Minggu, 05 Maret 2017

PENGANTAR PENULIS : KAMUS SEJARAH DAN KEBUDAYAAN MANDAR


Kamus Sejarah dan Kebudayaan Mandar
(Ensiklopedia Tokoh, Sejarah, Seni dan Budaya Mandar )

Tim Penyusun
Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI)
Cabang Sulawesi Barat
Kantor Perpustakaan Umum dan Arsif Daerah
Kabupaten Majene, 2017
I, 1500 hlm.
ISBN


TIM REDAKSI
Kamus Sejarah dan Kebudayaan Mandar
(Ensiklopedia Tokoh, Sejarah, Seni dan Budaya Mandar )

Penyusun
Drs. Darmansyah
Muhammad Munir

Pengarah 
Tammalele

Tim Kreatif
Ketua
H. Syarifuddin

Anggota
Suryananda, S.Ip, Nursaid Nurdin, ST. Asraruddin, SH. Adnan Wardihan,
Hernawati Usman, Muhammad Aslam, Jalaluddin Ngallo, Ilham Muin. 

Pembantu Pelaksana
Muhammad Arlin, Nizar, Ade Irma, Sherly Ardina,
 
Kamus adalah deskripsi kosakata dari suatu bahasa. Kamus menjelaskan apa arti kata dan menunjukkan bagaimana kata itu bekerja sama untuk membentuk kalimat. Informasi yang disajikan dalam kamus itu diperoleh dari dua sumber utama, yaitu introspeksi dan observasi. Introspeksi berarti melihat ke dalam otak kita sendiri dan mencoba mengingat semua yang kita tahu tentang kata. Sementara itu, observasi berarti memeriksa contoh-contoh nyata dari bahasa yang digunakan (dalam surat kabar, novel, blog, twit, dsb.) sehingga kita dapat mengamati bagaimana orang menggunakan kata-kata ketika mereka berkomunikasi satu sama lain.

Penutur yang fasih dalam suatu bahasa tentunya harus sudah tahu banyak tentang kosakata bahasa itu. Oleh karena itu, introspeksi dapat menjadi sumber wawasan yang berguna tentang apa makna kata itu dan bagaimana kata itu digunakan. Akan tetapi, kamus harus memberikan laporan lengkap dan seimbang mengenai perilaku sebuah kata, dan introspeksi saja tidak dapat memberikan informasi yang cukup untuk tujuan itu. Akibatnya, para pekamus, sejak zaman Samuel Johnson pada abad ke-18, telah memilih untuk mendasarkan kamus mereka pada observasi. Di era Johnson, mengamati bahasa adalah pekerjaan yang melelahkan. Mengamati bahasa sama dengan membaca ratusan buku dan penggalian contoh yang baik dari kata-kata yang digunakan. Namun, teknologi komputer saat ini membuat semua itu lebih mudah. Teknologi komputer memberi kita akses ke begitu banyak data bahasa yang baik sehingga kita sekarang mampu memberikan penjelasan yang benar-benar dapat diandalkan tentang kosakata suatu bahasa (Macmillan Dictionaries: 2014).

Proses tersebut menjadi alas pijakan sehingga penulis mampu menyelesaikan semua rangkaian informasi yang dirangkum dalam buku setebal 1500 halaman ini. Buku ini adalah buku sejenis ensiklopedia yang paling tebal yang pernah ditulis di Mandar dan oleh orang Mandar. Informasi dalam buku ini adalah akumulasi dari semua kebiasaan-kebiasan kecil yang dilakukan setiap saat. Informasi yang selama ini berserakan di rimba raya, dibelahan dunia maya. Butuh waktu yang panjang untuk menyatukannya dalam bentuk sebuah buku. Dan kehendak-Nya jualah yang mengantar naskah ini menemukan takdirnya sebagai buku yang kuberi nama  Kamus Sejarah dan Kebudayaan Mandar, (Ensiklopedia Tokoh, Sejarah, Seni dan Budaya Mandar).

Kamus Sejarah dan Kebudayaan Mandar, (Ensiklopedia Tokoh, Sejarah, Seni dan Budaya Mandar)ini memuat khazanah kosakata bahasa yang berhubungan dengan tokoh, sejarah, seni dan budaya Mandar yang dapat menjadi acuan dalam menengok perjalanan sejarah masa lampau dan menata masa depan peradaban Mandar. Mandar memiliki banyak catatan sejarah yang berserakan dan belum pernah tersajikan dalam bentuk buku yang utuh. Padahal diantara beberapa tokoh dan berbagai rentetan sejarah yang terjadi selama ini sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai sarana pikir, ekspresi untuk menata kehidupan yang lebih MAJU dan MALAQBIQ sesuai cita-cita founding father Sulawesi Barat.

Kamus Sejarah dan Kebudayaan Mandar, (Ensiklopedia Tokoh, Sejarah, Seni dan Budaya Mandar) ini merupakan himpunan informasi terntang Mandar yang dihimpun dalam satu buku. Diharapkan, buku ini bisa menjadi buku rujukan dalam mempelajari dan memahami Mandar secara utuh. Selain tokoh, sejarah, seni dan budaya, ada juga beberapa kosakata umum atau istilah bahasa Mandar yang termuat dalam kamus. Tentu saja ini akan sangat bermanfaat bagi pelajar dan mahasiswa yang ingin mempelajari tentang seluk beluk manusia Mandar.

Apa yang terkandung dalam kamus ini merupakan hasil penelusuran penulis ke beberapa situs dan pusat-pusat peradaban di Mandar, mulai dari Paku sampai Suremana, Tasiu-Kalumpang, Bonehau Mambi, Lampa Mapilli-Matangnga, Matangnga-Lenggo, Matangga-Mambi, Tinambung-Alu, Panyingkul Luyo-Besoangin, Patulang-Alu. Hasil pernelusuran di beberapa tempat tersebut diramu dengan gaya bahasa bertutur sehingga menjadi kumpulan informasi tentang Mandar dari A-Z. Selain itu ada banyak tulisan tentang Mandar yang ditulis oleh beberapa penulis dan peneliti sejarah Mandar yang juga ikut tersaji dalam buku ini.

Bisa dikatakan, buku ini adalah hasil riset langsung ke lapangan ditambah riset pustaka sehingga muatan informasi dalam kamus ini menjadi lebih padat dan kaya akan khasanah kebudayaan Mandar lampau dan sekarang. Buku ini sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai ensiklopedia Mandar sebab informasi yang termuat memang mewakili berbagai tradisi, kebudayaan dan sejarah eks wilayah afdeling Mandar ini. Namun karena sebelumnya sudah ada buku Ensiklopedia Mandar yang ditulis oleh Bapak Suradi Yasil, sehingga penulis memakai kata Kamus Sejarah dan kebudayaan Mandar. Tulisan dalam buku ini dapat  dibandingkan sekaligus disandingkan dengan Ensiklopedia Mandar yang terbit sebelumnya. Buku ini menjadi Kamus yang sengaja dirancang untuk proses penyempurnaan ensiklopedia sebelumnya yang hanya 90% memuat informasi dari Pitu Ba’bana Binanga dan 10% informasi dari Pitu Ba’bana Binanga. Harapan kita tentunya, baik Ensiklopedia Mandar maupun Kamus Sejarah ini menjadi sumber rujukan untuk melengkapi perbendaharan pengetahuan tentang Mandar.

Kamus dengan ketebalan mencapai 1500 halaman ini merupakan ramuan informasi dari penelusuran penulis dan juga penelusuran informasi melalui buku-buku yang sebelumnya telah diterbitkan, salinan lontar Mandar yang berhasil ditemukan penulis, juga sejumlah informasi yang terdiri dari tulisan, rilis di media catak, media on line yang berhasil penulis searching di google. Kamus ini ditulis dan disusun berdasarkan abjad dengan menyebutkan sumber/link tulisan yang termuat dalam buku ini. Selain itu, berbagai informasi melalui status teman-teman penulis di medsos terabadikan dalam buku ini. Termasuk informasi melalui email, telfon, sms, surat, surat kabar/majalah maupun melalui forum atau pertemuan ilmiah.

Dari segi isinya, kamus ini diperkaya istilah bidang ilmu sejarah, budaya, seni dan profil tokoh baik yang sudah sering dilisan tuliskan maupun yang hanya melalui tutur, bahkan ada diantaranya yang sama sekali asing di daerah Mandar. Semua itu dilakukan agar kedepan generasi kita semakin mudah mempelajari dan mencari sumber rujukan tentang Mandar, termasuk meneladani figur tokoh-tokoh dalam buku ini. Informasi di buku ini sangat mungkin jadi rujukan dan acuan terutama pelajar dan mahasiswa serta masyarakat umum yang berminat memahami konsep-konsep dasar tentang periodesasi sejarah, tokoh, budaya dan seni di Mandar. Dengan demikian, buku ini diharapkan menjadi sumbangan bagi upaya pencerdasan anak-anak Mandar dan bangsa ini menjadi lebih terasa

Inilah hasil dari sebuah semangat, ketekunan, dan kerja keras penulis selama ini. Oleh karena itu, dengan terbitnya kamus ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Tim kreatif Rumpita dan jaringan rumah bacanya, saudara-saudara di Museum Mandar Majene, di Teater Flamboyant Mandar, Komunitas dan Sanggar Seni di Majene dan Polewali Mandar, Uwake Cultuur Fondation, Apatar Pamboang, Rumah Kata, KOPI Sendana, Appeq Jannangang, KOMPADANSA Mandar, Nusa Pustaka, Rumah Pustaka, Sossorang, One-Do,  MSI, LAN, UNSULBAR, UMASMAN, UNIKA, UNM, UIN Alauddin, UNHAS dan semua pihak yang telah turut berperan dalam penulisan kamus ini. Selain itu saya memberikan ucapan terima kasih kepada Pemda Majene, anggota DPRD Kabupaten Majene, Anggota DPRD Kabupaten Polewali Mandar, Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Barat, dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten dan provinsi.

Tak lupa melalui kesempatan ini juga, saya ingin menghaturkan ribuan ucapan terima kasih kepada orang tua saya Nurdin Hamma, Suradi Yasil, Aksan Djalaluddin, H. Murad, Darwin Badaruddin, Bakri Latief, H. Ahmad Asdy, Tammalele, dan semua saudara dan para senior generasi emas Mandar, Hamzah Ismail, Muhammad Asri Abdullah, Adi Arwan Alimin, Bustan Basir Rahmat, Opy Muis Mandra, Mustari Mula, Muhammad Rahmat Muchtar, Muhammad Ridwan Alimuddin, M. Thamrin, Ramli Rusli, Ainun Nurdin, Ahmad Akbar, Wahyudi Hamarong, Ilham Muin, Muhammad Naim, Mursyid Wulandari, Muhammad Aslam, H. Syarifuddin, Jalaluddin Ngallo, Yudhi, Mega, Aco, Zulfihadi, Mursalin, S.Pd., Abdul Rasyid Ruslan dan semua yang kerap memberiku ruang untuk berfikir dan berkarya selama ini.  

Semoga penerbitan kamus ini dapat memberi manfaat besar bagi upaya pencerdasan masyarakat Sulawesi Barat yang Malaqbiq menuju insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif.
Majene, Maret 2017
MUHAMMAD MUNIR

PINDANG MATOA DARI SENDANA : JEJAK PERADABAN MANDAR TAHUN 1380-1480



Pindang Matoa Sendana adalah salah satu penemuan dari program penelusuran sejarah MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) Sulbar di kaki bukit buttu Suso Sa’Adawang Sendana. Horst H. Liebner ketika benda ini diperlihatkan mengatakan bahwa ini adalah keramik Sukothai, dibuat akhir abad ke-14 (artinya, 1380 ...) sampai awal abad ke-15 (1400+).
            Horst membuktikan hasil percakapannya itu di fanpage fb yang ia kelola sendiri.
Many thanks for your efforts, clearly dating the piece into, let’s call it, early 15th century. I forwarded the information to the person in charge, and will see him, I suppose, next week in Mandar. However, due to another assignment I will only be able to follow up on this and other finds in the area end May, I fear.
For the time being, people interested in our present pre-survey may have a look at https://www.facebook.com/situs2mandar/?fref=ts, where a number of young enthusiasts began to collect data on their region’s pre-Islamic history. (It’s in Bahasa Indonesia, but there are photos and coordinates for those who ….)
The clear classification of the Sukhothai bowl underlines that there is much more to Mandar history then allowed for in the recognised local historiographies which, except for scattered and rather foggy apostilles on earlier players, commence only with the establishment of the ‘kingdom’ of Balanipa and the Mandar confederation in the late 16th century. 

Again, thanks a lot,

Horst Liebner

From: Southeast Asian Ceramic Archaeologists list [mail to: SEACERAMARCH@SI-LISTSERV.SI.EDU] On Behalf Of Cort, Louise
Sent: Tuesday, 12 April, 2016 02:11
To: SEACERAMARCH@SI-LISTSERV.SI.EDU
Subject: Re: [SEACERAMARCH] imported ceramic in w-sulawesi

To confirm Don’s dating of the Sukhothai vessel to C14-15, Roxanna Brown’s study of shipwreck materials indicates that this sort of Sukhothai vessel, with underglaze-black fish and floral motifs, appears on wrecks datable to “about the end of the 14th century until about 1480.” (Brown 2009:51).

Brown, Roxanna Maude. 2009. The Ming Gap and Shipwreck Ceramics in Southeast Asia; Towards a Chronology of Thai Trade Ware. Bangkok: Siam Society. 

From: Southeast Asian Ceramic Archaeologists list [mailto:SEACERAMARCH@SI-LISTSERV.SI.EDU] On Behalf Of Don Hein
Sent: Sunday, April 10, 2016 9:41 PM
To: SEACERAMARCH@SI-LISTSERV.SI.EDU
Subject: Re: imported ceramic in w-sulawesi

I agree with John Miksic of a Sukhothai – Thai attribution, made certain by the exposed fabric of the base which clearly shows large quartz inclusions typical of Sukhothai (absent from Vietnamese ware). Such ware were widely traded throughout the Southeast Asian archipelago.
Production site evidence (including up to three sequential kilns) suggests a manufacturing term of about 100 years. However (compared to Sawankhalok) very little study study/excavation has been conducted at Sukhothai (although Kun Prachote Sangkhanukij is presently undertaking such a program). Dating is fuzzy, but a best guess may be C14-C15.
Don Hein.

From: Minh Tri [mailto:tri_vnceramics@yahoo.com] 
Sent: Friday, 8 April, 2016 17:15
To: Horst Liebner <khmail@INDOSAT.NET.ID>
Subject: Re: imported ceramic in w-sulawesi

This dish from Thailand and date late 14th early 15th century.

Đã gửi từ iPhone của tôi 

From: Miksic John N
Sent: Saturday, 9 April, 2016 03:03
To: Horst Liebner <khmail@INDOSAT.NET.ID>
Subject: RE: imported ceramic in w-sulawesi

This looks very Sukhothai to me. it could be late 14th century, but it could have been imported or disposed of by burial at a later period, say first half of the 15th century.[1]


[1]https://www.facebook.com/situs2mandar/photos/a.742022265931858.1073741828.742011879266230/779203188880432/?type=3&theater

YAKOBUS MAYONG PADANG DI MATA HAMZAH ISMAIL



Dari Kiri ke Kanan: Muhammad Munir, Muhammad Rahmat Muchtar, Zulfihadi dan Hamzah Ismail dalam acara Launching Lontaraq Digital 2015 di RUMPITA
Catatan kecil tentang Bang Kobu (Yakobus Mayong Padang)
BELAJAR PADA PERILAKU SAHAJA: JANGAN REMEHKAN HAL SEPELE
 


Catatan Hamzah Ismail


Siang ini saya menemukan dua sosok manusia yang mulia. Bang Kobu bersama istrinya. Manusia jujur. Berawal dari kejadian saat beliau menikahkan putranya tiga tahun lalu. Ketika bang Kobu bersama istri hendak menggelar pesta pernikahan anaknya dalam nuansa adat Mandar. Hitung-hitung sekaligus sebagai ajang promosi produk budaya Mandar di Jakarta, menurut Bang Kobu. Tidak tanggung-tanggung, Istri Bang Kobu memesan 100 lembar sarung sutra Mandar. Kebetulan tempatnya memesan adanya di Tinambung, tokonya bersebelahan dengan rumahku.

Sementara aku asyik membaca-baca online essay tentang puisi, tiba-tiba dua mobil hitam berhenti tepat di depan rumah saya. Dari mobil pertama turun Syamsuddin Idris, dan setelahnya turun pula Adil Tambono. Lalu kemudian aku perhatikan mobil kedua. Darinya turun Bang Kobu, lalu istrinya, yang segera bergegas ke toko sutra samping rumahku. Ternyata ia singgah, hendak membayar hutangnya. "Sarung yang dikirim ke Jakarta tiga tahun lalu, itu lebih dari seratus." Berapa lebihnya pak? Tanyaku ke Bang Kobu. "Tidak tahu," jawabnya.

Saat istri bang Kobu menyatakan hendak membayar hutang, si penjual heran, hutang apa? Si penjual tidak merasa, pernah memberi piutang. Alhasil transaksi antara istri bang Kobu dengan si penjual tetap saja berlanjut, yang luput dari pengamatan kami. Aku, Syamsuddin, Adil Tambono dan beberapa orang lainnya lebih memilih terlibat dalam diskusi kecil perihal perkara hutang tidak jelas yang diklaim sepihak oleh Bang Kobu dan istrinya itu, berangkat dari peristiwa tiga tahun lalu saat bang Kobu dan istri membeli seratus lembar sarung sutra Mandar, digunakan dalam perhelatan pernikahan anaknya.

Penuh perhatian pada hal sepele.

Kelihatannya sepele, tetapi menjadi perhatian yang berlebih dari Bang Kobu dan istrinya. Menurut Bang Kobu, yang kemudian bergabung ke lingkaran diskusi kami, istrinya sudah beberapa kali mencari toko tempat ia membeli sarung sutra. Bahkan pernah 'nyasar' ke Majene dan tidak menemukannya di sana. Baru hari ini ia menemukan toko itu secara tepat karena kebetulan ia satu rombongan dengan Syamsuddin. Syamsuddinlah yang menjemput sarung itu. Menurut saya, jika memang lebih, satu dua lembar, pasti itu adalah bonus dari penjual. Sebab tidak sekali pun si penjual yang adalah tetanggaku menceritakan hal kelebihan itu. Pun, jika dihitung-hitung harga sarung sutra yang berkualitas di pasaran mentoknya di harga 300-400ribuan. Jika hanya 2-3 lembar, paling banyaklah nilainya 900ribuan. Itu kalau (seratus lembar) yang dikirimkan, semuanya sarung sutra yang berkualitas. Imbang posisinya. Si penjual sudah menikmati untung banyak.

Ketika rombongan Bang Kobu berlalu, diikuti Syamsuddin dan teman-teman, aku sempat merenung. Dan harus memaksa-maksakan diri untuk menuliskan peristiwa itu. Sebuah peristiwa kecil, sarat makna dan sangat jarang terjadi. Pertama terbetik dalam benakku: rasa syukur, bahwa untuk kali pertama, saya bisa menyalami beliau. Nama beliau sudah lama mengendap di hatiku. Telah sekian lama, ia menjadi 'idola'. Sudah lama pula aku mendengar kisah-kisah hidup beliau yang amat sangat humanis, dari Syamsuddin. Mungkin karena itu, saya jadi tidak sadar, bahwa pada pertemuan pertama itu aku lancang memeluknya. Merapatkan pipi kananku ke pipi kirinya, cipika-cipiki, kata orang. Seakan-akan aku kawan karib beliau yang untuk sekian lama terpisah jauh dan baru saat itu bertemu. Bukankah cipika-cipiki biasanya dilakukan oleh dua orang yang sudah lama saling mengenal dan sering bertatap muka? Aku tidak sekali pun pernah bertatap muka dengan bang Kobu.

Ah, aku manusia udik hanya mampu membaui dan merasai kehalusan budi seseorang melalui getar-getar hati. Demikian pula aku terhadap bang Kobu, sampai saat catatan ini selesai dibuat, 'keharumannya' masih membekas mendalam memenuhi atmosfir di jiwaku.

Hari ini, peristiwa kecil Bang Kobu dan istrinya, menjadi pelajaran penting dan amat berharga. Untuk menjadi manusia sejati dan paripurna, sekecil apa pun kebaikan haruslah dilaksanakan dan sesedikit apa pun hutang, haruslah ditunaikan. Bukan persoalan hutang semata pokok masalahnya, tapi sesungguhnya yang terpenting dibangunkan, adalah 'hidupnya' saling percaya satu dengan lainnya. Tabeq Bang Kobu.

Tinambung, 5/3/2017
15.00 wita.

Jumat, 03 Maret 2017

FSM-4 Tahun 2017 : Membangun Kesadaran Kolektif !



Catatan Muhammad Munir 
 
Sungai adalah salah satu makhluk tuhan yang memiliki peran penting dalam sejarah kemanusiaan. Sejarah mencatat mulai dari zaman purbakala sungai tak pernah beranjak dari takdirnya sebagai media berlangsungnya ekosistem sekaligus menjadi sumber kehidupan masyarakat yang berada di sekitar DAS (daerah aliran sungai). Pun sejarah juga membeberkannya pada kita bagaimana dinamika kehidupan manusia yang tak pernah ingin menjauh dari keberadaan sungai.
 
Namun ada sebuah ironi dari kehidupan masyarakat kita hari ini. Entah karena dalih kemajuan atau memang pemahamannya yang dangkal sebab justru keberadaan sungai di jaman modern tetap mempunyai arti penting, baik secara fisik, sosial maupun kultur. Dan kenyataan yang kita dapati, semakin minimnya lembaga atau instansi yang fokus menjaga sungai. Sungai bahkan dianggap sebagai TPA (Tempat Pembuangan Akhir) paling canggih bagi ribuan ton sampah. Pun tak jarang dianggap sebagai ruang paling aman untuk limbah industri.

Keberadaan sungai di Sulawesi Barat khususnya sungai Mandar juga tak luput dari perlakuan diskrimintif masyarakat sekitar yang tinggal tak jauh dari sungai. Kenyataan sungai Mandar yang mengalir dari Ulumandaq ke Tinambung saat ini jika dibandingkan dengan jaman penjajahan. justru lebih terjaga kebersihannya dibanding hari ini. Dalam beberapa cerita tutur orang tua yang sempat menjalani kehidupan dizaman itu, justru tak jarang ditemukan warga yang terkena hukuman dari tentara Belanda akibat kedapatan membuang sampah ataupun membuang hajat ke sungai. Sebangsat itukah bangsa kita hari ini dibanding para penjajah? Sebuah pertanyaan yang tak butuh didebati sebab tujuan tulisan ini adalah menjadi renungan bersama.

Beruntunglah, disekitaran DAS Mandar Polewali Mandar, ada sebuah lembaga yang intens memperlakukan sungai layaknya sebagai makhluk hidup yang butuh sahabat, cinta dan sentuhan. Uwake’ Cultuur Fondation yang dipunggawai oleh Muhammad Rahmat Muchtar adalah satu-satunya yang intens membuat gerakan dan rekomendasi kepada pemerintah Polewali Mandar untuk tidak memunggungi sungai. Tahun ini adalah tahun keempat event Festival Sungai Mandar digelar. Sejak tahun 2014 lalu sudah 3 kali event FSM berlalu dan berlangsung diarea perkotaan Tinambung tak jauh dari muara sungai.

Sejak FSM I sampai ke FSM III Isu-isu tematik seputar bagaimana kita mencintai sungai dari segala pencemaran yang berdampak buruk bagi kehidupan. Berbagai pihak termasuk komunitas seni yang menampilkan kritik dan keprihatinannya terhadap sungai yang dijadiakan pembuangan sampah, perlahan telah menjadi kerinduan yang selalu ditunggu. Respon pemerintah juga masih sebatas sumbangsih MOBIL TRUK SAMPAH dari pemda serta perluasan kerja Bentor (pengangkut sampah) ke wilayah lingkungan yang masih terbatas.

Pahlawan Sampah yang membangun tempat pengelolaan sampah (sebagai percontohan tingkat lingkungan). Meski masih banyak yang perlu didorong diwilayah kawasan hilir, seperti TPA yang belum jelas secara profesional, perhatian ke muara Sungai (Ga’de & Kampung Para’), daya guna tanggul sungai sebagai public wisata dan yang lainnya masih jauh dari harapan kita.

Tahun 2017 ini FSM akan dihelat pada tanggal 20 -27 Maret di tiga titik lokasi di DAS Mandar yaitu Alu (20-21 Maret 2017), Palece (23-24 Maret 2017) dan Lekopa’dis (26-27 Maret 2017). Penyelenggara FSM tahun ini sengaja meninggalkan wilayah kota sebagi upaya memperluas rasa peduli sungai dimana Sungai Mandar mengalir di Hulu (Ulumanda’) sampai ke Hilir (Tinambung). Penguatan rasa memiliki, mencintai dan berbuat secara kolektif dengan pemerintah dan masyarakat. Menurut Rahmat Muchtar, dari tiga titik itu nantinya bisa saling memberi info, memperingati, menjaga serta menkonservasi Sungai & DAS yang didalamnya terdapat kerja2 edukasi, ekologi, perhatian pada mata air yang mulai mengering, penanaman pohon serta pada ekowisata.

Tepatlah kiranya jika tema pessungo pota’ pettamao randang mulai ditinggalkan untuk lebih spesifik mengusung tema yang lebih mengglobal, Balance (keseimbangan). Dan pesertanya juga memungkin kan dari pemuda, pelajar serta perangkat desa yang ada didesa masing2 sebagai pendukung kedaulatan Sungai untuk turut bekerjasama dalam mengelola permasalahan yang ada diwilayah aliran Sungai Mandar.

Sungai Mapilli

Selain sungai Mandar, terdapat sungai yang juga tergolong besar dan panjang. Jika sungai Mandar mengalir dari hulu Ulumanda Kabupaten Majene maka Sungai Mapilli justru mengalir dari Masunni Kecamatan Bulo/Matangnga ke Desa Buku Kec. Mapilli Kabupaten Polewali Mandar. Masunni sendiri hanya sebatas titik pertemuan antara sungai atau Lembang Mapi yang hulunya dari lereng gunung Aralle, Tabulahan dan Mambi dengan aliran sungai Lili yang merupakan aliran dari dari Sumarorong dan Tondok Kalua dan lereng gunung dipelosok Tapango Anreapi. Hal ini pula yang melatari sehingga dinamakan Maloso Mapilli yang tak lain adalah gabungan Mapi dengan Lilli sehungga disebut Mapilli.

Sungai Mapilli atau Maloso Mapilli ini juga mempunyai fungsi yang amat strategis karena Daerah Aliran Sungai (DAS) ini cukup luas dan panjang. Disamping itu, pasokan airnya menjadi sumber pengairan bagi ratusan ribu areal pesawahan di Kabupaten Polewali Mandar. Bendungan Sekka-Sekka adalah satu-satunya bendungan terbesar di Sulbar yang air nya dikonsentrasi ke Maloso kiri dan Maloso Kanan.

Kondisi sungai Mapilli dengan sungai Mandar secara kualitas air masih cenderung sama. Yang berbeda adalah masalah penanganannya. Jika sungai Mandar punya masalah sampah yang indikator tingkat pencemaran air termasuk tinggi akibat akumulasi limbah yang berasal dari hulu maupun tingkat intensitas aktivitas perkotaan. Aktivitas masyarakat yang tidak memperhatikan faktor lingkungan menjadi masalah bagi sungai Mandar. Sementara di sungai Mapilli, penurunan kualitas air tidak terlalu memprihatinkan, termasuk masalah sampah juga bukan masalah serius di sungai Mapilli. Masalah seriusnya adalah keamanan sungai Mapilli dari masyarakat yang berdiam di DAS Mapilli ini.

Sungai Mapilli hari ini jauh berbeda dengan kondisi pada tahun sebelum 80-90-an, sebab terhitung tahun 2000-an, keberadaan buaya jenis buaya Cekdam menjadi persoalan besar bagi masyarakat sekitar. Buaya Cekdam ini adalah bekas peliharaan di sebuah penangkaran buaya di Tenggelang Luyo pada tahun 85-90-an yang banyak lepas ke alam bebas karena tak mendapat perhatian dari pihak pengelola. Tahun 1997-2001 ternyata buaya-buaya ini berkembang biak di sungai Mapilli. Hal tersebut dibuktikan dari adanya dua korban anak manusia disamping hewan peliharaan warga yang juga ikut menjadi korban buaya dari sungai Mapilli ini.

Sejak tahun 2001 sampai hari ini korban jiwa termakan buaya ada 2 orang, hewan peliharaan warga tak terhitung dari jenis kambing, ayam bahkan sapi. Semua penyebabnya adalah buaya. Ini tentu akan sangat berimbas pada prospek jika sungai Mapilli mau dikelola sebagai kawasan ekowista dan peningkatan potensi sungai. Selain buaya, tambang pasir yang tak mempunyai izin lingkungan jjuga marak di sekitaran DAS Mapilli ini.  

Melihat perbandingan dua sungai di Polewali Mandar tersebut, tentunya membuat kita esimis terhadap prosepekpengembangan potensi sungai dan wisata sungainya, sebab jika melihat apa yang dilakukan oleh warga di sekitar sungai Brisbane Australia, yang menjadikan sungai itu sebagai ikon daerah Brisbane.Dari beberapa informasi di media dikatakan bahwa Sungai Brisbane semula sangat tercemar. Pemukiman di sekitarnya juga kumuh. Pembenahan pendekatan teknologi, seperti membangun IPAL dan melakukan pembersihan serta penjernihan air sungai, hasilnya masih kurang memuaskan. Baru setelah dilakukan pendekatan sosial budaya, dengan memperhatikan budaya masyarakat lokal hanya dalam kurun waktu empat tahun telrihat kemajuan yang amat berarti.

Ternyata pendekatan sosial budaya justru lebih cepat dari pendekatan teknologi. Lalu mapukah kita sebagai masyarakat atau sebagai pemerintah untuk menata pemukiman di sekitar sungai, industri-industri dipindahkan ke wilayah yang memadai dan bantaran sungai dijadikan arena aktivitas sosial dan budaya yang di dukung oleh masyarakat di sekitarnya. Hasilnya sungai ini menjadi ikon kota dan masyarakat di sekitar sungai tentu akan lebih nyaman dan aman.

Dalam hal ini mengelola Sungai, perlu sinergitas antara masyarakat lokal, pemerintah daerah dan swasta, dengan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat melalui peningkatan pengetahuan masyarakat dalam hal pengelolaan sungai. pendekatan melalui institusi pemerintah dan pemberdayaan masyarakat adalah upaya yang sangat strategis dalam mengembalikan fungsi sosial sungai.

Semoga penyelenggaraan FSM 4 kali ini mampu memberi perubahan mendasar bagi masyarakat disekitaran sungai, termasuk pemerintah juga bisa lebih serius untuk sedikit demi sedikit mengadopsi cara masyarakat dan pemerintah di Brisbane Australia adalam pengelolaan sungai.

Selamat dan Sukses FSM 4 Tahun 2017.