Oleh : Drs.
Darmansyah
Ketua DPRD Kabupaten
Majene
Pernahkah
kita berpikir, betapa banyak kejayaan dan peradaban suatu bangsa telah terkubur
tanpa ada catatan mengenainya. Akibatnya, timbul banyak spekulasi yang
dikaitkan dengan mitos budaya setempat. Persoalan bangsa yang hilang bukan
sekedar mitos yang dikembangkan dari sejarah yang nyata. Ada banyak bangsa yang
modern yang akhirnya mengalami hal yang naas akibat berbagai alasan. Beberapa
bangsa yang hilang diakibatkan beberapa alasan, diantaranya faktor pertikaian (perang),
bencana alam, atau faktor ekonomi, dan lain sebagainya. Demikian halnya
beberapa kerajaan besar di tanah Mandar, misalnya kerajaan Passokkorang dan
kerajaan Baras di Mamuju Utara yang sejarahnya hampir hilang dari kalangan
masyarakat Mandar itu sendiri, dan tidak menutup kemungkinan beberapa peradaban
di kerajaan baik di Pitu Ba’bana Binanga maupun di Pitu Ulu Salu akan mengalami
nasib yang sama.
Dalam
kisah yang diberitakan oleh kitab suci maupun penelitian para arkeolog telah
menemukan beberapa fakta adanya kota/bangsa yang perna mengalami kejayaan
dimasanya yang sekarang tinggal kepingan dan posil. Selama berabad-abad,
peradaban manusia selalu berganti. Ada yang masih bertahan dan yang lain
terkubur tanpa ada catatan yang pasti.
Begitu
halnya di tanah Mandar yang kita diami saat ini, kita tak perna mau tahu apa
yang perna terjadi. Jangan-jangan itu adalah bagian dari sebuah kisah besar
yang terkubur seiring dengan perjalanan waktu. Sungguh banyak maanfaat yang
bisa kita gali dari peradaban masa lalu itu sekalipun ia berupa mitos.
Sejarah dan
kebudayaan jangan hanya diartikan sebagai peristiwa yang terjadi pada masa
lalu, atau nilai yang sudah kadaluarsa tapi harus dipahami sebagai investasi
untuk dijadikan modal dalam menafsir masa kini, dan bahan baku untuk merancang
masa depan.
Orang yang kehilangan
ingatan masa lalu, serta tidak memiliki nilai budaya berarti ia orang pikun,
tak menyadari apa yang terjadi disekelilingnya, tak mampu memikirkan diri dan
bangsanya. Dan bangsa yang kehilanngan sejarah dan tidak ingat kearifan
pendahulunya (leluhurnya), saat itulah akan tersesat dan menerima siapapun yang
menuntunnya.
Sejarah dan
kebudayaan bukanlah pengetahuan masa lalu, melainkan ilmu masa kini dan masa
depan. Bangsa yang menghargai sejarah dan kebudayaannya akan senantisa tegak di
muka bumi, mereka sadar akan budaya dan masa lalunya, menafsirkan masa kini,
dan menenun masa depan. Benar kata Bung Karno “JASMERAH” jangan sekali-kali melupakan
sejarah, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.
Di dalam sejarah dan
peradaban manusia terdapat MAUIDHAH-pelajaran, dan HAK-kebenaran,
rahmat dan HUDAN-petunjuk bagi orang-orang yang berakal “LAQADKAANA
FI QASASIHIM ‘IBRATUL LI’ULIL-ALBAB” : Sungguh pada sejarah itu
terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (QS : 12 Yusuf : 111)
Kebesaran
kerajaan Mesir kuno hingga menjadi negara modern saat ini dikaruniai dari
sungai Nil. Sungai Nil masih terus membajiri tanah Mesir dengan deposit sedimen
hitam, orang Mesir menyebut sedimen ini sebagai “AR” yang berarti hitam. Sungai
Nil mendapatkan namanya dari kata semit “NAHAL” yang kemudian dinamai “NEILOS”
yang berarti lembah sungai.
Orang
Mesir menyebut Nil sebagai “sungai kehidupan” karena telah memberikan kehidupan
yang tidak saja untuk tanah Mesir tetapi juga bagi tumbuhnya budaya dan
peradaban Mesir dari dulu hingga saat ini. Sungai Nil di Afrika adalah satu
dari dua sungai terpanjang di dunia, panjang sungai Nil 6.853 Km. yang mengalir
sepanjang 6.650 Km. atau 4.131 Mil, luas cekungan 3.400.000 Km2 dan
membelah tak kurang dari Sembilan Negara di dunia yaitu : Republik Demokrat
Kongo, Sudan Selatan, Sudan, Kenya, Burundi, Etiopia, Eritrea, Mesir, Tanzania,
Rwanda, Uganda.
Kebesaran
kerajaan-kerajaan di Nusantara umumnya ditopang oleh keberadaan sungai yang
melintasinya, kerajaan Kutai Kartanegara dengan sunggai Mahakam yang juga
berhadapan langsung dengan sungai Karama di Kalumpang (Peradaban tertua di
Sulawesi), kerajaan Sriwijaya dengan aliran sungai Musi dan sungai Batang Hari.
Peradaban
manusia menurut Prof. Koentjaraningkat seringkali diawali dari perkampungan
pada daerah aliran sungai, karena disana mereka dapat melangsungkan
penghidupan, baik kebutuhan pangan maupun transportasi. Begitu halnya peradaban
kerajaan-kerajaan di Mandar.
Negara
konfederasi Mandar yang justru dikaitkan dengan kata “Salu” dan kata “Binanga”
yang berarti sungai. Pitu Ulu Salu meliputi ; kerajaan Tabulahan, kerajaan
Rattebulahang, kerajaan Mambi, kerajaan Aralle, kerajaan Matangnga, kerajaan
Bambang, kerajaan Tabang, dan kerajaan Tu’bi. Dan Pitu Ba’bana Binanga meliputi
; kerajaan Balanipa, kerajaan Sendana, kerajaan Banggae, kerajaan Pambuang,
kerajaan Tappalang, kerajaan Mamuju, dan kerajaan Binuuang.
Sejarah
peradaban kerajaan Balanipa dan kerajaan di Mandar pada umumnya tidak terlepas
dari keberadaaan sungai disekelilingnya yang merupakan sumber kehidupan
masyarakat dan transportasi pada zamannya. Dan Mandar berasal dari kata “Meandar”
atau “Ma’andar”
yang berarti mengantar atau mengiringi.
Konon
di zaman lampau. Dikisahkan, seorang gadis
bangsawan terkena penyakit lepra (yang pada zaman itu dianggap penyakit
terkutuk) oleh keluarganya diasingkan kehutan belantara dengan harapan apabilah
kelak dikemudian hari sembuh dari penyakitnya maka ia diperbolehkan kembali
berkumpul bersama keluarga. Dalam pengasingannya didampingi oleh seorang lelaki
sebagai penjaganya, Kedua anak manusia berlainan jenis itu ditengah pengasingan
menjalin cinta yang tak terhelakan. Hubungan asmara semakin membara dan
memabukkan diri melakukan hubungan intim. Dari cinta kasih itu terlahir anak
jadah (lahir diluar nikah).
Anak
yang lahir diluar nikah dizaman itu dianggap sesuatu yang aib dan anaknya
dianggap anak “Bule” (haram) dan kelahirannya tidak diterimah ditengah-tengah
masyarakat. Sebagai sanksinya disepakati; kiranya anak jadah itu di alirkan di sungai
(diuwai
tammembali) dengan disaksikan dan diantar oleh orang banyak yang dalam bahasa Mandar disebut “Meandar”.
Berkumpul (Tomettambung) orang mengantar anak yang sedang dialirkan di sungai,
itulah sebabnya disekitar sungai Mandar itu ada kampung yang disebut Tambung,
karena disitulah masyarakat berkumpul (mettambung) mengantar anak yang
dihayutkan.
Anak
yang dihanyutkan dengan menggunakan rakit itu, disaksikan oleh orang banyak –
yang perlahan-lahan semakin kemuarah semakin menghilang dan menjauh dari
pandangan. Orang yang berkumpul tadi menaruh rasa ibah sambil mengucapkan “Paraq” yang berarti kasihan dan dia
akan mati pelan-pelan (ibarat menguliti pohon kayu yang masih tumbuh). Itulah
juga sebabya disekitar sungai itu ada nama kampung Para’.
Anak
yang dihanyutkan tadi semakin menghilang dari pandangan para pengantar (Peandar)
maka merekapun berbalik arah (menggiling) untuk segerah
meninggalkan tempat itu dengan berkata ayo kembali pulang dengan pelan-pelan (Kekkekessi
mating). Itulah juga sebabnya disekitar sungai Balanipa itu ada nama kampung
“Pa’giling”
dan kampung “Kekkes”.
Walaupun
ada pendapat yang mengatakan bahwa Mandar berasal dari nama burung ayam-ayaman,
yang bulu badannya berwarna biru kehijau-hijauan dibagian dada, dibawah ekornya
berwarna putih, bagian atas dari kepala, paruh dan kaki berwarna merah
menyalah, hidup dekat sawah, rawa-rawa dan danau, pandai terbang, makanannya
berupa macam-macam seranggga terutama seranggga air, tumbuhan air, dan jenis
padi-padian. Burung ini dijumpai di pulau Sulawesi, diburuh untuk dimakan
dagingnya, ia termasuk burung langka, sehingga merupakan satwa yang dilindungi
(Aramidopsis plateni).
Kata
Mandar ada juga yang berpendapat bahwa berasal dari bahasa Ulu Salu, yaitu sipaManda’
yang berarti saling menguatkan. Manda’ berarti kuat, istilah ini
muncul pada pertengahan abad ke 16 dari perjanjian Lujo, yang terjadi sesudah
terbentuknya Pitu Ba’bana Binanga. Dari perjanjiang Luyo inilah sesugguhnya
lahir negara konfederasi Mandar yang meliputi tujuh kerajaan di Pitu Ulu Salu
dan tujuh kerajaan di Pitu Ba’bana Binanga.
Banyak
pendapat mengenai kata Mandar diantaranya adalah kata Mandarra’ yang berarti
terang-benderang. Ma’dara yang berarti mandi darah, pendapat ini didasarkan pada
sifat orang Mandar yang salah sedikit mereka tak segan mandi darah (bertikam). Ada
juga yang berpendapat berasal dari bahasa Arab Nadara-Yanduru-Nadran kemudian
di dalam ismu makan (tempat) berubah menjadi Mandar yang berarti tempat yang jarang
penduduknya.
Dari
sekian pendapat mengenai kata Mandar penulis tidak berani berkesimpulan hanya
memberikan saran dan masukan kiranya dilakukan penelitian dan seminar secara
mendalam sehingga dikemudian hari ada pendapat yang dapat dijadikan rujukan.
Kita
kembali kepada sungai yang merupakan simbol kejayaan pada sebuah bangsa, yang
banyak memberi kontribusi dan manfaat terhadap peradaban ummat manusia,
termasuk negara konfederasi Mandar. Pertanyaannya kemudian adalah sejauhmana masyarakat
dan pemerintah yang mendiami wilayah (Mandar) provinsi Sulawesi-Barat saat ini
dalam menjaga, memelihara dan memanfaatkan sungai yang telah terbukti menopang
peradaban kerajaan-kerajaan di Mandar pada masa lampau.
Pertanyaan
ini kiranya menyadarkan kita untuk kembali memelihara, menjaga, dan
melastarikan sungai sebagai warisan yang dapat menopang dalam membangun daerah.
Sungai Mandar atau sungai secara umum diwilayah provinsi Sulawesi Barat harus
dimanfaatkan; dibanguni bendungan berskala raksasa untuk pemanfaatan pembangkit
listrik tenaga mikro hidro (PLTMH), sarana parawisata sebagai sumber pendapatan
asli daerah (PAD), sumber air bersih, pengairan persawahan, dan lain sebagainya.
Sebaliknya jika sungai dirusak dan dikotori maka ia akan menjadi sumber
malapetaka dan bencana. Semua ini tergantung manusianya.
Demikian
tulisan ini, semoga generasi Mandar, kini, esok dan nanti kembali menemukan
jatidirinya yang semakin hari semakin redup dari arus persaingan kebudayaan
daerah dan bangsa-bangsa lain di dunia.