Minggu, 12 November 2023

KAWAO

KAWAO adalah ‘gurita raksasasa’ yang dipercayai sebagai isyarat baik atau sebaliknya pertanda buruk bagi nelayan yang sedang melaut. Agar terhindar bertemu dengan kawao, perlu disiapkan sesajian berupa makanan atau telur yang dibuang ke dalam laut sebagai persembahan.
Kepercayan kepada makhluk gaib seperti kawao ini juga ditemukan dalam kepercayaan nelayan di Wakatobi dan mereka menyebutnya dengan gurita berkaki sembilan. Kawao di tengah laut bisa ditafsirkan sebagai pertanda akan terjadi musibah atau malah sebaliknya yaitu, keberuntungan. Makhluk kawao ini sering dilihat atau muncul di tempat-tempat tertentu seperti di Baturoro di Kabupaten Majene atau di Tanjung Rangas (semacam segitiga bermuda) di laut Mandar (Dahri Dahlan, Rahman Hamid, 2018).
Kemunculan kawao ditengah laut menurut Suradi Yasil (2022:81), dari kejauhan matanya yang sebesar bola kaki menyala seperti lampu listrik yang menyala kemerah-merahan. Ketika mendekat seluruh jari-jarinya (tentakel) tampak menyala di dalam laut. Ia menyerang dengan melilitkan salah satu jari-jarinya melingkari badan perahu atau menarik tiangnya lalu membalikkannya. Giginya seperti paruh burung kakatua sebesar kapak yang dapat melukai atau membunuh mangsanya.
Untuk menghindari serangan kawao, maka awak kapal ketika berada diperairan yang disinyalir tempat tinggal kawao seperti di Pulau Sembilan (antara pulau Kalimantan Selawesi), termasuk Tanjung Ngalo, Tanjung Buku dan lainnya akan memadamkan lampu atau memindahkan semua benda yang menyala di perahu. Ritual membuang terasi atau tembkau di laut adalah salah satu cara yang dilakukan para awak kapal. Ada juga yang menirukan suara kokok ayam untuk memberikan rasa takut pada makhluk ini sebab suara kokok ayam identik dengan daratan dan kawao tidak menginginkan tinggal di dekat perkampungan.
SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.

 

Senin, 06 November 2023

CALONG

CALONG (1) atau paccalong adalah ragam kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Mandar. Calong ini adalah salah satu jenis musik yang sangat unik, karena hanya terbuat dari bahan dasar buah kelapa dan bambu.

Alat musik ini biasanya dimainkan secara solo. Pada masa sebelum tahun 90-an  banyak dijumpai jenis musik ini dimainkan oleh para petani yang sementara mitteppe (menunggu kebun yang sudah menjelang panen) termasuk maqdongi (menjaga burung yang mengganggu/memakan padi yang sudah berisi dan siap panen), biasa juga di pakai di rumah-rumah pohon tempat menunggu langsat (rang-orang).

Jenis alat musik ini kerap digunakan masyarakat sebagai penghibur dari rasa sunyi dan kesepian (karena waktu itu belum ada alat pemutar musik). Calong ini kemudian dalam perkembangannya mengalami kemajuan dan biasa di mainkan/di pentaskan secara massal, seperti yang terlihat pada pembukaan pekan olahraga Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2007 lalu di Polewali Mandar. Dan bahkan Sahabuddin (Kanne Bala) memoles jenis kesenian tradisional ini menjadi sebuah pertunjukkan yang menarik dan menghibur karena dikolaborasikan dengan beberapa alat musik lainnya seperti biola dan harmonika yang di selenggarakan pada peringatan HUT Sulbar ke-8 di Gor Mario Pappang Campalagian dalam pameran dokumentasi perjuangan dan diskusi sejarah bertajuk “Mengguat Senyum Westerling” (19 November 2012).

Hal yang sama dilakukan oleh rumah musik Beru-Beru Orchestra Kandemeng Pimpinan Ainun Nurdin. Di komunitas ini segala macam musik tradisional dikolaborasi, ditampilkan dalam even-even resmi dan diajarkan secara gratis (tidak ada pungutan resmi dari pihak rumah musik). 


Jumat, 22 April 2022

SAMBUTAN KELUARGA BESAR Hj. SITTI MAEMUNAH DJUD PANTJE

 


Assalamu Alaikum Wr. Wb.

 

            Hamdan wa Syukran Ilallah, Shalatan wa Salaman ‘ala Rasulillah. Pertama-tama, atas nama pribadi dan keluarga, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Pemerintah Sulawesi Barat terutama Adinda Muhammad Munir dan semua yang terlibat dalam proses penerbitan buku ini. Terima kasih, telah bersedia meluangkan waktunya untuk melacak jejak Hj. Maemunah Djud Pantje yang notabene kakak kami dari pihak ayah, Muhammad Saleh. Kami tentu bahagia, sebab tiba-tiba saja keluarga kami dari Baruga Majene menelpon ke Makassar sekaligus menyambungkan kepada Dinda Muhammad Munir. Hari itu Munir menyampaikan hasil penjejakannya terhadap sosok Maemunah mulai dari kampung kelahirannya sampai ke tempat pemakaman terakhirnya di Pekuburan Dadi Makassar.

 

            Upangipi sala toi, jika kemudian buku ini bisa terbit, sebab selama ini kami tak pernah berfikir membukukan apalagi harus membentuk tim penulis untuk menuliskan jejak Maemunah sebagai sosok pejuang, sebab keluarga kami berjuang adalah pilihan hidup, lain tidak. Jika saja Memunah berfikir sebagai pribadi, ia tentu tetap menjadi guru atau pejabat pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian, ia bisa menikmati hidup dengan nyaman dan berlimpah materi. Tapi pilihan untuk berjuang bersama rakyat adalah keputusan yang tak mungkin dicegah. Begitupun konsekwensi atas perlawanan yang dilakukannya harus membuatnya menderita, bahkan nyaris seumur hidupnya ia habiskan demi perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Saya sekeluarga ikut merasakan bagaimana rasanya hidup dalam kungkungan penjajahan.Betapa masa-masa pergolakan di Mandar ikut membuat kami harus terusir dari tanah kami dilahirkan.

 

            Sebagai saudara, Maemunah adalah sosok yang akan terus kami banggakan. Tak peduli apakah sebagai pejuang ia diberi penghargaan atau tidak. Sebab harga yang telah dibayarkan Maemunah selama hidupnya tentu tak akan mampu kami takar. Terlebih jika harus menggunakan nama besarnya untuk ajang gagah-gagahan. Maemunah adalah guru , pejuang yang tak kenal kompromi. Bagi kami dan bagi Maemunah sendiri memilih hidup bermanfaat bagi sesama, ia ingin hadir membahagiakan, bukan untuk membahayakan. Itulah makanya, nyaris selama hidupnya ia tetap berjuang guna memberi manfaat pada Mandar dan bangsa Indonesia.

 

            Sebagai keluarga, kami tau dan kami faham. Sejak wafatnya, ia dimakamkan di Pekuburan Dadi Makassar bersama ribuan warga masyarakat Makassar. Tak ada yang istimewa dari makamnya. Tak ada penanda yang mencerminkan sebagai sosok pejuang. Itu kami biarkan, sebab kami bukan type keluarga yang haus dengan penghargaan dan penghormatan. Kami biarkan begitu, sebab bangsa ini sejak lahirnya, slogan Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Pahlawannya kerap didengungkan dalam setiap momentum. Dan ketika Dinda Muhammad Munir berinisiatif menulis buku tentang beliau, praktis kami mendukung sepenuhnya hingga buku ini lahir sebagaimana adanya. Harapan kami tentu saja menginginkan jejak beliau bisa kembali dibaca minimal oleh keluarga besar kami, bersyukur jika kemudian bisa diakomodir sebagai bacaan umum di sekolah-sekolah di Mandar.

 

            Proses lahirnya buku ini juga kami tak ingin terlibat secara penuh selain mendukung, sebab kami sepenuhnya memberikan restu dan kewenangan kepada penulis untuk mengungkap dan menyingkap Sosok Maemunah sesuai data dan fakta yang ada. Kami bahkan tak ingin memberi catatan apresiasi andai penulisnya tidak memohon dengan sangat. Makanya apresiasi ini kami buat kepada pemerintah dan kepada penulis saja, sebab yang anda baca pada buku ini adalah hasil penjejakan murni dan ditulis berdasarkan data yang ada. Andai kata buku ini kemudian menghasilkan rekomendasi bahwa Maemunah adalah sosok yang layak diusulkan sebagai Pahlawan Nasional, semua kami serahkan kepada pemerintah dan kepada masyarakat Mandar Sulawesi Barat.

           

            Akhir kata, semoga semua yang terlibat dalam proses lahirnya buku ini diberikan umur yang panjang, sehat dan sukses serta ma’barakka’ diseseta iyanasanna. Amin.

 

Makassar, 30 September 2021

 

 

 

 

ABRAR

 

Rabu, 20 Oktober 2021

KORO'ANG MALA'BI' MAHAKARYA YANG ASING DI NEGERI MALAQBIQ.

 



KORO’ANG MALA’BI’ adalah Al-Qur’an terjemahan Bahasa Mandar yang dilengkapi dengan bahasa Indonesia. Project Penyusunan Koro’ang Mala’bi’ ini digagas oleh Prof. Dr. Idham Khalid Bodi yang terbit pertama dalam bentuk 30 Juz dan dicetak kerjasama dengan Pemda Majene sebelum kemudian diterbitkan secara resmi di Makkah pada tahun 2005.

Koroang Mala’bi’ ini sudah proses cetakan ketiga yang dalam setiap cetakan disertai dengan revisi. Tahun 2019 merupakan tahun dimana tahapan revisinya digarap secara besar-besaran dengan melibatkan sebanyak 32 tim pentashih, termasuk penulis. Penulis terlibat sebagai tim pentashih ini diajak langsung oleh Dr. Idham Khalid Bodi saat proses finalisasi di Villa Bogor Majene yang dilaksanakan selama 3 hari yaitu dari tanggal 4 – 6 Agustus 2019.

SEJARAH PENERBITAN KOROANG MALA'BI'

Penyusunan Koroang Mala’bi’ dimulai pada tahun 1995. Berawal dari sebuah kerinduan terhadap kampung halaman yang kemudian disalurkan lewat penyusunan terjemahan Juz Amma ke dalam bahasa Mandar. Idham yang saat itu masih aktif sebagai mahasiswa Pendidikan Bahaa Arab IAIN Alauddin (sekarang UIN) Makassar, menyampaikan hasil tersebut kepada para ulama dan budayawan Mandar. Apa yang dilakukan oleh Idham tersebut diapresiasi oleh para alim ulama untuk ditindak lanjuti menerjemahkan al-Quran Bahasa Mandar 30 Juz.

Tahun 1998, oleh MUI Sulawesi Selatan menerbitkan SK No. 114/MUISS/SK/1998 Tentang Panitia Penerjemahan dan Penerbitan Al-Quran Mandar Indonesia dengan komposisi Penerjemah, Muhammad Idham Khalid Bodi. Ketua Panitia; Dr. H. Ahmad M. Sewang, MA. Sekretaris; Muhammad Idham Khalid Bodi, dan Bendahara Drs. Mahmud Hadjar. Adapun Pentashih Bahasa Mandar adalah Drs. KH. Abdul Rahman Halim, MA (koordinator) dan anggota Dr. KH. Sahabuddin, Husni Djamaluddin, Drs. Ahmad Sahur, M. Si. Dan Drs. Suradi Yasil. Surat Keputusan tersebut ditanda tangani oleh KH. Sanusi Baco, Lc. (Ketua MUI Sulawesi Selatan) dan Dr. Hamka Haq, MA (Sekretaris MUI Sulawesi Selatan).

Pada awalnya, terjemahan Al-Quran ini hanya menggunakan bahasa Mandar. Akan tetapi atas saran dari Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH, agar memasukkan terjemahan bahasa Indonesia dengan alas an, bahwa masih banyak orang Mandar yang belum bisa berbahasa Indonesia, demikian juga sebaliknya. Diharapkan dengan membaca terjemahan tersebut, orang lebih mengenal bahasa Mandar, jadi semacam kamus.

Pada tahun 2000, Ketua Panitia (Ahmad M. Sewang) atas usul dari Baharuddin Lopa untuk menjejaki kemungkinan akan diterbitkannya terjemahan ini di Arab Saudi. Pada tahun tersebut, Ahmad Sewang ke Rabithah Alam Islami sebagai organisasi terbesar di Arab Saudi dan dari sana disarankan untuk memohon ke Mujamma’ Malik Fahd di Madinah. Karena terbatasnya waktu, maka proposal tersebut di kirim ke lembaga tersebut. Pihak Mujamma menyambut dengan baik sehingga Direktur Mujtama yang juga pengajar di Universitas Madinah mencari mahasiswa asal Indonesia, khususnya yang berasal dari Mandar. Ternyata di Universitas Madinah ditemukan mahasiswa dari Mandar, yakni Irwan Fitri Atjo. Saat liburan, Irwan ditugaskan pulang ke Indonesia untuk mencari penerjemah dan membawa Al-Quran Terjemahan bahasa Mandar utuh 30 Juz.

Sesampainya ke Indonesia (Makassar), Irwan menemui Idham Khalid Bodi dan menceritakan kemungkinan akan diterbitkannya terjemahan ini di Arab Saudi. Karena terjemahan belum di tashih semuanya, maka Idham berjanji akan mengantar langsung naskah tersebut ke Arab Saudi tahun 2001 (saat musim haji). Sebelum ke Arab Saudi (menunaikan ibadah haji), Idham mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk file yang tersimpan dalam disket (saat itu belum dikenal flash disk maupun hardisk eksternal). Termasuk menghubungi Baharuddin Lopa mengatur jadwal bertemu dan menysun langkah selanjutnya. Sesampainya di Mekah, Idham kembali menguubungi Baharuddin Lopa di Jeddah karena saat itu masih menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di Arab Saudi. Idham dan Baharuddin Lopa sepakat akan bertemu dua hari kemudian di Azisiyah, Mekah.

Setelah menunaikan ibadah haji, Idham ke Madinah untuk arba’in dan menemui Irwan untuk menghadap ke Direktur Majamma’ Malik Fahd. Ia disambut dengan sangat luar biasa dan disepakati bahwa Mujamma’ akan menerbitkan naskah tersebut untuk ummat, tanpa royalty. Semua Lillahi Ta’ala.

Tahun 2005, al-Quran Bahasa Mandar benar-benar diterbitkan. Dicetak sebanyak 20.000 eksemplar dan menjadi satu-satunya bahasa daerah yang diterbitkan di penerbit bergengsi tersebut, bersanding dengan terjemah bahasa-bahasa negara di dunia. Masalahnya kemudian karena penerbitan di Arab Saudi ini tidak melalui prosedur kenegaraan di Indonesia, tidak melalui Kementerian Agama RI (Dalam hal ini Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran). Sementara semua mushaf yang beredar harus ada tanda tashih dari lembaga tersebut. Drs. H. Fadhal AR, M.Sc, sebagai Kepala Pusat Lektur yang membawahi Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran menyarankan agar Al-Quran-Mandar tersebut tetap ditashih sebelum beredar. Tim pun dibentuk untuk maksud tersebut, dan tetap melibatkan penerjemah. Pentashihan dilakukan di Ciawi, Bogor selama sepekan.  

KOROANG MALA'BI' YANG ASING DI NEGERI MALAQBIQ.

Tahun ini, 2021 Sulawesi Barat berumur 17 tahun. Setahun lebih tua dari diterbitkannya Koroang Mala'bi' oleh Negara Saudi Arabiyah. Penerbitannya tak tanggung tanggung, 20.000 eksemplar kendati tanpa royalti khusus kepada penyusunnya. Lalu apa hubungannya antara Sulbar Malawbiq dengan Koroang Mala'bi'?. Pertanyaan ini harusnya dijawab oleh pemangku kebijakan di wilayah ini. Tapi bgaimana mungkin bisa menjawabnya, barangnya saja masih menjadi benda asing.

Berkaca pada negeri Arab,  bisa dibayangkan berapa budget yang harus digelontorkan untuk biaya produksi 20.000 eksemplar Koroang Mala'bi'. Jika dikonversi dalam nilai rupiah, bea cetak stiap eks Koroang Mala'bi' berkisar Rp. 250.000. Itu artinya Negara Arab merogoh kantongnya senilai 5 Miliyar. 2 Tahun lalu, sebuah proposal disodorkan lewat Gubernur, Sekprop, Ketua dan Unsur Pimpinan DPRD Sulbar. Penawaran untuk penggandaan sebanyak 10.000 eks dengan anggaran 2,5 M (10.000 kali 250.000).

Usulan itu sempat dibincang dalam agenda rapat Banggar pada tahun 2020, namun setelah rapat selesai, informasi terkait proposal itu tak pernah ada. Kepada OPD kembali diusulkan namun terkendala regulasi dimana harga kitab suci pada OPD terkait berada diangka Rp. 200.000,- yang secara otomatis tak bisa diakomodir. Disatu sisi pengadaan buku dan karya cetak di wilayah ini nominalnya cukup pantastis. Pantaskah ini dilakukan di negeri berjuluk Malaqbiq ini? Jawabannya bisa pantas, bisa juga tidak, sebab inilah ending dari sebuah pengusulan.

Terlepas dari itu semua, saya hanya ingin mengutip salah satu firman Allah: Inna Nahnu Nazzalnadz Dzikra  Fainna Lahu Laa Hafidzun. Kepada Allah jua kami serahkan, semoga Pemerintah Sulbar dipantaskan oleh Allah untuk menjadi bagian dari pemelihara Al-Quran sebagaimana Allah juga ikut melakukan pemeliharaan. Semoga tulisan ini sekaligus menjadi proposal agar maha karya anak Mandar ini tidak asing bagi anak negerinya. Setidaknya, bisa dijumpai pada setiap masjid yang ada di wilayah Sulawesi Barat. Amin. Barakallahu Fiikum.