Minggu, 06 Agustus 2017

CATATAN KECIL DISKUSI LITERASI BERSAMA WAKIL BUPATI MAJENE





Oleh : Muhammad Munir
 
Ba’da ashar, gerbang depan Stadion Mandar Majene seketika menjadi lautan buku. Masyarakat Majene mulai dari umur balita sampai kepada orang tua menyemut memadati area Lapak Buku pada edisi IV Majene Membaca, tanggal 8 Agustus 2017. Para pengunjung Lapak Baca sontak dikejutkan oleh salah salah seorang pengendara motor yang berhenti pas didepan palang pembatas untuk masuk ke area Lapak Baca. Seorang lelaki turun dari boncengan motor dan berjalan menuju area lapak baca. Sebuah pemandangan yang membuat para pengunjung tersadar bahwa orang yang datang mengahampiri lapak baca itu ternyata bukan pengunjung biasa.
Lelaki itu adalah  Pak Lukman, Wakil Bupati Majene yang singgah di Lapak Buku Rumpita karena tertarik dengan kaos bergambar dan bertuliskan Kacaping. Tak ayal lagi, ia menjadi obyek jepretan kamer saat mulai membuka plastic baju sampai ia membayarnya langsung ke salah satu personil Rumpita. Beliau dating memenuhi undangan para penggiat literasi untuk berdiskusi dan lesehan.


Lukman, S. Pd., M. Pd. Demikian nama lengkap beliau. Saya tentu harus menjabat tangan beliau dan mengucapkan terima kasih kepada beliau atas apresiasinya terhadap gerakan ini. Meliahat beliau, tak ada yang terbersit dalam ingatan saya selain sebuah peristiwa pada tahun 2002 sebelum daerah ini berwujud sebagai provinsi Sulawesi Barat. Entah beliau masih ingat atau tidak, saya bahkan pernah akrab dan menginap dirumah kediamannya. Saat itu, penulis bersama Masruddin (Pegawai Pertanahan Kabupaten Majene) aktif sebagai distributor CNI, salah satu perusahaan multi level marketing terkemuka di Indonesia. Lukman terdafatar sebagai distributor CNI dan Masruddin sebagai up-linenya. CNI pada tahun 2002 itu mencapai ledakan jumlah distributor melalui produk pupuk Plant Catalys. Penulis sebagai distributor memang sangat aktif membantu mitra dalam sosialisasi dan persentasi dilapangan. Penulis bahkan sampai ke Mamuju, Bambaloka, Lariang, Tikke, Pasangkayu dan menyebrang ke wilayah Donggala (Lalombi-Watatu) untuk urusan bisnis MLM ini.
Dari situ sosok dan pribadi beliau kukenal inci demi inci. Lewat bisnis MLM CNI inilah penulis mengenal Lukman. Tepat sauatu malam sempat kami diskusi kecil menetapkan impian masing-masing, sebab perusahaan CNI adalah perusahaan yang aktif mengembangkan usaha dan pengembangan diri distributor. Penulis bahkan sangat ingat kala itu Pak Lukman sabang hari prospek dan menjual pupuk Plant Catalys kepada para petani. Pak Lukman saat itu menetapkan impiannya untuk menjadi Bupati Majene agar bisa membantu lebih banyak petani dan membangun daerahnya, terutama daerah Lombo’na. Kekuatan impiannya itu betul-betul ia bangun hingga hari ini, 15 tahun lalu untuk kedua kalinya saya berjabat tangan ia kini berstatus Wakil Bupati Majene periode 2015-2010. Saya bahkan sangat yakin bahwa dengan impian yang kaut, ia pasti bisa meraih cita-citanya sebagai orang nomor satu di Kabupaten Majene. Amin.
 
Sang inspirator dan motivator ini lahir di Majene pada tanggal 24 Desember 1967. Ia terlahir sebagai masyarakat biasa tapi mampu menjadi manusia yang luar biasa. Putra pasangan Nurma dan Hj. Cindara ini menyelesaikan pendidikannya di SD 20 Somba pada tahun 1980. Selesai di SLTP 1 Somba tahun 1983, ia kemudian memilih melanyelesaikan pendidikan tingkat atasnya di SMA 1 Majene. Selesai SMA ia tak langsung melanjutkan pendidikannya namun lebih tertarik bekerja sebagai wiraswasta.
Sebelum masuk dalam dunia politik praktis, suami dari Rahmatia ini aktif di organisasi kemasyarakatan. Ia memilih KNPI sebagai organisasinya untuk berbakti pada masyarakat. Dari menjadi sekretaris KNPI Kecamatan Sendana sampai ia dipercaya menjadi Ketua KNPI Kec. Sendana. Suka duka Lukman membangun impiannya, memang sungguh menyakitkan. Ia bahkan pernah dihina dan dicibir dengan pernyataan bahwa Lukman cocoknya hanya sebagai Cleaning Service di kantoran saja. Ternyata semua itu ia dapat bantahkan, sebab pada tahun 2009, ia menjadi Sekretaris Kosgoro Kabupaten Majene sekaligus bergabung menjadi pengurus partai Golongan Karya.
Dari partai Golkar inilah ia mulai meraih mimpi-mimpinya dan berhasil menjadi anggota DPRD Majene. Tahun 2014 kembali terpilih dan dipercaya sebagai Wakil Ketua DPRD Majene. Setahun menjadi Unsur Pimpinan di lembaga ini ia memberanikan diri menerima tawaran Fahmi Massiara sebagai calon wakil bupati pada pilkada serentak tahun 2015 dan takdir mempertemukannya untuk menjadi orang nomor dua di Kabupaten Majene.
Legislator yang kini menjadi Wakil Bupati ini hadir diskusi literasi bersama para penggiat literasi yang diinisiasi oleh teman-teman Pemerhati Pendidikan EDUCARE. Lukman sangat mengapresiasi kegiatan ini. Kedepan, kegiatan seperti ini mesti terus dikembangkan dan ditebarkan disetiap sudut dan ruang di daerah ini. Silahkan jalan, jika dalam kegiatan kalian mendapatkan kendala, sampaikan pada kami. Saya akan siap duduk bersama kalian untuk menyelesaikan semua proplem yang menghambat gerakan kalaia. Demikan Lukman memotivasi para penggerak literasi yang dihadiri banyak warga Majene.
 

           “Saya siap kapan saja ada waktu duntuk berdisikusi terkait Majene Membaca ini. Kedepan, saya membutuhkan para pengiat untuk duduk bersama merumuskan formula dan kiat pengembangan dan penguatan literasi di Majene”. Tegas Lukman.

Rabu, 02 Agustus 2017

BAKRI LATIEF : KALINDA'DA' KONTEMPORER (Cinna, Cinnau, Cinnamu, Cinnata, Cinnana)



PENGANTAR PENULIS

Dengan rahmat dan karunia Allah SWT. Penulis akhirnya bisa menyusun dan menyelesaikan buku Kumpulan Kalinda’da Kontemporer Mandar “Cinna, Cinnau, Cinnamu, Cinnata, Cinnana” yang di dalamnya memuat narasi ratusan kalinda’da’ yang penulis gubah dalam rentang waktu yang lama. Selain itu,.

Tujuan penulisan buku ini juga adalah upaya untuk mengabadikan karya-karya sastra yang sepanjang sejarahnya hanya berkutat di wilayah tutur dan lisan. Dengan tersusunnya buku ini, diharapkan masyarakat bisa dengan mudah memilah jenis kalinda’da’ yang akan di tampilkan dalam setiap acara/pagelaran.
Kalinda’da’ yang penulis gubah ini terbagi dalam beberapa kelompok atau jenis kalinda’da’ yang bercerita tentang Cinta, Cinta Kepada Allah, kepada Muhammad, Kepada Al-Qur’an sampai kepada lingkungan dan cinta muda-mudi. Itulah sebabnya judul buku ini mengusung “Cinna, Cinnau, Cinnamu, Cinnata, Cinnana” sebab didalamnya nyaris semua bentuk cinta terakumulasi dalam percikan kalinda’da ini.

Dengan terbitnya buku ini penulis menyampaikan penghormatan dan penghargaan serta ucapan terima kasih kepada Bapak Drs. Darmansyah (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulbar). Tanpa dukungan beliau, buku ini mungkin tak akan pernah ada rak-rak buku. Kepada Dinda Muhammad Asri Abdullah, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Kab. Polman. Serta Ananda Muhammad Munir yang merelakan hampir setiap waktunya untuk mengumpul dan mengetik ulang naskah-naskah yang telah penulis selesaikan. Naskah Puaji Tokke (Kumpulan Puisi Mandar) adalah buku pertama yang penulis percayakan kepadanya untuk menjadi editor sekaligus member hak kuasa atas penerbitan karya-karya saya. Buku ini adalah naskah kedua yang juga lahir dari keuletannya menyortir dan menyunting serta mengedit naskah-naskah yang lusuh dalam tas penulis.

Almarhum Husni Djmaluddin, Syarbin Syam, Drs. Abdul Muis Mandra, Andi Syaiful Sinrang, MT. Azis Syah, Ahmad Patingari, Nurdahlan Jirana, Ali Sjahbana. Mereka adalah sosok yang ikut mewarnai proses lahirnya peradaban di tanah Mandar. Mereka adalah guru yang penulis jadikan inspirasi dalam berkarya. Olehnya, buku ini penulis halalkan untuk menjadi amal jariyah dan berharap setiap pembaca berkenan mengirimkan bacaan Surah Al-Fatihah yang pahalanya adalah buat mereka.

Terkhusus ucapan terima kasih kepada orang tua kami Nurdin Hamma, Drs. Suradi Yasil, M.Si. yang banyak memberikan literatur, saran dan masukan kepada penulis.

Penulis mengharapkan kritikan dari pembaca yang budiman untuk dijadikan bahan perbaikan pada edisi berikutnya. Disana-sini, tentu terdapat banyak  kekurangan Kritik dan saran dari pembaca sekalian adalah hal yang penulis tunggu-tunggu. Dan kepada Allah SWT jua kita berserah diri sebagai pemilik kebenaran mutlak, dan semoga kita semua dimudahkan dalam mencari ilmu-Nya. Amin !

Tinambung, 1 Agustus 2017



BAKRI LATIEF

TELAH TERBIT : Buku PU'AJI TOKKE (Kumpulan Puisi Mandar Bakri Latief)




PENGANTAR PENERBIT

           

Jumlah suku di Indonesia menurut data tahun 2016 sekitar 1340 suku. Jumlah ini merupakan suku terbanyak di dunia. Indonesia pun memiliki jumlah bahasa daerah 700-an lebih.
Suku Mandar tersebar di wilayah Sulawesi Barat yang luas. Kali ini, kami mendapatkan berkah karya-karya puisi berbahasa Mandar. Mungkin di edisi lain, dapat kami terjemahkan puisi berbahasa Mandar ini. Pekerjaan yang tidak mudah, juga bukan membuat kami menyerah. Malahan, membuat kami bangga untuk dapat menerbitkannya. Sungguh jarang kita mengenal budaya, adat, dan bahasa yang banyak itu.

Kumpulan puisi Mandar ini berjudul: Puisi Mandar "Puaji Tokke", yang artinya Haji Tokek. Dituliskan oleh penyair Bakrie Latif, yang akrab disapa dengan Papa Dita, lahir tahun 1949 di Tinambung, kawasan Calo-Calo. Seorang penyair dan seniman lukis yang sederhana, humanis, dan menjadi tumpuan harapan penyair-penyair muda juga seniman lainnya untuk tak lelah berkarya. xix


Banyak puisi-puisi ini yang bernada satir. Relevan kepada keadaan saat ini yang tak tentu budaya juga adat bangsa yang ragam ini akan dibawa ke mana. Puisi-puisi Papa Dita ini seolah mengentak kita jangan terlena dengan 'dunia' luar, agar bangun segera dari lelap yang dibuai berbagai macam hiburan-hiburan yang monoton dan kosong. Bukan semua itu tak dibolehkan, tetapi janganlah dilupakan akar berpijak bangsa yang besar ini. Akar untuk saling menyapa saling mengenal, bahwa sungguh banyak budaya dan bahasa yang perlu dikenal, dijelajahi, dan dipelajari.

Agaknya, buku puisi Mandar ini menjadi penyejuk dan madu segar di tengah-tengah carut keadaan yang mencekam. Membawa kembali keramahan, senyuman, tolong-menolong, toleransi, yang merupakan sendi-sendi persatuan dari Timur hingga Barat selamanya.
Puaji Tokke.

Marry Rose
CEO - Rosebook

Selasa, 20 Juni 2017

SAMBUTAN KETUA PAGAR NUSA NU Pada Buku Kottau Warisan Nusantara





Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh_

*Belajar Arif dari Ilmu Silat dan Ilmu Surat*
"Orang hebat mampu mengendalikan orang lain, tetapi lebih hebat lagi kalau dia mampu mengendalikan dirinya sendiri” (Lao Tze)

Betapa mudah menghardik orang lain, namun betapa sulit mengendalikan diri sendiri. Inilah cermin di balik kekuatan para pendekar, di balik jurus-jurus yang dilatih: bagaimana menjadi waskita, bagaimana sublim dalam keheningan diri. Manusia Indonesia sedang terombang-ambing dalam gelombang modernitas.

Banyak pihak salah mengira. Banyak orang juga masih salah kaprah dalam memandang modernitas. Bahwa, untuk menjadi modern harus memutus sama sekali kaitan dengan hal-hal lama. Embel-embel yang berbau masa lalu dan kuno, bukan hanya harus dipinggirkan, tapi juga wajib dibuang jauh-jauh.

Stigma sebagai masyarakat maju dan berkeadaban dipandang hanya bisa diraih ketika sudah berhasil menghilangkan tradisi-tradisi lama, untuk kemudian menggantinya dengan tren-tren kekinian.

Banyak di antara kita yang masih salah tangkap. Terutama, saat memandang modernitas dan kemajuan yang berhasil diraih bangsa Barat hingga saat ini. Kita menjadikan mereka sebagai kiblat, namun hanya melihatnya secara sekelebat. Seringkali yang diambil hanya kulitnya, tanpa menyerap sarinya. Singkatnya, kita masih gagal memotret modernitas dan kemajuan yang mereka raih secara utuh.

Akibatnya, alih-alih benar-benar menjadi menjadi maju dan modern. Pada akhirnya, kita justru kehilangan identitas sendiri. Bukan hanya sebagai individu, tapi juga identitas sebagai sebuah masyarakat yang merupakan bagian dari sebuah bangsa. Kita memupus jati diri kita sendiri demi mengejar status modern. Sayangnya, karena berangkat dari pemahaman yang parsial, status modern yang dibangga-banggakan sesungguhnya semu belaka.

Selain itu, sadar atau tidak, dengan meninggalkan dan melupakan khazanah-khazanah lama yang pernah dimiliki, kita bukannya menjadi subyek modernitas. Kita justru hanya menjadi obyek dari kemajuan itu sendiri. Kita membawa diri kita sekedar menjadi masyarakat dan bangsa pengekor.

Tidak perlu muluk-muluk bicara soal demokrasi ataupun perkembangan teknologi yang hingga hari ini, hampir seluruhnya kita ekspor dari belahan dunia lain. Untuk istilah cantik saja, kita gagal memiliki definisi sendiri. Bahwa yang biasa disebut cantik, hanyalah untuk mereka yang berkulit putih, berhidung mancung, dan sebagainya.

Kita sering lupa bahwa kita mendiami sebuah wilayah beriklim tropis. Kondisi tersebut tentu merupakan contoh kecil saja. Yaitu, tentang bagaimana identitas kita yang terus terkikis dari hari ke hari. Padahal, sekali lagi disadari atau tidak, sejarah sudah banyak mencatat tentang hilangnya sebuah bangsa atau peradaban dengan didahului hilangnya identitas bangsa tersebut.

Dalam konteks sejarah pula, jika memang benar-benar ingin belajar dari kemajuan bangsa Barat, kita sepatutnya akan sadar bahwa capaian yang tampak hari ini bukan muncul seketika. Ada tahapan-tahapan dan lipatan sejarah yang telah dilalui. Di antara yang terpenting adalah modernitas yang terus mereka ciptakan justru bertumpu dan berpangkal dari keseriusan menggali, mempelajari, dan menggeluti kembali khazanah-khazanah masa lalu.

Era itu kita kenal selama ini sebagai renaissance (kelahiran kembali). Kurun waktunya berada disekitar abad ke-14 sampai abad ke-17. Periode tersebut sekaligus merupakan akhir dari abad pertengahan yang kerap dikenal sebagai dark age (zaman kegelapan) bangsa-bangsa Eropa.

Di masa renaissance ketika itu, muncul gerakan kebudayaan dan intelektual, sekaligus kesadaran untuk kembali menggali pemikiran-pemikiran lama dari para pemikir serta filsuf Yunani dan Romawi kuno. Teks-teks lama dibuka dan dipelajari kembali. Logika berpikir yang berkembang dan dikembangkan di masa tersebut disandarkan pada logika berpikir di era Socrates, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf lainnya yang pernah ada.

Berangkat dari masa-masa renaisance itulah, sekitar 100 tahun kemudian, era _aufklarung_ (zaman pencerahan) muncul. Periode tersebut yang kerap dikaitkan dengan kemodernan Eropa hingga hari ini. Sebab, pada masa-masa itulah pemikiran-pemikiran baru bermunculan. Bukan hanya di ranah filsafat dan kebudayaan, tapi juga berbagai ilmu pengetahuan.

Di sinilah, semangat kehadiran buku ini menemukan garis relevansinya. Upaya mulia sahabat Suryananda menggali sekaligus mengangkat pencak silat, khususnya silat Mandar, sudah seharusnya ikut membangunkan kita semua.

Bukan hanya kesadaran bahwa pencak silat yang merupakan khazanah asli Indonesia wajib dilestarikan. Tapi, juga kesadaran untuk sesegera mungkin menyiapkan diri untuk menjemput kemajuan.

Lewat buku ini, kemajuan yang sudah di depan mata kita sesungguhnya bukan lagi kemajuan semu milik bangsa lain. Tapi, kemajuan bangsa Indonesia yang sejatinya memang sebuah bangsa yang besar. Bangsa yang memiliki peradaban yang begitu tinggi. Seni beladiri pencak silat menjadi tiang penyangganya.

'Ala kulli haal, keberadaan buku ini juga sekaligus harus menumbuhkan kesadaran kritis untuk kita semua. Bahwa, penguatan identitas dan khazanah Nusantara akan berhasil jika kita mampu mengimplementasikan sekaligus mengembangkan nilai-nilai, moral dan etika yang menjadi perspektif buku ini. Pencak Silat sejatinya bukan sekedar gerakan tubuh, namun memiliki pondasi filosofis pada moral dan etika spiritual. Inilah yang menjadikan Pencak Silat sangat khas, dibandingkan dengan bela diri lainnya.

Karya sahabat Suryananda ini menjadi hidup dan bernyawa, justru karena diimplementasikan dan lahir dari pengalaman yang dibarengi dengan riset. Saya berbangga dengan lahirnya buku ini, yang menegaskan betapa khazanah budaya Nusantara begitu kaya.
Buku ini menegaskan pepatah lama, betapa Ilmu Silat dan Ilmu Surat (teks) terkoneksi erat, saling menyempurnakan.
_Waallahu muwaffiq ila aqwaamit thariq, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh_

Muchamad Nabil Haroen
Ketua Umum PP Pagar Nusa NU