Jumat, 30 Desember 2016

KADO PERGANTIAN TAHUN PENULIS BUTUH ILMU SEJARAH ?

Oleh: Muhammad Rahmat Muchtar

Beragam latar dan basic para penulis. ada yang berbasic kelautan, agama, budaya, fisika, antropologi, kesenian dan penulis sejarah (sejarawan) itu sendiri dll.
Mutlakkah para penulis butuh ilmu sejarah? Bisa jadi tidak. tergantung pada bobot apa sejarah itu dibutuhkan dalam narasinya tuk menguatkan gagasan atau issu yang ingin disampaikan.Tergantung penulis basic apa kita dalam membutuhkan dan memperlakukan sejarah. 

Kalau kita adalah penulis dan sejarawan sekaligus, maka tentu memperlakukan sejarah dengan metode : mencari bukti-bukti otentik untuk menyusun narasi sejarah, mencari narasi sejarah karya sejarawan sebelum kita sebagai bandingan atas interpretasi kita. Bukti-bukti otentik di sini tentu berupa sumber tulisan dari masa lalu, mulai dari lontar, prasasti, dll, bukti visual dua dan tiga dimensi dari masa lalu,fhoto2, sumber lisan dlsb. Berdasar dari sumber otentik itu sejarawan membuat narasi, cerita, yang runtut dan dapat dipertanggungjawabkan keutuhan logikanya. 

Kerja yang tidak mudah. dibutuhkan ketekunan, keterampilan (misalnya kemampuan bahasa yang dipakai pada masa yang kita teliti), ketelitian, kejujuran dan finansial. Dengan memahami proses ini, selalu ada selorohan ketika mis. ada 5 sejarawan menyusun sejarah pada sebuah masa, maka akan muncul banyak versi sejarah. Semua narasi yang kita buat, seganjil apapun, bisa disebut sebagai sejarah asalkan dapat dipertanggungjawabkan dengan sumber otentik tadi. Dari sini pulalah ungkapan bahwa sejarah ada di tangan penguasa muncul. Penguasa bisa melakuan apa saja untuk menutup satu fakta (dg kata lain, bukti otentik) dan menyoroti fakta yang lain.

Kalau kita penulis yang “hanya” membutuhkan sejarah untuk mendukung topik-topik lain yang kita tulis, tentu kita perlukan narasi sejarah yang sudah dibuat oleh sejarawan yang bisa kita andalkan, maksimal observasi dan wawancara langsung. Diwilayah ini bisa jadi termasuk penulis Pramudia Ananta Toer yang kuat mengeksplor sejarah ditiap karya novelnya. Atau Adi Arwan Alimin (asal Sulawesi Barat) penulis Novel Daeng Rioso. maka praktis beliau banyak membutuhkan pemahaman akan sejarah kerajaan Balanipa secara khusus & kerajaan Pamboang dimasa itu serta suasana politik Mandar, bugis dan Makassar secara umum. Tentu dibutuhkan rujukan-rujukan sejarawan-sejarawan dan masyarakat umum yang pernah membahas dan mengetahui periode Balanipa waktu itu, Masing-masing sejarawan dan sumber akan memiliki tesis dan panangan tersendiri mengenai hal itu, mis.penyebab utama Daeng Rioso naik tahta, siapa sebenarnya Daeng Rioso dalam silsilah kerajaan Balanipa, ada apa dengan I Pura Parabue (istri raja Pamboang) yang ia persunting dll.

Demikian pun para penulis seni rupa mis.Kus Indarto yang mengkuratori pameran lukisan butuhkan sejarah perupa, latar lahir dan bahkan sejarah identitas etnis perupa tersebut. Tentang bagaimana menulis peninggalan seni rupa tertua digua Leang-leang, Maros. Butuhkan sejarah tentu.

Dalam penggunaan sejarah sebagai latar belakang seperti ini, kita bisa menggunakan lebih dari satu sejarawan, meskipun mereka memiliki tesis sejarah yang berbeda-beda. Karena mungkin saja karya yang kita teliti lebih bisa didekati dengan menyadari adanya alternatif penafsiran. Tentu ini operasi yang cukup pelik. Namun, kewaspadaan akan berbagai narasi sejarah ini, asalkan disertai dengan ketelitian penulisan untuk mencegah kesimpangsiuran, hasil penelitian kita akan lebih bernuansa.
Uraian diatas kita dengan mudah dapat memilah atau memaklumi dari berbagai karya tulis, buku dan apa saja yang telah mereka hasilkan. Misalnya didaerah kita Sulawesi Barat, Kita bisa memahami secara intelektual bagaimana bobot sejarah pada karya2 Saiful Sinrang, Mu’is Mandra, Darmawan Mas’ud, Husni Djamaluddin dan sederet serta seangkatan dengan mereka.

Bisa kita berwisata bagaimana sejarah dalam karya Suradi Yasil, puisi2 Nur Dahlan Jirana, buku-buku Ahmad Asdy dan karya2 Idham Khalid Bodi. Dapat kita berselancar lewat karya2 nya Adi Arwan Alimin, Darwin Badaruddin, puisi dan esay budayanya Muh. Syariat Tajuddin, buku2 yang kental nuansa baharinya Muhammad Ridwan Alimuddin, karya2 Bustan Basyir Maras yang tidak pernah berhenti Ziarahi Mandar, buku puisinya Hendra Djafar yang baru satu, antologi puisinya Syuman Saeha (pirappari pole bayi langit,hehe). 


Para penulis2 perempuan dalam analekta beru-beru, Uni Sagena cs, jangan lupa juga penulis muda yang lahirkan karya “ masihkah engkau diberandaku “ Irwan Syamsir. (yang satu ini nuansa sejarahnya kayaknya kurang ya? Lebih hot cinta, sepi dan DIK), meski suatu waktu ia akan butuh sejarah, sejarah cinta dan sepi.
Selamat Tahun baru 2016 – 2017.
By. Rahmat, Desember 2016.



(Penulis adalah Pendiri Uwake' Culture Fondation, Pemerhati Literasi "Bendi Pustaka Paissangang" dan Pimpinan Lingkar Musik Uwake' beralamat di Tinggas-Tinggas Kel. Tinambung Kec. Tinambung)