Tampilkan postingan dengan label Tradisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tradisi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 Mei 2018

Melacak Jejak Topole di Balitung (3) "Gara-Gara Literasi"

Melacak Jejak Topole di Balitung (3)
"Gara-Gara Literasi"

Pak Mansur dan Danu
  
      Secara geografis Pulau Belitung berada pada posisi 2°30’ - 3°15’ Lintang Selatan dan 107°35’ - 108°18’ Bujur Timur pada bagian utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah timur Selat Karimata, sebelah Barat berbatasan dengan Selat Gaspar dan batas Selatan dengan Laut Jawa. Pulau Belitung banyak dikelilingi pulau-pulau besar dan kecil dengan jumlah sekitar 189 pulau. Luas wilayah Pulau Belitung seluas 34.496 km² terdiri dari 4.800 km² daratan dan 29.606 km² perairan. Daerah ini sekarang terbagi dalam dua wilayah kabupaten, Kabupaten Belitung yang terletak di bagian barat pulai ini beribukota Tanjungpandan dan Kabupaten Belitung Timur yang ibukotanya adalah Manggar. Di Belitung Timur inilah Ahok (Basuki Tjahya Purnama) pernah menorehkan sejarah sebagai Bupati.
          Setelah jadi Bupati, Ahok kemudian mencoba meraih peruntungan ke Senayan dan lolos jadi Anggota DPR RI untuk selanjutnya jadi Wakil Gubernur mendampingi Jokowi. Setelah Jokowi jadi RI 1, Ahok kemudian menempati posisi nomor 1 di DKI. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Ahok disandung perkara Al-Maidah 51 yang terkesan dipolitisasi sehingga harus menjadi pesakitan dan sekarang harus berada di Hotel Prodeo. Gaerah Belitung Timur saat ini dinakhodai oleh saudara Yusril Ihza Mahendra. Adapun Kabupaten Belitung yang ibukotanya Tanjungpandan ini menjadi tujuan utama untuk melacak Jejak I Calo Ammana Wewang. Rupanya disini pula DN. Aidit, tokoh sentral dalam perbincangan dan literatur Komunis Indonesia ini dilahirkan.


          Senja mulai menggoda, gemercik air dari sungai kecil dibelakang Kandang Gapabel ikut menjadi penikmat suasana. Diskusi tentang I Calo Ammana Wewang semakin seru ketika Mansur Mas’ud muncul memenuhi panggilan Bang Yongki. Mansur Daeng Sila adalah sesepuh masyarakat Bugis Belitung yang di internal Gapabel termasuk dituakan. Wajahnya sangat familiar bagiku. Bukan lantaran sebelumnya sudah pernah bertemu, tapi lebih disebabkan oleh kemiripan wajah dan postur tubuhnya dengan A’ba Tammalele. Dalam hatiku, ini mungkin orang Mandar, bukan orang Bugis. Tapi bagaimanapun antara Bugis dan Mandar sesungguhnya merupakan sebuah kesatuan yang utuh dan integral ketika kita mentadabburinya dengan pepesan dari leluhur.
          Kendati Pak Mansur juga barusan mendengar nama I Calo Ammana Wewang, jelas dari mimik dan bahasa tubuhnya cukup meyakinkanku bahwa di Belitung ini, misi utamaku akan sangat terbantu dengan keberadaan Jaringan Pustaka Bergerak. Hal itu terbukti dari banyaknya mereka menghubungi beberapa tokoh di Belitung ini dan menyampaikan informasi kedatangan saya ini ke Belitung. Bahkan saat itu juga ada yang Yanto dkk datang menyapa serta terlibat dalam diskusi awal yang membuatku tak merasakan lelah dari perjalanan panjangku sejak pukul 23.00 kemarin dari Mandar ke Belitung. Pak Rosihan, adalah salah satu tokoh budaya dan sejarawan adalah nama pertama yang direkomendasikan kawan-kawan dari Gapabel, dan saya hanya mengiyakan, kapan saja untuk bisa dipertemukan dengan beliau.
          Setelah berdiskusi lebih 1 jam, mereka kemudian pamit satu-satu. Dita dan Danu serta Bang Jokie telah memberiku spirit untuk tetap semangat. Sesaat setelah mereka pergi, Saya kemudian minta ijin pada Pifin Herianto, pemuda gondrong yang ternyata merupakan Ketua Gapabel. Pifin inilah yang menamniku di Kandang (sebutan untuk Markas atau Sekretariat) untuk menyegarkan tubuh di kamar kecil yang ada disamping kandang. Guyuran pertama air di Belitung begitu segar. Cuaca panas dan seharian tak mandi membuat tubuhku terasa penat. Ti’au pai uwai anna ti’au alaweu” Sebuah bi’jar atau sejenis mantra leluhur yang kerap jadi pesan utama kakekku saat pertama kali mandi di kampung orang. Sesederhana itulah kearifan lokal leluhur Mandar bahwa air dimanapun didunia ini selain menjadi elemen dasar kebutuhan manusia, air juga menjadi kunci pertama untuk menjaga diri (jiwa dan raga) dimanapun.
          Mandar adalah suku yang sejak tak lain konotasi maknanya adalah air atau sungai. Filosofi tentang air yang mengalir menemukan jati dirinya pada titik-titik terendah. Tak sekalipun air mencari kesejatiannya pada titik-titik yang lebih tinggi. Air selalu mengalir pada tempat-tempat yang rendah. Air ketika keluar dari mata air, akan terus mengalir tenang, enggan berhenti. Kendati air dibendung pun ia tetap harus dialirkan agar bendungan tak dibobol. Dalam skala terkecil air disumbat, maka ia akan menghindari obyek yang menghalangi, terus dan terus mencari dimana titik bisa mengalir dengan nyaman. Filosofi ini mengajari setiap generasi Mandar bahwa dalam hal apapun, jangan pernah menjadi manusia yang angkuh dan ingin menjadi yang paling benar atau disanjung. Pun jika ada yang mencoba mengganggu, maka menghindarlah.
Begitulah air. Ia mengalir mencari alur, membuat arus. Pada posisi ia selalu diganggu kenyamannya maka tunggulah, air akan menjadi air bah yang mampu meluluh lantakkan apa saja yang menghalanginya. Air hanya patuh kepada titah tuhan untuk terus mencari alur untuk mengalir. Maka jangan heran jika orang yang betul-betul Mandar hanya akan patuh pada orang yang patut untuk dipatuhi. Selain filosofi, elemen air dan sungai rupanya menjadi simbol yang abadi dalam literatur sejarah Mandar.
Tanah Mandar berarti Tanah dan Air. Maka konsep tanah air itu terbukti bahwa 14 kerajaan di Mandar merupakan kerajaan yang dibangun dengan semangat Sipamandar atau Passemandarang yang maknanya saling mengautkan. Pitu Ulunna Salu (Tujuh kerajaan di hulu sungai) dan Pitu Ba’bana Binaga (Tujuh Kerajaan di muara sungai) adalah konsep Negara Konfederasi yang leluhurnya pun berasal dari konsepsi tomanurung yang kesemuanya identic dengan air (Tobisse di Tallang, Tokombong di Bura, Tomonete di Tarauwe dan Todisesse di Tingalor) bahkan leluhur Pongkapadang dan Torije’ne’ yang dikonsepsikan sebagai manusia pertama peletak dasar peradaban di Mandar ini tak lepas dari air. Pongkapadang yang merupakan simbo air pegunungan dan Torije’ne (istrinya) merupakan symbol air dari pesisir.


Lalu kaitan Mandar dengan Belitung itu dimana? Selain Topole di Balitung yang dibuang Belanda pada Abad-20, sebelumnya leluhur orang Mandar atau Raja Sendana, Tomatindo di Balitung atau Tomottong di Balitung. Ia adalah sosok yang sekitar abad ke-17 Masehi di Kerajaan Sendana lahir sosok “Tomatindo di Balitung” yang di negeri seberang berjuang melawan kebiadaban kolonialisme Belanda. Beliau oleh Prof. Dr. H. Zainal Abidin Farid, SH. menyebutkannya sebagai ”Sijago dari Selat Malaka”. Dalam banyak catatan, Tomatindo di Balitung juga diketahui banyak melahirkan falsafah yang berhubungan dengan etika kepemimpinan di tanah Mandar, termasuk yang memasukkan bibit kayu jati ke Mandar dan Tumarra (Timah) untuk keperluan ladung dan pemberat pada alat tangkap ikan seperti pukat dan tappe (alat tangkap ikan dengan kail dan tasi).
Maka tak salah kemudian jika saya begitu yakin ke Belitung seorang diri, sebab di tanah ini pernah tertanam jazad seorang raja dari Mandar yang tubuhnya itu diurai oleh tanah dan menjadi saripati yang diserap oleh akar tanaman sehingga tanaman tumbuh dengan subur dan menjadi nutrisi penting dalam proses metabolism tubuh manusia Belitung. Jadi Mandar dan Belitung pernah terjalin hubungan kekerabatan yang begitu kuat, maka hari ini saya menawarkan diri pada personil Gapabel bahwa inilah generasi Mandar yang halal menjadi saudara kalian. Kalian adalah sosok-sosok yang sangat berharga dan oleh karenanya, kalian saya abadikan dalam tulisan saya.
                  
WW. House Belitong, 22 April 2018                                                                        23:40

Melacak Jejak Topole di Balitung (2) "Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"

Melacak Jejak Topole di Balitung (2)
"Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"

Diskusi di Rumah Baca Akar, Kandang Gapabel Belitung

Bertolak dari Bandara Soekarno Hatta tepat jam 10.25 pada Minggu pagi melalui Terminal 1A gate 4 Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ribuan rasa menyeruak yang membuatku terus membatin. Setelah tiba di Belitung, saya mengarah kemana ya? Postingan saya di grup Literasi Bangka Belitung tak ada respon, sampai kemudian pesawat Boeing 737 maskapai penerbangan Lion Air. Udara kian terik ketika pesawat tepat menyentuh runway Bandara Belitung. Pukul 11.30 para penumpang bergegas mengambil barangnya dari atas kabin pesawat. Sejurus kemudian mereka beranjak dan berjalan bagai serdadu menuju pintu keluar bagian depan pesawat. Aku masih duduk dengan tenang.
Aku sengaja menjadi orang yang terakhir turun dari pesawat. Kurogoh kantong jaketku dan mengeluarkan gawai untuk terhubung dengan dunia diluaran sana. Harapan terbesarku adalah sebuah pesan yang bisa menolongku untuk melangkah pasti ketika kali pertama kakiku menjejak di tanah Belitung. Harapan itu ternyata tak ada. Begitupun dengan yang kuharapkan dari WAG Literasi Bangka Belitung. Ada asa yang terus kueja dalam benakku bahwa tujuanku ke Belitung jelas merupakan sebuah wujud pengabdianku pada tanah lehurku, Mandar.
Satu keyakinan bahwa di Belitung ini, ada leluhurku yang merelakan seluruh apa yang dia miliki dan apa yang ada padanya menjadi nutrisi bagi tanah Belitung. Inilah spirit yang terus membangun jiwaku pada satu harapan bahwa: Ketika kakiku menginjak bumi Laskar Pelangi ini, maka semua yang punya tapak di tanah ini pasti merasakan getarannya. Keyakinan itu yang membuat jiwa besarku melangkah menuju terminal kedatangan Bandara.
Dalam terik yang kian menusuk ubun, ada sebuah pemandangan yang menghentak ketika akan melangkah masuk dalam terminal kedatangan bandara. Tepat diatas bangunan bandara, sangat jelas sebuah kalimat bertuliskan Bandara Internasional H. AS. Hananjoedin. Yah, Bandara Internasional yang dimiliki oleh sebuah daerah sekelas kabupaten Belitung. Saya nyaris tak percaya, jika di Kabupaten Belitung bagian barat ini memiliki fasilitas. Berskala Internasional.
Berada diantara ratusan penumpang di Terminal kedatangan, saya melihat sosokku berada di hutan belantara. Rimbun semak manusia tak satupun aku kenal. Dengan sisa tenaga aku terus berjalan menyusuri petunjuk keluar bandara, kata exit bagiku sudah sangat hafal dan faham. Begitu tiba diluar bandara, para driver silih berganti menawarkan layanan antar dan paket penginapan. "Maaf, saya dijemput sama keluarga, Mas". Begitulah aku berdalih pada mereka. Toh saya juga belum tahu akan mengarah kemana, sebab dari WAG tak satupun tanggapan yang masuk. Setelah sebatang rokok Urban kunikmati, kucoba melangkah ke arah kanan pintu terminal. Disudut kanan itu terdapat sebuah Kantin Darma Wanita Bandara. Sekedar mengisi waktu sekaligus membayar tagihan perut yang sejak pagi belum terpenuhi. Soto daging dan segelas kopi susu jadi pilihan.
Sekali-sekali saya mengintip layar ponsel dan berharap ada info dari member WAG Bangka Belitung Literasi. Tak terhitung berapa batang rokok yang saya jadikan nisan pada mangkok soto sebagai asbak. Suara adzan tanda waktu dhuhur berkumandang dari masjid yang tak jauh dari bandara. Kuucap syukur alhamdulillah seiring takbir Allahu Akbar dengan lirih. Kepada Tuhan jualah segalanya kuserahkan, sebab Dialah pemilik dan penentu segala rencana. Ketika sedang asik-asiknya menyeruput kopi, tiba-tiba handphone-ku bergetar. Ternyata ada pesan masuk di WAG. Kali ini pesan yang masuk ada di beranda WAG Literasi Bangka Belitung. Sederet kalimat komentar tersusun beberapa baris. Pesan dari salah satu member WAG yang mengucapkan selamat datang di Belitung.
Kalimat selanjutnya adalah permintaan maaf sebab tak bisa menjemput ke Bandara lantaran hari ini bertepatan hari Bumi, 22 April 2018. "Kak Munir keluar dari bandara via taksi menuju ke belakang stadion dibawah warna-warni, biasanya sopir faham itu sekret Gapabel". Komentar yang singkat itu laksana terpaan hujan ditengah kemarau. "Siap. Saya menikmati suasana dulu di bandara". Tulisku pada komentar sebagai basa basi. Bandara Bulutumbang yang sekarang menjadi Bandara Internasional H. AS. Hananjoedin ini tak lagi jadi penjara bagiku. Setidaknya aku sudah bisa bergerak dengan arah yang jelas.
Gapabel (Gabungan Pecinta Alam Belitung) itulah yang akhirnya menjadi titik awal kehadiran saya dalam misi pelacakan Jejak I Calo Ammana Wewang. Jejak itu mulai mulai tampak sekaligus menandai tapak pertamaku ketika keluar dari bandara. Sopir Taksi bernama Abus (62 tahun) mengantar saya ke Kandang Gapabel. Dalam perjalanan menuju secret Gapabel, Pak Abus yang ternyata orang Bugis ini banyak memberi info terkait Belitung setelah mengetahjui bahwa saya dari Sulawesi.
Hanya dalam hitungan belasan menit kami sudah tiba di Stadion Tanjungpandan. Kami mengelilingi jalanan disekitara stadion mulai dan sampai di depan Kantor Kelurahan Pangkallalang Kec. Tanjungpandan kami harus bertanya pada warga sekitar tentang Warna-Warni. Ternyata warga faham betul tentang Warna-Warni yang ternyata adalah WW.House Belitong. Kami kemudian memutar untuk mencari dimana Kandang Gapabel berpijak. Sempat mobil kami melampaui Kandang yang kami cari, tapi rupanya Dita (Penanggungjawab Rumah Baca Akar Belitung) melihat mobil kami melintas. Ia kemudian menelfonku Via WA, dan meminta kami segera putar haluan untuk kembali.
Dari jarak yang tak terlalu jauh, nampak seorang wanita berkaca mata bening yang langsung menyapa ketika mobil yang saya tumpangi berhenti. Sebuah bangunan mungil model panggung yang cukup artistik. Di beranda terdapat beberapa anak kecil yang sementara mewarnai gambar. Begitulah Dita dan beberapa personil selama ini memesrai anak-anak Belitung dalam penguatan literasi anak-anak. Rumah Baca Akar merupakan bentukan program baru dari Gapabel untuk berkonstribusi dalam mencerdaskan anak negeri ini melalui Jaringan Pustaka Bergerak Indonesia besutan Nirwan Ahmad Arsuka dkk.
Rumah Baca Akar memang masih baru dan menjadi satu-satunya rumah baca di Kota Tanjungpandan. Barang-barang di bagasi mobil yang terdiri dari rangsel dan bagtour kin berada di Beranda. Selain Dita dan anak-anak yang sedang asik mewarnai gambar, ada juga anak muda bernama Danu yang menyambutku dengan sangat ramah. Masyarakat Belitung pada umumnya sopan dan hormat pada tamu. Belajar dari Sopir Taksi dan warga yang saya tanya tentang secretariat Gapabel tadi menjadi indicator penilaian. Mereka langsung cair dan responsip.
Dita dan Danu menemaniku berbincang-bincang santai. Kami berhadapan dimeja yang terbuat dari rangka perahu tradisional Belitung. Panjang perahu sekitar 2 meter. Bagian atas ditutup dengan triplek 5 mm sehingga berfungsi ganda, bisa meja untuk belajar sekaligus meja buat ngopi bareng. Selang beberapa menit kemudioan, muncul sosok yang agak kekar. Tubuhnya besar agak hitam manis. Rupanya Bang Jokie (demikian sapaan pria yang bernama lengkap Jookie Vebriansyah ini) inilah penggagas Gapabel. Bang Jokie ternyata sosok yang sangat peramah. Tadinya saya agak ragu dan segan melihat penampilannya. Tapi setelah mulai diskusi nampak sebuah pribadi yang sangat arif dan empati.
Bang Jokie, Danu dan Dita sibuk mengontak beberapa personil Gapabel. Dalam hitungan menit, sosok muda yang bernama Wahyu Kurniawan muncul. Kami berjabat tangan. Tak lama kami pun larut dalam diskusi. Saya mengutarakan maksud kedatangan ke Belitung. “Saat ini kami sedang mempersiapkan penulisan Biografi salah seorang Tokoh Pejuang Mandar yang akan diusulkan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan dari Mandar Sulawesi Barat. Bel;iau adalah I Calo Ammana Wewanng yang bergelar Topole di Balitung. Beliau ini dibuang Belanda tahun 1907 dan berdiam kembali ke Mandar pada tahun 1944”.
Wahyu dan semuanya maksyuk mendengarkan penuturan saya. Wahyu kemudian mengambil kamere digitalnya dan meminta saya untuk berpose bersama Dokumen tentang I Calo Ammana Wewang dengan memperlihatkan selembar Kaos Oblong bergambar I Calo Ammana Wewang dengan tulisan ditas foto “Topole di Balitung”. Kaos tersebut sebagai penegasan bahwa kami sejak dulu mengenal Belitung dalam gelar salah satu pejuang kami. Rupanya Wahyu adalah seorang Jurnalis di Media POS Belitung. Ia mengorek keterangan dari saya untuk rilisnya di Koran Harian Terbesar oplahnya di Belitung ini. Selain Jurnalis, ia rupanya seorang Penulis Buku. Hal itu saya tau ketika ia menyerahkan satu eks buku dengan cover warna oranye berjudul “Tambang Timah Belitong Dari Masa ke Masa”. Setelah cukup keterangan, ia kemudian pamit dan berlalu meninggalkan Kandang Gapabel. Bang Jokie, Danu, Dita masih menemani kami dengan kopi dan penganan alakadarnya di sore menjelang senja itu.


                                                   Minggu, Rumah Baca Akar, 22 April 2018


Selasa, 20 Juni 2017

SAMBUTAN KETUA PAGAR NUSA NU Pada Buku Kottau Warisan Nusantara





Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh_

*Belajar Arif dari Ilmu Silat dan Ilmu Surat*
"Orang hebat mampu mengendalikan orang lain, tetapi lebih hebat lagi kalau dia mampu mengendalikan dirinya sendiri” (Lao Tze)

Betapa mudah menghardik orang lain, namun betapa sulit mengendalikan diri sendiri. Inilah cermin di balik kekuatan para pendekar, di balik jurus-jurus yang dilatih: bagaimana menjadi waskita, bagaimana sublim dalam keheningan diri. Manusia Indonesia sedang terombang-ambing dalam gelombang modernitas.

Banyak pihak salah mengira. Banyak orang juga masih salah kaprah dalam memandang modernitas. Bahwa, untuk menjadi modern harus memutus sama sekali kaitan dengan hal-hal lama. Embel-embel yang berbau masa lalu dan kuno, bukan hanya harus dipinggirkan, tapi juga wajib dibuang jauh-jauh.

Stigma sebagai masyarakat maju dan berkeadaban dipandang hanya bisa diraih ketika sudah berhasil menghilangkan tradisi-tradisi lama, untuk kemudian menggantinya dengan tren-tren kekinian.

Banyak di antara kita yang masih salah tangkap. Terutama, saat memandang modernitas dan kemajuan yang berhasil diraih bangsa Barat hingga saat ini. Kita menjadikan mereka sebagai kiblat, namun hanya melihatnya secara sekelebat. Seringkali yang diambil hanya kulitnya, tanpa menyerap sarinya. Singkatnya, kita masih gagal memotret modernitas dan kemajuan yang mereka raih secara utuh.

Akibatnya, alih-alih benar-benar menjadi menjadi maju dan modern. Pada akhirnya, kita justru kehilangan identitas sendiri. Bukan hanya sebagai individu, tapi juga identitas sebagai sebuah masyarakat yang merupakan bagian dari sebuah bangsa. Kita memupus jati diri kita sendiri demi mengejar status modern. Sayangnya, karena berangkat dari pemahaman yang parsial, status modern yang dibangga-banggakan sesungguhnya semu belaka.

Selain itu, sadar atau tidak, dengan meninggalkan dan melupakan khazanah-khazanah lama yang pernah dimiliki, kita bukannya menjadi subyek modernitas. Kita justru hanya menjadi obyek dari kemajuan itu sendiri. Kita membawa diri kita sekedar menjadi masyarakat dan bangsa pengekor.

Tidak perlu muluk-muluk bicara soal demokrasi ataupun perkembangan teknologi yang hingga hari ini, hampir seluruhnya kita ekspor dari belahan dunia lain. Untuk istilah cantik saja, kita gagal memiliki definisi sendiri. Bahwa yang biasa disebut cantik, hanyalah untuk mereka yang berkulit putih, berhidung mancung, dan sebagainya.

Kita sering lupa bahwa kita mendiami sebuah wilayah beriklim tropis. Kondisi tersebut tentu merupakan contoh kecil saja. Yaitu, tentang bagaimana identitas kita yang terus terkikis dari hari ke hari. Padahal, sekali lagi disadari atau tidak, sejarah sudah banyak mencatat tentang hilangnya sebuah bangsa atau peradaban dengan didahului hilangnya identitas bangsa tersebut.

Dalam konteks sejarah pula, jika memang benar-benar ingin belajar dari kemajuan bangsa Barat, kita sepatutnya akan sadar bahwa capaian yang tampak hari ini bukan muncul seketika. Ada tahapan-tahapan dan lipatan sejarah yang telah dilalui. Di antara yang terpenting adalah modernitas yang terus mereka ciptakan justru bertumpu dan berpangkal dari keseriusan menggali, mempelajari, dan menggeluti kembali khazanah-khazanah masa lalu.

Era itu kita kenal selama ini sebagai renaissance (kelahiran kembali). Kurun waktunya berada disekitar abad ke-14 sampai abad ke-17. Periode tersebut sekaligus merupakan akhir dari abad pertengahan yang kerap dikenal sebagai dark age (zaman kegelapan) bangsa-bangsa Eropa.

Di masa renaissance ketika itu, muncul gerakan kebudayaan dan intelektual, sekaligus kesadaran untuk kembali menggali pemikiran-pemikiran lama dari para pemikir serta filsuf Yunani dan Romawi kuno. Teks-teks lama dibuka dan dipelajari kembali. Logika berpikir yang berkembang dan dikembangkan di masa tersebut disandarkan pada logika berpikir di era Socrates, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf lainnya yang pernah ada.

Berangkat dari masa-masa renaisance itulah, sekitar 100 tahun kemudian, era _aufklarung_ (zaman pencerahan) muncul. Periode tersebut yang kerap dikaitkan dengan kemodernan Eropa hingga hari ini. Sebab, pada masa-masa itulah pemikiran-pemikiran baru bermunculan. Bukan hanya di ranah filsafat dan kebudayaan, tapi juga berbagai ilmu pengetahuan.

Di sinilah, semangat kehadiran buku ini menemukan garis relevansinya. Upaya mulia sahabat Suryananda menggali sekaligus mengangkat pencak silat, khususnya silat Mandar, sudah seharusnya ikut membangunkan kita semua.

Bukan hanya kesadaran bahwa pencak silat yang merupakan khazanah asli Indonesia wajib dilestarikan. Tapi, juga kesadaran untuk sesegera mungkin menyiapkan diri untuk menjemput kemajuan.

Lewat buku ini, kemajuan yang sudah di depan mata kita sesungguhnya bukan lagi kemajuan semu milik bangsa lain. Tapi, kemajuan bangsa Indonesia yang sejatinya memang sebuah bangsa yang besar. Bangsa yang memiliki peradaban yang begitu tinggi. Seni beladiri pencak silat menjadi tiang penyangganya.

'Ala kulli haal, keberadaan buku ini juga sekaligus harus menumbuhkan kesadaran kritis untuk kita semua. Bahwa, penguatan identitas dan khazanah Nusantara akan berhasil jika kita mampu mengimplementasikan sekaligus mengembangkan nilai-nilai, moral dan etika yang menjadi perspektif buku ini. Pencak Silat sejatinya bukan sekedar gerakan tubuh, namun memiliki pondasi filosofis pada moral dan etika spiritual. Inilah yang menjadikan Pencak Silat sangat khas, dibandingkan dengan bela diri lainnya.

Karya sahabat Suryananda ini menjadi hidup dan bernyawa, justru karena diimplementasikan dan lahir dari pengalaman yang dibarengi dengan riset. Saya berbangga dengan lahirnya buku ini, yang menegaskan betapa khazanah budaya Nusantara begitu kaya.
Buku ini menegaskan pepatah lama, betapa Ilmu Silat dan Ilmu Surat (teks) terkoneksi erat, saling menyempurnakan.
_Waallahu muwaffiq ila aqwaamit thariq, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh_

Muchamad Nabil Haroen
Ketua Umum PP Pagar Nusa NU

Selasa, 11 April 2017

ANGGUKAN RITMIS SANG LEGENDARIS (2) Sumaati : Museum Etnomusikologi Untuk Sang Legendaris



ANGGUKAN RITMIS SANG LEGENDARIS (2)
Sumaati : Museum Etnomusikologi Untuk Sang Legendaris

Desain Sumaati Institut dan Museum Etnomusikologi (desainer: Nursaid Nurdin)


Lelaki kelahiran Lekopa'dis tahun 1935 ini adalah lelaki yang nyaris segala sisi kehidupannya menyatu dalam dawai kacapingnya. Ia kerap tampil makkacaping bersama I Saga, I Tagi Kanna I Pejang dan Lauwi. Sejak masih berusia muda, Sumaati memang akrab dengan Kacaping. Ia bahkan memiliki tiga istri yang merupakan hasil dari petikan kecapinya. Ka'be adalah sosok wanita yang ia rengkuh hatinya dengan kacapingnya, menyusul I Malotong ikut terbuai dengan petikan cinta yang bersumber dari petikan dan tedze-tedze Sumaati. Kedua wanita yang dinikahi Sumaati tersebut tak satupun memberinya keturunan sehingga Sumaati berfikir mesti cari wanita lain lagi untuk bisa mendapatkan keturunan dan pewaris dari semua talentanya. Nabia kemudian menjadi pelabuhan hati Sumaati dan lalu dinikahinya.

Dari rahim Nabialah, Sumaati bisa menimang anak pertama yang ia beri nama Amiruddin (lahir tahun 1959), anak keduanya, St. Fatima (lahir tahun 1968) dan terakhir lahirlah Musdalifa pada tahun 1972. Lengkap sudah kebahagiaan Sumaati denga tiga istri dan tiga anak. Sumaati semakin menyatu dengan kacapingnya, sebab memang kacapinglah yang membuatnya bisa bertahan menikmati hidup dengan keluarganya. Sumaati menjadi salah satu sosok pakkacaping yang tidak saja sibuk melayani hajatan warga di Mandar, tapi ia bahkan keliling kota-kota besar sejak tahun 1955 ke Kalimatan. Masalembo, Makassar, Palu, Toli-Toli Salemo Pangkep dan lainnya diseluruh Indonesia.

Tahun 1960 an bahka pernah tampil menghibur warga kota Jakarta Utara atas undangan Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah orang Baruga Majene yang sukses di Jakarta, dengan bisnisnya bergerak di sektor perdagangan besi dan baja. PT. Air Baja adalah Perusahaan Baja yang ia rintis dan menjadikannya kaya raya pada tahun 1960-an. Tak hanya itu, Sumaati bahkan sudah go internasional dengan kacapingnya pada 1974 tampil menhibur warga Tawau Malaysia. Dari Tawau itulah ia banyak membawa pulang baju, celana dan barang-barang berharga lainnya. Salah satu baju merek Arrow sampai sekarang masih dapat kita lihat, terasuk linggis Malaysianya masih terpelihara di rumah anaknya, Amiruddin. Akhir kisah Sumaati terjadi ketika Amiruddin meminta uang untuk melanjutkan sekolahnya pada tahun 1979.

Saat itu, seperti yang dituturkan oleh Amiruddin (10/04/2017) Sumaati mengatakan " Sabarlah, Nak. Satu bulan ini bapak banyak undangan untuk main kacaping. Insyaallah akan ada uang yang bapak bisa dapatkan untuk sekolahmu. Saya akan ke Toli-Toli karena di Sematang, Soni dan Sese ada undanganku makkacapinhg" Amiruddin saat itu sangat bahagia mendengar semangat ayahnya untuk mencari uang demi pendidikannya. Namun ternyata, hari dimana ayahnya berangkat saat itu adalah hari terakhir untuk ia melihat ayahnya. Sebab dalam perjalanannya roadshow dibeberapa daerah di Sulteng itu, ia menjemput takdir hidupnya berakhir di kapung orang. Jauh dari keluarganya. Amiruddin kemudian hanya bisa mendapati barang-barang ayahnya yang dikirim dari Toli-Toli.

Kacaping yang begitu akrab dimata Amiruddin itu kini datang tak lagi bersama Tuannya. Sang legendaris dan maestro Kacaping itu telah tiada. Iya meninggalkan banyak kisah yang membuatnya terus ada dalam ketiadaannya. Selain kacaping, beberapa benda berharga dan pakaiannya serta peralatan yang kerap ia gunakan masih disimpan dan dipelihara oleh anak-anaknya.Sebagai anak Sulung, Amiruddin adalah sosok pengganti ayahnya untuk bisa melanjutkan kehidupan keluarganya sekaligus menjadi pihak yang banyak menyipan barang-barang peninggalan ayahnya. Ia debgan sangat telaten menjaga dan memelihara barang berharga ayahnya hingga saat ini. Amiruddin bahkan berencana mendirikan Museum Etnomusikologi sebagai wadah untuk mengenang ayahnya sekaligus sebagai upaya untuk lebih memperkenalkan musik tradisional Kacaping ini kepada khalyak.

Museum yang akan dibangun di atas tahan kosong miliknya ini sekaligus diharapkan menjadi Sekolah Musik tradisi. Selain Kacaping,alat-alat musik laiinya seperti rabana, calong, gongga' dan lainnya akan menjadi koleksi di Museum Etnomusikologi Sumaati ini.

Amiruddin mengatakan bahwa pendirian museum ini adalah bentuk do'a dan amal jariyah buat ayahnya. Semoga dengan museum ini, ayahnya meski telah tiada, tapi senantiasa diingat dan dapat dinikmati peninggalan beliau. Demikian harapan Amiruddin saat penulis bertandan ke kediamannya di Lekopa'dis. Kepada penulis, Amiruddin memperlihatkan beberapa benda koleksi yang akan dipanjang di Museumya. Barang-barang koleksi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kacaping 2. Gecong 3. Jambia. 4. Koin 5. Ajimat 6 Cincin Baiduri Bulan /akik 7. Parrassang Malaysia 8. Lipa' Sa'be 9. Baju Arrow 10. Kaset (1) 11. Selana 12. Jas 13. Ranjang Besi 14. Foto (3 lembar) 15. Kursi kayu 16. Okang 17. Panne 18. Okang 19. Mangkok 20. Peti Tempat pakean 21. Lemari 22. Kabi Layo/Lakka.[1]






[1] Wawancara Khusus dengan Amiruddin, putra sulung Sumaati pada tanggal 10 April 2017 pukul 21.00 - 22.30 di Lekopa'dis Kecamatan Tinambung.