Selasa, 11 April 2017

ANGGUKAN RITMIS SANG LEGENDARIS (2) Sumaati : Museum Etnomusikologi Untuk Sang Legendaris



ANGGUKAN RITMIS SANG LEGENDARIS (2)
Sumaati : Museum Etnomusikologi Untuk Sang Legendaris

Desain Sumaati Institut dan Museum Etnomusikologi (desainer: Nursaid Nurdin)


Lelaki kelahiran Lekopa'dis tahun 1935 ini adalah lelaki yang nyaris segala sisi kehidupannya menyatu dalam dawai kacapingnya. Ia kerap tampil makkacaping bersama I Saga, I Tagi Kanna I Pejang dan Lauwi. Sejak masih berusia muda, Sumaati memang akrab dengan Kacaping. Ia bahkan memiliki tiga istri yang merupakan hasil dari petikan kecapinya. Ka'be adalah sosok wanita yang ia rengkuh hatinya dengan kacapingnya, menyusul I Malotong ikut terbuai dengan petikan cinta yang bersumber dari petikan dan tedze-tedze Sumaati. Kedua wanita yang dinikahi Sumaati tersebut tak satupun memberinya keturunan sehingga Sumaati berfikir mesti cari wanita lain lagi untuk bisa mendapatkan keturunan dan pewaris dari semua talentanya. Nabia kemudian menjadi pelabuhan hati Sumaati dan lalu dinikahinya.

Dari rahim Nabialah, Sumaati bisa menimang anak pertama yang ia beri nama Amiruddin (lahir tahun 1959), anak keduanya, St. Fatima (lahir tahun 1968) dan terakhir lahirlah Musdalifa pada tahun 1972. Lengkap sudah kebahagiaan Sumaati denga tiga istri dan tiga anak. Sumaati semakin menyatu dengan kacapingnya, sebab memang kacapinglah yang membuatnya bisa bertahan menikmati hidup dengan keluarganya. Sumaati menjadi salah satu sosok pakkacaping yang tidak saja sibuk melayani hajatan warga di Mandar, tapi ia bahkan keliling kota-kota besar sejak tahun 1955 ke Kalimatan. Masalembo, Makassar, Palu, Toli-Toli Salemo Pangkep dan lainnya diseluruh Indonesia.

Tahun 1960 an bahka pernah tampil menghibur warga kota Jakarta Utara atas undangan Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah orang Baruga Majene yang sukses di Jakarta, dengan bisnisnya bergerak di sektor perdagangan besi dan baja. PT. Air Baja adalah Perusahaan Baja yang ia rintis dan menjadikannya kaya raya pada tahun 1960-an. Tak hanya itu, Sumaati bahkan sudah go internasional dengan kacapingnya pada 1974 tampil menhibur warga Tawau Malaysia. Dari Tawau itulah ia banyak membawa pulang baju, celana dan barang-barang berharga lainnya. Salah satu baju merek Arrow sampai sekarang masih dapat kita lihat, terasuk linggis Malaysianya masih terpelihara di rumah anaknya, Amiruddin. Akhir kisah Sumaati terjadi ketika Amiruddin meminta uang untuk melanjutkan sekolahnya pada tahun 1979.

Saat itu, seperti yang dituturkan oleh Amiruddin (10/04/2017) Sumaati mengatakan " Sabarlah, Nak. Satu bulan ini bapak banyak undangan untuk main kacaping. Insyaallah akan ada uang yang bapak bisa dapatkan untuk sekolahmu. Saya akan ke Toli-Toli karena di Sematang, Soni dan Sese ada undanganku makkacapinhg" Amiruddin saat itu sangat bahagia mendengar semangat ayahnya untuk mencari uang demi pendidikannya. Namun ternyata, hari dimana ayahnya berangkat saat itu adalah hari terakhir untuk ia melihat ayahnya. Sebab dalam perjalanannya roadshow dibeberapa daerah di Sulteng itu, ia menjemput takdir hidupnya berakhir di kapung orang. Jauh dari keluarganya. Amiruddin kemudian hanya bisa mendapati barang-barang ayahnya yang dikirim dari Toli-Toli.

Kacaping yang begitu akrab dimata Amiruddin itu kini datang tak lagi bersama Tuannya. Sang legendaris dan maestro Kacaping itu telah tiada. Iya meninggalkan banyak kisah yang membuatnya terus ada dalam ketiadaannya. Selain kacaping, beberapa benda berharga dan pakaiannya serta peralatan yang kerap ia gunakan masih disimpan dan dipelihara oleh anak-anaknya.Sebagai anak Sulung, Amiruddin adalah sosok pengganti ayahnya untuk bisa melanjutkan kehidupan keluarganya sekaligus menjadi pihak yang banyak menyipan barang-barang peninggalan ayahnya. Ia debgan sangat telaten menjaga dan memelihara barang berharga ayahnya hingga saat ini. Amiruddin bahkan berencana mendirikan Museum Etnomusikologi sebagai wadah untuk mengenang ayahnya sekaligus sebagai upaya untuk lebih memperkenalkan musik tradisional Kacaping ini kepada khalyak.

Museum yang akan dibangun di atas tahan kosong miliknya ini sekaligus diharapkan menjadi Sekolah Musik tradisi. Selain Kacaping,alat-alat musik laiinya seperti rabana, calong, gongga' dan lainnya akan menjadi koleksi di Museum Etnomusikologi Sumaati ini.

Amiruddin mengatakan bahwa pendirian museum ini adalah bentuk do'a dan amal jariyah buat ayahnya. Semoga dengan museum ini, ayahnya meski telah tiada, tapi senantiasa diingat dan dapat dinikmati peninggalan beliau. Demikian harapan Amiruddin saat penulis bertandan ke kediamannya di Lekopa'dis. Kepada penulis, Amiruddin memperlihatkan beberapa benda koleksi yang akan dipanjang di Museumya. Barang-barang koleksi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kacaping 2. Gecong 3. Jambia. 4. Koin 5. Ajimat 6 Cincin Baiduri Bulan /akik 7. Parrassang Malaysia 8. Lipa' Sa'be 9. Baju Arrow 10. Kaset (1) 11. Selana 12. Jas 13. Ranjang Besi 14. Foto (3 lembar) 15. Kursi kayu 16. Okang 17. Panne 18. Okang 19. Mangkok 20. Peti Tempat pakean 21. Lemari 22. Kabi Layo/Lakka.[1]






[1] Wawancara Khusus dengan Amiruddin, putra sulung Sumaati pada tanggal 10 April 2017 pukul 21.00 - 22.30 di Lekopa'dis Kecamatan Tinambung.

ANGGUKAN RITMIS SANG LEGENDARIS (1) Sumaati : I Bonggo dan Totalitas dalam Dunia Tolo’



ANGGUKAN RITMIS SANG LEGENDARIS (1)
Sumaati : I Bonggo dan Totalitas dalam Dunia Tolo’

Sumaati bersama kedua istrinya


I Bonggo, kisah pemuda pandundu manyang yang mencoba memintal harapannya kepada seorang wanita yang dikenal alim dan annagguru pangaji. I Bonggo adalah salah satu contoh pemuda yang punya optimisme yang tinggi. Keinginan untuk menyunting wanita shalehah melupakan jatidirinya yang sebenarnya.Ia memohon pada orang tua dan keluarga besarnya untuk bisa melamar wanita yang diidamkannya itu. Kendati orang tuanya merasa tak yakin akan diterima oleh wanita tersebut, tapi kasih sayangnya pada sibuah hatinya mengalahkan kekhawatirannya untuk ditolak oleh keluarga sang guru ngaji yang cantik dan jadi bunga desa.

Kendati ia sangat sadar dengan keadaan anaknya yang hobi menenggak minuma keras, tapi tetap ia mencoba untuk memulai tahapan mambarumba'be (maanna pau kepada pihak keluarga wanita) Pada suatu malam, ayah dari I Bonggo ini menamatkan keraguan dan kekhawatirannya untuk menghadap secara resmi ke keluarga wanita annangguru pangaji. Ia diterima oleh keluarga guru ngaji tersebut dengan sangat dingin. Ayah I Bonggo tetap berusaha menutupi rasa dongkolnya pada sikap keluarga wanita yang diinginkan anaknya. Pelan setelah berbasa-basi, ia mulai mengutarakan maksud kedatangannya kepada tuan rumah untuk rencana melamar anaknya jika diperkenankan.

Belum selesai ucapan ayah I Bonggo, ayah sang guru ngaji tersebut langsung menimpali dengan kataikata yang begitu kasar. " Lebih baik anakku menikah dengan I Bari (anjing peliharaannya) dari pada harus dikahkan dengan anakmu I Bonggo. Ayah I Bonngo laksana disengat listrik dengan daya tinggi. Ia tak mampu menanggun beban mental atas ucapan ayah wanita yang diimpikan anaknya. Jangankan diberi kesempatan untuk dimintai uang panai', ia bahkan lebih memuliakan anjing dari pada I Bonggo. Ayah I Bonggo kemudian pamit dengan perasaan yang begitu teriris.

Bayangan kata-kata ayah guru ngaji tadi terus membuat tekanan darahnya naik. Ia tak menerima penghinaan tersebut. Kata-kata yang diucapkannya pada malam itu sangat ia ingat pada saat Marumba'be. "Purama guli-guliling, mappikkir mattimbangngi, ana'u I Bonggo naupalambi' akkattana naditoe'I sarana lao digala'garta...." "Mua' melo' le'ba'di ana'u memmuane, mala'bi tia I bari' anna I bonggo". Kata-kata itu terus melingkupi pikiran ayah I Bonggo. Dalam hatinya ia terus bergumam "Mane namarumba'be tau meparuai dami pau kadzae. Tak rela diperlakukan seperti itu, ia kemudian memerintahkan kepada I Bonggo untuk pergi mambatta tarring (menebang bambu) dan memintanya untuk tidak keluar-keluar pada malam jum'at.

"Malam jum'at nanti, kamu jangan keluar-keluar. Kamu bantu bapak untuk melakukan ritual. Wanita itu mesti jadi istrimu Bonggo" Kata orang tua setengah baya itu kepada I Bonggo. Setelah malam jum'at, I Bonggo dan ayahnya masuk ke kamar, ia meminta kepada I Bonggi untuk bakar menyan (undung). Tak lama kemudia ayahnya keluar ke bollo (beranda rumah) sambil mappelo bakal. Disamping untuk menghalau dingin ia juga terus berusaha melafalkan sebuah mantra yang didapatnya dari salah seorang guru spritualnya dari Pappang Limboro.

Lafadz mantra ini merupakan sossorang dari leluhur to Pappang dan Lamase. Malam semakin larut, I Bonggo dan ayahnya maksyuk dalam dekapan malam yang mengirimkan embun (undu ditangnga bongi). Tak lama kemudian, pelan tapi pasti kesunyian malam itu rekah. Terdengan suara anjing melolong diikuti gonggongan yang saling bersahutan. Ayah I Bonggo setengan berteriak kedalam ruangan yang ditempati I Bonggo melaksanakan ritual. Bonggo, engga'na Maroca asu, diang kapang di'e tau naitae" " Apadi Bari' namaroca tendo'o? " Kata ayah I Bonggo pada anjingnya yang dari tadi mengonggong dibawah bollo tempatnya duduk marrokok bakal malam itu.

Tania I Bari', Puang. Iyau. Meloa mating diboyatta, salilia lao I Bonggo" Kata suara yang tiba-tiba muncul dari arah tangga rumahnya. Dari kesunyian dan gelapnya malam itu muncul sesosok bayangan seorang wanita berkerudung hitam. Wanita tersebut tak lain adalah sang wanita yang diimpikan I Bonggo. Annangguru pangaji itu tak kuasa menanggung rindu yang seketika membuncah dan hanya menemukan kedamaian hatinya ketika melihat balimbungan (bubungan rumah) I Bonggo.

Annangguru pangaji yang cantik itu datang merelakan dirinya untuk hidup bersama I Bonggo. Sossorang dari Pappang itu menguasai diri wanita cantik itu. Bersikukuh tetap pada pilihannya untuk pulang setelah I Bonggo menikahinya. Orang tuanya tak sanggup menahan malu atas kelakuan putrinya. I Bonggo dan ayahnya merasa bahagia dan bangga. Ia bisa mendapatkan pujaan hatinya sekaligus meruntuhkan keangkuhan orang tuanya pada khalayak. Bonggo kemudian menjadi orang yang paling bahagia bisa mendapatkan mojang desa yang sangat ia kagumi.

Kisah I Bonggo dengan Annangguru pangaji itu adalah salah satu Tolo' kacaping yang kerap dinyanyikan oleh Sumaati ketika tampil makkacaping diberbagai daerah yang menyelenggarakan hajatan dan mengundangya untuk tapil makkacaping. Selain I Bonggo, toloq yang kerap ia nyanyikan adalah I Ha'dara, I Sunusi, I Bidol dan I Po'gol. I Po'gol adalah sosok tommuanesekaligu tomuanena Mandar. I Po'gol melegenda dalam lantunan tolo' Sumaati. Kakek dari Zarkawi Rauf ini dikisahkan dalam lagu kacaping Sumaati dengan kesetiaan I Pati, istrinya dan keberaniannya melawan S. Mengga dan pasukannya. Ia terbunuh dalam insiden disekitaran wilayah Lambanan. Sumaati sendiri adalah sosok pakkacaping yang tersohor pada tahun 50-an sampai 70 an. (Bersambung)

Saat selesai wawancara dengan putra sulung Sumaati, Amiruddin