Nurdin Hamma, BA adalah salah satu tokoh budaya kelahiran
Kandemeng Tinambung, 19 Februari 1973 tapi dalam dokumen aslinya tertulis 27
Februari 1937. Terlahir dari pasangan Hamma Pua’ Bungadia dan Ruhaniah. Ia
adalah putra sulung dari dua bersaudara dari pihak ibu dan 7 orang bersaudara
dari pihak ayahnya. Nama Hamma dilekatkan pada namanya sebab pada saat itu,
banyak sekali orang yang memiliki nama Nurdin disekolahnya.
Lelaki yang lahir pada masa
penjajahan Belanda dan Jepang ini, pada usia 3 tahun hidup bersama ibunya
karena ditinggal oleh ayahnya kembali ke istri pertamanya. Nanti setelah usia
kelas 5 SD baru ia mengenal ayahnya. Keadaan yang begitu sulit ia lalui
dimasa-masa penjajahan. Kekurangan makanan adalah hal yang telah biasa bagi
Nurdin.
Salah satu peristiwa yang selalu ia
ingat sampai hari ini adalah peristiwa Galung Lombok yaitu pembantaian terhadap
ratusan jiwa pada 1 Februari 1947. Peristiwa yang dipicu oleh terbunuhnya
tentara Belanda yang kemudian terjadi penggiringan rakyat tua dan muda ke ke
Galung Lombok kemudian dibantai dengan siraman peluruh secara membabi buta oleh
Belanda.
Ditengah situasi yang begitu sulit,
Nudin Hamma bisa bersekolah di SD hanya tinga tahun. Sebab ia sangat bodoh. Ini
mungkin disebabkan oleh kondisi yang membuatnya sangat susah dan tak pernah
membaca buku. Nanti pada saat kembali sekolah di kelas 4 baru mulai membaca
buku dan berubah menjadi pintar. Saat itu masih ada sekolah 3 tahun sehingga
pada saat ia selesai di sekolah 3 tahun, ia hendak melanjutkan pendidikannya di
SD 6 tahun. Ketika berada di kelas 4-5 SD ia kerap dipanggil oleh seorang
pengusaha yang buta huruf.
Pada tahun 1950 Sulawesi Selatan
banyak mengalami kekacauan yang beruntun. Setelah berakhirnya penjajahan
Belanda, ada gerakan pemberontakan DI/TII dibawah pimpina Kahar Muzakkar yang bergerak melawan TNI.
Pada malam hari, tak ada yang berani tidur di Kandemeng karena gerilyawan
selalu menduduki daerah itu dan selalu terjadi baku tembak. Nurdin dan yang
lain mengungsi ke Tinambung dan kembali pada pagi harinya.
Untuk memerangi pemberontakan ini,
tahun 1953 Batalyon 719 ditugaskan untuk menumpas gerakan DI/TII ini, namun
pada perkembangannya mereka justru ingin berkuasa dan nama Batalyon 719 diganti
menjadi Batalyon 710 dibawah pimpinan Andi Selle Mattona (Bugis). Perang
berubah menjadi perang antar suku yaitu Mandar dan Bugis.
Pada tahun 1957, ketika Nurdin harus
ujian PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama) di Majene, ia dan kawan-kawannya
harus melalui jalur laut, sebab jalur darat sangat berbhaya saat itu. Setelah
ujian, ia kemudian lanjut ke PGA 6 tahun di Makassar namun tak sempat selesai
karena kondisi keuangan.
Nurdin Hamma
yang dikenal sebagai budayawan dan tokoh pendidik ini memang bukan sematan yang
asal-asalan, sebab dalam kondisi negara ini masih rawan ia telah banyak
bergumul dengan dunia pendidikan. Mulai dari mengaktifkan kembali SD Sumarrang
Campalagian, YAPIS Polewali, ia kemudian mempelopori berdirinya SMEA Tinambung
(SMK Tinambung), pada tahun 1965. Pada tahun ia menjadi Kepala Sekolah PGA
Cokroaninoto yang berdiri tahun 1969-1973. Sebelum Nurdin Hamma menjadi kepala
sekolah, ada Suradi Yasil yang menjabatnya, nanti setelah Suradi non aktif maka
ia mengemban amanah sebagai pimpinan sekolah.
Nurdin Hamma memang dikenal sebagai
sosok pendidik yang tak pernah merasa lelah. Baginya pendidikan adalah
satu-satunya obsesi dalam hidupnya. Sehingga jangan heran jika berderet sekolah
mengabadikan namanya. Madrasah Ibtidaiyah Oting, Pande Bulawang, Yayasan Perama
Mombi, Madrasah Ibtidaiyah GUPPI Napo-Napo, Pesantren Miftahul Jannah Lombok
Desa Ambo Padang, Pesantren Al-Balad Kamande Tutar, Kelompok Bermain Melati
Aisyiyah adalah deretan sekolah yang didalamnya peran seorang Nurdin Hamma tak
bisa diabaikan.
Sampai hari ini, Nurdin Hamma telah
melewati fase umur diatas rata-rata. Bisa dihitung dari 1937-2017 ini beliau
masih sehat, sibuk mengurusi kebudayaan dan mengurusi nasib generasi muda.
Penulis mulai dekat dengan beliau saat pindah rumah dari Campalagian ke Kandemeng.
Dari sosok inilah penulis banyak belajar sehingga penulis terlecut untuk
menekuni dunia tulisan dan tradisi literasi. Andai tak bertemu dan dimotivasi
oleh beliau, penulis mungkin tak akan pernah tertarik untuk menulis. Bahkan
karena beliaulah akhirnya penulis mewakafkan hidupnya untuk menjadi kuli tinta.
Sosok Nurdin Hamma memang tak akan
pernah usai ditulis, sebab semakin kita mengambil ilmunya semakin bertambah
ilmu yang belum kita fahami. Dan berdiskusi dengan beliau sungguh menyenangkan.
Ia lugas, tuntas dalam kajiannya sehingga persoalan yang menjadi topik diskusi
tidak mengambang. Itu yang beliau miliki sehingga tak berlebihan jika kemudian
sosok ini penulis abadikan sebagai perpustakaan berjalan. Yah, perpustakaan
berjalan. Jika susatu saat pengetahuan kita buntu, maka dengan Nurdin Hamma
semua pasti ada solusi keilmuannya.
Nurdin Hamma mungkin satu-satunya
orang tua di Mandar ini yang intens dan conceren dalam hal pendidikan dan
kebudayaan. Ia bahkan lintas kebupaten. Tidak saja wilayah Polewali Mandar yang
ia sasar tapi juga sudah merambah masuk ke wilayah Majene. Terlebih dengan
kedekatannya dengan Ketua DPRD Majene, Drs. Darmansyah semakin membuatnya
merasa bahwa Polman dan Majene hanya sebatas wilayah administratif saja, tapi
dari segi hati nurani, tak ada kata perbatasan.
Untuk bisa mengenal Nurdin Hamma
secara dekat silahkan datang ke rumah kediamannya setiap jam 06.30 atau ba’da
ashar untuk diskusi dengan beliau. Tapi ka ingin mengorek sepak terjang dan
jejak-jejak beliau, silahkan baca buku “Nurdin Hamma Di Balik Cerita,
Perjalanan Wisata Menuju Negeri Tapal Batas” yang ditulis oleh F. Bekti BW[1],
penulis asal Jogyakarta yang sejak tahun 2015 lalu memilih menjadi Towaine
Tinambung.
Buku tersebut akan mengantar anda
untuk mengenal lebih dekat sosok yang ada dibalik nama Nurdin Hamma ini. Dalam bagian
terakhir buku itu ada banyak tokoh yang bercerita tentang sosok beliau. Mulai dari
Suradi Yasil (Budayawan dan Penulis), Khalid Rasyid (Kepala KUACampalagian), Mukhtar
Kanai (pensiunan Disbudpar Polman), Prof. Dr. Abdul Rahman Halim (teman seperjuangan,
teman diskusi), Muhammad Saleh, St. Khadijah Badolo, Haji Murad, Tammalele, Askar
Darwis dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar