Oleh: Muhammad Rahmat Muchtar
Beragam
latar dan basic para penulis. ada yang berbasic kelautan, agama, budaya,
fisika, antropologi, kesenian dan penulis sejarah (sejarawan) itu sendiri dll.
Mutlakkah para penulis butuh ilmu sejarah? Bisa jadi tidak. tergantung pada bobot apa sejarah itu dibutuhkan dalam narasinya tuk menguatkan gagasan atau issu yang ingin disampaikan.Tergantung penulis basic apa kita dalam membutuhkan dan memperlakukan sejarah.
Mutlakkah para penulis butuh ilmu sejarah? Bisa jadi tidak. tergantung pada bobot apa sejarah itu dibutuhkan dalam narasinya tuk menguatkan gagasan atau issu yang ingin disampaikan.Tergantung penulis basic apa kita dalam membutuhkan dan memperlakukan sejarah.
Kalau
kita adalah penulis dan sejarawan sekaligus, maka tentu memperlakukan sejarah
dengan metode : mencari bukti-bukti otentik untuk menyusun narasi sejarah,
mencari narasi sejarah karya sejarawan sebelum kita sebagai bandingan atas
interpretasi kita. Bukti-bukti otentik di sini tentu berupa sumber tulisan dari
masa lalu, mulai dari lontar, prasasti, dll, bukti visual dua dan tiga dimensi
dari masa lalu,fhoto2, sumber lisan dlsb. Berdasar dari sumber otentik itu
sejarawan membuat narasi, cerita, yang runtut dan dapat dipertanggungjawabkan
keutuhan logikanya.
Kerja
yang tidak mudah. dibutuhkan ketekunan, keterampilan (misalnya kemampuan bahasa
yang dipakai pada masa yang kita teliti), ketelitian, kejujuran dan finansial.
Dengan memahami proses ini, selalu ada selorohan ketika mis. ada 5 sejarawan
menyusun sejarah pada sebuah masa, maka akan muncul banyak versi sejarah. Semua
narasi yang kita buat, seganjil apapun, bisa disebut sebagai sejarah asalkan
dapat dipertanggungjawabkan dengan sumber otentik tadi. Dari sini pulalah
ungkapan bahwa sejarah ada di tangan penguasa muncul. Penguasa bisa melakuan
apa saja untuk menutup satu fakta (dg kata lain, bukti otentik) dan menyoroti
fakta yang lain.
Kalau
kita penulis yang “hanya” membutuhkan sejarah untuk mendukung topik-topik lain
yang kita tulis, tentu kita perlukan narasi sejarah yang sudah dibuat oleh
sejarawan yang bisa kita andalkan, maksimal observasi dan wawancara langsung.
Diwilayah ini bisa jadi termasuk penulis Pramudia Ananta Toer yang kuat
mengeksplor sejarah ditiap karya novelnya. Atau Adi Arwan Alimin (asal Sulawesi
Barat) penulis Novel Daeng Rioso. maka praktis beliau banyak membutuhkan
pemahaman akan sejarah kerajaan Balanipa secara khusus & kerajaan Pamboang
dimasa itu serta suasana politik Mandar, bugis dan Makassar secara umum. Tentu
dibutuhkan rujukan-rujukan sejarawan-sejarawan dan masyarakat umum yang pernah
membahas dan mengetahui periode Balanipa waktu itu, Masing-masing sejarawan dan
sumber akan memiliki tesis dan panangan tersendiri mengenai hal itu,
mis.penyebab utama Daeng Rioso naik tahta, siapa sebenarnya Daeng Rioso dalam
silsilah kerajaan Balanipa, ada apa dengan I Pura Parabue (istri raja Pamboang)
yang ia persunting dll.
Demikian
pun para penulis seni rupa mis.Kus Indarto yang mengkuratori pameran lukisan
butuhkan sejarah perupa, latar lahir dan bahkan sejarah identitas etnis perupa
tersebut. Tentang bagaimana menulis peninggalan seni rupa tertua digua
Leang-leang, Maros. Butuhkan sejarah tentu.
Dalam
penggunaan sejarah sebagai latar belakang seperti ini, kita bisa menggunakan
lebih dari satu sejarawan, meskipun mereka memiliki tesis sejarah yang
berbeda-beda. Karena mungkin saja karya yang kita teliti lebih bisa didekati
dengan menyadari adanya alternatif penafsiran. Tentu ini operasi yang cukup
pelik. Namun, kewaspadaan akan berbagai narasi sejarah ini, asalkan disertai
dengan ketelitian penulisan untuk mencegah kesimpangsiuran, hasil penelitian
kita akan lebih bernuansa.
Uraian diatas kita dengan mudah dapat memilah atau memaklumi dari berbagai karya tulis, buku dan apa saja yang telah mereka hasilkan. Misalnya didaerah kita Sulawesi Barat, Kita bisa memahami secara intelektual bagaimana bobot sejarah pada karya2 Saiful Sinrang, Mu’is Mandra, Darmawan Mas’ud, Husni Djamaluddin dan sederet serta seangkatan dengan mereka.
Uraian diatas kita dengan mudah dapat memilah atau memaklumi dari berbagai karya tulis, buku dan apa saja yang telah mereka hasilkan. Misalnya didaerah kita Sulawesi Barat, Kita bisa memahami secara intelektual bagaimana bobot sejarah pada karya2 Saiful Sinrang, Mu’is Mandra, Darmawan Mas’ud, Husni Djamaluddin dan sederet serta seangkatan dengan mereka.
Bisa
kita berwisata bagaimana sejarah dalam karya Suradi Yasil, puisi2 Nur Dahlan
Jirana, buku-buku Ahmad Asdy dan karya2 Idham Khalid Bodi. Dapat kita
berselancar lewat karya2 nya Adi Arwan Alimin, Darwin Badaruddin, puisi dan
esay budayanya Muh. Syariat Tajuddin, buku2 yang kental nuansa baharinya
Muhammad Ridwan Alimuddin, karya2 Bustan Basyir Maras yang tidak pernah
berhenti Ziarahi Mandar, buku puisinya Hendra Djafar yang baru satu, antologi
puisinya Syuman Saeha (pirappari pole bayi langit,hehe).
Para
penulis2 perempuan dalam analekta beru-beru, Uni Sagena cs, jangan lupa juga
penulis muda yang lahirkan karya “ masihkah engkau diberandaku “ Irwan Syamsir.
(yang satu ini nuansa sejarahnya kayaknya kurang ya? Lebih hot cinta, sepi dan
DIK), meski suatu waktu ia akan butuh sejarah, sejarah cinta dan sepi.
Selamat Tahun baru 2016 – 2017.
By. Rahmat, Desember 2016.
Selamat Tahun baru 2016 – 2017.
By. Rahmat, Desember 2016.
(Penulis adalah Pendiri Uwake' Culture Fondation, Pemerhati Literasi "Bendi Pustaka Paissangang" dan Pimpinan Lingkar Musik Uwake' beralamat di Tinggas-Tinggas Kel. Tinambung Kec. Tinambung)