1.
Bentuk-Bentuk Kalinda’da’
Kalinda’da
yang beredar di masyarakat mempunyai
bentuk yang sekaligus menjadi tema tersendiri bagi kalinda’da. Masyarakat
Mandar juga sudah sangat faham kapan Kalinda’da’
tema tersebut diungkapkan. Berikut adalah beberapa bentuk atau tema
Kalinda’da’ sebagaimana yang ditulis oleh Drs. Darmansyah dalam buku Sastra
Mandar (2015) :
-
Kalinda’da’ Pusaka
Kalinda’da’ Pusaka adalah bentuk kalinda’da’ yang ditemukan
lestari pengungkapannya ditengah-tengah masyarakat tanpa diketahui siapa yang
mencipta dan pertama kali menggunakan. Kalinda’da’
tersebut sering disampaikan dan diulang-ulang dari masa-kemasa, dari
generasi-kegenerasi. Kalinda’da’
pusaka memiliki sturuktur yang tegas, jelas, maknanya cukup luas dan dalam,
mengandung seribu satu macam interepretasi. Kalinda’da’
pusaka dus-nya indah bila diucapkan karena memiliki pilihan kata (diksi) yang
baik dan tepat.
Kalinda’da’ pusaka tergolong ulet, dapat bertahan lama ia telah teruji dalam rentang masa yang
panjang, sehingga nafasnya pun menjadi panjang juga. Ada juga kalinda’da’ yang kalah diuji oleh ruang
dan waktu, dengan sendirinya hilang dari peredaran, tersingkir sehingga tidak
layak dijadikan khasanah kalinda’da’
pusaka.
Beberapa
bait kalinda’da’ pusaka yang masih
lestari dan diungkapkan dari generasi ke generasi. Kalinda’da’ pusaka ini dianggap lestari karena memang cukup berisi
– kaya akan makna, mengandung nilai-nilai ketuhanan, hubungan antara hamba
dengan sang Khaliq. Kalinda’da’
pusaka itu adalah sebagai berikut :
Bismilla akke’ lette’ta’
Alepu pelli’ata’
Turang loata’
Lailaha illallah.
Dengan Bismillah kaki di angkat
Dengan
Alif kaki melangkah
Tutur
katamu
Zikir
kepada Allah.
Kalinda’da’ ini mengandung makna bahwa dalam memulai
suatu pekerjaan atau apa saja hendaknya diawali dengan nama Allah Swt. Karena
segala sesuatu yang di kerjakan atas dasar karena Allah, maka usaha itu pasti
berhasil. Alepu pelli’ata maknanya
adalah jika sedang dalam beraktifitas jangan pernah menyerah atau putus asah.
Bait kedua kalinda’da’ ini memberi
pesan bahwa jangan berhenti sebelum berhasil. Ada keyakinan dimasyarakat Mandar
bahwa dari 29
(dua puluh sembilan) huruf dalam Al-Qur’an, hanya Alif yang tidak
pernah terbunuh, dan itulah yang dijadikan prinsip orang-orang Mandar dalam
mengarungi kehidupannya.
Begitu juga
baris kedua dan ketiga memberikan pesan bahwa tutur sapa harus lemah lembut,
penuh kebijaksanaan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Ada pepatah yang
menyebutkan : Tania sangga ulu dipesokko’i,
Tania sangga alawe nipelipa’i, mo
pau-pau dipewanyui toi (bukan
hanya kepala yang dihiasi dengan kopiah bukan cuma badan ditutupi dengan sarung
dan baju. Tapi ucapanpun harus berpoles dengan baik). Bibir dihiasi dengan zikir
kepada Allah (jangan mau berpisah dengan
Allah Swt.).
Sayyang borra’di tutia
Sayyanna nabitta
Naola dai
Di langi’ pitussusun.
Kendaraan
secepat kilat
Adalah
kendaraan Rasulullah
Untuk
digunakan
Ke
langit tuju susun.
Apa dzai’ nalambai
Dilangi’ pitu(s) susun
Dai’ ma’ala
Sambayang lima wattu.
Apa gerangan ia pergi
Ke langit tuju susun
Untuk menjemput
Shalat yang lima waktu.
Kalinda’da’ pusaka kedua dan ketiga ini menerangkan
perjalanan isra’ dan mi’raj Rasulullah Muhammad Saw. Beliau
dalam perjalanan mengendarai buraq (borra’), sebuah kendaraan yang secepat
kilat, bahkan lebih cepat dari itu.
Dalam
perjalanan mi’raj Rasulullah yang digambarkan
dalam
Kalinda’da’ ke-2 bait ke
empat, beliau sampai menembus lapisan langit yang ketujuh. Dan pada kalinda’da’ ke-3 menerangkan bahwa
tujuan Rasulullah dalam perjalanan Mi’raj
adalah untuk menjemput shalat lima waktu.
Passambayammo’o dai
Pallima wattu mo’o
Iyadzitia
Pewongang di ahera’.
Segeralah
mendirikan shalat
Khususnya
shalat lima waktu
Karena
shalatlah
Bekal
untuk akhirat.
Kalinda’da’ pusaka ini mengingatkan agar melaksanakan
ibadah shalat utamanya shalat pardhu,
lima waktu sebagai rukun islam yang kedua. Bait ke-4 kalinda’da’ diatas memberi
pesan bahwa ibadah shalat merupakan bekal untuk
kehidupan akhirat.
Ahera’ oroang tongang
Lino nindang ditia
Borongi ayu
Leppeng nipettullungngi
Akhirat
tempat sesungguhnya
Dunia
ini hanya sementara
Ibarat
pohon kayu (rindang)
Tempat persinggaang untuk bernaung.
Akhirat itu adalah tempat yang
sesungguhnya, untuk mendapatkan imbalan dari amalan disaat berada di atas
dunia. Karena sesunggguhnya di dunia
adalah tempat untuk mengabdi, berkarya, dan berperestasi dan sifatnya
sementara, dunia ibarat pohon tempat persinggaan untuk bernaung. Itulah makna kalinda’da’ pusaka bagian ke (5) diatas.
Inna sambayang-sambayang
Sambayang tonga’-tongang
Melo’ uissang
Melo’ uayappui .
Mana
shalat yang sesungguhnya
Shalat
yang sebenar-benarnya shalat
Akan
ku-ketahui
Dan
saya mau pahami.
Karena shalat merupakan bekal yang
takkan basih menghadap kehidupan akhirat, maka kalinda’da’ pusaka ini
memberikan pesan untuk ingin mengetahui shalat yang benar – tentu
berdasarkan syariat islam seperti shalat yang dicontohkan oleh baginda
Rasulullah Saw.
Indi sambayang-sambayang
Sambayang tonga’-tongang
Tandi kedzoang
Nakedzoang alena.
Inilah
shalat yang sesungguhnya
Shalat
yang sebenar-benarnya shalat
Tidak
diperagakan
Tapi
diperagakan dirinya sendiri.
Kalinda’da’ ke (7) diatas
menerangkan bahwa shalat yang sesungguhnya itu adalah shalat yang tak ada
putusnya, ini lebih bermakna pada pengertian sufi/tarekat - tidak hanya pada
gerakkan tubuh. Mereka menganggap shalat bukan hanya kewajiban, tapi merupakan
kebutuhan, maka yang bersangkutan dalam kondisi apapun, disaat sakit, ia tetap
menegakkan shalat kendatipun dilaksanakan dengan cara duduk, berbaring bahkan
dengan gerakan nafas sekalipun. Kalinda’da’
pusaka ini, khususnya pada bait ke (3) dan bait ke (4) memberi maksud bahwa
zikir kepada Allah SWT. yang tak ada putusnya.
Pammesai Sahadamu
Mesa Alla Ta’ala
Nabi Muhammad
Suro niatappa’i.
Satukan
kesaksianmu
Hanya
Allah yang tunggal
Nabi
Muhammad
Utusan
yang di-imani.
Pada kalinda’da’ ke (8) menegaskan bahwa
satukan kesaksianmu bahwa sesungguhnya Allah itu Esa, tidak ada duanya, tunggal, tidak lebih dari itu. Dan Muhammad adalah utusannya. Kalinda’da’ ini tidak lebih pada rukun
islam yang pertama : Asyhaduallailaha
illallah wa asyhadu anna Muhammadarrasulullah. Bisa juga Kalinda’da’ pusaka diatas terinspirasi dari QS : Al-Ikhlas : Qul huwallahu ahad. Allahush shamad. Lam
yalid wa lam yulad. Wa lam yakul lahu kufuwan ahad : Katakanlah, Dialah Allah yang
maha esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Tidak beranak dan tidak pula
diperanakan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan-Nya.
Dilalang dua’ di kaca
Membolong di Alepu’
Siannassai
Puang Allah Ta’alah.
Ketika
aku masih dalam rahim
Dalam
genggaman kekuasaan Allah
Memberikan
pengakuan
Pada
keesaan Allah.
Dilalang dua’ di kaca, maksudnya adalah ketika manusia berada di alam
rahim seorang ibu - benam pada kekuasaan Allah yang tidak pernah tidur/mati (alif). Manusia pada saat itu sudah
sempurna kejadiannya, bahkan Ruh dari Allah pun sudah berada dalam tubuh
manusia. Disanalah manusia memberikan pengakuan bahwa Engkaulah Tuhanku “Allastu birabbikum lalu
roh menjawab qalu bala sahidna”.
Banyak pula Kalinda’da’ pusaka dijadikan oleh pencipta lagu daerah Mandar sebagai lirik
lagu, atau disampaikan dengan cara disyairkan melalui puisi Mandar.
-
Kalinda’da’ Kontemporer
Kalinda’da’ kontemporer adalah kalinda’da’ yang berkembang dalam masyarakat dari masa ke masa,
menyesuaikan dengan kondisi dan situasi serta budaya dalam masyarakat. Kalinda’da’ kontemporer relatif tidak
memiliki sturuktur yang tegas dan jelas dan maknanya kurang mendalam. Diksinya
juga relatif tidak kuat. Namun demikian tidak sedikit juga kalinda’da’ kontemporer memiliki sturuktur yang tegas, maknanya jelas serta baik dan tepat diksinya.
Beberapa kalinda’da’ kontemporer dikenal siapa
pencita dan/atau pengubahnya. Namun ada juga kalinda’da’ kontemporer tidak diketahui pencipta dan/atau
pengubahnya. Tidak mustahil, Kalinda’da’
– kalinda’da’ kontemporer yang baik
kelak akan menjadi kalinda’da’ pusaka
setelah diuji oleh ruang dan waktu. Sedangkan kalinda’da’ – kalinda’da’ kontemporer yang kurang baik dengan
sendirinya akan terjungkil dan kalah oleh terpaan masa. Pencipta dan/atau
pengubah kalinda’da’ kontemporer yang
penulis kenal adalah Drs. Abdul Muis Mandra, Suradi Yasil dengan kalinda’da’ yang bernafaskan nilai-nilai
Pancasila.
Pada umumnya
kalinda’da’ kontemporer yang ada
memenuhi suku kata rumus kalinda’da’
= 8–7–5–7. Serta pencipta dan/atau pengubah kalinda’da’
kontemporer adalah Halija bersama Syaripuddin
(Sari). Sangat disaayangkan, karena kalinda’da’ yang dicipta oleh Halija bersama
Syaripuddin tidak pernah
dituliskan, tapi sering kali disampaikan lewat syair lagu sayang-sayang.
Berikut kami
tuliskan beberapa bait kalinda’da’
kontemporer yang dicipta dan/atau diubah oleh Andi Saiful Sinrang dan Halija
bersama Syaripuddin (Sari) sering dilantunkan lewat lagu
sayang – sayang sebagai berikut :
(1) Bismillah
turanna elong
Bungasna elong Mandar
Salama’ nasang
Ingganna ma’irrangngi.
Dengan
Bismillah lagu dimulai
Sebagai
awal lagu Mandar
Semoga
dengan selamat
Semua
orang yang mendengarkannya.
(2) Moa’
nasalama’ bandi
Ingganna mairrangngi
Nanidzannanggi
Penda’dua-pettallung .
Kalau
nanti akan selamat
Segenap
yang mendengarkan
Akan
kita cukupkan
Dua
atau tiga bait.
(3) Elo-elong
panginoang
Andiang battuanna
Ita’ madzosa
Moa’ diwattuanni.
Lagu
dan permainan
Tidak
perlu ditanggapi
Kita
yang berdosa
Jika
ditanggapi.
(4) Namadzosa
namangapa
Apa’ uwattuanni
Andiang elong
Andiang battuanna.
Sekiranya akan berdosa
Karena tetap kutanggapi
Tidak ada lagu
Yang tidak punya arti.
(5) Urang
patamba’o mai
Dao tappa di lita’
Tappao naung
Dilisu simbolonna.
Hujanlah
dengan lebat
Jangan
tiba pada tanah
Tapi
tibalah
Pada
ikatan rambutnya.
(6) Tenna’
andiandi rinding
Arriang mallindui
Uita toi
Matttokko simbolonna.
Seandainya
tidak ada dinding
Maka
tiang yang akan melindungi
Akan
kulihat juga
Menghias
rambutnya.
(7) Napadzi tia
ikandi’
Mattokko simbolonna
Menang nitangngar
Menang memonge-monge’.
Apa
yang adinda lakukan
Dalam
menghias rambutnya
Semakin
dipandang
Semakin
mempesona.
(8)
Mongea’ mumonge-monge’
Namonge’ to’o i’o
Moka’ iau
Namonge’ asisa’u.
Aku
terluka karena dikau
Kaupun
akan terluka
Aku
tak mau
Menanggung
kepedihan sendiri.
(9)
Tenna’ uli’u dzi monge’
Naupandottorammi
Apa’ ateu
Nauapami tama.
Sekiranya
kulitku yang sakit
Akan
kuadukan ke dokter
Karena
hati dan perasaanku
Akan
diobati bagaimana.
Kalinda’da’ pusaka dan kalinda’da’ kontemporer sama-sama dibutuhkan dan diharapkan saling
mengisi dalam upaya pelestarian dan pengembangan kekayaan budaya Mandar.
Khasanah kebudayaan Mandar berupa kalinda’da’
diharapkan memiliki isi dan berisi, pelaku dan pemakai kalinda’da’ hendaknya mengacu pada kalinda’da’ pusaka dalam mencipta atau mengubah kalinda’da’ – kalinda’da’ kontemporer.
(Bersambung)