Minggu, 17 Desember 2023
KOA-KOAYANG
Minggu, 10 Desember 2023
JEPA
JEPA adalah makanan tradisional yang terbuat dari singkong
atau ubi yang diparut terlebih dahulu kemudian diperas untuk menghilangkan
kadar airnya dan kemudian diayak dan dicampurkan dengan parutan buah kelapa
untuk memberinya rasa gurih dan nikmat.
Jepa dapat
dijadikan sebagai bahan makanan pokok, pengganti nasi karena kandungan
karbohidratnya yang cukup tinggi, seperti yang selalu dijadikan bahan logistik
oleh para nelayan Mandar saat melaut, dimana di laut lepas mereka membutuhkan
bahan makanan yang dapat disajikan dengan cepat sebagai pengganti nasi. Pada
beberapa orang yang telah berumur dan mengidap penyakit sistemik seperti
diabetes melitus maka jepa dapat dijadikan bahan makanan non nasi yang
dikonsumsi saat makan siang dan makan malam. Kandungan
karbohidratnya kurang lebih sama dengan yang dikandung oleh nasi.
Untuk
jenis-jenis jepa anda dapat
menemukannya dalam berbagai macam modifikasi, pengggolongan jenis jepa adalah
berdasarkan bahan pembuatnya, misalnya saja : 1. Jepa katong, yaitu jepa yang terbuat dari katong atau sagu 2. Jepa golla mamea, yaitu jepa yang memiliki campuran gula merah
atau gula aren di dalamnya 3. Jepa-jepa,
yaitu jepa dengan ukuran yang lebih kecil (bahan logistik utama nelayan Mandar
saat melaut) yang dibuat dengan membuat permukaan jepa agak tipis lalu kemudian
dijemur, setelah dijemur ia kemudian dihancurkan, lalu untuk proses
penyajiannya bisa dicampurkan dengan gula aren atau dengan potongan daging
kelapa muda.
Membuat
bahan utama jepa sederhananya adalah
dengan terlebih dahulu memarut ubi kayu atau singkong, lalu kemudian hasil
parutan tersebut diperas untuk dikeluarkan kandungan airnya. Ampas yang
tertinggal lah (berwarna putih) yang menjadi bahan utama pembuatan jepa. Ini yang lalu di campur dengan
bahan-bahan lain untuk melengkapi bahan utamanya misalnya dengan menambahkan
parutan kelapa, atau gula merah (gula aren). Untuk jepa yang seperti biasanya, tanpa campuran apa-apa bahan utama ini
kemudian ditaburkan diatas piring berbentuk bundar dari tanah liat dan
dipanaskan diatas tungku. Wanita Mandar biasa menggunakan tungku yang terbuat
dari tanah liat untuk memanaskan jepa.
Untuk
membuat kuliner Mandar yang lezat ini kaum wanita atau ibu-ibu biasa membuatnya
dengan alat yang disebut dengan nama panjepangang dengan bentuk seperti piring
namun dengan permukaan yang halus terbuat dari tanah liat. Membuat jepa membutuhkan keterampilan dalam
menuang bahan baku diatas panjepangang
dengan gerakan yang agak cepat dan terukur, jika terlalu lama memanggangnya
maka permukaan jepa akan terlihat
hitam, cukup dengan membuatnya berwarna coklat keemasan maka jepa tersebut sudah bisa diangkat.
Menyinggung
soal nilai gizi jepa, sepertinya
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap hal ini. Proses pengolahannya
yang sedemikian rupa mungkin saja akan mengurangi beberapa kandungan gizi
didalamnya. Belum lagi metode pengolahan yang lama seperti misalnya dengan
pengeringan. Namun sejak dulu kuliner ini telah menggantikan fungsi beras atau
nasi sebagai karbohidrat yang notabene digunakan sebagai sumber energi untuk
tubuh. Sejatinya jepa telah lama berfungsi sebagai sumber
karbohidrat efisien yang mudah dibuat.
SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.
#ensiklopediasulbar #pusakaku_official #mandar #pusakaku
Selasa, 14 November 2023
KONE-KONE'E
KONE-KONE’E adalah salah satu jenis bahasa yang banyak
digunakan oleh komunitas masyarakat di Campalagian, Mapilli dan Nepo/buku.
Wilayah ini dikenal sebagai daerah Tallum boccoe pada masa sesudah
kerajaan Passokkorang hancur. Kone-Kone’e memiliki
sejarah yang amat unik, Campalagian pun termasuk kampung yang unik karena ia
hanya menyandang nama sebagai nama kecamatan tapi tak diketahui dan tak dikenal
dusun Campalgian,
desa Campalagian, yang ada kemudian adalah kampung atau pasar
Tomadio.
Sejatinya,
masyarakat Campalagian menggunakan bahasa Mandar, tapi ternyata tidak. Mereka
memiliki bahasa sendiri yang sangat jauh berbeda dengan bahasa Mandar. Bahasa kone-kone’e adalah bahasa Bugis
dialek ke tujuh.
Almarhum Prof.
Darmawan pernah bercerita bahwa dulu ada kampung yang bernama Cempalagi
di Bone, Sulawesi Selatan, yang didiami oleh masyarakat Bugis. Saat itu masih
jaman kerajaan, suatu hari terjadi perebutan kekuasaan antara kakak beradik
yang ingin menggantikan
tahta ayahnya sebagai raja yang telah
baru saja meninggal dunia. Pemilihan
pun dilakukan, namun karena sang kakak mempunyai watak keras, sombong dan
serakah maka tidak ada rakyat yang mendukung.
Sebaliknya
sang adik yang baik hati dan dermawan didukung penuh oleh rakyat di Cempalagi
(sebuah nama gunung yang terletak di pesisir teluk Bone), tepatnya di Desa Mallari Kecamatan Awangpone Kabupaten
Bone, kira-kira 14 km di sebelah utara kota Watampone).
Sang kakak
pun marah karena tidak terima kekalahannya. Ia pun berniat membunuh sang adik.
Berkat ketulusan sang adik, ia mundur menjadi raja dan menyerahkan tahtanya
kepada kakaknya. Namun sang kakak sudah terlanjur marah, sehingga ia tetap
tidak terima keputusan adiknya itu. Akhirnya sang adik dan semua rakyat yang
mendukungnya memutuskan untuk kabur dari Campalagi menuju daerah yang aman.
Sang kakak ternyata tetap mengejar adik dan semua rakyat yang ikut. Akhirnya
sang adik tiba di perbatasan kerajaan Balanipa (yang saat itu dibatasi oleh
sungai Mapilli). Mereka berharap mendapat perlindungan dari Balanipa
karena ia tau kakaknya tidak mungkin masuk ke kekuasaan kerajaan lain.
Selang
beberapa lama kemudian, raja Balanipa
akhirnya memutuskan untuk memberikan satu wilayahnya kepada sang adik raja Campalagi
ini untuk tinggal bersama pengikutnya asalkan mereka mau tetap tinggal di
Balanipa. Sang adik dan pengikutnya setuju dan gembira dengan keputusan raja Balanipa
tersebut.
Akhirnya mereka semua tinggal dan menetap di Balanipa dan wilayah itu diberi nama Campalagian. Jadi jangan heran jika orang di wilayah ini memakai bahasa kone-kone’e yang tak lain adalah bahasa Bugis dialek ke tujuh.
SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.
Senin, 13 November 2023
KULIWA
KULIWA merupakan ritual yang
banyak dilaksanakan oleh masyarakat Mandar entah di pesisir maupung di
pegunungan. Kuliwa dalam pandangan masyarakat terkesan menjadikannya sebagai
sesuatu yang hukumnya ‘wajib’ dilaksanakan. Kuliwa
sesungguhnya adalah simbol pernyataan syukur kepada sang pencipta atas sebuah
pencapaian atau reski dari-Nya.
Pada
masyarakat pesisir, kuliwa dilaksanakan ketika akan “meresmikan” sesuatu, baik
benda maupun kegiatan, misalnya: meresmikan perahu, alat tangkap (jala dan gae) dan ketika memulai kegiatan penangkapan. Mereka meyakini, jika
tidak melakukan kuliwa ketika akan
memulai turun ke laut (pelayaran pertama), maka boleh jadi akan ada sesuatu hal
yang merisaukan hati di dalam pelayaran.
Dalam
prakteknya, kuliwa dilaksanakan ketika akan ‘meresmikan’ sesuatu, baik benda
maupun kegiatan, misalnya: meresmikan perahu, alat tangkap dan ketika memulai
kegiatan penangkapan (setelah lama tidak melaut). Nelayan biasa juga melakukan kuliwa dalam pertengahan musim motangnga
ketika pada beberapa operasi pertama mereka tidak memperoleh hasil.
Kuliwa dilaksanakan di kediaman punggawa posasi’ yang dipimpin oleh
seorang pemuka agama (panrita) dan
dihadiri oleh awak kapal (sawi kappal). Jika meresmikan perahu, acara kuliwa (pembacaan barasanji) dilaksanakan di atas perahu. Demikian juga ketika
meresmikan roppong yang telah selesai
dibuat, tapi praktek kuliwa untuk roppong sudah lama tidak dilaksanakan.
Acara inti dalam kegiatan kuliwa
adalah pembacaan barasanji yang
dipimpin oleh seorang pemuka agama. Selesai membaca barasanji, dilanjutkan dengan pembacaan do’a kepada Allah SWT untuk
memohon keselamatan dan rezeki. Kemudian acara dilanjutkan dengan menyantap
hidangan yang telah disediakan.[1]
Pada
sebagian besar masyarakat pegunungan, kuliwa
dilakukan pada saat mendapatkan anugerah berupa pembelian barang berharga
seperti mesin atau kendaraan bermotor. Kuliwa
dilakukan dengan menggelar ritual do’a selamatan untuk barang yang mereka baru
saja beli. Bagi kedaraan atau mesin biasanya menggunakan makanan yang
manis-manis. Ini merupakan ussul agar
dalam menggunakan barang tersebut selalu diberkati oleh Allah hal-hal yang
menyenangkan dan terjauhkan dari hal-hal yang merisaukan.
SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.
Minggu, 12 November 2023
KAWAO
Senin, 06 November 2023
CALONG
CALONG (1) atau paccalong adalah ragam kesenian
tradisional yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat
Mandar. Calong ini adalah salah satu jenis musik yang sangat unik, karena hanya
terbuat dari bahan dasar buah kelapa dan bambu.
Alat
musik ini biasanya dimainkan secara solo. Pada masa sebelum tahun 90-an banyak dijumpai jenis musik ini dimainkan
oleh para petani yang sementara mitteppe
(menunggu kebun yang sudah menjelang panen) termasuk maqdongi (menjaga burung
yang mengganggu/memakan padi yang sudah berisi dan siap panen), biasa juga di
pakai di rumah-rumah pohon tempat menunggu langsat (rang-orang).
Jenis
alat musik ini kerap digunakan masyarakat sebagai penghibur dari rasa sunyi dan
kesepian (karena waktu itu belum ada alat pemutar musik). Calong ini kemudian
dalam perkembangannya mengalami kemajuan dan biasa di mainkan/di pentaskan
secara massal, seperti yang terlihat pada pembukaan pekan olahraga Provinsi
Sulawesi Barat pada tahun 2007 lalu di Polewali Mandar. Dan bahkan
Sahabuddin (Kanne Bala) memoles jenis kesenian tradisional ini menjadi sebuah
pertunjukkan yang menarik dan menghibur karena dikolaborasikan dengan beberapa
alat musik lainnya seperti biola dan harmonika yang di selenggarakan pada
peringatan HUT Sulbar ke-8 di Gor Mario Pappang Campalagian dalam pameran
dokumentasi perjuangan dan diskusi sejarah bertajuk “Mengguat Senyum Westerling” (19 November 2012).
Hal yang
sama dilakukan oleh rumah musik Beru-Beru Orchestra Kandemeng Pimpinan Ainun
Nurdin. Di komunitas ini segala macam musik tradisional dikolaborasi,
ditampilkan dalam even-even resmi dan diajarkan secara gratis (tidak ada
pungutan resmi dari pihak rumah musik).