Jumat, 17 Februari 2017

NURDIN HAMMA, BA : Izinkan Aku menggelarimu "Perpustakaan Berjalan"


Nurdin Hamma, BA adalah salah satu tokoh budaya kelahiran Kandemeng Tinambung, 19 Februari 1973 tapi dalam dokumen aslinya tertulis 27 Februari 1937. Terlahir dari pasangan Hamma Pua’ Bungadia dan Ruhaniah. Ia adalah putra sulung dari dua bersaudara dari pihak ibu dan 7 orang bersaudara dari pihak ayahnya. Nama Hamma dilekatkan pada namanya sebab pada saat itu, banyak sekali orang yang memiliki nama Nurdin disekolahnya.
            Lelaki yang lahir pada masa penjajahan Belanda dan Jepang ini, pada usia 3 tahun hidup bersama ibunya karena ditinggal oleh ayahnya kembali ke istri pertamanya. Nanti setelah usia kelas 5 SD baru ia mengenal ayahnya. Keadaan yang begitu sulit ia lalui dimasa-masa penjajahan. Kekurangan makanan adalah hal yang telah biasa bagi Nurdin.
            Salah satu peristiwa yang selalu ia ingat sampai hari ini adalah peristiwa Galung Lombok yaitu pembantaian terhadap ratusan jiwa pada 1 Februari 1947. Peristiwa yang dipicu oleh terbunuhnya tentara Belanda yang kemudian terjadi penggiringan rakyat tua dan muda ke ke Galung Lombok kemudian dibantai dengan siraman peluruh secara membabi buta oleh Belanda.
            Ditengah situasi yang begitu sulit, Nudin Hamma bisa bersekolah di SD hanya tinga tahun. Sebab ia sangat bodoh. Ini mungkin disebabkan oleh kondisi yang membuatnya sangat susah dan tak pernah membaca buku. Nanti pada saat kembali sekolah di kelas 4 baru mulai membaca buku dan berubah menjadi pintar. Saat itu masih ada sekolah 3 tahun sehingga pada saat ia selesai di sekolah 3 tahun, ia hendak melanjutkan pendidikannya di SD 6 tahun. Ketika berada di kelas 4-5 SD ia kerap dipanggil oleh seorang pengusaha yang buta huruf.
            Pada tahun 1950 Sulawesi Selatan banyak mengalami kekacauan yang beruntun. Setelah berakhirnya penjajahan Belanda, ada gerakan pemberontakan DI/TII dibawah pimpina  Kahar Muzakkar yang bergerak melawan TNI. Pada malam hari, tak ada yang berani tidur di Kandemeng karena gerilyawan selalu menduduki daerah itu dan selalu terjadi baku tembak. Nurdin dan yang lain mengungsi ke Tinambung dan kembali pada pagi harinya.
            Untuk memerangi pemberontakan ini, tahun 1953 Batalyon 719 ditugaskan untuk menumpas gerakan DI/TII ini, namun pada perkembangannya mereka justru ingin berkuasa dan nama Batalyon 719 diganti menjadi Batalyon 710 dibawah pimpinan Andi Selle Mattona (Bugis). Perang berubah menjadi perang antar suku yaitu Mandar dan Bugis.
            Pada tahun 1957, ketika Nurdin harus ujian PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama) di Majene, ia dan kawan-kawannya harus melalui jalur laut, sebab jalur darat sangat berbhaya saat itu. Setelah ujian, ia kemudian lanjut ke PGA 6 tahun di Makassar namun tak sempat selesai karena kondisi keuangan.               
            Nurdin Hamma yang dikenal sebagai budayawan dan tokoh pendidik ini memang bukan sematan yang asal-asalan, sebab dalam kondisi negara ini masih rawan ia telah banyak bergumul dengan dunia pendidikan. Mulai dari mengaktifkan kembali SD Sumarrang Campalagian, YAPIS Polewali, ia kemudian mempelopori berdirinya SMEA Tinambung (SMK Tinambung), pada tahun 1965. Pada tahun ia menjadi Kepala Sekolah PGA Cokroaninoto yang berdiri tahun 1969-1973. Sebelum Nurdin Hamma menjadi kepala sekolah, ada Suradi Yasil yang menjabatnya, nanti setelah Suradi non aktif maka ia mengemban amanah sebagai pimpinan sekolah.
            Nurdin Hamma memang dikenal sebagai sosok pendidik yang tak pernah merasa lelah. Baginya pendidikan adalah satu-satunya obsesi dalam hidupnya. Sehingga jangan heran jika berderet sekolah mengabadikan namanya. Madrasah Ibtidaiyah Oting, Pande Bulawang, Yayasan Perama Mombi, Madrasah Ibtidaiyah GUPPI Napo-Napo, Pesantren Miftahul Jannah Lombok Desa Ambo Padang, Pesantren Al-Balad Kamande Tutar, Kelompok Bermain Melati Aisyiyah adalah deretan sekolah yang didalamnya peran seorang Nurdin Hamma tak bisa diabaikan.
            Sampai hari ini, Nurdin Hamma telah melewati fase umur diatas rata-rata. Bisa dihitung dari 1937-2017 ini beliau masih sehat, sibuk mengurusi kebudayaan dan mengurusi nasib generasi muda. Penulis mulai dekat dengan beliau saat pindah rumah dari Campalagian ke Kandemeng. Dari sosok inilah penulis banyak belajar sehingga penulis terlecut untuk menekuni dunia tulisan dan tradisi literasi. Andai tak bertemu dan dimotivasi oleh beliau, penulis mungkin tak akan pernah tertarik untuk menulis. Bahkan karena beliaulah akhirnya penulis mewakafkan hidupnya untuk menjadi kuli tinta.
            Sosok Nurdin Hamma memang tak akan pernah usai ditulis, sebab semakin kita mengambil ilmunya semakin bertambah ilmu yang belum kita fahami. Dan berdiskusi dengan beliau sungguh menyenangkan. Ia lugas, tuntas dalam kajiannya sehingga persoalan yang menjadi topik diskusi tidak mengambang. Itu yang beliau miliki sehingga tak berlebihan jika kemudian sosok ini penulis abadikan sebagai perpustakaan berjalan. Yah, perpustakaan berjalan. Jika susatu saat pengetahuan kita buntu, maka dengan Nurdin Hamma semua pasti ada solusi keilmuannya.
            Nurdin Hamma mungkin satu-satunya orang tua di Mandar ini yang intens dan conceren dalam hal pendidikan dan kebudayaan. Ia bahkan lintas kebupaten. Tidak saja wilayah Polewali Mandar yang ia sasar tapi juga sudah merambah masuk ke wilayah Majene. Terlebih dengan kedekatannya dengan Ketua DPRD Majene, Drs. Darmansyah semakin membuatnya merasa bahwa Polman dan Majene hanya sebatas wilayah administratif saja, tapi dari segi hati nurani, tak ada kata perbatasan.
            Untuk bisa mengenal Nurdin Hamma secara dekat silahkan datang ke rumah kediamannya setiap jam 06.30 atau ba’da ashar untuk diskusi dengan beliau. Tapi ka ingin mengorek sepak terjang dan jejak-jejak beliau, silahkan baca buku “Nurdin Hamma Di Balik Cerita, Perjalanan Wisata Menuju Negeri Tapal Batas” yang ditulis oleh F. Bekti BW[1], penulis asal Jogyakarta yang sejak tahun 2015 lalu memilih menjadi Towaine Tinambung.
            Buku tersebut akan mengantar anda untuk mengenal lebih dekat sosok yang ada dibalik nama Nurdin Hamma ini. Dalam bagian terakhir buku itu ada banyak tokoh yang bercerita tentang sosok beliau. Mulai dari Suradi Yasil (Budayawan dan Penulis), Khalid Rasyid (Kepala KUACampalagian), Mukhtar Kanai (pensiunan Disbudpar Polman), Prof. Dr. Abdul Rahman Halim (teman seperjuangan, teman diskusi), Muhammad Saleh, St. Khadijah Badolo, Haji Murad, Tammalele, Askar Darwis dan lain-lain.



[1] Nama Pena Dinda Prameswari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar