في ضوء القرآن والسنة  yang selesai lebih awal sekitar tahun 1977. Disertasi Yusuf al-Qaradhawi terdiri dari 2 jilid 1.227 halaman. 
Sedangkan Muhammad Nawawi Yahya menulis disertasi berjudul الزكاة والنظم الإجتماعية المعاصرة selesai tahun 1980 terdiri dari 6 jilid 3.246 halaman. 

Kitab فقه الزكاة  karya Dr. Yusuf al-Qaradhawi ini menjadi sudah rujukan referensi tentang zakat di era kontemporer termasuk di Indonesia karena sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Sementara الزكاة والنظم الإجتماعية المعاصرة karay Dr. Muhammad Nawawi Yahya belum banyak dikenal, belum dibaca, apalagi dijadikan referensi, acuan tentang zakat. Inilah Mutiara karya Ulama Nusantara Putra Manjopai Mandar Sulawesi Barat yang bereputasi Internasional tetapi masih terpendam dan melangit belum membumi. 

Pada masanya, Muhammad Nawawi Yahya tercatat sebagai satu-satunya Doktor bidang syariah khususnya tentang zakat perspektif perbandingan dari Asia Tenggara. Karya monumentalnya berupa disertasi terdiri atas 6 jilid 3246 halaman. 

Empat tahun setelah menyelesaikan program Doktornya di Universitas Al-Azhar Kairo, tahun 1984 Beliau balik silaturrahmi ke kampung kelahirannya di Dusun Manjopai Desa Karama Polewali Mandar. Sekitar satu bulan di kampung halamannya, Beliau wafat secara mendadak tanpa perawatan sakit. 
Selepas shalat subuh Beliau jalan pagi keliling di sekitar lingkungan rumah. Seusai shalat Dhuha Beliau wafat dalam posisi sedang memegang dan mendekap sebuah kitab kuning di dadanya tepatnya pada hari kamis, 9 Pebruari 1984 dalam usia 55 tahun. 

Jenazahnya dimakamkan di samping makam ayah dan ibunya di halaman Masjid Tanwir al-Masajid Dusun Manjopai Karama Tinambung Polewali Mandar. Sulawesi Barat. 

إنا لله وإنا إليه راجعون
يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ  وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ

Sekilas Karya Monumental Dr. Muhammad Nawawi Yahya
Dr. Muhammad Nawawi Yahya menulis Disertasi berjudul الزكاة والنظم الإجتماعية المعاصرة atas bimbingan Promotor Dr. Muhammad Anis Ubbadah 
Disertasi ini terdiri atas 6 jilid ditulis masih menggunakan mesik tik zaman dahulu di atas kertas HVS berukuran 30 X 21 cm dengan jumlah halaman 3246.

Sistematika pembahasannya terdiri atas: 
Muqaddimah terdiri atas 16 halaman:
Membahas mengenai terminologi zakat dan sedekah dan landasan normatif agama baik al-Qur’an maupun hadis mengenai ketetapan kewajiban zakat dalam Islam. Awal mula penetapan kewajiban zakat serta periodisasinya. Kebijakan Abu Bakar ash-Shiddiq mengenai zakat dan pengaruhnya dalam tatanan masyarakat negara serta pengembangan dakwah Islam. 

Jilid I terdiri atas 1- 626 halaman:
Membahas mengenai zakat sebagai ibadah dan kewajiban sosial sebagai modal dasar dalam pembentukan sebuah tatanan negara. Kedudukan zakat dalam pembinaan sosial dalam Islam, sebagai kekuatan material dan spiritual. Harta dan sistem kepemilikan dalam perspektif kerangka hukum Islam dan hukum positif yang mengandung kebaikan universal melalui sistem zakat. Sistem sosial dan kekayaan material di era kontemporer dan perbandingannya dengan system zakat. 

Jilid II terdiri atas 627 – 1045 halaman:
membahas mengenai kriteria zakat meliputi syarat-syarat global diwajibkannya zakat seperti muslim, mukallaf, memiliki secara sempurna, bebas dari hutang, nisab dan haul. Kedudukan niat dalam transaksi dan distribusinya. Apakah zakat wajib disegerakan atau boleh ditangguhkan penyerahannya? Ta’jil zakat dan klasifikasinya. Apakah kewajiban zakat gugur karena kematian pemiliknya? 

Jilid III terdiri atas 1046 - 1667 halaman: 
membahas mengenai terminologi harta dan batasannya yang wajib dizakati beserta kadar pendistribusiannya disertai dalil masing-masing. Masalah emas dan perak, hasil pertanian dan buah-buahan, hewan, harta perdagangan.

Jilid IV terdiri atas 1668 – 2109 halaman: 
Membahas secara rinci mengenai delapan kelompok yang berhak menerima pendistribusian zakat. Apakah delapan kelompok akan diberikan dalam jumlah yang sama atau diberikan atas dasar pertimbangan skala prioritas? 

Jilid V terdiri atas 2110 – 2779 halaman: 
Membahas secara rinci mengenai perbandingan pendapat dari kalangan sahabat dan tabiin ahli hukum Islam, serta empat imam madzhab dan dari kalangan imam madzhab zhahiriyah, Syi’ah dan Zaidiyah. 

Jilid VI terdiri atas 2780 – 3246 halaman: 
Membahas mengenai tarjih. Mendialogkan atau mendiskusikan beberapa pendapat dari beberapa argumentasi yang dikemukakan, lalu memilah dan memilih pendapat yang dianggap lebih unggul dan tepat.  

Disertasi DR. Muhammad Nawawi al-Mandary tersebut merupakan karya monumental ulama dan intelektual muslim Indonesia sangat penting dan dipandang perlu untuk dijadikan referensi dalam studi hukum Islam khususnya kajian tentang zakat dalam kaitannya dengan pemberdayaan potensi ekonomi umat masa depan. 

Pontianak, 5 Pebruari 2024

HAMZAH ||Jangan Panggil Aku, Jika Bukan Perjuangan

"Upangipi sala toi, mua' nemenjaria Caleg (Mimpipun tak pernah jika saya harus jadi Caleg)" . Pungkas Hamzah suatu ketika kepada penulis. Guratan takdirlah yang  mengusung namanya sebagai salah satu deretan Caleg DPRD Polman Dapil 3 dari Partai Amanat Nasional (PAN). Hamzah mungkin tak setenar dan sekaya dengan Caleg lain. Bahkan mustahil memiliki kemampuan untuk melakukan serangan fajar.

Satu-satunya yang dimiliki oleh pria kelahiran Berampa Katumbangan, 28 September 1988 ini adalah harapan. Harapan yang dibungkus dengan semangat untuk mempertanggung jawabkan suara dan amanah rakyat yang di setiap TPS pada Pemilu 2024 yang akan digelar pada tanggal 14 Februari. Inilah yang menjadi impian besar Hamzah dalam kontestasi lima tahunan kali ini. 

Menjadi wakil rakyat sejatinya diraih dengan cara bermartabat, bukan dengan cara mempedaya rakyat dengan imbalan uang, sembako atau sarung dan voucher. Politisi yang menggunakan uang harus dijadikan sebagai musuh bersama, sehingga kedepan rakyat benar-benar memiliki perwakilan di gedung rakyat. Harus difahami, selama ini hak-hak sebagai rakyat telah dihilangkan oleh bandit-bandit demokrasi yang punya uang tapi miskin integritas. 

Hamzah adalah caleg yang lahir dari rahim rakyat, ia lahir di sebuah kampung bernama Berampa Desa Katumbangan. Ia mengenal pendidikan dasarnya di SD Inpres 039 Katumbangan. Lalu melanjutkan ke MTs. Mas'udiyah Wonomulyo. Ia sempat sekolah di SPP (Sekolah Pertanian Pembangunan) Polewali sampai kelas dua dan berakhir di MA. Darul Falah Tomandar Campalagian 2011. 

Perjalanan hidup Hamzah jangan bayangkan sebagai seorang yang dimanjakan fasilitas. Untuk bisa sekolah, ia harus nyambi bekerja di Toko Citra Mas Wonomulyo. M. Said Sidar memberinya kesempatan menyelesaikan studinya di tingkat SMA. Terhitung sejak tahun 2004 hingga 2011, ia menjadi karyawan PT. Citra Mas Silolongi mulai dari Wonomulyo sampai ke Fajar Mas Mapilli dan Albar Cell yang juga milik Said Sidar (politisi yang telah 4 periode jadi anggota DPRD Polman). 

Hamzah sempat merantau ke Negeri Seberang, Kuala Lumpur selama 2 tahun setengah. Sepulang dari sana, ia kembali dipanggil oleh Said Sidar sebagai Sopir Pribadinya dari tahun 2014 sampai 2021. Politisi PAN itu menjadikan Hamzah banyak berbaur dengan politisi di DPRD Polman. Ia banyak belajar dari para politisi dan mengenal banyak karakter yang berbeda. Jika kemudian Hamzah menjadi politisi tentu bukan hal yang tabu, sebab ia faham betul bagaimana harusnya menjadi wakil rakyat. 

Hamzah telah mengambil keputusan maju sebagai Caleg dari PAN No. 5 Dapil 3 Polman. Keputusannya itu harus kita sambut gembira dengan dukungan suara dan doa. Harapan kita tak lain adalah menjadi bagian dari perjuangan rakyat untuk meretas gerakan politisi kotor yang selama ini mencederai demokrasi di negeri ini. 

Kami mengajak semua pihak bergerak secara kolektif dan menjadikan Politik Uang sebagai musuh bersama. Kedepan, masyarakat harus berdaya dan mendapatkan hak-haknya yang azasi sebagai rakyat. 

Jika anda sepakat, maka Jangan Panggil Aku, Jika Bukan Untuk Perjuangan. 
Salam Demokrasi !!! 



Minggu, 04 Februari 2024

BUKU WARISAN PASSOKKORANG

Selamat datang Buku "Warisan Passokkorang" dalam deretan diksi sejarah di Mandar. Semoga kehadiranmu menjadi pemantik bagi siapapun yang punya keinginan untuk merekonstruksi kembali Babad Tanah Passokkorang. 

Passokkorang mungkin akan menjadi salah satu kosakata sulit dan tak lagi dikenal generasi hari ini. Tapi mengabaikan Passokkorang tentu bukan langkah bijak bagi siapapun. Ia adalah narasi penting untuk menemukenali Jejak Mandar yang sesungguhnya. 

Mari bersama mengulik dan menguliti suguhan narasi yang disuguhkan oleh Muhammad Munir ini.

MENGENAL IMAM JANGGO'

MENGENAL IMAM JANGGOQ, IMAM LEGENDARIS MESJID AL HURRIYYAH TINAMBUNG.

By Muhammad Ridwan Alimuddin

Dari sekian imam mesjid Al Hurriyyah Tinambung, ada satu yang melegenda. Mungkin karena sapaannya yang nyentrik dan mudah diingat, Imam Janggoq "imam berjanggut". Nama aslinya K. H. Achmad Alwy, ulama dari Pambusuang yang lahir di Mekkah di awal abad ke-20. Achmad lahir bisa lahir di Mekkah karena saat menunaikan ibadah haji, ibunya, bernama Puang Sapi, sedang hamil.

Selain belajar agama dari orangtuanya, K. H. Alwy "Annangguru Kaeyyang", juga berguru ke pamannya, K. H. Yasin (Annangguru Kacing, menjadi warga negara Arab Saudi dan wafat di sana), K. H. M. Ghalib (Annangguru Gale), K. H. Syed Hasan bin Sahil, dan K. H. Syahabuddin (bukan K. H. Syahabuddin pendiri Univ. As Syariah Mandar).

Imam Janggoq memegang amanah sebagai imam mesjid Tinambung dua periode. Pertama dari tahun 1936 – 1942, menggantikan ayahandanya yang wafat di tahun 1936, tepat 1 Ramadhan kala memimpin jamaah tarwih (imam) di rakaat terakhir shalat witir.

Jabatan imam dilepaskan ketika terlibat dalam perang kemerdekaan. Alwy muda terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Pambusuang. Hal itu membuatnya jadi buronan Belanda. Lewat campur tangan Imam Lapeo, Alwy diungsikan ke luar Mandar, berpindah dari satu pulau kecil ke pulau kecil lain di Selat Makassar dan Laut Jawa sambil tetap berdakwah.

Sang imam berjuang lewat organisasi Jami’atul Islamiyah dan KRIS Muda Mandar. Sebelumnya pada 1929 mulai aktif politik lewat partainya HOS Cokroaminoto, yaitu Partai Syarikat Islam Indonesia cabang Mandar.

Tahun 1959 bekerja di Kantor Legiun Veteran Cabang Mandar yang berkedudukan di Makassar di bawah pimpinan Riri Amin Daud. Tahun 1962 diutus ke Bandung mempelajari persuteraan alam. Imam Janggoq-lah pionir budidaya ulat sutera di Mandar, yang mana sebelumnya bahan baku benang sutera diimpor dari Cina.

Kembali diminta menjadi imam mesjid Tinambung pada awal Januari 1963. Andi Depu, sang Raja Balanipa, mengutus adiknya Abdul Malik Pattana Endeng ke Pambusuang, menemui K. H. Ahmad Alwy. Jabatan imam terus diembang sampai wafatnya, 19 Maret 1983. Makamnya di dalam "koqba" di Kompleks Makam Koqba, Pambusuang.

Sebagai ulama cum pejuang dan praktisi (sutera), Imam Janggoq aktif berdakwah, mengelola mesjid, dan sosial kemasyarakatan. Perawatan dan pengembangan mesjid Raya yang bertiang 100 buah, pagar-pagar, dan sebagainya, semuanya menjadi tanggung jawab beliau di samping menjaga agar jama’ah mesjid tetap terpelihara. 

Imam Janggoq-lah yang memulai pengadaan lampu listrik di mesjid Tinambung serta penyediaan "kollang" untuk berwudhu. Penting dicatat, masa Imam Janggoq-lah sehingga mesjid di Tinambung memiliki nama. Awalnya hanya disebut Mesjid Jami Tinambung untuk kemudian menjadi Mesjid Al Hurriyyah Tinambung.

BUKU SEJARAH DESA PARAPPE

PARAPPE DAN PUSAT PENDIDIKAN ISLAM DI MANDAR. 

Desa Parappe mungkin hanya setitik noda pada peta negeri ini, tapi noktah sejarah membeberkan kepada kita bahwa jauh sebelum Kappung Masigi (Desa Bonde) menjadi pusat keagamaan, di Banua Desa Parappe telah menjadi pusat pencetak ulama yang kemudian menyebar jadi seorang Annangguru di daerah lain. 

Buku ini memberikan informasi tentang Lamassagoni Tomatinroe Ri Dara'na, Syekh Muhammad Amin Tosalama Panyampa yang merintis pusat keagamaan yang ditandai dengan adanya sebuah langgar di Banua sebagai pusat pendidikan keagamaan. Dari sinilah Syekh Hasan Yamani merekam jejaknya ketika harus meninggalkan Kota Makkah saat terjadinya kudeta dari Wahabi. 

Dari Parappe inilah, embrio pendidikan Islam dimulai dan hingga hari ini, 2 Pondok Pesantren terbesar di Sulbar ada disini. 

Tertarik membaca bukunya? Silahkan terhubung dengan PUSAKAKU (Pusat Studi Sosial dan Kajian Kebudayaan).

Daftar Isi 

TARIAN PATTU'DU'



Buku Claire Holt yang bagus dan menarik, Dance quest in Celebes, yang memberikan deskripsi berbagai tarian dalam bentuk laporan perjalanan, telah menunjukkan kepada kita betapa Berbagai ekspresi tarian ditemukan di wilayah ini.

Pattu'du' ini dapat ditemukan di bentang alam Mandar di pesisir barat Sulawesi Selatan, kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh seorang Raja Mandiri dengan gelar Mara'dia, dibantu oleh dewan tokoh terkemuka, yang dalam bahasa resmi Sulawesi Selatan biasa disebut Hadat. Untuk membedakannya dari Maradia yang lebih rendah, yang menguasai wilayah yang lebih kecil dari mana Lanskap Berpemerintahan Sendiri dibangun, pangeran utama kadang-kadang juga disebut sebagai aradjang.

Pattu'du' muncul dari kalangan bawah serta dari kelas anggota hadat, dari topia. Dalam kasus pertama seseorang berbicara tentang pattu'du' sassaoarrang, karena tarian mereka adalah sassaoarrang, layanan wajib bagi raja, kategori kedua disebut sebagai pattoe'du' ke pia. Lebih jauh lagi, di lanskap Mandarian pattu'du' masih dibedakan menurut kampung atau distrik asalnya. Semua pattoe'du' ini membentuk kelompok terpisah yang terdiri dari sepuluh hingga enam belas anak perempuan atau laki-laki. Bahkan gadis-gadis dari kelas kerajaan suka menerapkan tarian ini; ketika gadis-gadis seperti itu hadir di pesta, mereka tidak membentuk kelompok terpisah, tetapi bergabung dengan salah satu kelompok lain, sering kali dalam pattu'du' sassauarrang. 

Perbedaan status diekspresikan terutama dalam pakaian. Gadis-gadis dari kalangan kaya dihias dengan harta karun berupa perhiasan emas senilai beberapa ribu gulden, dan mereka juga mengenakan semacam sarung negara dari kain polos yang berharga dengan ujung yang terdiri dari emas batangan kecil (a'di' ). Pakaian penari kelas bawah jauh lebih sederhana; perhiasannya juga tidak begitu banyak dan lebih murah.

Gadis-gadis nubile, yang mengenakan pakaian renang transparan yang bagus, dan gadis-gadis yang lebih kecil, yang tampil bertelanjang dada, juga dibagi menjadi beberapa kelompok. Atribut penari adalah kain sempit dari bahan halus, di salah satu ujungnya diikat semua jenis benda emas atau perak dan kipas.

Sedangkan anak laki-laki, mereka yang termasuk golongan mampu mengenakan cerutu sebagai hiasan kepala, gulungan kain merah yang dililitkan di kepala dan disulam dengan lempengan emas, pakaian yang di daerah Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan termasuk pakaian negara pangeran atau pengantin pria. Sebuah topi, biasanya dihiasi dengan manik-manik emas atau emas, adalah hiasan kepala para penari kelas bawah. Tombak, agak seperti kemoceng, dengan perisai yang menyertainya, peniup atau kipas, menjadi atribut yang digunakan oleh anak laki-laki.

Peristiwa pattu'du' terjadi terbatas pada beberapa upacara kerajaan yang berhubungan dengan ritual khusus, yang disebut pappogauang dalam bahasa Mandar. Kesempatan seperti pelantikan raja, perkawinan, pengarsipan gigi, upacara mengayunkan anak kecil, khitanan, dan lain-lain. Hanya ketika berita telah diterima dari bahwa pesta sudah dekat, pattoe'du' dimulai dari awal.
untuk memiliki tarian pattoe du di lingkaran keluarganya pada upacara-upacara penting. Di sana-sini terjadi juga pada festival pattoe'du' Mara'dia yang lebih rendah; penggunaan tersebut kemudian didasarkan pada alasan sejarah, izin dari den Aradjang, bagaimanapun, selalu diperlukan.

(Supplement op het Triwindoe-Gedenkboek Mangkoe Nagoro VII-1940)

FORMULIR UPDATE DATA SIMPUL PUSTAKA BERGERAKA


Salam Bergerak kawan-kawan semua. 🇲🇨
Semoga sehat dan selalu bahagia 😊🤲

Ditahun 2024 ini, dengan tetap membawa semangat kesetaraan, sama rasa dan sama raga. Pustaka Bergerak Indonesia terus berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada Simpul Pustaka. Oleh karena itu, diharapkan partisipasinya untuk membantu kami memperbaharui data simpul pustaka yang selama ini telah banyak membantu kita bersama.

Selain itu, pada formulir ini terdapat survei sederhana untuk meminta saran & masukan penyempurnaan layanan fasilitas Pustaka Bergerak Indonesia untuk para Simpul Pustaka. Oleh karena itu, kami harapkan diisi dengan sepenuh hati dan riang gembira serta jangan lupa siapkan secangkir kopi dan gorengan hangat jika ada 😅

Klik Link berikut :
https://s.id/updatePBI

Tidak lama, namun akan sedikit meminta waktu rekan-rekan. Tapi tenang, jika anda mengalami sedikit kesulitan. Silahkan hubungi kontak berikut :

+62 853-1172-3613 - Cak Mus
‪+62 822‑9032‑2224‬ - Sultan

Salam hangat,
Pustaka Bergerak Indonesia

Membaca Teater Tradisi Lewat Pertunjukan To Manurung dan I Pundakko.

Oleh: Sahabuddin Mahganna. 

Tomanurung dalam kisah Tokombong di wura dan To wisse ri tallang, diperkenalkan ke ruang publik lewat pertunjukan teater tradisi di Taman Budaya dan Museum (TBM) Sulawesi Barat Butut Ciping 1 Desember 2023. Garapan dua seniman Mandar Rifai Husdar dan Dalif berhasil memukau penontonnya, membangkitkan kembali gairah tontonan teater yang telah sekian lama redup di tanah ini, kendati demikian dan tidak juga begitu, sebab masih tetap ada segelintir orang yang punya kepedulian menghidupkan teater-teater meskipun di lorong-lorong, yang tidak menjadi tiba-tiba seniman ketika ada "anu".

Evoria yang disaksikan secara langsung itu, dan betapa sangat saya tertinggal karena lama berteduh di Uwake Cultur Foundation, hujan deras mengalahkan niat mem-bersama-i sejarah dan peristiwa yang baru saja berlangsung, memilih mengikuti arus diskusi, sekadar mengisi kejenuhan. Bersama Rahmat Muchtar asyik mengobrol tanpa arah yang jelas tema pembicaraan, tidak berselang lama, Syuman Saeha, Subaer Sunar, Muliady dan teman lainnya yang juga terjebak hujan itu, telah bergabung. 

Diskusi kemudian lebih mengerucut ke kajian Tomanurung dan tata kelola pertunjukan, nyatanya sangat penting untuk dipahami dengan baik dan diteruskan ke generasi dengan menyorot sudut pandang yang berbeda. 

Pemahaman tentang konsepsi Tomanurung sebagai manusia dewa, manusia pilihan, manusia yang memiliki sematan atau predikat khusus, dijunjung, didengar, serta menjadi contoh, sehingga dia bukan manusia biasa, setiap itemnya musti hati-hati dalam mewakilkan untuk beberapa hal, apalagi sebuah permainan dalam teater. 

Salah satu contoh kecil yang dilontarkan Subaer Sunar, kesaktian arung Palakka jika dibayangkan, meskipun keseharian kita hanya mengenalnya dalam catatan sejarah. 15 generasi ke atas baru dapat tau manurungnge Mallajang ri ase'na tasi' loppoe. punya nama dan makam, dan menghilang di atas lautan (1330 an). Tau Manurung kedua, La Umase Petta Panre Bassie 1423 dan seterusnya termasuk beberapa nama di Mandar. Dalam cerita berbagai suku kelahiran Tomanurung selalu dikaitkan dengan tallang (bambu), yang berarti ada proses lahir, hadir yang berbeda dengan manusia biasa. 

Pentas malam itu dalam penokohan lahirnya menjadi "manusia" biasa dengan proses biologis, tanpa sedikit menelaah bagaimana proses sesungguhnya. "Tomanurung, tidak satupun yang pernah menyaksikan secara langsung  kejadiannya", konon predikat itu tersematkan pada sesuatu (manusia). Tomanurung bukan pribadi biasa, lahir bukan atau tidak diketahui Bapak dan ibu seperti Isa  AS. Tomanurung sebagai pribadi yang ditempati Nur (biologis pasti bersentuhan dengan Nur, dengan kata lain bukan persentuhan jantan dan betina.  Karena alasan inilah sehingga jenis kelaminnya pun, ada yang menyatakan tak tunggal. Khusus perdebatan tentang jenis kelamin, dalam perspektif Bugis, ada contoh BISSU. Bissu bukan bencong, tapi tidak lelaki, tidak perempuan. 

Untuk lebih memudahkan barangkali kata "to manurung" harusnya terjadi pemenggalan antara to dan manurung itu sendiri. Manurung adalah predikat tidak terlihat oleh kasat mata, dan menjadi nampak jika dia tersematkan pada obyek (to), itupun orang-orang khusus yang sanggup memahaminya. Itulah sebabnya, kemungkinan pendahulu kita lebih memilih menamai sesuatu dengan bahasa yang berbeda, ini untuk menghindari beberapa kejadian yang akan menimpa dirinya. Wallahu Alam Bisssawab. 

Meski tidak mengapresiasi secara utuh, produksi pentas dan pemanggungan terlihat berjarak dengan publikasi dengan tulisan tradisi, kata tradisional dalam pentas mungkin masih agak kaku. Teater tradisi menurut pakemnya yakni teater tradisi rakyat dan istana, cirinya umum menggunakan bahasa daerah, dilakukan secara improvisasi, ada unsur nyanyian dan tarian, diiringi tetabuhan (musik daerah), diwarnai dengan dagelan/banyolan, ada keakraban antara pemain dan penonton, serta suasananya santai. Syuman Saeha mengatakan kalau kita merujuk ke Mandar, di sini sangat sedikit yang dapat dijadikan sebagai literatur, paling hanya Koayang, dan Kacaping dari unsur pertunjukannya saja, juga Lake (meski malu malu kucing) sedikit mendekati. Mengangkat cerita rakyat ke atas panggung teater, tidak serta merta dapat disebut sebagai teater tradisi, karena garapan tersebut hanya mengambil satu unsur dari sekian unsur yang mengusung teater tradisi. 

Ruang dan waktu yang dibangun lewat digital, mengindikasi jalur lain dari pakemnya atau boleh jadi sudah menjadi bagian dari pengembangan. Jika demikian, problemnya berarti standar penilaian tentang tradisi yang dimaksud TBM beda dengan pemahaman mayoritas publik. Sebagai fasilitator, ini bagian tanggung jawab bersama dengan para senimannya, paling tidak berdasar pada telaah dan riset . Taman budaya, selain menghibur, harus mencerdaskan dan menjadi ruang eksperimen serta menciptakan ruang pertumbuhan pemikiran kesenian.

Pementasan teater To Manurung dan I Pundakko, dalam catatan ini tidak sedang membahas kekeliruan, hanya saja keramaian atau banyaknya penonton bukan satu satunya ukuran keberhasilan sebuah pertunjukan, bukan pula dipahami adalah suatu kebenaran yang mutlak, sebab generasi yang akan datang khususnya para pemain yang polos itu, memungkinkan bisa salah kaprah dikemudian hari. 

Dengan ini, selamat untuk para yang terlibat, kepada para penonton, terkhusus buat pemerintah, dalam hal ini UPTD Taman Budaya dan Museum Sulawesi Barat yang sudah memberi ruang untuk para seniman.

FOOTNOTE HISTORIS: BAGAI PAGAR MAKAN TANAMAN

 Oleh: Prof. Dr. Ahmad M. Sewang 

Beberapa dekade lalu, saya ketemu almarhun Bapak Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH di rumahnya sepupu H. Hilaluddin bin Ismail di Jiyad, Mekah al-Mukarramah. Pertanyaan pertama yang saya ajukan bahwa saya dengar di tanah air bahwa dalam penyusun kabinet Presiden Soeharto bahwa "Bapak disebut-sebut masuk dalam kabinet untuk mengisi fortofolio kejaksaan". Beliau spontan menjawab, "Untung saya tidak terpilih masuk kabinet, andai saya terpilih, orang pertama saya tangkap adalah Pak Harto". Saya begitu kaget bercampur khawatir mendengar jawaban itu, sehingga saya tidak pernah membocorkan pada siapa pun kecuali saya tulis hari ini, karena keduanya sudah dipanggil Allh swt. Jadi saya sudah merasa aman. Selanjutnya, saya hanya ingin mendengar alasan Beliau berpandangan demikian. Beliau beralasan bahwa seharusnya Pak Harto sebagai kepala negara menjadi contoh teladan di tengah masyarakatnya yang masih susah tetapi dia mencontohkan yang buruk dengan mempraktekkan KKN

Kisah kedua. Biasanya selesai Jumatan, saya masih duduk beberapa menit selesai salat sunat menungguh jamaah, siapa tahu ada masalah kemasjidan yang ingin diadukan sebagai Ketum DPP IMMIM. Benar saja ada seorang jaksa dari Majene yang singgah berjamaah di masjid jalan Macan mengisahkan bukan kemasjidan, tetapi pengalamannya selama bertugas. Menurutnya, suatu saat ketika Prof. Baharuddin Lopa jadi Kalanwil Kejaksaan di Sulawesi Selatan ia menerima tamu. Setelah tamu itu  pulang dan kantor pun mulai di tutup. Barlop singkatan dari Baharuddin Lopa sudah siap-siap pulang. Barlop memanggil sopir dan memberitahunya "tadi saya lihat mobil kekurangan bensin karena itu kita singgah di pompa bensin dahulu mengisinya", tapi sopir bilang "sudah diisi, Pak!". Barlop bertanya kaget, "Siapa yang mengisinya"?. Sang sopir menjawabnya, "Itu tamunya tadi yang baru pulang." Barlop bereaksi, "Tetapi kita tetap ke pompa bensin!" Sambil memeritahkan untuk  mengeluarkan dahulu bensin yang diisi tadi, lalu isi ulang bensin mobil ini." Demikian kebersihan hati Barlop yang tidak ingin dikotori dengan korupsi sekecil apa pun. 

Kenyataan sekarang bahwa dua kisah di atas dianggap kisah kayangan seakan hanya terjadi di dunia khayal. Seakan kisah para bidadari yang turun lewat pelangi dari Pulau kayangan di hari mendung untuk mandi, tetapi seorang calon pangeran mengintipnya kemudian menyembunyikan pakaiannya, menyebabkan salah seorang bidadari itu tidak bisa lagi kembali ke peraduannya di Pulau Kayangan. 

Dua kisah di atas adakah kisah nyata yang sungguh terjadi dalam kenyataan dan merupakan reaksi keras Barlop melihat kondisi negaranya yang seharusnya gemah ripah loh jinawi, tetapi ulah penyelenggara negara  yang tidak jujur membuat tujuan bernegara tambah jauh.

Banyak penguasa sekarang yang punya wewenang menegakkan aturan justru merekalah melanggar aturan itu sendiri. Ini yang disindir. Nenek moyang kita pada judul artikel ini, "Bagai pagar makan tanaman," sebagai contoh:
1. Satpol PP yang seharusnya memberi contoh, bersikap netral dalam pemilu, justru ramai-ramai terang-terangan memihak,
2. Jalanan pusat kota di Medan, Sumarera Utara, yang tidak boleh dipasangi peragaan alat kampanye, justru yang tahu aturan, merekalah  yang melanggarnya.
3. Gus Miftah  sebagai ulama di Pamekasan, Madura. Seharusnya tidak money politics karena dilarang, justru terang-terangan 
membagi-bagikan  uang secara terbuka sambil menyebut nama paslon yang didukungnya.
4. Mendatangkan aparat desa di istanah yang membawa kecurigaan yang seharusnya bisa dihindari, apa lagi dekat pemilu.
5. Cap Pree Day seharusnya tidak digunakan kampanye tetapi digunakan kampanye bagi-bagi susu.
6. Alangkah legowonya jika Presiden sendiri secara tebuka memberi teladan dan berkata, "Saya berbesar hati menerima apa pun hasil pemilu. Saya sama dengan presiden sebelumnya tidak akan cawe-cawe."
7. Pelanggaran ini masih panjang jika ingin ditulis semua. Orang sekarang nampaknya lebih suka melanggar daripada ikut aturan. Ini mungkin disebut orang, Qiamat semakin dekat. Di sinilah kita memerlukan orang yang jujur, sederhana, dan berhati bersih. Kita perlu 10 orang semacam 0Barlop baru untuk memperbaiki negara ini.

Sekali lagi laksanakan pemilu  dengan penuh jurdil agar bisa meninggalkan legecy positif. Kalau tidak, akan kena sindiran nenek moyang, "Bagai Pagar Makan Tanaman." "Jangan terpengaruh apa yang ditulis orang sekarang, tetapi ingatlah apa yang ditulis sejarawan yang akan datang."

Wasalam,
Kompleks GPM, 8 Januari 2024

Sabtu, 03 Februari 2024

Bukan Menggugat Tapi Menggugah !

Eja mengeja telah kau baca
Tulis menulis telah tuntas
Pun cerita lisan sukses kau taklukkan dalam tulisan
Dengan itukah kau lupa nisan?
Pernahkah kau tulis ritus kematian?
Jika tidak, jangan beri aku status apapun
Sebab dimataku kau tak ubahnya situs
Yah, situs 
Situs yang tak mampu kau tulis, selain mitos tentang perruqdusang lalu kau mengajakku adu jotos.
Ah, pantas kau hidup dalam siklus yang tak menemukan klimaks
Jangan bersenggama dengan kegamangan sebab itu hanya akan mencumbui fikirmu dengan birahi
Dan itu hanya membuat buas 

Hari ini aku ingin bertanya 
Apa kau telah puas ?
Jangan jawab iya, sebab keangkuhanmu hanya akan menuntunku untuk menonton parade kebodohan
Yah, kau memang bisa, bisa apa saja
Tapi kau bias
Sebab hari ini kau terlalu terobsesi mengajariku abjad dari A sampai Z.
Ah, tidak. Aku tak seberani itu memanggilmu guru
Maaf !

Jika hasratmu menjadikanku berguru
Jangan ajari aku B, C sampai Z
Sebab aku tak ingin diburu
Cukup ajari aku A
Maka akan kupanggil kau guru
Jelaskan padaku tentang A
Beri tahu aku tentang garis-garisnya
Tuntun aku menemukan tekanan pada bagian tengah yang memotong bagian yang memanjang kearah luar
Dan lalu antar aku pada puncak dimana garis itu dipertemukan
Tunjukkan padaku tiga garis saling bertemu di tengah titik
Kenapa garis itu panjangnya sama?

Setelah A, kutemukan sifatnya
Aku akan takluk dan memanggilmu guru
Dan menemukan B, C dan Z disetiap inci demi inci tubuhmu
Juga pada semua yang bertubuh
Maupun dari semua makhluk yang lahir dari proses bersetubuh
Jadilah guru buatku jangan bisu
Agar aku tak jadi insan ambigu
Jadilah guru buatku
Agar aku tak menulismu dungu
Sebab kata memaksaku begitu lugu
Dan kau harus tahu itu
Jika tidak
Apa artinya fir'aun diselamatkan Tuhan ?
Maafkan aku !

Kandemeng, 03 September 2015