Riri Amin Daud dilahirkan pada 13 Juni 1927
di Kampung Biring Lembang Balanipa Mandar, sebuah wilayah yang dalam sejarahnya
senantiasa mereproduksi pejuang sejak periode kolonial sampai perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Ayahnya bernama Muhammad Daud Puangnga I Lotong dan ibu bernama Sitti Sa’diayah. Tradisi dan karakter pejuang Riri Amin Daud
diwariskan secara turun temurun melalui pendidikan keluarga yang berbasis adat
dan nilai moral orang Mandar.
Sebagai keluarga yang cukup mapan, Riri Amin
Daud dapat menempuh pendidikan formal dan pendidikan islam. Riri Amin Daud merupakan anak ke-2 dari 6 bersaudara, Riri Amin Daud menikah
dengan Rosmani, dan memiliki 10 orang anak, di antaranya Muhammad Yus Mustari, Yunus Mustari,
Kahar Mustari, Jabir Mustari, Myea Mustari,
Khaidir Amin Daud, Itji Diana Daud, Fenti Daud, Ronggur Daud, Buyung wijaya kusuma (Muhammad Ronggur Amin Daud, wawancara 23 Mei 2014).
Di usia mudanya Riri Amin Daud sering di
datangi oleh neneknya yaitu Puang Junnia dan Puang Yatia, mereka menceritakan
bahwa ayah ibunya (kakek Riri Amin Daud ditangkap oleh Belanda, karena melawan Belanda),
bahkan kakek Riri Amin Daud meninggal dalam pembuangan. Riri Amin Daud masih
mengingat pada saat kakeknya meninggal dia melihat raja membawa pengikat kain
kafan, karena pada waktu itu jika ada yang meninggal maka kain pengikat kain
kafan dikirim ke keluarganya sebagai bukti bahwa yang bersangkutan sudah
meninggal. Jadi dendam orang-orang terdahulu dari keluarganya yang meninggal
akibat kekejaman Belanda (Fatmawati, 2002:9).
Pada tahun 1932 sampai tahun 1937, Riri Amin
Daud menempuh pendidikan di vervolschool di Campalagian. Di samping menempuh
pendidikan formal, Riri Amin Daud juga memperoleh pendidikan agama islam pada
sore hari atau pesantren sore. Setelah menempuh pendidikan di vervolschool, Riri Amin Daud kemudian melanjutkan
pendidikan di sekolah rakyat kecil klas vi merupakan lanjutan sekolah di Majene.
Selepas itu dilanjutkan di Makassar di normal
school 4 tahun. Selama penempuh pendidikan formal di Makassar, ia juga
mengikuti kursus-kursus kegamaan (islam)
Sampai tahun 1942. Hal ini memperlihatkan
bahwa ririn amin daud di samping memperkuat intelektualitasnya melalui
pendidikan formal, ia juga memperdalam ilmu-ilmu agama sebagai unsur penting
dalam membangun moralitaS. Perpaduan antara pendidikan formal dan ilmu agama
inilah yang menjadikan Riri Amin Daud sebagai tokoh berdedikasi, jujur, dan
tegas (Fatmawati,2002:1). Pada masa pendudukan Jepang,
Riri Amin Daud mengawali karier politik sebagai wakil
sudanco boei teisin tai untuk
daerah Campalagian, kenje, dan tenggelang, dia juga merangkap sebagai wakil danco seinendan dan Campalagian gun
pada 1944-1945. Berbekal
pengetahuan yang diperoleh dan jiwa kepeminpinan serta sikap patriotisme untuk memperjuangkan
daerahnya, Riri Amin Daud menjadi salah seorang yang memprakarsai berdirinya
organisasi api berpusat di Campalagian, sebuah organisasi ilegal pada masa
pemerintahan Jepang. Pada waktu yang sama ia juga menjadi anggota pucuk pimpinan
organisasi ilegal islam muda dan organisasi api yang berpusat di Campalagian
(inventarisasi arsip koleksi Pribadi Riri Amin Daud, 1996:4).
Dengan berdirinya organisasi api
memperlihatkan bahwa Riri Amin Daud telah mengerti dan memahami perlunya wadah
organisasi modern dalam perjuangan. Pada periode mempertahankan kemerdekaan,
api kemudian berubah menjadi kris muda Mandar. Riri Amin Daud menjadi penasehat
utama penglima/strategi dalam badan perjuangan kris muda Mandar. Sebuah posisi
yang sangat penting dalam menentukan arah perjuangan. Perkembangan berikutnya,
perjuangan Riri Amin Daud tidak hanya diwilayah Mandar. Perjuangan Riri Amin
Daud sampai ke Sulawesi Selatan, bahkan ia menjadi wakil dari KRIS Muda Mandar
ketika bergabung dalam perjuanganLAPRIS.
Perjuangan
Riri Amin Daud
Ketika berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia
telah diketahui oleh rakyat di Sulawesi Selatan pada umumnya dan daerah Mandar
pada khususnya, mereka menyambut dengan suka cita tidak hanya yang berada di
perkotaan, tetapi di pelosok juga sangat antusias dengan berita proklamasi ini.
Khusus di daerah Mandar berita ini juga disambut dengan gembira. Selanjutnya
rakyat Mandar dengan sepenuh hati mendukung proklamasi itu. Hal ini tidak lepas
dari peran AndiDepu dan
Tokoh pejuang lainnya yang menyebarluaskan
berita proklamasi sampai ke pelosok pedesaan.
Untuk itu diadakan suatu pertemuan atau rapat
di gedung sekolah rakyat perempuan di Majene pada 23 September 1945. Hadir
dalam pertemuan ini adalah semua pabbicara atau kepala distrik di Majene, para pendidik,
pejabat pemerintah, pemuka masyarakat dan tokoh pemuda. Dalam pertemuan ini
hadir pula Abd. Rahman tamma dan Abd. Rauf dari TinambungBalanipa. Pertemuan
ini dipimpin oleh a. Tonra, yaitu tokoh terkemuka dari dari kerajaan Banggae, Majene
dan sekitarnya. Pada pertemuanitu diputuskan penggunaan pekik (teriakan
“merdeka”, penyematan lambang “merah putih”) di dada sebagai pertanda dukungan
terhadap proklamasi kemerdekaan serta menyatakan diri sebagai pemuda merah
putih (amir, 2010:134).
Selain itu pada bulan yang sama para kepala
pemerintah lokal, tokoh masyarakat dan pemuda mengadakan suatu rapat atau
pertemuan rahasia di maSDjid Polewali sesudah salat isya yang dihadiri sekitar
40 orang. Pertemuan tersebut bertujuan untuk memberikan penjelasan kepada
pemuda-pemuda pejuang tentang arti proklamasi kemerdekaan, di samping untuk
menyusun langkah-langkah yang strategi dalam perjuangan menegakkan, membela,
dan mempertahankan proklamasi kemerdekaan yang isinya antara lain: menyatakan
diri sebagai pemuda merah putih (amir, 2010:134). Dua hari kemudian setelah
rapat atau pertemuan rahasia di maSDjid Polewali, dibentuk suatu organisasi
koperasi, yaitu salah satu cara untuk membantu para pejuang dan juga salah satu
strategi untuk mengelabui mata penjajah dengan antek-antek atau kaki tangannya.Koperasi
tersebut kemudian dikenal dengan nama sadar, untuk menyadarkan semua rakyat,
terutama pemuda-pemuda (fatmawati, 2002:1-2).
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan di
daerah Mandar tidak terlepas dari peran Andi Depu, Riri Amin Daud, dan Abd. Rahman Tamma yang senantiasa mengorganisir kekuatan
rakyat. Dari kegiatan ini didirikan organisasi perjuangan kris muda Mandar.
Organisasi ini merupakan tindak lanjut dari organisasi islam api yang didirikan
pada April 1945 (pada masa Jepang) oleh Andi Depu, Riri Amin Daud, M. Mas’ud Rachman, Mahmud Syarif, Lappas
Bali, Ahmad Badawie, dan Musdalifah. KRIS Muda Mandar
yang dalam perkembangan selanjutnya menggalang kekuatan mempertahankan
kemerdekaan yang mulai dinodai oleh pihak Nica.
Kegiatan mereka mendapat
dukungan dari Andi Depu yang pada waktu itu berkedudukan sebagai
maradia Balanipa. Pengaruh dan perjuangan yang dicanangkan oleh KRIS Muda Mandar
berakibat pihak Nica berusaha menangkap dan melawan seluruh anggota
pengurusnya (Kadir, dkk, 1984:164).
Riri Amin Daud segera melakukan konsolidasi
kekuatan Mandar dalam dua minggu pertama November 1945. Sementara AndiDepu
menemui M. Saleh Puangna Sudding di Mambi Allu menjelaskan tingkat kesibukan
dalam menegakkan, membela, dan mempertahankan kemerdekaan RI yang telah
diproklamasikan. M. Saleh Puangna Sudding
terkesan atas kunjungan dari Andi Depu dan tanpa ragu-ragu ia berikrar untuk tampil
bahu membahu. Demikian pula perjalanan keliling yang
dilakukan oleh Abd. Malik yang didampingi oleh Abd. Rauf ke daerah pedalaman
untuk memantapkan massa. Tema pidatonya di mana-mana, yaitu kemerdekaan
kebebasan beragama, kemajuan kebudayaan, dan peradaban sendiri, alam
kemerdekaan menjamin semua yang tersebut di atas.
Organisasi KRIS Muda Mandar, mempunyai arti,
yaitu: kebaktian, mengandung makna bahwa mempertahankan proklamasi kemerdekaan
1945 dari penjajahan kolonial adalah suatu kebaktian terhadap bangsa; rahasia,
memberi arti bahwa suatu organisasi KRIS Muda Mandar bersifat rahasia; islam,
sebagai asas perjuangan; muda, karena perjuangan ini diperlukan semangat muda.
Adapun susunan struktur organisasi perjuangan KRIS Muda Mandar pada saat pembentukannya
pada 19 Oktober 1945 adalah sebagai berikut:
Panglima: Andi Depu;
Wakil Panglima: Abd. Malik;
Kepala Staf: Abd. Rahman Tamma;
Anggota Staf: Lappas Bali, Abd. Razak,
Pembantu utama panglima/strategi: Riri
Amin Daud;
Pendamping Panglima: Abd. Rauf, dan Sitti Ruaidah;
Komandan Pasukan:
Andi parenrengi;
Komandan Pertempuran: Muh. Saleh Puangna I Sudding;
Komandan Pasukan I: Mahmud Saal; Komandan Pasukan II: Mahmudy Syarif;
Komandan Pasukan III: M. Amin Badawie (Amir, 2014:119; Pawiloy, 1987:189-190; Pabittei, 1991: 51).
Rangkaian peristiwa itu, antara lain atas
perintah Andi Depu terjadi peristiwa merah
putih di Pambusuang oleh 400 orang anggota yang
dipimpin H. Ahmad, M. Idrus dan L.A. Latif. Pada Oktober 1945 turut aktif pula
dalam peristiwa ini murid-murid Sekolah Rakyat Pambusuang dan guru-gurunya yang
siap menentang Belanda dengan segenap kemampuan yang tersedia. Selain itu
dilakukan pengibaran bendera merah putih, Andi Depu juga memerintahkan kepada penduduk
pengibaran bendera merah putih, dan atas perintah Andi Tonra mereka kemudian
mengepung tangsi tempat pembesar Nica.
Perjuangan di Mandar terus berlanjut, atas
perintah Riri Amin Daud pada November 1945 dilakukan sebuah gerakan di
passaerang, Campalagian oleh 5 orang anggota, di bawah pimpinan M. Amin Badawie. Adapun yang menjadi sasaran dari
gerakan ini adalah untuk merampas senjata Jepang di daerah Mamuju. Aksi
pengibaran bendera merah putih dan penyebaran pamflet di daerah Mandar juga
dilakukan atas perintah Riri Amin Daud
dan Abd. Rahman Tamma (koleksi arsip Riri Amin Daud No. Reg. 15).
Organisasi-organisasi perjuangan yang telah
dipersiapkan mulai dari September 1945 hingga pada awal Januari, dianggap sudah
mantap dan siap untuk membela tanah air Indonesia. Jumlahnya anggotanya sekitar
800 orang tersebar di seluruh wilayah Polewali dan sekitarnya yang meliputi
kurang lebih 10 daerah, yaitu: Polewali, Tonyaman, Takatidung, Anreapi atau Kelapa
Dua, Darma, Madatte, Binuang, Kanan, Paku, Patampanua, Matangnga, dan Messawa yang mencakup daerah pegunungan lembang.
Selain itu para pejuang juga melakukan aksiaksi pengrusakan kawat telepon,
pengrusakan mesin listrik, pengrusakan jembatan, dan lain sebagainya. Oleh
karena rentetan peristiwa penyerangan dan penghadangan serta aksi-aksi sabotase
tersebut, tentara koninklijk
nederlandschindische leger (KNIL) dan polisi Nicasemakin meningkatkanoperasi-operasi
penangkapan terhadap para pejuang. Dari operasi-operasi
yang dilakukan oleh serdadu Belanda itu,
tertangkaplah antara lain: Andi
Hasan Mangga, Alex Pattola, Pene Daeng
Pasanre, H. Ummarang, La Hamma, Pangiu, Tammalino, Nongngo, Salempang,
Pinnikai, Pama, dan Kati.
Para pejuang yang terdiri atas para pemimpin
dan anggota pasukan laskar pejuang yang tertangkap tersebut, sebagian besar
dipenjarakan dan bahkan ada yang ditembak mati. Meskipun demikian, Andi Depu, Riri Amin Daud dan para pejuang lainnya
dengan semboyang bahwa sekali berjuang tetap berjuang dan merdeka atau mati
demi bangsaku yang telah meresap dalam jiwa sanubari mereka.
Terpaksa Mengundurkan diri masuk hutan sehingga aktivitas gerakan Laskar
KRIS Muda Mandar tetap berjalan menurut rencana. Termasuk mengutus pengurus
organisasi, misalnya Abd. Malik dan seorang pengikutnya untuk ke Kalimantan dan selanjutnya ke Jawa untuk
mengadakan hubungan dan permintaan bantuan berupa senjata.
Dengan adanya jalinan kerjasama antara pemimpin
gerakan perlawanan suatu daerah dengan daerah lainnya, bahkan seluruh Indonesia
(Mandar, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi pada umumnya),
maka terbukalah kesempatan perlawanan rakyat secara menyeluruh. Umpamanya pada Februari 1946, berangkatlah
perutusan Abd. Rahman Tamma menuju Makassar dan pada 12 April
1046, Abd. Malik dan Abd. Rauf menuju Yogyakarta. Kepada perutusannya ini Andi Depu menugaskan untuk:
1. Aktif mengambil bagian dalam perjuangan
kemerdekaan RI.
2. Bekerjasama dengan kelaskaran atau badan badan perjuangan lainnya untuk mencapai suatu
kesatuan komando.
3. Mengembangkan dan meningkatkan gerakan
KRIS Muda di luar daerah Mandar.
4. Secara periodik mengadakan hubungan dengan
pemimpin pusat KRIS Muda di daerah Mandar (Amir, 2011:60).
Perlawanan para pemuda pejuang yang
ditampilkan melalui wadah perjuangan atau organisasi kelaskaran KRIS Muda Mandar
di bawah pimpinan Andi Depu, tetap tidak memudarkan
keinginan Nica untuk memulihkan kembali kedudukan kekuasaan
pemerintah kolonial Belanda di daerah Mandar. Itulah sebabnya berbagi usaha
dilakukan untuk mematahkan dan memudarkan perlawanan rakyat.
Namun kenyataannya bahwa usaha perlawanan
rakyat bukan hanya semakin berapi-api, tetapi juga laskar KRIS Muda semakin
berkembang dan meluas di berbagai daerah di luar Mandar, seperti Makassar, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Bone, Pinrang, dan
sebagainya. Bahkan laskar KRIS Muda menjadi salah satu prakarsa penyatuan
langkah perjuangan organisasi-organisasi kelaskaran ke dalam suatu wadah
komando yang kemudian dikenal denganLAPRIS pada Juli 1946. Wadah komando yang
dipusatkan di polongbangkeng ini, dimaksudkan agar langkah perjuangan lebih
terorganisir dan kuat dalam menghadapi Nica.
Sementara sumber lain menyebutkan bahwa untuk
mewujudkan rencana menyatukan kelaskaran kelaskaran yang tersebar di setiap
daerah dalam satu wadah, maka diusahakan satu pertemuan pimpinan-pimpinan
kelaskaran. Pertemuan pertama dilakukan di komara pada 15 Juli 1946. Hadir pada
pertemuan ini pimpinan kris muda Mandar, Riri Amin Daud dari pusat pemuda nasional
Indonesia (ppPNI) Makassarhadir aminuddin muchlis dari harimau Indonesia hadir
bahang; dari angkatan muda Republik Indonesia selayar (amris) selayar hadir
daeng bonto, dan dari gerakan tanete Soppeng diwakili oleh ali malaka.
Dari pertemuan ini dicapai kata sepakat
membentuk organisasi gabungan kelaskaran. Keesokan harinya mereka berangkat
menuju markas lipan bajeng. Berhubung karena rencana itu merupakan inisiatif
dari endang, maka pada pertemuan itu ia tampil sebagai pimpinan sidang. Selain
dihadiri oleh tokoh-tokoh yang hadir pada pertemuan 15 Juli 1946 hadir pula
pada pertemuan ini ranggong daeng romo, Karaeng ana bajeng, Karaeng loloa, Karaeng
djarung, Karaeng cadi, Karaeng palli, Karaeng sidja, Karaeng temba, emmy
saelan, maulwi saelan, dan lain-lain. Pertemuan ini merupakan pertemuan
pembentukan wadah kesatuan organisasi kelaskaran yang dinamakanLAPRIS. Dari
hasil pertemuan ini maka pada 17 Juli 1946 dilakukan upacara pengresmian
berdirinya yang ditandai dengan pengibaran bendera merah putih, diiringi lagu
kebangsaan Indonesia raya yang dipimpin oleh M. Yusuf di ranaya, upacara ini
dilakukan pada jam 09.00 dan dihadiri sekitar 100 orang (kadir, dkk, 1984:163).
Adapun susunan kepengurusan LAPRIS yang diumumkan pada upacara peresmian
itu belum lengkap karena beberapa jabatan yang perlu ditempatkan orang
dipercayakan untuk tugas itu belum dapat ditentukan, kepengurusan LAPRIS adalah sebagai berikut:
Pelindung: Padjonga Daeng Ngalle (Karae Ana
Bajeng);
Bagian organisasi (administrasi),
Ketua: Makkaraeng Daeng Mandjarungi,
Wakil Ketua: belum terisi;
Sekretaris I: R.W. Monginsidi;
Sekretaris II: belum terisi;
Bagian ketentaraan,
Ketua: Ranggong Daeng Romo,
Wakil Ketua: R. Endang;
Sekretaris: Baso Lanto;
Orgaan adviseurs (badan penasehat): Abd.
Rachmann (pak Jawa), Daeng Tjando, Daeng Sila Karaeng Loloa;
Badan penyelenggara,
Ketua Muda: Abd. Rachman (Hamang), Ali Malaka;
Sekretaris: belum terisi;
Bendahara: Mappaselleng Daeng Sija;
Bagian penerangan: Riri Amin Daud;
Bagian inlichtingsdienst: Bonto;
Bagian Perhubungan: Ali Malaka;
Bagian Ketentaraan: R. Endang;
Bagian Palang Merah: Emmy Saelan (Kadir, Dkk,
1984:
162).
Tanggal 1 Oktober 1946 diselenggarakan rapat,
meskipun susunan pengurusnya belum
Lengkap dan menetapkan beberapa
keputusankeputusan. Keputusan-keputusan ini belum terlaksana, kecuali keputusan
no. 2 dalam bentuk latihan militer kepada sekitar 1000 orang pejuang pembela RI dari berbagai kelaskaran. Kemudian upaya
peningkatan serangan militer terhadap Nicaternyata dihambat oleh pembunuhan massal yang dilakukan oleh Westerling. Aksi
pembunuhan tersebut mempersempit ruang gerak para pejuang pembela kemerdekaan (Poelinggomang, dkk, 2005:155).
Kenyataan itulah yang menyebabkan pihak Nica harus
melakukan penangkapan terhadap tokoh pejuang termasuk pejuang-pejuang dari Mandar
seperti Andi Depu, Riri Amin Daud, Abd. Rahman
tamma. Dalam operasi penangkapan yang dilakukan oleh Nica terhadap
para tokoh KRIS Muda, baik di Makassar maupun di daerah Mandar, tercatat 36
orang pimpinan dan anggota KRIS Muda Mandar berhasil ditangkap, termasuk Andi Depu yang ditangkap pada November 1946, serta
Riri Amin Daud dan Abd. Rahman tamma pada November 1946. Mereka ditangkap
ketika sedang dalam penyamarannya untuk berkeliling melakukan kontak dengan
para pejuang lainnya
Guna menyusun strategi perlawanan (arsip nit,
no. 139). AndiDepu kemudian dimasukkan ke dalam penjara Majene, sementara Riri
Amin Daud dan Abd. Rahman tamma dipenjarakan hogepad Makassar. Mereka
seharusnya termasuk tawanan politik atau tawanan perang, tetapi kenyataannya
mereka diadili seperti penjahat kriminal (chaniago, 2002:578).
Daftar nama-nama anggota kris muda Mandar
yang ditawan Belanda: AndiDepu,Riri Amin Daud, Abd. Rahman tamma, lappas bali,
arimin Muhammad, Mahmudy syArif, H.Abd. Razak, masud rahman, Hasan mangga,
iskandar, M. Amin badawie, juoma laboe brp, ruwaeda, ummi hani, sahide, a.
Mappewa, a. Lelang, nuraini ahmad, Abd. AziS. M, Andi takka, badolo waris, Abd.
Rahman. M, saal daud, ahmad tabus, Mustari, badau, aminuddin, kating, yengga, Abd.
Rahman, Abd. Madjid, pua madjid, sakia, Abd djalil, supue, H. Baddu (arsip Riri
Amin Daud, reg no. 17).
Selama berlangsung kmb, pemerintah Belanda membebaskan
sekitar 12.000 orang tahanan antara Agustussampai dengan Desember 1949
(chanigo, 2002:577).4 mereka yang ditahan itu, bukan hanya karena berjuang
mempertahankan proklamasi kemerdekaan, tetapi juga karena mereka menentang
pemerintah Belanda yang hendak memulihkan kembali pengaruh dan kedudukan
kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Para tahanan yang dipenjarakan di kota Makassar
(hogepad, lajang, tellokamp) misalnya jumlahnya diperkirakan lebih dari 500
orang, di Bulukumba berjumlah 762 orang dan 618 orang diantaranya dibebaskan
pada awal Januari 1948, dan panitia ini melaporkan telah menampung sebanyak
1410 orang tawanan, dan sebagian dibantu mengembalikan ke Sulawesi Selatan.
Sebagian dari para tahanan itu adalah para raja atau keluarga kerajaan dan
pejuang yang anti Belanda (arsip, no. 82; arsip nit, no. 141 dan 142).
Adapun susunan kepengurusan panitianya
sebagai berikut:
Sebagai pelindung: makKaraeng daeng.
Mandjarungi,
Ketua: f. Pondaag, wakil
Ketua: j. Kamalirang,
Penulis i: Riri Amin Daud,
Penulis ii: Abd.Rahman Tamma, dan
Pembantupembantu:
M.J. Unjung, R. Sukarto dan Ismail A.P.
Panitia yang dibentuk untuk membebaskan semua
tawanan politik dan memperjuangkan tercapainya kemerdekaan seratus persen. (Poelinggomang, dkk, 2005:258). Kenyataan ini
menyebabkan panitia bekas tahanan politik selanjutnya membentuk panitia penyelenggara
konferensi seluruh pejuang Indonesia timur pada awal Januari 1950.
Adapun panitia penyelenggara itu diketuai oleh Makkaraeng Daeng Mandjarungi;
Yusuf Bauty sebagai wakil Ketua; F. Pondaag sebagai sekretaris; dan Riri Amin
Daud sebagai wakil sekretaris. Konferensi ini bertujuan untuk
mempertemukan organisasi-organisasi perjuangan dan kelaskaran atau
kelompok-kelompok perjuangan rakyat (Gerilya) dan mantan tahanan politik atau
tawanan perang yang telah mengambil bagian dalam perjuangan mempertahankan
proklamasi kemerdekaan. Selain itu, konferensi ini juga dimaksudkan untuk
merumuskan keinginan mereka kembali yang telah mendasari perjuangannya,
melanjutkan perjuangan, menyusun pedoman kerja. Panitia konferensi kemudian
mengeluarkan pernyataan pada 4 Januari 1950, agar pemerintah memperhatikan
resolusi yang telah dikeluarkan sebelumnya (poelinggomang, dkk, 2005:260; arsip
tator, no. 771).
Panitia memutuskan, konferensi perjuangan Indonesia
timur akan di selenggarakan di polongbangkeng, pusat perlawanan republik paling
kuat dan yang paling bertahan di Sulawesi Selatan, Markas Laskar Lipan Bajeng dan LAPRIS. Wilayah yang terletak di sebelah
selatan kota Makassar di bawah kekuasaan Karaeng Polongbangkeng
Padjonga Daeng Ngalle, yang setelah proklamasi kemerdekaan menyatakan bahwa
wilayah kekuasaannya menjadi bagian dari RI. Padjonga Daeng. Ngalle menjadi pelindung dari gerakan
rakyat yang bernama Gerakan Muda Bajeng yang kemudian berubah menjadi Laskar
Lipan Bajeng, dan Mobil Batalyon Ratulangi (MBR).
Panitia konferensi mengeluarkan pengumuman
pada 10 Januari 1950, disebutkan bahwa pertemuan terdiri dari dua jenis, yaitu
rapat terbuka dan tertutup. Rapat terbuka dapat dihadiri oleh semua wakil-wakil
kelompok pejuang, semua mantan tahanan, dan para pembesar yang diundang,
sedangkan rapat tertutup hanya dihadiri oleh wakil-wakil kelompok pejuang yang
mempunyai mandat dan mantan tahanan. Panitia konferensi menyebarkan tenaga ke
pedalaman. Tokoh terkemuka seperti yusuf bauty dan Riri Amin Daud misalnya,
sejak 18 Januari berkeliling sambil menggalang massa di Enrekang, Makale, dan Rantepao di tanah Toraja. Pada 20 Januari,
kembali lewat Rappang, Parepare, Pinrang, dan membelok ke kotakota di pantai
barat di wilayah Mandar.
Dalam perjalanan itu, di samping membangun
hubungan dengan para mantan tahanan politik atau perang, juga menerima
informasi dari masyarakat pada rapat-rapat umum yang diselenggarakan. Pada
umumnya masyarakat meminta agar TNI di datangkan ke Sulawesi Selatan.
Perjalanan semacam ini juga dilakukan oleh tokoh-tokoh yang lainnya. Menurut
laporan panitia menjelang konferensi dimulai, sudah 27 kota-kota di pedalaman Sulawesi
Selatan yang didatangi (Poelinggomang, 2005: 261; arsip Abd.
Rahman tamma, no. 13; arsip Tator, no. 144 dan 659).
Hasil dari konferensi disepakati pembentukan
suatu badan yang disebut Biro Pejuang Pengikut Republik (BPPRI), dalam konferensi ini juga dihasilkan suatu
pernyataan
Yang berbunyi:
1.
Kami bekas
pemberontak dan bekas tawanan politik dulu dikatakan perampok, pengacau, pembunuh,
dan sebagainya dan kini digelar pahlawan-pahlawan danprajurit perjuangan.
2.
Yakin, bahwa
tidak ada buat seorangpun dari kami menjadikan nama atau gelarsebagai soal
utama.
3.
3. Bahwa
yang kami ketahui adalah kami cinta ibu pertiwai dan dengan sadarpada waktu
yang sudah kami melakukan siasat destruktif keluar menerjang segalaperkosaan
atas proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai suatu ledakan keinginan dan hasrat
bangsa Indonesia yang sudah berabadabad hidup dijajah, ingin hidup bernegara
sendiri dan dapat menyumbangkan kebangsaannya untuk ikut serta dalam pembinaan
perikemanusiaan dan keadilan diantar bangsa-bangsa didunia.
4.
Bahwa
sesungguhnya lahirnya ris dan negara Indonesia timur (nit) itu, karenaBelanda
semata-mata dan pula didorong oleh cara-cara bapak-bapak kita yangtidak
mengikuti jiwa dan para pemuda, lekas-lekas bermalino dan berdenpasar,sehingga
lahirnya ris dan nit sebenarnya sedikitpun tidak mengganggu hasrat dan
Keinginan seluruh bangsa Indonesia yang pada Prinsipnya
tetap berpegang pada
Proklamasi 17 Agustus 1945 baik yang telah
berpenjara atau berhutan.
5. Bahwa masih banyak pula rakyat di nit yang
tidak atau belum ri, mendapat
Kesempatan mengembangkan keinginan itu, bahwa
dalam banyak hal kita di nit banyak ketinggalan (poelinggomang, 2005: 296).
Berpendapat: bahwa untuk mengembalikan ris
sekarang menjadi ri, sesuai dengan hasrat rakyat, maka perlu seluruh tenaga
warga negara dikerahkan dalam segala lapangan dan tetap berpegang teguh pada
pancasila. Pernyataan ini dikeluarkan di polongbangkeng, tempat berlangsungnya
konferensi pada 7 Februari 1950, yang ditandatangani oleh badan pimpinan pusat
bpRRI, yusuf bauty, makKaraeng daengmandjarungi, Riri Amin Daud, f. Pondaag, Abd.
Rahman tamma, r. Sukarto, hamang, aminuddin muchlis, dan S. Sunari. Inti dari pernyatan
itu merupakan tujuan organisasi bpRRI dalam melakukan perjuangan politik untuk
membubarkan nit.
Di samping itu mereka juga mengirim utusan ke
Yogyakarta untuk melaporkan kegiatan dan perkembangan yang ada di Sulawesi
Selatan. Pada 23 Februari 1950 berangkat makKaraeng daeng mandjarungi dan Riri
Amin Daud sebagai wakil BPPRI ke Yogyakarta untuk menemui pemerintah ris dan
ri. Tepat pada hari yang telah ditentukan, 17 Maret 1950, ribuan rakyat kota Makassar
dan pendudukan di
Sekitarnya melakukan demonstran mengelilingi
wilayah kota, dan kemudian berkumpul di depan kantor parlemen nit. Diperkirakan
jumlah demonstran mencapai 2000 orang.
Demonstran ini merupakan demonstran terbesar
yang menggoncang kota Makassar (kadir, dkk, 1984:246). Ketika semua demonstran
telah berkumpul di depan parlemen nit, a.n. Hadjarati, aktor intelektual dari
aksi demonstran itu tampil menemui Ketua parlemen nit, husain puang limboro
untuk menyampaikan tuntutan itu diteruskan kepada pemerintah ris, dan mendesak
segera membubarkan nit (poelinggomang, 2005: 297; patang, 1974:141).
Akhir
perjuangan Riri Amin Daud
BPRRI yang didirikan pada Februari 1950, pada
BPRRI ini Riri Amin Daud juga terlibatdi dalamnya. BPRRI yang berjiwa
pancasila, mempunyai tugas bekerja secara efektif dan dengan penuh tanggung Jawab
kepada seluruh bangsa Indonesia dengan program perjuangan tertentu. Badan
pimpinan pusat BPPRI: dewan pimpinan
umum: yusuf bauty, makKaraeng daeng manjarungi, Riri Amin Daud, f. Pondaag, Abd.
Rahman Tamma, R. Sukarto, Hamang, Aminuddin Muchlis, S. Sunari
(djarwadi, dkk, 1972:45).
Kemudian mengeluarkan resolusi yang berbunyi:
memperhatikan larangan demonstrasi pemerintah nit dan rapat raksasa, resolusi
panitia demonstrasi keinginan rakyat 9 Maret 1950 yang menuntut pencabutan larangan
tersebut. Demonstrasi yang diadakan 17 Maret 1950 yang menuntut pembubaran nit
berlangsung sesuai dengan rencana dan berjalan secara tertib. Sedangkan pihak
non republik/kaum kooperator juga berusaha mengorganisir demonstrasi untuk
mempertahankan nit, tetapi gagal, bahkan orang-orangnya berobah menjadi memihak
ri.
Menjelang meletusnya peristiwa Andiazis,
markas bpRRI digerebek oleh pasukan kepolisian nit, tetapi tidak berhasil
menangkap para pemimpinnya. Sementara itu makKaraeng daeng mandjarungi dan Riri
Amin Daud yang telah kembali ke Yogyakarta, yang memprakarsai konferensi
polongbangkeng, dan Riri Amin Daud menjadi salah seorang anggota presidium BPPRI
(fatmawati, 2002:5).
Keinginan rakyat Indonesia di Sulawesi untuk
melepaskan diri dari nit tak dapat ditahantahan lagi. Sebelum pemerintah ris
dengan resmi membubarkan nit, terlebih dahulu mereka telah melepaskan diri dari
ikatan nit dan langsung menggabungkan diri dengan ri. Pada 17 April 1950 di
polongbangkeng, yang merupakan daerah pusat perjuangan rakyat Indonesia di Sulawesi
pada masa revolusi. Di daerah ini telah diumumkan suatu proklamasi yang disebut
proklamasi polongbangkeng, isinya sebagai berikut:
Atas nama seluruh rakyat pengikut Republik
Indonesia di seluruh Indonesia timur:
a.
Atas nama susunan
pemangku-pemangku jabatan pemerintah sipil berdiri di seluruh bahagian daerah
di Indonesia timur;
b.
Dengan
bentuk angkatan pertahanan gerilya kami;
c.
Dengan
bentuk daerah-daerah yang dikuasai angkatan gerilya kami.
Dengan ini memproklamirkan, bahwa:
Kami seluruhnya dengan daerah-daerah yang di bawah
kekuasaan kami melepaskan diri dari kekuasaan Undang-Undung dan pemerintah
negara Indonesia timur dan
Akan mempertahankan daerah-daerah kami
sebagai daerah bahagian ri, serta akan mempertahankan diri sebagai warga negara
yang terikat oleh Undang-Undung dan tunduk di bawah pemerintah ri diibukota Yogyakarta.
Polongbangkeng, 17 April 1950
Pemangku jabatan gubernur provinsi Sulawesiprovinsi
maluku
Provinsi sunda kecil makKaraeng daeng
manjarungi wakil Riri Amin Daud Basis komando markas besar
kesatuan Gerilya territorium Sulawesi Pemangku jabatan komandan A. Djalal Daeng Leo, Andi Selle (djarwadi, dkk, 1972:70; kempen. 1953:167).
Selang beberapa hari kemudian sikap yang sama
ditampilkan oleh Hadat Tinggi Sulawesi Selatan (HTSS) yang merupakan pimpinan
pemerintahan Sulawesi Selatan dan dewan Sulawesi Selatan memproklamasikan
gagasan yang sama pada 26 April 1950 di Makassar, yang isinya sebagai berikut:
Sesuai dengan keinginan
sebahagian besar dari seluruh rakyat Sulawesi Selatan yang dilahirkan dengan
demonstran, mosi-mosi, statemen tanggal 20 Maret 1950 dari panitia penegak RI yang meliputi lebih dari 50 partaipartai
politik dan organisasi, maka mulai hari ini 26 April 1950 pemerintah daerah Sulawesi
Selatan menyatakan Sulawesi Selatan lepas dari nit dan masuk dalam ri sebagai
satu provinsi (poelinggomang,
dkk, 2005:299).
Pergolakan-pergolakan yang terjadi di Sulawesi
Selatan pada khususnya dan nitpada umumnya sangat berpengaruh terhadap
perundingan-perundingan yang dilakukan oleh Presiden NIT, Soekawati. Wakil dari negara Sumatera Timur
dengan Wakil Presiden RIS, Muhammad Hatta pada 3-5 Mei 1950, pada
pertemuan ini dicapai kata sepakat untuk menetapkan satu negara kesatuan. Pada
9 Mei 1950 Wakil Presiden RIS, Muhammad Hatta menjelaskan dalam pidato radio bahwa
negara kesatuan harus dibentuk melalui cara-cara legal, dan bukan melalui tindakan-tindakan yang
bersifat
sepihak, dipaksakan (kadir, dkk,
1984:248).
Terbentuknya negara kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Undang- Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 yang
disahkan pada 15 Agustus 1950 dan diumumkan ke seluruh pelosok tanah air pada
peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1950 merupakan
keberhasilan perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang dicanangkan oleh rakyat
Sulawesi Selatan adalah untuk mewujudkan kembali keutuhan dan
identitas bangsa yang terpatri pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
1945. Mereka tetap berjuang hingga terwujudnya kembali keutuhan dan identitas
bangsa Indonesia dalan negara kesatuan Republik Indonesia (kadir, dkk,
1984:249).
Meskipun demikian persoalan gerilya di Sulawesi
Selatan mendapat perhatian serius dari pemerintah. Itulah
sebabnya pemerintah mengumumkan pemanggilan kembali para pejuang gerilya pada 9
Desember 1950. Kemudian disusul penetapan daerah untuk mengumpulkan pasukan
yang hendak diselesaikan. Masa pemanggilan diberi waktu antara 15 Desember 1950
sampai dengan 30 Desember 1950. Karena mengalami banyak kesulitan diperpanjang
lagi hingga 6 Januari 1951.
Kesulitan yang dihadapi sebenarnya adalah di
kalangan pasukan gerilya sendiri, karena sampai saat terakhir habisnya jangka
waktu pemanggilan, Kahar Muzakkar masih bersikap diam. Bahkan kemudian menyerahkan pimpinan kepada
M. Saleh Syahban selaku kepala stafnya. Kahar Muzakkar sendiri terus menuju ke kampung halamannya
dengan tujuan istirahat.
Dalam pelaksanaan keputusan pemerintah untuk
memanggil pejuang gerilya, maka dibentuklah panitia dengan susunan dan tugasnya
adalah:
Ketua: I.A. Saleh Daeng Tompo,
Wakil Ketua: Mayor L. Mochtar;
Anggota: Abbas Daeng Malewa, Nyonya Salawati
Daud, Makkaraeng Daeng Mandjarungi, Aminuddin Mukhlis, Riri Amin Daud, M. Yosef,
M. Yunus Mile.
Terhadap masalah gerilya tugasnya untuk
mengadakan pemisahan antara anggota gerilya dalam penggolongan:
A. Yang berhasrat masuk dalam angkatan
perang;
B. Yang hendak masuk kepolisian,
C. Yang hendak kembali ke masyarakat
(djarwadi, dkk, 1972:68-69).
Di samping kelompok yang di prakarsai Partai
Kedaulatan Rakyat (PKR), sejumlah pemuda merasa khawatir mengenai
situasi saat itu, dan dimulai dengan pertemuan Kongres Pelajar Mahasiswa korban
kekacauan Juli 1956, kelompok-kelompok pemuda banyak terbentuk untuk
mendiskusikan masalah daerah mereka, dan apa yang mungkin mereka perbuat mengenai
hal itu. Dalam pertemuan 3 Februari 1957, sebanyak 77 orang pemuda dengan
dukungan 47 kelompok pemuda, membentuk Dewan Pemuda Sulawesi.
Dewan ini mencakup anggota-anggota secara
perorangan, serta organisasi-organisasi yang berdasarkan afiliasi kesukuan dan
keagamaanmaupun afiliasi kepartaian. Di antara yang tersebut belakangan
termasuk gerakan pemuda sosialisasi, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan
Pemuda Rakyat (organisasi pemuda
PKI).
Pada organisasi ini ditunjuk sebagai Ketua
adalah Nurdin Djohan, seorang veteran muda tanpa afiliasi kepartaian dan teman Mayor
Yusuf, Riri Amin Daud dar iLAPRIS dan BPPRI menjadi
sekretaris jenderal; para angoota lain termasuk Mattulada,
yang pernah menjadi juru bicara bagi para siswa di kongres pelajar mengenai Komando
Daerah Pertempuran Sulawesi Selatan Tenggara (KODPSST); Indra Chandra dan Husain Achmad dari Gerakan Pemuda Sosialis
(GPS); dan Ismail Habi dari pemuda prograsif (tanpa afiliasi partai). (harvey,
1989:255).
Memasuki tahun 1950 Riri Amin Daud masih
aktif dalam perjuangannya, tepatnya tahun
1950 sampai 1951 ia ditunjuk sebagai
sekretaris panitia negara penyelesaian masalah gerilya Sulawesi Selatan sampai
dengan terbentuknya afwikkelings Komando
Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Riri Amin Daud yang dalam hidupnya memang
tidak mau diam, selalu diwarnai dengan kegiatan-kegiatan yang dapat bermanfaat
untuk orang banyak, seperti ia juga aktif di bidang pendidikan dan sosial
kemasyarakatan, yaitu menjadi guru vervolschool di Sumpang Binangae (Kabupaten Barru) dan di Campalagian
(Mandar). Riri Amin Daud kembali menempuh pendidikan kursus kerja sosial pada RC.
Dr. R. Suharso di Solo, Jawa Tengah, tahun
1951-1952. Selain dunia politik dan pendidikan dan kemasyarakatan Riri Amin
Daud juga bergelut di dunia pers, ini mulai dirambah dari tahun 1953 dan
dilakukan sampai tiga tahun.
Karier Riri Amin Daud didunia pers ini
menjadi pimpinan umum mingguan “Jakarta Raya” dan sekaligus wartawan surat
kabar “Pembela Proklamasi” di Jakarta. Riri Amin Daud juga
anggota redaksi SKH “Tinjauan Makassar”. Riri Amin Daud dalam mengisi
kehidupannya, beragam kegiatan dilakukan ia juga pernah menjadi penanggung jawab kegiatan persuteraan rakyat Indonesia (ISRI)
di wilayah Sulawesi Tenggara. Pada tahun 1954, setelah
menyelesaikan pendidikan di solo, Riri Amin Daud melanjutkan pendidikan di SMA C Pengasan Timur (fatmawati, 2002:2). Riri Amin Daud
tidak berhenti menempuh pendidikan, ia kemudian kembali ke Makassar, dan
mengikuti kuliah selama dua tahun (1956- 1958) di Fakultas Teknik Publik
Administration Universitas 17 Agustus 1945 (inventarisasi arsip koleksi Pribadi
Riri Amin Daud, 1996: 5).
Selepas itu, kegiatan Riri Amin Daud terus
berlangsung dari tahun 1957 sampai dengan 1959 pada saat itu ia menjadi anggota
penasehat pemerintah militer TT VI/Wirabuana yang berkedudukan di Makassar
(inventarisasi koleksi arsip Pribadi Riri Amin Daud, 1996: 30). Riri Amin Daud
menjadi anggota Legiun Veteran RI, kemudian menjadi anggota Koperasi Legiun
Veteran RI. Tanda penghargaan yang diperoleh Riri Amin Daud diantaranya: Bintang
Gerilya Kelas 1, Bintang Gerilya Kelas 2, Bintang Gerilya 50 Tahun, dan Bintang Purna Veteran RI (Fatmawati, 2002:7). Demikian perjalanan
perjuangan Riri Amin Daud dalam mempertahankan kemerdekaan di Sulawesi Selatan
dan Sulawesi Barat yang dapat memberikan inspirasi bagi orang lain. (Bahtiar, Balai
Pelestarian Nilai Budaya Makassar: WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015:
299—313).