Minggu, 06 Mei 2018

Melacak Jejak Topole di Balitung (2) "Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"

Melacak Jejak Topole di Balitung (2)
"Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"

Diskusi di Rumah Baca Akar, Kandang Gapabel Belitung

Bertolak dari Bandara Soekarno Hatta tepat jam 10.25 pada Minggu pagi melalui Terminal 1A gate 4 Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ribuan rasa menyeruak yang membuatku terus membatin. Setelah tiba di Belitung, saya mengarah kemana ya? Postingan saya di grup Literasi Bangka Belitung tak ada respon, sampai kemudian pesawat Boeing 737 maskapai penerbangan Lion Air. Udara kian terik ketika pesawat tepat menyentuh runway Bandara Belitung. Pukul 11.30 para penumpang bergegas mengambil barangnya dari atas kabin pesawat. Sejurus kemudian mereka beranjak dan berjalan bagai serdadu menuju pintu keluar bagian depan pesawat. Aku masih duduk dengan tenang.
Aku sengaja menjadi orang yang terakhir turun dari pesawat. Kurogoh kantong jaketku dan mengeluarkan gawai untuk terhubung dengan dunia diluaran sana. Harapan terbesarku adalah sebuah pesan yang bisa menolongku untuk melangkah pasti ketika kali pertama kakiku menjejak di tanah Belitung. Harapan itu ternyata tak ada. Begitupun dengan yang kuharapkan dari WAG Literasi Bangka Belitung. Ada asa yang terus kueja dalam benakku bahwa tujuanku ke Belitung jelas merupakan sebuah wujud pengabdianku pada tanah lehurku, Mandar.
Satu keyakinan bahwa di Belitung ini, ada leluhurku yang merelakan seluruh apa yang dia miliki dan apa yang ada padanya menjadi nutrisi bagi tanah Belitung. Inilah spirit yang terus membangun jiwaku pada satu harapan bahwa: Ketika kakiku menginjak bumi Laskar Pelangi ini, maka semua yang punya tapak di tanah ini pasti merasakan getarannya. Keyakinan itu yang membuat jiwa besarku melangkah menuju terminal kedatangan Bandara.
Dalam terik yang kian menusuk ubun, ada sebuah pemandangan yang menghentak ketika akan melangkah masuk dalam terminal kedatangan bandara. Tepat diatas bangunan bandara, sangat jelas sebuah kalimat bertuliskan Bandara Internasional H. AS. Hananjoedin. Yah, Bandara Internasional yang dimiliki oleh sebuah daerah sekelas kabupaten Belitung. Saya nyaris tak percaya, jika di Kabupaten Belitung bagian barat ini memiliki fasilitas. Berskala Internasional.
Berada diantara ratusan penumpang di Terminal kedatangan, saya melihat sosokku berada di hutan belantara. Rimbun semak manusia tak satupun aku kenal. Dengan sisa tenaga aku terus berjalan menyusuri petunjuk keluar bandara, kata exit bagiku sudah sangat hafal dan faham. Begitu tiba diluar bandara, para driver silih berganti menawarkan layanan antar dan paket penginapan. "Maaf, saya dijemput sama keluarga, Mas". Begitulah aku berdalih pada mereka. Toh saya juga belum tahu akan mengarah kemana, sebab dari WAG tak satupun tanggapan yang masuk. Setelah sebatang rokok Urban kunikmati, kucoba melangkah ke arah kanan pintu terminal. Disudut kanan itu terdapat sebuah Kantin Darma Wanita Bandara. Sekedar mengisi waktu sekaligus membayar tagihan perut yang sejak pagi belum terpenuhi. Soto daging dan segelas kopi susu jadi pilihan.
Sekali-sekali saya mengintip layar ponsel dan berharap ada info dari member WAG Bangka Belitung Literasi. Tak terhitung berapa batang rokok yang saya jadikan nisan pada mangkok soto sebagai asbak. Suara adzan tanda waktu dhuhur berkumandang dari masjid yang tak jauh dari bandara. Kuucap syukur alhamdulillah seiring takbir Allahu Akbar dengan lirih. Kepada Tuhan jualah segalanya kuserahkan, sebab Dialah pemilik dan penentu segala rencana. Ketika sedang asik-asiknya menyeruput kopi, tiba-tiba handphone-ku bergetar. Ternyata ada pesan masuk di WAG. Kali ini pesan yang masuk ada di beranda WAG Literasi Bangka Belitung. Sederet kalimat komentar tersusun beberapa baris. Pesan dari salah satu member WAG yang mengucapkan selamat datang di Belitung.
Kalimat selanjutnya adalah permintaan maaf sebab tak bisa menjemput ke Bandara lantaran hari ini bertepatan hari Bumi, 22 April 2018. "Kak Munir keluar dari bandara via taksi menuju ke belakang stadion dibawah warna-warni, biasanya sopir faham itu sekret Gapabel". Komentar yang singkat itu laksana terpaan hujan ditengah kemarau. "Siap. Saya menikmati suasana dulu di bandara". Tulisku pada komentar sebagai basa basi. Bandara Bulutumbang yang sekarang menjadi Bandara Internasional H. AS. Hananjoedin ini tak lagi jadi penjara bagiku. Setidaknya aku sudah bisa bergerak dengan arah yang jelas.
Gapabel (Gabungan Pecinta Alam Belitung) itulah yang akhirnya menjadi titik awal kehadiran saya dalam misi pelacakan Jejak I Calo Ammana Wewang. Jejak itu mulai mulai tampak sekaligus menandai tapak pertamaku ketika keluar dari bandara. Sopir Taksi bernama Abus (62 tahun) mengantar saya ke Kandang Gapabel. Dalam perjalanan menuju secret Gapabel, Pak Abus yang ternyata orang Bugis ini banyak memberi info terkait Belitung setelah mengetahjui bahwa saya dari Sulawesi.
Hanya dalam hitungan belasan menit kami sudah tiba di Stadion Tanjungpandan. Kami mengelilingi jalanan disekitara stadion mulai dan sampai di depan Kantor Kelurahan Pangkallalang Kec. Tanjungpandan kami harus bertanya pada warga sekitar tentang Warna-Warni. Ternyata warga faham betul tentang Warna-Warni yang ternyata adalah WW.House Belitong. Kami kemudian memutar untuk mencari dimana Kandang Gapabel berpijak. Sempat mobil kami melampaui Kandang yang kami cari, tapi rupanya Dita (Penanggungjawab Rumah Baca Akar Belitung) melihat mobil kami melintas. Ia kemudian menelfonku Via WA, dan meminta kami segera putar haluan untuk kembali.
Dari jarak yang tak terlalu jauh, nampak seorang wanita berkaca mata bening yang langsung menyapa ketika mobil yang saya tumpangi berhenti. Sebuah bangunan mungil model panggung yang cukup artistik. Di beranda terdapat beberapa anak kecil yang sementara mewarnai gambar. Begitulah Dita dan beberapa personil selama ini memesrai anak-anak Belitung dalam penguatan literasi anak-anak. Rumah Baca Akar merupakan bentukan program baru dari Gapabel untuk berkonstribusi dalam mencerdaskan anak negeri ini melalui Jaringan Pustaka Bergerak Indonesia besutan Nirwan Ahmad Arsuka dkk.
Rumah Baca Akar memang masih baru dan menjadi satu-satunya rumah baca di Kota Tanjungpandan. Barang-barang di bagasi mobil yang terdiri dari rangsel dan bagtour kin berada di Beranda. Selain Dita dan anak-anak yang sedang asik mewarnai gambar, ada juga anak muda bernama Danu yang menyambutku dengan sangat ramah. Masyarakat Belitung pada umumnya sopan dan hormat pada tamu. Belajar dari Sopir Taksi dan warga yang saya tanya tentang secretariat Gapabel tadi menjadi indicator penilaian. Mereka langsung cair dan responsip.
Dita dan Danu menemaniku berbincang-bincang santai. Kami berhadapan dimeja yang terbuat dari rangka perahu tradisional Belitung. Panjang perahu sekitar 2 meter. Bagian atas ditutup dengan triplek 5 mm sehingga berfungsi ganda, bisa meja untuk belajar sekaligus meja buat ngopi bareng. Selang beberapa menit kemudioan, muncul sosok yang agak kekar. Tubuhnya besar agak hitam manis. Rupanya Bang Jokie (demikian sapaan pria yang bernama lengkap Jookie Vebriansyah ini) inilah penggagas Gapabel. Bang Jokie ternyata sosok yang sangat peramah. Tadinya saya agak ragu dan segan melihat penampilannya. Tapi setelah mulai diskusi nampak sebuah pribadi yang sangat arif dan empati.
Bang Jokie, Danu dan Dita sibuk mengontak beberapa personil Gapabel. Dalam hitungan menit, sosok muda yang bernama Wahyu Kurniawan muncul. Kami berjabat tangan. Tak lama kami pun larut dalam diskusi. Saya mengutarakan maksud kedatangan ke Belitung. “Saat ini kami sedang mempersiapkan penulisan Biografi salah seorang Tokoh Pejuang Mandar yang akan diusulkan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan dari Mandar Sulawesi Barat. Bel;iau adalah I Calo Ammana Wewanng yang bergelar Topole di Balitung. Beliau ini dibuang Belanda tahun 1907 dan berdiam kembali ke Mandar pada tahun 1944”.
Wahyu dan semuanya maksyuk mendengarkan penuturan saya. Wahyu kemudian mengambil kamere digitalnya dan meminta saya untuk berpose bersama Dokumen tentang I Calo Ammana Wewang dengan memperlihatkan selembar Kaos Oblong bergambar I Calo Ammana Wewang dengan tulisan ditas foto “Topole di Balitung”. Kaos tersebut sebagai penegasan bahwa kami sejak dulu mengenal Belitung dalam gelar salah satu pejuang kami. Rupanya Wahyu adalah seorang Jurnalis di Media POS Belitung. Ia mengorek keterangan dari saya untuk rilisnya di Koran Harian Terbesar oplahnya di Belitung ini. Selain Jurnalis, ia rupanya seorang Penulis Buku. Hal itu saya tau ketika ia menyerahkan satu eks buku dengan cover warna oranye berjudul “Tambang Timah Belitong Dari Masa ke Masa”. Setelah cukup keterangan, ia kemudian pamit dan berlalu meninggalkan Kandang Gapabel. Bang Jokie, Danu, Dita masih menemani kami dengan kopi dan penganan alakadarnya di sore menjelang senja itu.


                                                   Minggu, Rumah Baca Akar, 22 April 2018


Melacak Jejak Topole di Balitung (1) "Iyau Tomandar"

Melacak Jejak Topole di Balitung (1) 
"Iyau Tomandar"


Malam kian beranjak. Gerimis sempat mengintip malu-malu ketika usai makan malam bersama keluarga besar Rumpita di Warung Barokah di sudut kiri simpang tiga Taman Kota Tinambung yang terdapat Patung Andi Depu. Warung Barokah menjadi alternatif bagi keluarga Rumpita untuk jika dalam kondisi emergency. Warung Barokah bersih, makanannya enak dan dikelola oleh orang Jawa. Menu favoritku di warung ini pasti nasi goreng kalau bukan pangsit. Menunya pas dan terkesan murah untuk sekedar memanjakan lidah. 1 porsi nasi goreng maupun pangsitnya hanya dibandrol 10K.
Begitulah, setelah ngopi dan sedikit diskusi dan berwejangan sama anak-anak Rumpita terkait beberapa agenda Wisata Buku, saya akhirnya berkemas untuk bersiap-siap berangkat ke Makassar. Asrar mengambil peran menunggu mobil yang kemudian disusul oleh Kadir, Adhy, Nizar, Ade, Indi dan tentu saja Erna, mamanya Ibnu. Erna, sosok wanita yang dengan setia merangkai do'a untuk saya, kendati harus melupakan kenikmatan do'a untuk dirinya. Tepat pukul 22.30 menit, mobil Bus Sipatuo milik perusahan PIPOSS berhenti tepat di depan Masjid Nurul Amin Kandemeng. Sisa kopiku masih sempat kuseruput untuk selanjutnya saya berjalan menuju ke arah depan dimana mobil dan anak-anak Rumpita menunggu.
Satu persatu kusalami, Aku larut pada lingkup berkah ketika doa kulangitkan diantara pelukan kasih sayang dan ciuman mesra pada kening istri dan anakku sebagai pola pamitan. Terima kasih sayang. Kau masih setia dan merelakan duniamu kugelapi dan kuterangi ! Aku berangkat sayang. I Love You.... Mesin mobil menderu, sedetik kemudian bergerak pelan pada saat saya sudah duduk tenang di Jok kursi nomor tiga dibelakang kondektur dan sopir. Dibilangan 21 April 2018 Pukul 22.40 menit menandai perjalanan panjangku dimulai.
Bertolak dari Kota Para Daeng (Mandar) menuju Kota Daeng (Makassar). Route Tinambung, Polewali, Pinrang, Parepare, Barru, Panggkep, Maros berujung pada gerbang Bandara Internasional Hasanuddin. Dingin AC mobil terasa menyengat sampai keulu hatiku ketika kondektur berteriak Bandara....bandara....Lewat pintu bandara, mobil melaju masuk ke arah pintuk keberangkatan bandara. Disamping jalan kiri kanan sepanjang akses ke termanal bandara, nampak promosi OPPO F5 berjejer laksana serdadu.
Lebih dekat ke terminal OPPO diganti dengan promosi produk Class Mild. Hingga saat jarum jam menunjuk angka 04-50 mobil berhenti tepat dipintu keberangkatan. Saya bangkit dari tempat duduk menuju pintu keluar mobil bagian depan. Pas di trotoar pintu terminal keberangkatan, puluhan anak-anak berhamburan menyerbu ke arah Bus yang saya tumpangi. Bocah-bocah itu ternyata kawanan kuli panggul di bandara. Kendati mungkin keberadaannya tidak resmi, sebab rata-rata mereka adalah anak usia sekolah atau dibawah umur tapi paling tidak ada yang menarik untuk saya catat dari mereka itu. Menunggu bag tour yang semalam saya bagasikan lewat kondektur, belum sempat saya sentuh kopor itu sudah ditadah sama bocah-bocah kecil itu.
Saya berusaha merebutnya tapi dia malah memotong jarak dan melompati pembatas besi tang terdapat di koridor terminal bandara. Hanya satu kata yang terucap dari mulutnya saat saya ikut dibelakangnya, "Saya bantuki pak, ndak usah dibayar". Beberapa saat kemudian bag tourku diletakkan pas dipintu masuk bandara. Kendati ia mengatakan tidak usah bayar, tapi sebagai manusia, tentu saja uang 2.000an bukan masalah, justru lembaran 5.000an yang saya serahkan. Pukul 06.00 pagi, setelah melalui pintu yang terdapat detektor dan pelayanan boarding pas saya langsung menuju ke eskalator sebab panggilan untuk Chek In sudah ada.
Pesawat milik maskapai penerbangan Lion Air ini mengantar penumpang tujuan Jakarta termasuk saya yang transit di Jakarta untuk menuju ke Kota Timah Belitung. Setelah melewati waktu tempuh 2.15 menit, pesawat akhirnya mendarat di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng tepat pada jam 07.15 menit waktu Jakarta. Tiba diterminal kedatangan. Barisan pekerja jasa travel dan hotel segera menyerbu menawarkan diri untuk layanan antar ke tujuan. Dipintu keluar bandara, segera kuambil arah kiri untuk masuk ke Terminal Keberangkatan 1 sambil menunggu penerbangan ke Belitung.
Didalam area terminal keberangkatan segera kukabarkan pada sanak famili sebab jam 10.00 pesawat tujuan Jakarta Belitung lepas landas. Pagi di lembar 22 April 2016 kurenda di ruang tunggu Gate 4 Bandara Soekarno Hatta. Saat Handphone kuaktifkan, puluhan pesan via WA masuk dari grup keluarga Rumpita. Termasuk pesan dari Yuyun Husni Djamaluddin, yang menanyakan tindak lanjut dari hasil kesepakatan di Hotel Maleo Mamuju mengenai pengembangan dunia literasi. Belum sempat japriannya kubalas, beliau menelpon langsung. Poin penting dari percakapan kami adalah spirit yang kerap ia ingat dari almarhum ayahnya, "Iyau Tomandar". Bahasa yang singkat, namun penuh makna yang dalam dan panjang untuk dinarasikan. Selain menjadi pengisi waktu menunggu pesawat, rupanya diskusi saya dengan doktor cantik putri Sang Beruang Sulbar atau Panglima Puisi ini ternyata memberi spirit untuk perjalanan saya ke Belitung.
Maka, sepakatlah saya dengan Mbak Yuyun bahwa Diskusi Remapping Sulbar harus mengusung tema Iyau Tomandar. Demikian hasil perbincangan saya dengan dosen Perpolisian Masyarakat yang pada Debat Kandidat Pilgub Sulbar 2017 lalu menjadi Host atau pemandu. Spirit "Iyau Tomandar" dari Yuyun ini sampai ke Belitung menjadi sebuah jawaban bahwa melacak jejak seorang diri dengan obyek Melacak Jejak Topole di Balitung ini merupakan tindakan berani dan nekat. Begitulah teman-teman di Kandang Gapabel mencandaiku. Jawaban singkat saya "Iyau Tomandar" Pesawat akhirnya take off menuju Belitung, Kota Laskar Pelangi tepat jam 10.30 dan tiba di Bandara Belitung jam 11.25 menit.


                                                          Jakarta-Belitung, Minggu 22 April 2018

Minggu, 06 Agustus 2017

CATATAN KECIL DISKUSI LITERASI BERSAMA WAKIL BUPATI MAJENE





Oleh : Muhammad Munir
 
Ba’da ashar, gerbang depan Stadion Mandar Majene seketika menjadi lautan buku. Masyarakat Majene mulai dari umur balita sampai kepada orang tua menyemut memadati area Lapak Buku pada edisi IV Majene Membaca, tanggal 8 Agustus 2017. Para pengunjung Lapak Baca sontak dikejutkan oleh salah salah seorang pengendara motor yang berhenti pas didepan palang pembatas untuk masuk ke area Lapak Baca. Seorang lelaki turun dari boncengan motor dan berjalan menuju area lapak baca. Sebuah pemandangan yang membuat para pengunjung tersadar bahwa orang yang datang mengahampiri lapak baca itu ternyata bukan pengunjung biasa.
Lelaki itu adalah  Pak Lukman, Wakil Bupati Majene yang singgah di Lapak Buku Rumpita karena tertarik dengan kaos bergambar dan bertuliskan Kacaping. Tak ayal lagi, ia menjadi obyek jepretan kamer saat mulai membuka plastic baju sampai ia membayarnya langsung ke salah satu personil Rumpita. Beliau dating memenuhi undangan para penggiat literasi untuk berdiskusi dan lesehan.


Lukman, S. Pd., M. Pd. Demikian nama lengkap beliau. Saya tentu harus menjabat tangan beliau dan mengucapkan terima kasih kepada beliau atas apresiasinya terhadap gerakan ini. Meliahat beliau, tak ada yang terbersit dalam ingatan saya selain sebuah peristiwa pada tahun 2002 sebelum daerah ini berwujud sebagai provinsi Sulawesi Barat. Entah beliau masih ingat atau tidak, saya bahkan pernah akrab dan menginap dirumah kediamannya. Saat itu, penulis bersama Masruddin (Pegawai Pertanahan Kabupaten Majene) aktif sebagai distributor CNI, salah satu perusahaan multi level marketing terkemuka di Indonesia. Lukman terdafatar sebagai distributor CNI dan Masruddin sebagai up-linenya. CNI pada tahun 2002 itu mencapai ledakan jumlah distributor melalui produk pupuk Plant Catalys. Penulis sebagai distributor memang sangat aktif membantu mitra dalam sosialisasi dan persentasi dilapangan. Penulis bahkan sampai ke Mamuju, Bambaloka, Lariang, Tikke, Pasangkayu dan menyebrang ke wilayah Donggala (Lalombi-Watatu) untuk urusan bisnis MLM ini.
Dari situ sosok dan pribadi beliau kukenal inci demi inci. Lewat bisnis MLM CNI inilah penulis mengenal Lukman. Tepat sauatu malam sempat kami diskusi kecil menetapkan impian masing-masing, sebab perusahaan CNI adalah perusahaan yang aktif mengembangkan usaha dan pengembangan diri distributor. Penulis bahkan sangat ingat kala itu Pak Lukman sabang hari prospek dan menjual pupuk Plant Catalys kepada para petani. Pak Lukman saat itu menetapkan impiannya untuk menjadi Bupati Majene agar bisa membantu lebih banyak petani dan membangun daerahnya, terutama daerah Lombo’na. Kekuatan impiannya itu betul-betul ia bangun hingga hari ini, 15 tahun lalu untuk kedua kalinya saya berjabat tangan ia kini berstatus Wakil Bupati Majene periode 2015-2010. Saya bahkan sangat yakin bahwa dengan impian yang kaut, ia pasti bisa meraih cita-citanya sebagai orang nomor satu di Kabupaten Majene. Amin.
 
Sang inspirator dan motivator ini lahir di Majene pada tanggal 24 Desember 1967. Ia terlahir sebagai masyarakat biasa tapi mampu menjadi manusia yang luar biasa. Putra pasangan Nurma dan Hj. Cindara ini menyelesaikan pendidikannya di SD 20 Somba pada tahun 1980. Selesai di SLTP 1 Somba tahun 1983, ia kemudian memilih melanyelesaikan pendidikan tingkat atasnya di SMA 1 Majene. Selesai SMA ia tak langsung melanjutkan pendidikannya namun lebih tertarik bekerja sebagai wiraswasta.
Sebelum masuk dalam dunia politik praktis, suami dari Rahmatia ini aktif di organisasi kemasyarakatan. Ia memilih KNPI sebagai organisasinya untuk berbakti pada masyarakat. Dari menjadi sekretaris KNPI Kecamatan Sendana sampai ia dipercaya menjadi Ketua KNPI Kec. Sendana. Suka duka Lukman membangun impiannya, memang sungguh menyakitkan. Ia bahkan pernah dihina dan dicibir dengan pernyataan bahwa Lukman cocoknya hanya sebagai Cleaning Service di kantoran saja. Ternyata semua itu ia dapat bantahkan, sebab pada tahun 2009, ia menjadi Sekretaris Kosgoro Kabupaten Majene sekaligus bergabung menjadi pengurus partai Golongan Karya.
Dari partai Golkar inilah ia mulai meraih mimpi-mimpinya dan berhasil menjadi anggota DPRD Majene. Tahun 2014 kembali terpilih dan dipercaya sebagai Wakil Ketua DPRD Majene. Setahun menjadi Unsur Pimpinan di lembaga ini ia memberanikan diri menerima tawaran Fahmi Massiara sebagai calon wakil bupati pada pilkada serentak tahun 2015 dan takdir mempertemukannya untuk menjadi orang nomor dua di Kabupaten Majene.
Legislator yang kini menjadi Wakil Bupati ini hadir diskusi literasi bersama para penggiat literasi yang diinisiasi oleh teman-teman Pemerhati Pendidikan EDUCARE. Lukman sangat mengapresiasi kegiatan ini. Kedepan, kegiatan seperti ini mesti terus dikembangkan dan ditebarkan disetiap sudut dan ruang di daerah ini. Silahkan jalan, jika dalam kegiatan kalian mendapatkan kendala, sampaikan pada kami. Saya akan siap duduk bersama kalian untuk menyelesaikan semua proplem yang menghambat gerakan kalaia. Demikan Lukman memotivasi para penggerak literasi yang dihadiri banyak warga Majene.
 

           “Saya siap kapan saja ada waktu duntuk berdisikusi terkait Majene Membaca ini. Kedepan, saya membutuhkan para pengiat untuk duduk bersama merumuskan formula dan kiat pengembangan dan penguatan literasi di Majene”. Tegas Lukman.

Rabu, 02 Agustus 2017

BAKRI LATIEF : KALINDA'DA' KONTEMPORER (Cinna, Cinnau, Cinnamu, Cinnata, Cinnana)



PENGANTAR PENULIS

Dengan rahmat dan karunia Allah SWT. Penulis akhirnya bisa menyusun dan menyelesaikan buku Kumpulan Kalinda’da Kontemporer Mandar “Cinna, Cinnau, Cinnamu, Cinnata, Cinnana” yang di dalamnya memuat narasi ratusan kalinda’da’ yang penulis gubah dalam rentang waktu yang lama. Selain itu,.

Tujuan penulisan buku ini juga adalah upaya untuk mengabadikan karya-karya sastra yang sepanjang sejarahnya hanya berkutat di wilayah tutur dan lisan. Dengan tersusunnya buku ini, diharapkan masyarakat bisa dengan mudah memilah jenis kalinda’da’ yang akan di tampilkan dalam setiap acara/pagelaran.
Kalinda’da’ yang penulis gubah ini terbagi dalam beberapa kelompok atau jenis kalinda’da’ yang bercerita tentang Cinta, Cinta Kepada Allah, kepada Muhammad, Kepada Al-Qur’an sampai kepada lingkungan dan cinta muda-mudi. Itulah sebabnya judul buku ini mengusung “Cinna, Cinnau, Cinnamu, Cinnata, Cinnana” sebab didalamnya nyaris semua bentuk cinta terakumulasi dalam percikan kalinda’da ini.

Dengan terbitnya buku ini penulis menyampaikan penghormatan dan penghargaan serta ucapan terima kasih kepada Bapak Drs. Darmansyah (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulbar). Tanpa dukungan beliau, buku ini mungkin tak akan pernah ada rak-rak buku. Kepada Dinda Muhammad Asri Abdullah, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Kab. Polman. Serta Ananda Muhammad Munir yang merelakan hampir setiap waktunya untuk mengumpul dan mengetik ulang naskah-naskah yang telah penulis selesaikan. Naskah Puaji Tokke (Kumpulan Puisi Mandar) adalah buku pertama yang penulis percayakan kepadanya untuk menjadi editor sekaligus member hak kuasa atas penerbitan karya-karya saya. Buku ini adalah naskah kedua yang juga lahir dari keuletannya menyortir dan menyunting serta mengedit naskah-naskah yang lusuh dalam tas penulis.

Almarhum Husni Djmaluddin, Syarbin Syam, Drs. Abdul Muis Mandra, Andi Syaiful Sinrang, MT. Azis Syah, Ahmad Patingari, Nurdahlan Jirana, Ali Sjahbana. Mereka adalah sosok yang ikut mewarnai proses lahirnya peradaban di tanah Mandar. Mereka adalah guru yang penulis jadikan inspirasi dalam berkarya. Olehnya, buku ini penulis halalkan untuk menjadi amal jariyah dan berharap setiap pembaca berkenan mengirimkan bacaan Surah Al-Fatihah yang pahalanya adalah buat mereka.

Terkhusus ucapan terima kasih kepada orang tua kami Nurdin Hamma, Drs. Suradi Yasil, M.Si. yang banyak memberikan literatur, saran dan masukan kepada penulis.

Penulis mengharapkan kritikan dari pembaca yang budiman untuk dijadikan bahan perbaikan pada edisi berikutnya. Disana-sini, tentu terdapat banyak  kekurangan Kritik dan saran dari pembaca sekalian adalah hal yang penulis tunggu-tunggu. Dan kepada Allah SWT jua kita berserah diri sebagai pemilik kebenaran mutlak, dan semoga kita semua dimudahkan dalam mencari ilmu-Nya. Amin !

Tinambung, 1 Agustus 2017



BAKRI LATIEF

TELAH TERBIT : Buku PU'AJI TOKKE (Kumpulan Puisi Mandar Bakri Latief)




PENGANTAR PENERBIT

           

Jumlah suku di Indonesia menurut data tahun 2016 sekitar 1340 suku. Jumlah ini merupakan suku terbanyak di dunia. Indonesia pun memiliki jumlah bahasa daerah 700-an lebih.
Suku Mandar tersebar di wilayah Sulawesi Barat yang luas. Kali ini, kami mendapatkan berkah karya-karya puisi berbahasa Mandar. Mungkin di edisi lain, dapat kami terjemahkan puisi berbahasa Mandar ini. Pekerjaan yang tidak mudah, juga bukan membuat kami menyerah. Malahan, membuat kami bangga untuk dapat menerbitkannya. Sungguh jarang kita mengenal budaya, adat, dan bahasa yang banyak itu.

Kumpulan puisi Mandar ini berjudul: Puisi Mandar "Puaji Tokke", yang artinya Haji Tokek. Dituliskan oleh penyair Bakrie Latif, yang akrab disapa dengan Papa Dita, lahir tahun 1949 di Tinambung, kawasan Calo-Calo. Seorang penyair dan seniman lukis yang sederhana, humanis, dan menjadi tumpuan harapan penyair-penyair muda juga seniman lainnya untuk tak lelah berkarya. xix


Banyak puisi-puisi ini yang bernada satir. Relevan kepada keadaan saat ini yang tak tentu budaya juga adat bangsa yang ragam ini akan dibawa ke mana. Puisi-puisi Papa Dita ini seolah mengentak kita jangan terlena dengan 'dunia' luar, agar bangun segera dari lelap yang dibuai berbagai macam hiburan-hiburan yang monoton dan kosong. Bukan semua itu tak dibolehkan, tetapi janganlah dilupakan akar berpijak bangsa yang besar ini. Akar untuk saling menyapa saling mengenal, bahwa sungguh banyak budaya dan bahasa yang perlu dikenal, dijelajahi, dan dipelajari.

Agaknya, buku puisi Mandar ini menjadi penyejuk dan madu segar di tengah-tengah carut keadaan yang mencekam. Membawa kembali keramahan, senyuman, tolong-menolong, toleransi, yang merupakan sendi-sendi persatuan dari Timur hingga Barat selamanya.
Puaji Tokke.

Marry Rose
CEO - Rosebook

Selasa, 20 Juni 2017

SAMBUTAN KETUA PAGAR NUSA NU Pada Buku Kottau Warisan Nusantara





Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh_

*Belajar Arif dari Ilmu Silat dan Ilmu Surat*
"Orang hebat mampu mengendalikan orang lain, tetapi lebih hebat lagi kalau dia mampu mengendalikan dirinya sendiri” (Lao Tze)

Betapa mudah menghardik orang lain, namun betapa sulit mengendalikan diri sendiri. Inilah cermin di balik kekuatan para pendekar, di balik jurus-jurus yang dilatih: bagaimana menjadi waskita, bagaimana sublim dalam keheningan diri. Manusia Indonesia sedang terombang-ambing dalam gelombang modernitas.

Banyak pihak salah mengira. Banyak orang juga masih salah kaprah dalam memandang modernitas. Bahwa, untuk menjadi modern harus memutus sama sekali kaitan dengan hal-hal lama. Embel-embel yang berbau masa lalu dan kuno, bukan hanya harus dipinggirkan, tapi juga wajib dibuang jauh-jauh.

Stigma sebagai masyarakat maju dan berkeadaban dipandang hanya bisa diraih ketika sudah berhasil menghilangkan tradisi-tradisi lama, untuk kemudian menggantinya dengan tren-tren kekinian.

Banyak di antara kita yang masih salah tangkap. Terutama, saat memandang modernitas dan kemajuan yang berhasil diraih bangsa Barat hingga saat ini. Kita menjadikan mereka sebagai kiblat, namun hanya melihatnya secara sekelebat. Seringkali yang diambil hanya kulitnya, tanpa menyerap sarinya. Singkatnya, kita masih gagal memotret modernitas dan kemajuan yang mereka raih secara utuh.

Akibatnya, alih-alih benar-benar menjadi menjadi maju dan modern. Pada akhirnya, kita justru kehilangan identitas sendiri. Bukan hanya sebagai individu, tapi juga identitas sebagai sebuah masyarakat yang merupakan bagian dari sebuah bangsa. Kita memupus jati diri kita sendiri demi mengejar status modern. Sayangnya, karena berangkat dari pemahaman yang parsial, status modern yang dibangga-banggakan sesungguhnya semu belaka.

Selain itu, sadar atau tidak, dengan meninggalkan dan melupakan khazanah-khazanah lama yang pernah dimiliki, kita bukannya menjadi subyek modernitas. Kita justru hanya menjadi obyek dari kemajuan itu sendiri. Kita membawa diri kita sekedar menjadi masyarakat dan bangsa pengekor.

Tidak perlu muluk-muluk bicara soal demokrasi ataupun perkembangan teknologi yang hingga hari ini, hampir seluruhnya kita ekspor dari belahan dunia lain. Untuk istilah cantik saja, kita gagal memiliki definisi sendiri. Bahwa yang biasa disebut cantik, hanyalah untuk mereka yang berkulit putih, berhidung mancung, dan sebagainya.

Kita sering lupa bahwa kita mendiami sebuah wilayah beriklim tropis. Kondisi tersebut tentu merupakan contoh kecil saja. Yaitu, tentang bagaimana identitas kita yang terus terkikis dari hari ke hari. Padahal, sekali lagi disadari atau tidak, sejarah sudah banyak mencatat tentang hilangnya sebuah bangsa atau peradaban dengan didahului hilangnya identitas bangsa tersebut.

Dalam konteks sejarah pula, jika memang benar-benar ingin belajar dari kemajuan bangsa Barat, kita sepatutnya akan sadar bahwa capaian yang tampak hari ini bukan muncul seketika. Ada tahapan-tahapan dan lipatan sejarah yang telah dilalui. Di antara yang terpenting adalah modernitas yang terus mereka ciptakan justru bertumpu dan berpangkal dari keseriusan menggali, mempelajari, dan menggeluti kembali khazanah-khazanah masa lalu.

Era itu kita kenal selama ini sebagai renaissance (kelahiran kembali). Kurun waktunya berada disekitar abad ke-14 sampai abad ke-17. Periode tersebut sekaligus merupakan akhir dari abad pertengahan yang kerap dikenal sebagai dark age (zaman kegelapan) bangsa-bangsa Eropa.

Di masa renaissance ketika itu, muncul gerakan kebudayaan dan intelektual, sekaligus kesadaran untuk kembali menggali pemikiran-pemikiran lama dari para pemikir serta filsuf Yunani dan Romawi kuno. Teks-teks lama dibuka dan dipelajari kembali. Logika berpikir yang berkembang dan dikembangkan di masa tersebut disandarkan pada logika berpikir di era Socrates, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf lainnya yang pernah ada.

Berangkat dari masa-masa renaisance itulah, sekitar 100 tahun kemudian, era _aufklarung_ (zaman pencerahan) muncul. Periode tersebut yang kerap dikaitkan dengan kemodernan Eropa hingga hari ini. Sebab, pada masa-masa itulah pemikiran-pemikiran baru bermunculan. Bukan hanya di ranah filsafat dan kebudayaan, tapi juga berbagai ilmu pengetahuan.

Di sinilah, semangat kehadiran buku ini menemukan garis relevansinya. Upaya mulia sahabat Suryananda menggali sekaligus mengangkat pencak silat, khususnya silat Mandar, sudah seharusnya ikut membangunkan kita semua.

Bukan hanya kesadaran bahwa pencak silat yang merupakan khazanah asli Indonesia wajib dilestarikan. Tapi, juga kesadaran untuk sesegera mungkin menyiapkan diri untuk menjemput kemajuan.

Lewat buku ini, kemajuan yang sudah di depan mata kita sesungguhnya bukan lagi kemajuan semu milik bangsa lain. Tapi, kemajuan bangsa Indonesia yang sejatinya memang sebuah bangsa yang besar. Bangsa yang memiliki peradaban yang begitu tinggi. Seni beladiri pencak silat menjadi tiang penyangganya.

'Ala kulli haal, keberadaan buku ini juga sekaligus harus menumbuhkan kesadaran kritis untuk kita semua. Bahwa, penguatan identitas dan khazanah Nusantara akan berhasil jika kita mampu mengimplementasikan sekaligus mengembangkan nilai-nilai, moral dan etika yang menjadi perspektif buku ini. Pencak Silat sejatinya bukan sekedar gerakan tubuh, namun memiliki pondasi filosofis pada moral dan etika spiritual. Inilah yang menjadikan Pencak Silat sangat khas, dibandingkan dengan bela diri lainnya.

Karya sahabat Suryananda ini menjadi hidup dan bernyawa, justru karena diimplementasikan dan lahir dari pengalaman yang dibarengi dengan riset. Saya berbangga dengan lahirnya buku ini, yang menegaskan betapa khazanah budaya Nusantara begitu kaya.
Buku ini menegaskan pepatah lama, betapa Ilmu Silat dan Ilmu Surat (teks) terkoneksi erat, saling menyempurnakan.
_Waallahu muwaffiq ila aqwaamit thariq, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh_

Muchamad Nabil Haroen
Ketua Umum PP Pagar Nusa NU