Kamis, 19 Januari 2017
HM. SAID SAGGAF : Bupati Pertama Kabupaten Mamasa
Mamasa pada tahun 1940. Ketika itu Mamasa masih dalam status
pemerintahan kewedanan. Meski masih kewedanan tapi Mamamsa sudah sangat dikenal
dengan panorama alamnya yang memesona.
Drs. HM. Said Saggaf, M.Si[1]
lahir disebuah yang terletak di Desa Buntu Buda pada 27 Desember 1942. Said
Saggaf adalah buah cinta dari pasangan Saggaf dengan Hj. Sannang.
Dalam darahnya masih
mengalir turunan Bugis. Ia lahir 4 bersaudara, Hj. Nadira, Said Saggaf, Hj.
Salwiyah dan Syarifuddin Saggaf. Said Saggaf melalui masa kecilnya di Mamasa.
Ia mulai sekolah di SR 2 Mamasa selama 6 tahun dan lanjut SMP di kota yang
sama. Pada saat kelas 3 SMP ia pindah ke Parepare dan menamatkan pendidikannya
di kota niaga tersebut.
Said Saggaf melalui
proses pertumbuhannya dengan biasa-biasa. Ia suka mandi-mandi dan main bola
layaknya anak kebanyakan. Padahal Said Saggaf secara ekonomi lahir dari
keluarga yang tergolong berada di Mamasa. Kakeknya adalah orang pertama yang
memiliki mobil di Mamasa. Bahkan Saggaf, bapaknya sudah memakai motor gede,
Harley Davidson.
Said Saggaf sejak SD
sampai SMP tidak ada yang menonjol dari segi pendidikan. Nanti pada saat di SMA
barulah agak menonjol, terutama bahasa Inggrisnya. Tahun 1962 ia lanjut kuliah
di UNHAS mengambil Fakultas Sospol jurusan administrasi Negara. Ia tak terlalu
aktif dalam organisasi mahasiswa kecuali organisasi daerah. Dulu ia sempat
menjadi Ketua KPMPM (Kesatuan Pelajar Mahasiswa Polewali Mamasa), wadah
berhimpunnya mahasiswa Polmas di Makassar. Ia aktif bersama Yultan Lebu, Sumama
(Wonomulyo), Muhammad, Madjid Burhan (Tinambung) dan Yonatan Puallilin
(Mamasa).
Pada saat Said Saggaf sudah
di tingkat lima di Unhas, ia mendaftar pegawai dan lulus jadi PNS dan
ditempatkan di Kabupaten Sidrap. Ia beruntung sebab diangkat jadi PNS. Praktis
kuliahnya putus meski sesungguhnya ia
diberi kesempatan tetap kuliah oleh Zainal Wali Amrullah yang saat itu
menjabat sebagai Kepala Direktorat PMD Provinsi Sulawesi Selatan, namun ia
tetap konsentrasi untuk bekerja sebagai PNS.
Menjadi PNS tentu saja
hidupnya berubah. Tahun 1972 ia menjadi Kepala Kantor PMD Kabupaten Takalar dan
menikah dengan seorang dara Bugis yang bernama Hj. Aisyah. Ketika salah seorang
pejabat di jajaran PMD Takalar ditugasi kuliah di Institut Ilmu Pemerintahan
(IIP) Jakarta, Anwar Bangki’. Anwar Bangki menolak sehingga atas nama
Pemerintah Provinsi, ia lalu menugaskan Said Saggaf sampai tahun 1974 dan
kembali ke Sulawesi Selatan. Disana ia diangkat menjadi Kepala Sub Dit
Prasarana Perekonomian Desa Kantor PMD Provinsi Sulawesi Selatan 1975-1977.
Said Saggaf dekat
dengan Ketua DPRD Kabupaten Wajo, H. A. Mungkace, sehingga ia meminta agar bisa
ditugaskan di daerah Wajo. Atasannya, Zainal Wali Amrullah saat itu juga setuju
sehingga ia dipindah tugaskan menjadi Kepala PMD Kabupaten Wajo. Ia bertugas
disana delapan tahun lebih dan berhasil menjadikan Kantor PMD Wajo sebagai
pilot project Kantor PMD se-Indonesia Timur.
Pada tahun 1985 ia dipindah
tugaskan menjadi Kepala PMD Kota Makassar sampai tahun 1989. Walikota saat itu
dijabat oleh Yansi Raib. Selanjutnya HZB. Palaguna, Gubernur Sulsel
mengangkatnya menjadi Sekda di Kabupaten Soppeng mulai 1989 sampai 1993. Atas
berbagai prestasi yang sempat ia raih sehingga DPRD Kabupaten Bantaeng
memilihnya menjadi Bupati selama satu periode (1993-1998)
Setelah mengakhiri
jabatannya sebagai Bupati Bantaeng, ia kembali diangkat oleh Gubernur Palaguna
untuk menjadi Kepala Diklat Provinsi Sulawesi Selatan dan dijalaninya sampai
tahun 2001. Periode 2001-2002 ia bekerja sebagai widyaswara pada diklat
regional IV Makassar, sekaligus pangkatnya dinaikkan dari Pembina utama muda
golongan IV/C ke utama madya golongan IV/D.
Ketika Mamasa resmi
menjadi Kabupaten, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002, atas nama
Menteri Dalam Negeri, Gubernur HZB. Palaguna menunjuknya sebagai pejabat Bupati
Mamasa. Selanjutnya pada pertengahan tahun 2003, Said Saggaf dipasangkan dengan
Victor Paotonan, S.Sos sebagai Calon Bupati Mamasa untuk jabatan Bupati periode
2003-2008. Saat itu pemilihan di parlemen Mamasa dimenangkan oleh pasangan ini.
Demikianlah, ia resmi
menjadi Bupati Mamasa dengan kondisi betul-betul memulainya dari nol. Mamasa
pada waktu itu betul-betul terbelakang sehingga yang dilakukan pertama kali
adalah memperbaiki prasarana dasar, baik infrastruktur maupun seperti
pendidikan, pariwisata, kesehatan dan pertanian.
Ia juga mengajak DPRD
Mamasa selaku mitra pemerintah daerah agar anggaran APBD sebagian besar
diperuntukkan untuk dialokasikan pada pembukaan akses jalan antar kabupaten,
kecamatan dan desa. Akses jalan dimulai dengan rintisan dan pengerasan seperti
jalur Mamasa-Tabang-Tator langsung dibuka dengan lebar delapan meter.
Said Saggaf ingin mewujudkan
Mamasa sebagai kota wisata untuk menarik minat wisatawan masuk ke daerahnya.
Berbagai pertimbangan itu didasari oleh pengakuan turis-turis yang sempat masuk
ke Mamasa. Para Turis itu menilai Mamasa sebagai kota yang indah, beautiful
scenary. Dengan demikian, tak ada jalan lain selain membangun infrastruktur dan
prasarana dasar. Setelah itu baru beralih ke pembangunan kantor bupati, DPRD,
Gabungan dinas-dinas, kantor camat, puskesmas dan sekolah-sekolah yang semuanya
harus bertingkat dua, terutama sekolah yang berada di ibukota Mamasa.
Said Saggaf menilai
bahwa Kabupaten Mamasa adalah kabupaten yang SDM-nya rendah dalam semua lini,
baik aparat maupun pemerintah. Maka selaku bupati, ia ingin membuat perubahan
mendasar, yaitu perubahan pola fikir dan perilaku. Dengan dasar itu, ia berobsesi menjadikan
Mamasa sebagai kota mungil, small beautiful. Ia juga ingin akses jalanan antar
kecamatan dan desa meningkat agar
mobilitas barang dan uang menjadi lancer. Dengan demikian, maka
periodenya yang lima tahun bisa berpacu dengan kabupaten lain yang ada di
Sulawesi Barat.
Hal yang juga sangat ia
perhatikan adalah toleransi antar umat beragama. Mengingat Mamasa adalah
kabupaten yang mayoritas beragama Kristen dan kepercayaan alu’ todolo’-Mappurondo bisa terjalin untuk memfaktualkan
pesan Mesa Kada Dipotuo Patang Kada dipomate.[2]
Rabu, 18 Januari 2017
Selasa, 17 Januari 2017
MENJAGA PERSAUDARAAN WALAU BERBEDA ITULAH BHINNEKA TUNGGAL IKA
Pertama-tama
saya ucapkan terima kasih kepada adinda, Muhammad Ridwan Alimuddin (Pustakawan
Armada Pustaka Mandar) yang telah dengan sudih bersilaturrahmi, memberikan
tanggapan terhadap tulisan saya berjudul “Bhinneka Tunggal Ika Dalam Perspektif
Mandar”. Beliau memberikan tanggapan di Radar Sulbar edisi 13 januari 2017
dalam halaman opini dengan judul “Apakah Kata “Tunggal” dalam Bhinneka Tunggal
Ika Bahasa Mandar.
Tentu kita sepakat bahwa tujuannya adalah menjalin hubungan bersahabatan yang
lebih akrab. Dan tidak setuju jika merusak hubungan silaturrahmi. Perbedaan
pendapat bila disikapi secara arif dan bijaksana tentulah menambah keakraban
diantara kita. Begitu juga perbedaan pendapat akan menjadi rahmat bila niatnya
untuk menemukan ilmu pengetahuan demi kemaslahatan ummat.
Opini
yang saya tulis di Radar Sulbar edisi 9 januari 2016 bukanlah semata-mata
dilatar belakangi polemik di dunia maya atas pernyataan saya pada saat menjadi
pemateri diskusi akhir tahun di gedung Assamalewuang kabupaten Majene, 30
Desember 2016. Sebelumnya juga menyampaikan materi yang sama pada orasi dengan
tema Bhinneka Tunggal Ika dalam acara “Nusantara Bersatu” yang diselenggarakan
oleh Dan Dim 1401 Majene di lapangan Prasamya Majene. Tulisan/Opini di Radar
Sulbar lebih dari menjalin persatuan dalam keberagaman demi keutuhan NKRI yang
didalamnya juga bagian dari suku, bahasa dan budaya Mandar.
Adinda
sendiri mengakui bahwa pernyataan itu telah dikutip di media online, Mandarnews.com (30 desember 2016), dengan kalimat sebagai
berikut “Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyang Indonesia tidak berasal
dari bahasa Sansekerta. Tapi berasal dari bahasa Mandar. Saya katakan Bhinneka
Tunggal Ika berasal dari kata bahasa Mandar itu. Bhinneka tunggal, tunggal
bahasa Mandar, Situnggalang. Bukan bahasa Sangsekerta itu Bhinneka Tunggal Ika,
saya katakana bahasa Mandar. Tunggal mesa kan. Inggai situnggalang, berduel”. Tulisan yang
sepotong-sepotong itu, bukanlah pernyataan yang utuh karena ada perdebatan,
pertanyaan kemudian diklarifikasi.
Perlu
diketahui bahwa acara yang digelar pada tanggal 30 desember 2016 itu, merupakan
forum ilmiah. Dialogis yang sekali lagi merupakan diskusi, perdebatan,
pertanyaan, dan klarifikasi yang utuh, bukan kutipan sepotong-sepotong. Dan
kesimpulannya tentu ada pada panitia penyelenggara. Supaya pernyataannya
sempurna saya berharap utuk tidak mengutip di media online, lebih baik
bersilaturrahmi secara langsung.
Saya
hanya mengingatkan kepada pembaca yang budiman akan pesan keimanan di dalam
kitab kebenaran mutlak “Ya ayyuhal-lazina amanu in ja ‘akum fasiqum binaba’in
fa tabayyanu an tusibu qaumam bijahalatin fa tusbihu ‘ala ma fa ‘altum nadimin:
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu
membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan
suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu
itu (QS: Al-Hujurat; 6). Harus dijadikan pembelajaran bahwa berita yang tidak
sempurna (tidak utuh), dipotong-potong lebih-lebih yang beredar di dunia maya,
sering kali menimbulkan perselisihan. Apalagi jika didorong keegoisan pribadi,
merasa pintar dan benar sendiri – orang lain bodoh dan salah. Tentu bukanlah
itu sebagai warga Negara yang baik dan sangat jauh dari hakekat Bhinneka
Tunggal Ika.
Alhamdulillah,
adinda juga telah membenarkan bahwa kata “Tunggal” ada juga dalam kosa kata
bahasa Mandar (paragraf-4) yang juga bisa ditemukan dalam kosa kata bahasa lain
di Nusantara lalu mengutif beberapa daerah yang menggunakan juga kosa kata
“Tunggal”. Dan saya pikir tidak ada salahnya, jika orang lain juga menggunakan
dan mengakui sebagai bahasanya. Perlu diingat bahwa pada mulanya manusia
berasal dari diri yang satu dan bahasanya pasti sama (satu), karena
beranak-pinak (populasi) serta perkembangan peradaban, maka perkembangan
bahasapun mengikutinya. Dan tidak menutup kemungkinan dikemudian hari, ada kosa
kata bahasa Mandar yang diakui sebagai bahasa dunia.
Kamus
bahasa Mandar yang disusun oleh Abdul Muttalib yang diterbitkan oleh Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta
(1977) tentu kita sependapat bahwa bukanlah satu-satu rujukan. Banyak kosa kata
bahasa Mandar dan kaya makna tidak ditemukan dalam karya Abdul Muttalib.
Adinda Ridwan yang saya hormati !. Makna yang saya maksudkan dalam tulisan itu,
khususnya pada paragraf pertama. Poinnya adalah, bahwa hakekat atau makna
kalimat Bhinneka Tunggal Ika itu adalah semua budaya, bahasa, ras, suku, agama
dan kepercayaan bersatu dalam Ke-Bhinneka-an. Beragam tetapi terbingkai secara
tunggal kedalam NKRI. Adapun sejarah proses penciptaan lambang Negara Garuda
Pancasila dengan semboyang Bhinneka Tunggal Ika, saya percaya kita semua juga
sudah mempelajarinya.
Referensi
dan atau rujukan terhadap Lambang Negara Garuda Pancasila dengan semboyang
Bhinneka Tunggal IKa tentulah tidak sedikit diantara anak bangsa yang paham dan
telah membacanya. Saya mempunyai pengalaman pribadi (tentu bukan kebanggan),
pernah menjadi mahasiswa (S2) Pasca Sarjana pada jurusan Hukum Tata Negara
(tidak selesai), juga pernah juara harapan 2 pada lomba pidato dan debat
tentang Pancasila (Simulasi P4) tingkat Provinsi Sulawesi Selatan, mewakili
kabupaten Majene (1994/1995). Dari pengalaman dan hasil kajian-kajian itu dapat
menjadikan diri serta menunjukkan karakter yang mulia sebagai bangsa yang
berdudaya.
Poin
yang harus diambil dari semua tulisan serta pidato-pidato saya tentang Bhinneka
Tunggal Ika, adalah agar kita sebagai warga Mandar tetap terlibat secara
langsung maupun tidak langsung dalam upaya menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Bukan hanya kata “Tunggal” yang harus
dibesar-besarkan, sehingga melahirkan kesan, bahwa Darmansyah itu sebagai ketua
DPRD kabupaten Majene, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Sulbar, Pendiri
Taman Bacaan Bura’ Sendana, tidak paham Bhinneka Tunggal Ika.
Saya memohon ma’af kepada semua pihak, jika saya mengharapkan tanggapan akan adanya gagasan-gagasan baru, pemikiran-pemikiran baru, ide-ide baru yang cemerlang untuk mempertebal rasa persatuan dalam ke-Bhinnekaa-an dengan tujuan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan justru merusak hubungan persaudaraan diantara anak bangsa.
Saya memohon ma’af kepada semua pihak, jika saya mengharapkan tanggapan akan adanya gagasan-gagasan baru, pemikiran-pemikiran baru, ide-ide baru yang cemerlang untuk mempertebal rasa persatuan dalam ke-Bhinnekaa-an dengan tujuan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan justru merusak hubungan persaudaraan diantara anak bangsa.
Masyarakat
Sejarawan Indonesia Sulawesi Barat berencana bekerjasama dengan Universitas
Hasanuddin (UNHAS) dan Universitas Sulawesi Barat akan mengadakan Silaturrahmi
melalui dialog kebangsaan dengan tema “Bhinneka Tunggal Ika Dalam Perspektif
Mandar”. Kepada semua pihak mulai dari Akademisi, kalangan profesi, politisi,
sejarawan, budayawan, pelajar, masyarakat secara umum untuk mengikuti acara
tersebut. MSI berharap semoga dalam acara itu dapat melahirkan pemikiran,
gagasan, ide yang berasal dari tanah Mandar untuk Indonesia yang lebih baik.
Jadwalnya akan diumumkaan kemudian.
Langganan:
Postingan (Atom)