Kamis, 05 Mei 2016

Info Buku: Mengeja Mandar Lewat Balanipa

PENGANTAR PENULIS

@SYUKUR
Syukur Alhamdulillah, hanya kata itulah yang pantas saya ucapkan, lain tidak. Sebab Allah senantiasa memberikan limpahan kasih sayang-Nya, sehingga saya selalu bisa berfikir dan bertindak dalam memenuhi kebutuhan sebagai proses pemenuhan dari semua keinginan. Dan dengan proses itu sampai hari ini, Allah masih tetap bersedia menyuplai oksigen dan nitrogennya untuk saya nikmati dengan bernafas, dan ternyata hal itu adalah sebuah proses yang diinginkan oleh Allah untuk selalu punya mental sukses dan tidak melulu punya mental gagal. Atas semuanya itu, buku ini mampu saya selesaikan.
Betapa tidak, saya adalah salah satu makhluk Allah yang bisa bertahan hidup karena disuplai oksigen dan nitrogen untuk bisa bernafas. Andai kata untuk benafas saya diharuskan membayar seperti layaknya saat diopname di rumah sakit. Saya mungkin sudah lama menyerah. Sebab di apotik untuk beli oksigen dan nitrogen, jangankan untuk hidup sehari, untuk bertahan hidup satu hari, satu detik saja pasti sudah bangkrut. Karena ternyata kebutuhan manusia untuk oksigen perharinya adalah 2.880 liter dan nitrogen sebanyak 11.376 liter. Jika dikalikan dengan harga satuan di apotik, oksigen harganya Rp. 25.000,- perliter dan nitrogen dilabeli dengan harga Rp. 9.950,-perliternya. Kalkulasinya adalah Rp. 170 juta/hari. Jika dihitung perbulan maka asupan oksigen dan nitrogen untuk dapat bernafas dan bertahan hidup, saya harus siapkan uang sekitar 5, 1 miliar. Ini baru sebulan, bagaimana jika 1 tahun...?. Subhanallah !
Dan semua itu digratiskan oleh Allah, coba kiranya Allah menjualnya kepada kita, orang kaya sekelas Chairul Tanjung, Robert T. Kiyosaki, Donal Trump, Bill Gates pun tidak akan sanggup dan mampu membayar biaya nafasnya. Oleh karenanya, siapapun kita, apapun kondisi kita saat ini, syukur itu mesti tetap ada dan kita rutinkan setiap saat.

@SHALAWAT
Salam dan shalawat kepada Nabiyullah Muhammad Saw, manusia pilihan yang dipilih oleh Allah untuk teladan bagi kita semua. Muhammad adalah manusia tersukses dan terkaya dan patut kita contoh untuk mensifati sifat Allah yang Al Ghaniy dan Al Mughniy. Salam dan shalawat ini menjadi asa buat kita, semoga Rasulullah membalas shalawat kita dengan mengakui kita sebagai umatnya dan merekomendasikan kita untuk menjadi pengikutnya, dan nanti di akhirat Rasulullah berkenan mendisposisi project proposal kita untuk berada dalam rio-Na Puang Allah Taala.

@MENULIS SEJARAH MANDAR
Membincang Mandar sebagai sebuah objek, selalu memungkinkan banyak orang atau penulis untuk bisa menginterpretasinya secara berbeda dan beragam. Hal ini memang sangat memungkinkan, sebab Mandar itu sendiri belum melahirkan sebuah konsep yang seragam tentang Mandar yang sebenarnya. Namun sebagai manusia Mandar, tentu tidak berlebihan jika hari ini kita tetap berupaya untuk menjadikan Mandar sebagai sebuah identitas yang tidak hanya ingin diterima “ada” tetapi juga sekaligus “diakui”. Untuk proses itu, sejarah harus selalu kita tulis, untuk memberi jawaban dan bukti-bukti sebagai bentuk rekonstruksi masa lalu. Sejarah dibutuhkan untuk merekonstrukai apa saja yang sudah di fikirkan, di kerjakan, di katakan dan di alami oleh orang terdahulu. Namun, bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri, sebab sejarah mempunyai kepentingan masa kini dan bukan untuk masa yang akan datang.
Perkembangan ilmu sejarah dituntut konstribusinya menuju hal yang lebih benar, rasional, obyektif dan ilmiah. Tantangan kedepan membutuhkan sejarah sebagai pengawal setiap idea of progres. Jika ilmu sejarah tidak tangguh untuk itu, maka kemajuan-kemajuan zaman seperti sekarang ini justru akan menghilangkan kesadaran penghuni zamnnya sendiri. Ketika masa lalu tidak lagi bisa di tengok, apalagi pada masa berikutnya, maka generasi akan rusak yang identik dengan orang yang tidak memahami peradaban manusia sebelumnya.
Demikian halnya Mandar hari ini, generasi Mandar harus memahami peradaban manusia sebagai gugusan etnik yang mendiami wilayah yang cukup luas di Provinsi Sulawesi Barat ini. Buku Mengeja Mandar Lewat Balanipa ini adalah sebuah langkah awal mengenal Mandar. Mengapa mengeja atau mempelajari Mandar melalui Balanipa? Sebab Balanipa adalah Sambolangiq atau sebagai Ama (Bapak) di Pitu Baqbana Binanga. Dengan dasar itulah sehingga kata ‘mengeja’ saya gunakan sekaligus menggambarkan bahwa saat ini, penulis pun lagi belajar mengeja Mandar, belum mahir membaca, apalagi menulis Mandar. Ibarat bayi yang baru lahir, jangankan tertawa, menangis saja belum tahu.
Buku “Mengeja Mandar Lewat Balanipa” ini awalnya hanya sebagai upaya untuk mensosialisasikan gerakan perjuangan Pembentukan Kabupaten Balanipa di internal Barisan Muda Pembela Balanipa (BMP-Balanipa) yang saya gagas dengan Rustan dkk. di Botto pada sekitar tahun 2011. Dan saat itu, penulis berencana meluncurkan buku ini saat ketuk palu pengesahan RUU DOB Balanipa di Senayan, namun ternyata sampai tahun 2015, RUU tersebut semakin tak jelas ujung nasibnya, sehingga buku ini tak pernah diterbitkan.
Seiring berjalannya waktu, naskah buku ini kemudian saya revisi dan mengadakan perombakan-perombakan di dalamnya, sehingga yang nampak kemudian adalah buku yang tidak lagi menjadi sebuah penyemangat perjuangan, tapi mewujud sebagai gugatan penulis untuk menggugagah kesadaran kita sebagai manusia Mandar, wabilkhusus generasi muda, untuk kembali menemu kenali sejarah perruqdusang, tradisi dan kearifan lokal di Mandar-Balanipa.
Buku yang terdiri dari 6 BAB ini, BAB petmama membahas tentang sejarah perkembangan penulisan sejarah Mandar dan pengenalan Mandar. Dimana pada tahapan itu, ada sebuah mentalitas yang muncul dalam penulisan sejarah Mandar selama ini, di mana aroma konstruksi penulis sangat terasa dalam alur penulisan sejarah Mandar, sehingga nampak seperti naskah sinetron dan film yang di dalamnya terdapat unsur pemeran yang bersifat oposisi biner (binary oposition), yakni pemeran protagonis dan antagonis. Bahkan sejarah dibuat hanya untuk meneguhkan kepentingan penguasa dan kelompok dominan. Dan parahnya, kita melihat dan mendengar penguasa tiba-tiba menjadi “sejarawan” dan lalu menulis sejarah sesuai dengan nalurinya.
Pada BAB kedua, saya mencoba merunut sejarah peradaban dunia lalu kemudian menelusur sejarah peradaban di Mandar. Dengan demikian, pembaca bisa mengetahui periodesasi sejarah dari mulai keberadaan manusia dalam kitab sampai pada proses manusia mengenali kebudayaan yang membentuk sebuah peradaban maju. Peradaban Mesir kuno, Sungai Hindus sampai pada gelombang migrasi besa-besaran dan lalu mencoba mengaitkannya dengan mulatau di Sungai Saqdang (dalam buku-buku sejarah Mandar yang beredar).
Periodesasi ini penting, sebab dalam membincang sejarah peradaban Mandar, kerap kita menemukan penggunaan nama, gelar yang sama dalam catatan sejarah. Misalnya, Pongka Padang, I Kadzake Letteq dll., sering juga kita menemukan adanya kesimpang-siuran dalam memahami sejarah, dimana kejadian pada masa pemerintahan kerajaan (Arajang/Maraqdia) dikaitkan dengan kejadian yang berlangsung pada masa tomakakaq. Dari periodesasi inilah kita harapkan generasi kedepannya semakin sadar dan terlecut jiwanya untuk terus mempelajari sejarah perruqdusang leluhur Mandar.
BAB ketiga, saya sedikit lebih fokus pada mengenalan produk kebudayaan Mandar, semisal saqbe Mandar, kesenian tradisional sampai kepada lagu klasik, kalindaqda, situs dan cagar budaya yang masih tetap di jaga dan lestari di Mandar. Ini penting sebagai sebuah proses pengenalan dasar kepada generasi muda agar tergugah untuk mempelajari dan menjadi pelaku dalam melestarikan kesenian tradisional dan produk kebudayaan Mandar tersebut. Adalah sebuah kecelakaan ketika leluhur kita mampu menciptakan dan membangun kebudayaan besar, tapi tak ada regenerasi yang tercipta. Oleh karenanya, dibutuhkan kesadaran kolektif untuk berbuat apa yang mampu dan bisa kita lakukan. Sebagai generasi, inilah yang saya ingin persembahkan.
BAB keempat, saya lebih condong meramu informasi tentang keberadaan tokoh-tokoh besar yang lahir dari rahim peradaban Mandar Balanipa. Tokoh yang saya tampilkan ini bukan tokoh-tokoh Mandar secara umum, melainkan tokoh yang lahir di Balanipa, para pappatumballeq litaq dan beberapa generasi yang Mandar Balanipa yang menginspirasi. Mulai dari I Manyambungi Todilaling, I Billa-Billami Tomepayung, Daetta Tommuane, Daeng Rioso, I Calo Ammana Wewang, Tokape, Tokeppa, Tosalamaq Imam Lapeo, Annangguru Saleh, S. Mengga, Darmawan Mas’ud, Kalman Bora, Cammana, Marayama, sampai kepada generasi pejuang kemerdekaan dan pembaharu Hj. Andi Depu, Baharuddin Lopa, Husni Djamaluddin, Nurdin Hamma, Bakri Latief, Ahmad Asdy, Ajbar Abdul Kadir, Syamsul Samad, Abdul Rahim, sampai kepada Muhammad Ridwan Alimuddin, Ramli Rusli dll. Ada sekitar kurang lebih 40-an profil tokoh tersebut ada dalam buku ini.
Pada BAB kelima saya membahas tentang bunga rampai litaq Mandar Balanipa, mulai dari simbol kebudayaan Mandar, seperti Beruq-Beruq di Kandemeng, upacara-upacara tradisional dan sakral, permainan rakyat seperti jekka, logo, gasing, karacang sampai pada persoalan kutika, guna-guna dan doti. Yang baru dalam penulisan ini adalah, pada acara seperti pammunuang, papasiala, peuriq, pappadai toyang, pappakeqde boyang, saya lengkapi dengan prosesi pembacaan barzanji menurut ath-thirillah yang berhubungan dengan jenis upacara yang dilakukan oleh masyarakat Mandar.
Dengan demikian buku ini selain menjadi sebuah rujukan, bahan diskusi, sekaligus menjadi buku petunjuk praktis bagi masyarakat yang melaksanakan upacara adat, syukuran dan walimah karena memuat teks barzanji yang menggnakannya cukup disesuaikan dengan jenis acara yang dihelat oleh warga. Misalnya, peuriq dan pappadai toyang. Cukup buka BAB lima dan cari bagian yang membahas tentang peuriq, baca teks-nya dan ikuti petunjuknya sampai selesai.
Mengapa Barzanji ini dicantumkan, sebab Kitab Barzanji itu sendiri tidak harus dibaca dengan runtut, runut sampai 19 ath-thirillah, sebab dalam beberapa praktek yang dilakukan orang tua kita, pembacaan barzanji tidak semua sama dalam setiap acara yang dilaksanakan. Misalnya acara pappakeqdeq boyang, pammunuq dan pappadai toyang beda proses dan bacaannya pada saat acara meuriq, mappasiala, mesunnaq dan lain-lain. Selain itu, saya juga mengulas tentang panggereang beke, papparappi tomate, pattarawe, zikkir appe, dll.
Dan terkhir, pada BAB keenam hanya mengisinya dengan lampiran beberapa informasi penting mengenai aksara lontaraq dan beberapa kegiatan penulis yang berhubungan dengan Mandar.
@TERIMA KASIH
Bagian ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada istri saya Hernawati Usman, kedua orang tua saya, saudara-saudariku, dan anak-anakku. Jika ternyata saya tidak mampu mewariskan rumah mewah, mobil mewah, rekening gendut untuk kalian, maka buku ini adalah warisan berharga buat kalian dan berharap jadi shadaqah jariyah untuk saya.
Ucapan yang sama buat guru-guru saya di MI DDI Botto di MTs DDI Baru’ di MAN Polmas (sekarang Polman), di STAI DDI Polmas (sekarang IAI DDI Polewali Mandar). Semoga ilmu yang kalian ajarkan padaku bernilai IBDAH DAN SHADAQAH JARIYAH. Buku ini juga ananda persembahkan buat kalian semua, teriring kiriman alfatihah buat yang telah berpulang ke rahmatullah.
Teristimewa, orang tua dan guru saya Nurdin Hamma, Hamzah Ismail, Drs. Darmansyah, Ramli Rusli, H.A. Murad, Mattotorang, S.Sos. dan semua personil Komunitas Rumah Pustaka, Rumah Buku, Rumah Kopi, Rumah Musik Beru-Beru Orchestra, Rumah Pusaka dan adik-adikku di Unasman, Unika dan Unsulbar serta personil BM-Balanipa serta para panitia dan pendukung acara Road Show Indonesia Menulis, Tetap semangat ! Dan Salam Literasi. Maaf, tidak disebutkan satu-satu.
Balanipa, 2011-2016
Penulis



MUHAMMAD MUNIR

SIMPUL SEJARAH FLAMBOYANT, CAK NUN DAN MANDAR (Bagian 4) “ Emha Ainun Nadjib Orang Mandar Yang Lahir di Jombang ”


Oleh: Muhammad Munir
Untuk kesekian kalinya, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun menyambangi Jamaah Maiyah Mandar, setelah kedatangannya yang terakhir pada tahun 2011 dengan tajuk Safinatun Najah. Dengan mengusung tema Risalah Cinta di Jazirah Mandar yang dipusatkan di Lapangan Sepak Bola Pambusuang, 30 April 2016, Cak Nun bersama Group Shalawat Kyai Kanjeng dan Jaringan Maiyah Nusantara-nya memukau ribuan penonton yang berduyungan memadati lapangan di Desa Bala Kecamatan Balanipa tersebut. Hanya butuh beberapa menit setelah shalat isya, jamaah dari latar belakang yang berbeda-beda hadir dalam pertunjukkan luar biasa, tapi tetap dengan desain yang biasa. Biasa dalam artian, Cak Nun tidak butuh dipanggungkan, tidak butuh panggung, tidak mau ada sekat yang menghalanginya dengan jamaah.
Cak Nun memang punya cirri khas yang mungkin tak akan pernah bisa dimiliki oleh yang lain. Tampilan khas, siraman rohani diantara ribuan pengunjung yang lirih bershalawat itu mengalir laksana air sungai Mandar. Siraman rohani dan lantunan shalawat dari Cak Nun dan Kyai Kanjengnya kadang menghempas dan mendesir bagai ombal di teluk Mandar. Maka jadilah Cak Nun suntuk bercengkrama dengan ribuan manusia Mandar hingga jam 00.30 dini hari. Andai Cak Nun berbicara sampai shubuh, para Jamaah itupun akan tetap setia dan tak mau beranjak. Masyarakat maksyuk dalam untaian kata yang sungguh memikat, letupan-letupan, guyonan dan banyolannyapun penuh hikmah. Materi-materi ceramahnya yang menggugat seakan jamaah tak merasa tergugat, tapi justru menjadi tergugah. Pokoknya, Cak Nun dalam pandangan penulis memang merupakan salah satu rahmat Allah yang masih disasakan untuk memanusiakan manusia dan hidup dalam kasih sayang bersama cinta. Cinta yang universal? Tinggal sekarang, apakah kita sebagai Mandar hanya memaknai Cak Nun dan ceramahnya sebagai ajang membesarkan identitas atau menjadi ruang untuk membangun pribadi Mandar masa depan. 
Itulah Cak Nun, satu dari jutaan penduduk Indonesia yang menulis banyak buku tapi tak satupun buku yang pernah ia baca. Ia memiliki jutaan jamaah, tapi tak pernah ia gunakan jamaahnya untuk mendulang suara pada ajang kontestasi politik praktis.  Mari coba membaca sedikit riwayat Cak Nun sembari dengan tetap bermunajat kepada Allah. Bahwa berkomunikasi dengan Allah tak harus jadi Cak Nun, cukup menjadi pengagum Cak Nun untuk selanjutnya rasa kagum itu bermuara pada kekaguman kita pada Dzat yang Maha yaitu Allah yang telah melahirkan cintanya kepada kita melalui Cak Nun. Cak Nun mempunyai nama lengkap Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib adalah seorang tokoh intelektual berkebangsaan Indonesia yang mengusung napas Islami. Pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 ini sekaligus sosok yang begitu berjasa bagi Masyarakat Mandar. Lewat dialah, Mandar kian dikenal secara nasional. Ia bahkan mengaku sebagai orang Mandar dibeberapa kali kesempatan entah saat tampil dalam aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Bulan atau di Jamaah Maiyah Kenduri Cinta, Mocopat Syafaat Yogyakarta, Padhangmbulan Jombang, Gambang Syafaat Semarang, Bangbang Wetan Surabaya, Paparandang Ate Mandar, dan Maiyah Baradah Sidoarjo, serta Obro Ilahi Malang, Hongkong dan Bali.
Cak Nun merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Darussalam Gontor setelah melakukan ‘demo’ melawan pimpinan pondok karena sistem pondok yang kurang baik, pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian ia pindah ke Yogyakarta dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi. Sabrang Mowo Damar Panuluh adalah salah satu putranya yang kini tergabung dalam grup Band Letto.
Cak Nun bukanlah seorang yang tiba-tiba menjadi seorang tokoh. Ia mempnyai proses sejarah hidup menginspirasi. Lima tahun ia hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975, belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha. Masa-masa itu, proses kreatifnya dijalani juga bersama Ebiet G Ade (penyanyi), Eko Tunas (cerpenis/penyair), dan EH. Kartanegara (penulis). Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Cak Nun juga pernah terlibat dalam produksi film RAYYA, Cahaya di Atas Cahaya (2011), skenario film ditulis bersama Viva Westi.
                Cak Nun tidak terkait secara formal yang dapat dijadikan alasan akademis maupun intelektual untuk secara metodologis menyimpulkan adanya hubungan antara gerakan Jamaah Maiyah yang memperoleh inspirasi, pembimbingan, pengayoman dan pengajaran dari seorang Cak Nun dengan gagasan-gagasan pemikiran dan ideology yang berkembang dalam sufisme. Cak Nun secara formal bukan anggota tarekat ataupun pernah berguru dan menerima ijazah dari seorang Syekh Tarekat tertentu, bahkan tidak mempelajari tasawuf melalui jalur pendidikan baik formal, informal maupun non-formal. Tetapi aneh bin ajaib, pemikiran apapun yang terkandung dalam literature tasawuf bisa dengan gampang dan gamblang Cak Nun menguraikannya. Buka kitab al-Futuhat al-Makkiyah, suatu karya monumental Ibn Arabi sebagai contoh dan lacak topic yang menguraikan martabat wujud, maka anda dapat lebih mengerti gagasan itu dalam satu kali pertemuan dengan Cak Nun disbanding beberapa kali pertemuan bahkan beberapa semester tapi tetap tak mengerti di hadapan professor pengajar materi tasawuf pada perguruan tinggi Islam dan non-Islam di Indonesia.
Itulah Cak Nun yang dimiliki oleh Indonesia, tentu saja milik Mandar sebab Cak Nun adalah Mandar itu sendiri. Mandar dan simpul-simpul lokal wisdom-nya bagi Cak Nun bukanlah materi yang bersifat lokal, tapi kearifan-kearifan itu ia manifestasikan secara universal dan menjadi salah satu material dan elemen paling penting dalam struktur bangunan rahmatan lil alamin. Dalam konsep rahmatan lil alamin itu keberadaan Cak Nun tak lagi terbantahkan bagi Mandar, Indonesia bahkan dunia. (Bersambung)