Tak hanya datang dari dirinya sendiri, dalam tubuhnya mengalir
darah kepemimpinan, pemerintahan dan militer. Juga sebagai anak bangsawan
Jeneponto, tak salah ketika menjadi Ketua senat Fakultas Ekonomi UNHAS, ia
gigih memperjuangkan nasib ribuan mahasiswa akibat sistem pembelajaran yang
sangat tak profesional. Karena jiwa besarnya itu, Drs. H. Tadjuddin Noor, MM.[1], sebelumnya lebih memilih “Berjuang Hidup” di Jakarta, tapi rupanya garis tangan berkehendak lain. Ia dibutuhkan
di jalur PNS di provinsi Sulawesi Selatan, hingga dengan begitu selama proses
pengembangannya di birokrasi dipercaya menjabat Sekda di dua daerah. Termasuk ia tak bisa menolak ketika dipilih menjadi Bupati
Majene (1995-2001). Diusianya yang masih relatif muda, ia menduduki posisi
penting.
Haji Mallillingang Karaeng Togo-Togo adalah kepala distrik di
Jeneponto. Tokoh bangsawan Jeneponto ini menjabat tentara Nasional Indonesia Angkatan
Darat (TNI-A D). Istrinya, Hj. Hanona Daeng Lele. Kedua keturunan adat besar
Makassar inilah yang melahirkan Tadjuddin Noor, tepatnya tanggal 20 Agustus 1947, di Jeneponto. Tak sempat
selesai ia sekolah dasar di Jeneponto, sebab ayahnya lebih memilih agar ia melanjutkan
sekolahnya di Makassar. Di Kota Daeng, ia
dibesarkan oleh pamannya, Brigjen (Purn) H. Alim Bachrie.
Setelah tamat SD Mamajang, melanjutkan pendidikan
SMP I Makassar. Tadjuddin Noor harus
sering berpindah sekolah. Hanya beberapa semester di SMA Katolik Rajawali. Kemudian
pindah ke SMA I Makassar, dan tamat disana. Sejak kecil
sangat gemar bermain bola kaki.
Dari segi pelajaran, ia memang tak terlalu menonjol. Tapi ada
beberapa bidang studi yang ia suka seperti, aljabar, ilmu bumi. Sejarah. Dari
mata pelajaran inilah ia banyak mengenal pahlawan-pahlawan nasional. Bahkan ketika SMA dulu, ia menulis panjang sejarah masuknya
penjajah di Indonesia. Ia ingat, tahun 1594 adalah awal masuknya penjajah
Belanda di nusantara. Seorang yang bernama, Cornelius De Houtman dan Rafless. Bahkan, dalam tulisannya itu, pada 1908 Belanda memperkenalkan
politik etis. Termasuk ia juga
menulis kedatangan Inggris dan Jepang.
Dari pendalaman sejarah, ia lalu memahami banyak hal padahal masih
di bangku sekolah menengah. Penjajah dulu memang kejam. Penjajah sangat pintar mengadu domba, lalu muncullah
pemberontakan-pemberontakan di daerah. Ini cara
untuk merusak kesatuan bangsa kita. Tapi hampir
semua daerah di nusantara tetap gigih membela tanah air. Termasuk di Mandar. Sebutlah misalnya Ammana I Wewang dan Andi Depu. Belanda dengan licik menangkap mereka.
Bakat kepemimpinannya sejak di SMP sudah nampak, mungkin karena dari sekian bersaudara, hanya dia yang kerap mengikuti jejak ayahanya selaku kepala distrik, ia
ikut ke mana ayahnya pergi. Sejak SD sudah dipercaya menjadi ketua kelas, hingga SMP.
Dalam perjalanan hidupnya, ada satu kisah
yang menarik dan sangat berkesan, ketika masih di SMP. Ada guru yang paling memberinya kesan yang amat berharga. Namun guru
itu, pindahan dari Kabupaten Majene. Di SMP 1, guru ini menjabat sebagai Direktur (kepala) SMP Negeri 1 Makassar. Sangat menetapkan kedisiplinan, jam 7 pagi
harus ada disekolah. Guru inilah yang paling banyak membangun karakter pemimpin
Tadjuddin muda. Ia sangat kagum kepadanya.
Sejak muda Tadjuddin sudah aktif di perkumpulan pemuda pelajar, aktif di KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Ketika kuliah ia aktif di KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiwa Indonesia) di UNHAS. Di UNHAS, ia memilih Fakultas
Ekonomi. Ia terbilang aktivis handal di Unhas, sampai-sampai pada pemilihan
Ketua Senat Fakultas Ekonomi dipilih menjadi Ketua Senat, Ketua senat pertama HM.
Yusuf Kalla. Tadjuddin Noor dan kawan-kawan aktifis
lainnya banyak terhimpun dalam wadah ekstra, HMI.
Dalam sejarahnya, Perguruan Tinggi Negeri yang terdepan di
Indonesia bagian timur ini, tokoh-tokoh besar pernah menjabat sebagai Rektor UNHAS. Berturut-turut, Arnold
Manuhutu, Prof. Mr. Muhammad Natzir Said, Prof. Hashib, Prof. Dr. Fahruddin,
Hasan Walinono, Prof. Dr. Basri Hasanuddin, Prof. Dr. Radi A. Gani.
Dari sekian banyak perjuangannya, ada satu yang paling tak bisa
dilupa, memperjuangkan perubahan kurikulum. Kurikulum
sangat membebani mahasiswa waktu itu. Kurikulum mensyaratkan dari tingkat satu
ketingkat dua, dari tingkat dua ketingkat tiga, dan seterusnya hingga ujian
sarjana-tiap satu tahun, semeter satu dan dua, terdapat 12 mata kuliah.
Untuk bisa dinyatakan lulus dan naik ke tingkat selanjutnya, 12
mata kuliah itu harus lulus semua. Jadi kalau ada satu atau dua lagi, mata
kuliah tak lulus itu harus diulangi selama dalam satu tahun akademik. Jadi
bayangkan selama satu tahun hanya datang dikampus mengikuti mata kuliah yang
tak lulus tahun sebelumnya. Itupun belum ada jaminan ketika ujian bakal lulus,
itu berarti bisa jadi hanya satu atau dua mata kuliah saja. Mahasiswa akan
mondar mandir ke kampus hingga tiga tahun.
Hitung-hitung dari segi waktu lamanya kuliah, bisa mencapai 10
tahun atau lebih. Meski pun tak pernah lalai kuliah dalam satu hari. Bisa-bisa
rambut putih mahasiswa bermunculan di kampus, artinya
betapa lamanya di kampus hanya karena penerapan sisitim kurikulum ini. Dari
segi biaya, apa lagi. Hanya mengurusi mata kuliah yang tak lulus, bisa-bisa
kerbau, sapi, sawah, kebun, ludes dilego orang tua di kampung
demi untuk bayar kuliah tiap tahun hasilnya juga tak beranjak dari satu
tingkat. Konsekwensinya, jangan berharap cepat selesai
seperti yang direncanakan ketika masih di kampung dulu.
Maka jangan heran kalau dahulu itu persentase kelulusan mahasiwa sangat rendah. Misalnya, dalam satu tingkat ada 200 mahasiswa, persentase
kelulusan paling sekitar lima sampai tujuh persen, ini sangat rendah. Akibatnya, jumlah drop out (DO) sangat
tinggi. Banyak mahasiswa yang prustasi.
Tadjuddin selaku Ketua Fakultas Ekonomi bersama kawan-kawannya
berjuang merubah sistim kurikulum itu. Ketika Prof. Dr.
Achmad Amiruddin diangkat sebagai Rekor Unhas,
sewaktu- waktu melakukan kunjungan ke setiap fakultas dari sembilan Fakultas. Materi yang banyak didialogkan
adalah sistim kurikulum tadi. Rekor pun kaget. “Kasihan dong kalau begitu. Dan yang tak lulus,
waktunya digunakan untuk apa, jadi selama satu tahun hanya mengurus satu mata
kuliah yang tak lulus “. Tanya rektor, kaget.
Dan semua sepakat untuk merubah kurikulum tersebut, suatu waktu di
adakan seminar tingkat universitas untuk membicarakan sekaligus merubah sistim
kurikulum, dan sejak saat itu berlakulah sistim kredit. Perjuangan inilah yang
sangat terkesan selama menjadi Ketua Senat Fakultas Ekonomi UNHAS. Tentu masih banyak agenda perjuangannya di luar kampus.
Selama di kampus, Baraya kampus tua UNHAS,
ia banyak menimba ilmu dari Prof. Dr. Basri Hasanuddin, MA. Tadjuddin Noor sangat mengidolakan putera asal Mandar itu. Belum begitu lama
pulang dari Filipina, saat Tadjuddin ujian sarjana Prof. Basri turut menguji sekaligus ujian
pertama setibanya di UNHAS. Penguji
lainnya termasuk Prof. Burhamsah, Prof. Halide, Prof. Wimpoly, dan Prof. Latandro.
Tahun 1976 berakhir semua mata kuliah. Karena itu harus ikut Kuliah
Kerja Nyata (KKN), tahun berikutnya lengkap sudah Tadjuddin sarjana. Sudah
seperti tradisi mantan-mantan aktivis kampus UNHAS, lepas kuliah angkat koper ke Jakarja. Mereka-mereka, mantan aktivis
hidup di Jakarta. Bertemu
teman-teman di Jakarta, Karaeng Tadjuk, sapaan kecilnya kerap dipanggil. Pak Ketua, panggilannya ketika di UNHAS. Alumni Fakultas Ekonomi UNHAS, Ikatan Alumni Fakultas Ekonomi
mereka bertebaran dimana-mana. Ada yang sudah bekerja. Ada juga yang masih
sibuk melamar pekerjaan, ada yang melamar di bank-bank swasta, perusahaan
asing, dan kantor-kantor di departemen.
Saat itu Prof. Dr. Ing. B. J. Habibie
sebagai Menristek RI. Dan tak lama lagi akan
diresmikan Badan Pengkajian Dan Penerapan Tekhnologi (BPPT), meski kantornya
dan kapasitas lembaga itu sudah siap. Begitulah
keramaian ibukota. Seorang kawan mengenal kita, tapi kita tak mengenalnya.
Begitu pula sebaliknya. Saihuddin, Alumni Fakultas Ekonomi UNHAS, teman
seangkatan Prof. Basri ini rupanya satu daerah dengan Karaeng Tadjuk, dari Jeneponto. Saihuddin dengar kalau Tadjuddin Noor ada
di Jakarta, Alumni FE
Unhas. Cari cari dan cari.
Seorang kawannya yang baik memberitahukan kalau Saihuddin itu
sangat membutuhkan Tadjuddin. Tapi dasar tak suka cari-cari muka sama orang, ia
ingin mendengar kabar itu. Tadjuddin cuek saja. Singkat cerita, pertemuan pun
terjadi. Saihuddin rupanya sudah lama
akrab sama Habibie. Dan hasrat ketemu Tadjuddin, itu pula karena tugas yang diberikan Habibie. Katanya ada beberapa buku ekonomi yang dicari Menteri
Habibie, delapan judul buku. Tapi demi panggilan Korp. FE UNHAS
dan itu pula atas didikan yang diperolehnya ketika masih kuliah dulu, ia pun
luluh.
Saihuddin minta tolong kepada Tadjuddin
untuk dicarikan buku yang dibutuhkan Menteri Habibie.
Maklum, Tadjuddin mantan Ketua Senat FE, dan baru lepas kuliah, pasti masih luas jaringannya dalam hal
referensi ilmiah. Tadjuddin minta waktu dua hari.
Pertemuan pada malam hari itu pun disudahi, dan Tadjuddin pamit. Cari di perpustakaan
UI di Salemba. Temui aktivis di Universitas Indonesia. Keliling ke toko buku di
Jakarta. Ia juga mendapatkan dari bekas dosen-dosennya termasuk
dari Prof. Halide. Persis buku yang dicari Prof Halide, sebab ia juga telah ujian Doktor, promotornya waktu itu Prof. Tatari-Rektor ITB Bogor. Termasuk ia
dapatkan buku pemenang hadiah nobel bidang ekonomi. Didalamnya itu dikupas
mengenai Gorhan Michdeer, peraih hadiah nobel bidang ekonomi tahun 70-an,
berkebangsaan Jerman, buku yang amat populer masa-masa itu.
Genap delapan buku
didapatkan Tadjuddin dalam dua hari tepat dead line yang dijanjikan kepada Saihuddin. Saihuddin mengajaknya menghadap ke Habibie di kantornya. Menuju ke lantai tiga, ruang kerja Kepala BPPT,
Prof. Dr. Ing B. J. Habibie. Tadjuddin duduk di ruang tamu, sementara Saihuddin
menuju ke ruang kerja Habibie memperlihatkan buku yang
dibutuhkannya. Dari dalam kamar kerja yang hanya berbatas kaca, Habibie sudah tahu orang yang menemukan buku itu, ditambah
penjelasan Saihuddin tentang Tadjuddin.
Sembari menunggu di ruang tamu, Tadjuddin
berdiri mendekat memperhatikan sebuah
prototipe pesawat yang panjang diatas meja ukir. Prototipe
pesawat Air Bus A-300 yang akan segera diluncurkan
tahun ini. Ia tertarik sebab disebelahnya juga terdapat Pesawat Boing 747. Di
saat asyiknya itu, tiba-tiba Habibie sudah berdiri di
belakangnya Tadjuddin Noor.
Dari balik kaca pembatas itu Habibie sudah tahu kalau “tamunya”
ini asyik memperhatikan contoh pesawatnya. Habibie menyapa,
“Senang ya ama
pesawat ?”. Kata Habibie singkat.
“Senang dengan
prototipe Air Bus A-300,
sebab baru saja kemaren dibaca di Kompas dan Tempo,
ini akan memperkuat dirgantara dunia. Dan pesawat ini akan menyaingi Boing
747”. Jawabnya Tajuddin dihadapan Habibie yang perencana pesawat Air Bus A-300.
Di dunia dirgantara, Habibie memang terkenal dengan “Teori Habibie keseimbangan dan kerekatan”.
Dia ahli keseimbangan sayap pesawat atau biasa disebut reunetika. Waktu silam,
ketika masih di Jerman, ada satu pesawat yang akan
di terbangkan dari Franfurk ke Berlin. Tapi pada sayap pesawat itu ada kerekatan.
Semua ahli penerbangan mengatakan pesawat ini tak layak terbang.
Tapi Habibie yakin, kemudian memberi rekomendasi bahwa pesawat ini bisa
diterbangkan, tanpa ada gangguan dengan perhitungan sesuai dengan teorinya.
Pesawat diterbangkan, dan selamat hingga di Berlin. Di
ruang tunggu Habibie, selama 15 menit mereka berdialog
tentang pesawat.
Saatnya masuk pembicaraan inti,
“Udah
biasa ke sini ?”. Tanya Habibie kepada Tadjuddin.
“Baru
2 minggu di Jakarta setelah tamat di FE Unhas langsung ke Jakarta,
“
Jawabnya.
“Kok bisa
dapat buku yang saya butuhkan”.
Tanya lagi.
Tadjuddin menjelaskan proses pencariannya,
dari teman-teman, tokoh buku, dan dari guru besanya. Habibie tanya lagi,
“Uda kerja,”
“Belum.”
“Tapi saya
dengar sudah diusulkan oleh Pemprov. Sulsel
untuk menjadi pegawai negeri.”
Sembari menulis sebuah catatan kecil, Habibie menawarkan kepada Tadjuddin Noor agar bekerja saja di BPPT.
Usai perkenalan itu, catatan kecil itu tadi di suruh antar ke wakil kepada BPPT,
Dr. Parlindungan Napitupulu, di lantai delapan. Parlindungan Napitupulu adalah orang kedua di BPPT ini, teman dekat Habibie di Jerman dulu. Di depan pintu kamar kerjanya tertulis Devisi Advans
Teknologi Pertamina.
Nota itu pun
diserahkan ke Parlin. Baru saat itu Tadjuddin tahu kalau isi catatan tadi adalah “perintah” agar Tadjuddin Noor di terima di BPPT, Jakarta. Perlin sempat bertanya, apa Tadjuddin ada hubungan keluarga
dengan bosnya, Habibie. Segera dijawab tidak. Kenal juga baru tadi. Tapi karena dia sebut alumni FE UNHAS,
Parlin pun mungkin mengait-ngaitkan, kalau sesamanya dari Sulawesi
Selatan.
Siang itu menunjuk tanggal 27 Juli 1997.
“Kapan mau
masuk kerja”, tanya Parlin.
“Bagaimana kalau
saya masuk tanggal 1 Agustus saja”. Minta Tadjuddin
Noor,
“Ok”.
Di pagi-pagi buta, hari pertama kerja di kantor BPPT. Tadjuddin
melongo. Luar biasa perhatian. Meja, kursi, lemari, kursi tamu sudah siap di
ruang tempat kerjanya. Kurang percaya diri kalau dirinya harus disejajarkan
dengan Saihuddin dan Staf lainnya yang sudah lama
bekerja di kantor ini. Tapi begitulah kenyataan yang dihadapi Tadjuddin Noor. Parlin Napitupulu
memberi tugas pada Tadjuddin. Inilah tugas pertamanya
mungkin pula ini uji coba, begitu yang muncul di benaknya. Ia diminta ke Kantor
Sekretaris Negara (Setneg) menanyakan Kepres Pembentukan BPPT. Esok hari menuju
ke Kantor Setneg.
Tapi sebelumnya, ia meminta sepucuk surat di Bagian Tata Usaha BPPT, dalam isi surat itu menyatakan benar kalau ia ditugaskan ke kantor Setneg. Ini
antisipasinya jangan sampai tiba di Setneg ia ditanya mana buktinya kalau ia
ditugasi BPPT. Jeli juga Tadjuddin.
Di Setneg, seorang marinir menunjuk ke lantai 2, tempat kerja Kepala
Biro Personalia, seorang Mayor Jenderal Angkatan Darat. Ia perlihatkan surat
tugas dari BPPT.
“Ini sudah
dimasukkan ke meja presiden (Presiden Soeharto),
tapi biasanya kalau beliau masuk kantor paling 7 kepres ditandatangani,”. Jelas Kepala Biro.
Lagi-lagi indra keenamnya berfungsi. Ia meminta arsipnya Kepala
Biro memberitahu stafnya untuk diberikan foto copy arsip Kepres mengenai BPPT, ia bersyukur begitu mudahnya diberikan
copy-an. Kepala biro, Setneg bilang, tunggu saja beritanya atau tanyakan dua atau tiga
hari kemudian.
Tiba di ruang kerja Parlin, di
jelaskan hasil perjanannya di Setneg, termasuk copy-an arsip kepres itu. Ini yang di
tunggu. Parlin Napitupulu segera menghadap ke Habibie, dan sebentar lagi Kepres segera
turun. Hanya berselang sehari-mendahului waktu yang dijanjikan Kabiro
Personalia Setneg-Keppres sudah ditandatangani Presiden RI. Tadjuddin kembali ke Setneg
mengambil Kepres itu. Semua gembira. Tujuh hari kemudian
dibentuklah secara resmi BPPT.
Berjalan tiga bulan bekerja di BPPT, H. Alim Bachrie ke Jakarta menemui Habibie. Tapi
pamannya ini pun tahu kalau anak keponakannya itu bekerja di kantor Habibie. Dengan serta merta pun paman Alim mengajaknya kembali ke Makassar. Kata pamannya, SK PNS (Pegawai Negeri Sipil) sudah ada di kantor Gubernur Sulsel.
Tadjuddin begitu berat memilih.
Meniggalkan kantor BPPT, sementara yang mengajaknya bekerja disitu adalah Menristek dan Kepala BPPT langsung, Habibie. Sungguh berat. Sementara
yang mengajaknya pulang adalah pamannya sendiri, orang yang membesarkannya.
Ditambah ayahnya sangat risau di Makassar.
Tadjuddin memilih pulang, tapi satu kesan yang tak akan dilupa
sepanjang hidupnya. Ia pernah “dekat” dengan Habibie yang
pernah menjadi Presiden RI keempat.
Di Makassar, ia ditempatkan di kantor Bappeda Sulsel, waktu itu Malaka sebagai Kepala Bappeda, dan Manawi AS sebagai sekretaris. Tak lama ia di pindah menjadi Kepala Bagian Pengadaan dan Distribusi di Biro Perlengkapan Kantor Bupati Sulsel. Disitu menjabat beberapa tahun.