ANGGUKAN
RITMIS SANG LEGENDARIS (1)
Sumaati : I Bonggo dan Totalitas dalam Dunia Tolo’
Sumaati bersama kedua istrinya |
I Bonggo, kisah pemuda pandundu
manyang yang mencoba memintal harapannya kepada seorang wanita yang dikenal
alim dan annagguru pangaji. I
Bonggo adalah salah satu contoh pemuda yang punya optimisme yang tinggi.
Keinginan untuk menyunting wanita shalehah melupakan jatidirinya yang
sebenarnya.Ia memohon pada orang tua dan keluarga besarnya untuk bisa melamar
wanita yang diidamkannya itu. Kendati orang tuanya merasa tak yakin akan
diterima oleh wanita tersebut, tapi kasih sayangnya pada sibuah hatinya
mengalahkan kekhawatirannya untuk ditolak oleh keluarga sang guru ngaji yang
cantik dan jadi bunga desa.
Kendati ia sangat sadar dengan keadaan anaknya yang hobi menenggak
minuma keras, tapi tetap ia mencoba untuk memulai tahapan mambarumba'be (maanna
pau kepada pihak keluarga wanita) Pada suatu malam, ayah dari I Bonggo ini
menamatkan keraguan dan kekhawatirannya untuk menghadap secara resmi ke
keluarga wanita annangguru pangaji. Ia diterima oleh keluarga guru ngaji
tersebut dengan sangat dingin. Ayah I Bonggo tetap berusaha menutupi rasa
dongkolnya pada sikap keluarga wanita yang diinginkan anaknya. Pelan setelah
berbasa-basi, ia mulai mengutarakan maksud kedatangannya kepada tuan rumah
untuk rencana melamar anaknya jika diperkenankan.
Belum selesai ucapan ayah I Bonggo, ayah sang guru ngaji tersebut
langsung menimpali dengan kataikata yang begitu kasar. " Lebih baik anakku
menikah dengan I Bari (anjing peliharaannya) dari pada harus dikahkan dengan
anakmu I Bonggo. Ayah I Bonngo laksana disengat listrik dengan daya tinggi. Ia
tak mampu menanggun beban mental atas ucapan ayah wanita yang diimpikan
anaknya. Jangankan diberi kesempatan untuk dimintai uang panai', ia bahkan
lebih memuliakan anjing dari pada I Bonggo. Ayah I Bonggo kemudian pamit dengan
perasaan yang begitu teriris.
Bayangan kata-kata ayah guru ngaji tadi terus membuat tekanan
darahnya naik. Ia tak menerima penghinaan tersebut. Kata-kata yang diucapkannya
pada malam itu sangat ia ingat pada saat Marumba'be. "Purama guli-guliling,
mappikkir mattimbangngi, ana'u I Bonggo naupalambi' akkattana naditoe'I sarana
lao digala'garta...." "Mua' melo' le'ba'di ana'u memmuane, mala'bi
tia I bari' anna I bonggo". Kata-kata itu terus melingkupi pikiran ayah I
Bonggo. Dalam hatinya ia terus bergumam "Mane namarumba'be tau meparuai
dami pau kadzae. Tak rela diperlakukan seperti itu, ia kemudian memerintahkan
kepada I Bonggo untuk pergi mambatta tarring (menebang bambu) dan memintanya
untuk tidak keluar-keluar pada malam jum'at.
"Malam jum'at nanti, kamu jangan keluar-keluar. Kamu bantu
bapak untuk melakukan ritual. Wanita itu mesti jadi istrimu Bonggo" Kata
orang tua setengah baya itu kepada I Bonggo. Setelah malam jum'at, I Bonggo dan
ayahnya masuk ke kamar, ia meminta kepada I Bonggi untuk bakar menyan (undung).
Tak lama kemudia ayahnya keluar ke bollo (beranda rumah) sambil mappelo bakal.
Disamping untuk menghalau dingin ia juga terus berusaha melafalkan sebuah
mantra yang didapatnya dari salah seorang guru spritualnya dari Pappang Limboro.
Lafadz mantra ini merupakan sossorang dari leluhur to Pappang dan
Lamase. Malam semakin larut, I Bonggo dan ayahnya maksyuk dalam dekapan malam
yang mengirimkan embun (undu ditangnga bongi). Tak lama kemudian, pelan tapi
pasti kesunyian malam itu rekah. Terdengan suara anjing melolong diikuti
gonggongan yang saling bersahutan. Ayah I Bonggo setengan berteriak kedalam
ruangan yang ditempati I Bonggo melaksanakan ritual. Bonggo, engga'na Maroca
asu, diang kapang di'e tau naitae" " Apadi Bari' namaroca tendo'o?
" Kata ayah I Bonggo pada anjingnya yang dari tadi mengonggong dibawah
bollo tempatnya duduk marrokok bakal malam itu.
Tania I Bari', Puang. Iyau. Meloa mating diboyatta, salilia lao I
Bonggo" Kata suara yang tiba-tiba muncul dari arah tangga rumahnya. Dari
kesunyian dan gelapnya malam itu muncul sesosok bayangan seorang wanita
berkerudung hitam. Wanita tersebut tak lain adalah sang wanita yang diimpikan I
Bonggo. Annangguru pangaji itu tak kuasa menanggung rindu yang seketika
membuncah dan hanya menemukan kedamaian hatinya ketika melihat balimbungan
(bubungan rumah) I Bonggo.
Annangguru pangaji yang cantik itu datang merelakan dirinya untuk
hidup bersama I Bonggo. Sossorang
dari Pappang itu menguasai diri wanita cantik itu. Bersikukuh tetap pada
pilihannya untuk pulang setelah I Bonggo menikahinya. Orang tuanya tak sanggup
menahan malu atas kelakuan putrinya. I Bonggo dan ayahnya merasa bahagia dan
bangga. Ia bisa mendapatkan pujaan hatinya sekaligus meruntuhkan keangkuhan
orang tuanya pada khalayak. Bonggo kemudian menjadi orang yang paling bahagia
bisa mendapatkan mojang desa yang sangat ia kagumi.
Kisah I Bonggo dengan Annangguru pangaji itu adalah salah satu
Tolo' kacaping yang kerap dinyanyikan oleh Sumaati ketika tampil makkacaping
diberbagai daerah yang menyelenggarakan hajatan dan mengundangya untuk tapil
makkacaping. Selain I Bonggo, toloq yang kerap ia nyanyikan adalah I Ha'dara, I
Sunusi, I Bidol dan I Po'gol. I Po'gol adalah sosok tommuanesekaligu tomuanena
Mandar. I Po'gol melegenda dalam lantunan tolo' Sumaati. Kakek dari Zarkawi
Rauf ini dikisahkan dalam lagu kacaping Sumaati dengan kesetiaan I Pati,
istrinya dan keberaniannya melawan S. Mengga dan pasukannya. Ia terbunuh dalam
insiden disekitaran wilayah Lambanan. Sumaati sendiri adalah sosok pakkacaping
yang tersohor pada tahun 50-an sampai 70 an. (Bersambung)