Catatan: Muhammad Munir
Suku Mandar memiliki
banyak kearifan tradisional yang sampai saat ini terus diyakini dan dipelihara
dengan baik. Salah satu dari kearifan tersebut adalah cara menentukan hari baik
untuk memulai suatu aktifitas yang dinamakan dengan Kutika. Kutika dipakai sebagai petunjuk untuk menentukan hari baik
bila ingin melakukan berbagai kegiatan seperti mendirikan rumah, memulai hari
pertama mencari rejeki semisal kegiatan perdagangan, merantau, memulai hari
menabur benih, hari pernikahan bahkan untuk menentukan hari memulai penyerangan
terhadap musuh. Untuk kebutuhan
tersebut, suku Mandar menentukan hari pertama setiap bulannya melalui
pemantauan terhadap bintang-bintang dilangit.
Masyarakat Mandar
meyakini pergerakan bulan dan benda-benda angkasa lainnya tersebut sangat
mempangaruhi aktifitas dan keberuntungan manusia setiap harinya bahkan setiap
jamnnya. Jadi dari perhitungan pergerakan bulan dalam mengitari bumi tersebut,
masyarakat Mandar mempelajari metode dan
pencarian hari-hari baik yang dinamakan ‘kutika’.
Berdasarkan jenisnya,
kutika di Mandar dikenal beberapa jenis berdasarkan metodenya, yaitu: Kutika Perang, Kutika Mencari Rejeki Dan
Kutika Untuk Kegiatan Sosial. Ketiga KUTIKA itu berpedoman pada masa
perputaran Bulan mengitari Bumi, sebagai pedoman untuk menentukan hari pertama
setiap bulannya, seperti halnya yang dilakukan oleh orang Jawa yang dikenal
adanya Mujarobat.
Mujarobat adalah kitab tradsional untuk menentukan hari
pasaran dan untuk menentukan hari baik untuk memulai suatu aktifitas
Sampai hari ini, di Mandar masih menggunakan metode pencarian hari-hari
baik dalam bentuk bilangan amessa (sembilan), bilangan pitu (tujuh), dan
bilangan duappulo (dua puluh). Yang terakhir ini merupakan adopsi dari kutika
orang Bugis Makassar khusus untuk mencari hari baik untuk melaksanakan
pernikahan.
Bagi masyarakat Bugis Makassar pernikahan adalah suatu hal yang sakral yang
merupakan suatu pengukuhan dua pasang manusia yakni Pria dan Wanita yang diikat
dalam satu kesatuan utuh yang diharapkan selalu bersama hingga
akhir hayat, sehingga pernikahan juga hendaknya butuh
perencanaan yang kuat karena ini merupakan pertaruhan masa depan.
Masuknya Islam di Sulawesi, dalam hal ini Mandar, ternyata bukan hanya mengubah agama masyarakat asli saat
itu. Namun juga mempengaruhi secara kuat wajah peradaban masyarakat saat itu.
Masyarakat menjadi sangat akrab dengan ajaran serta kebudayaan Islam. Saya kadang beda
fikiran dengan beberapa orang yang mengatakan bahwa kutika itu bukan budaya
Islam, karena islam tidak mengenal hari yang buruk. Semua hari baik untuk
melakukan berbagai aktifitas apapun, jadi tidak perlu mencari hari-hari baik.
Tentu saja pernyataan itu tidak salah, hanya saja perlu sedikit pengkajian
bahwa Islam adalah agama yang serba teratur, tertib dan semua harus mengikuti
hukum-hukum itu dengan tertib. Rasulullah saja, saat akan hijrah ke Madinah,
beliau berangkat dari rumahnya pada malam 1 Muharram dan memilih bermalam di
gua Tsur selama 3 malam.
Itu artinya Rasulullah telah menanamkan dasar-dasar pencarian hari baik
untuk melakukan sebuah perjalanan. Padahal kalau dipikir-pikir, seharusnya Rasulullah
langsung saja ke madinah pada malam itu, karena bagaimanapun beliau adalah
manusia yang selalu dilindungi keselamatannya oleh Allah. Tapi toh Rasulullah
tidak melakukan itu. Dan ini adalah metode Rasulullah menanamkan dasar-dasar
ilmu falaq dan pencarian hari-hari baik pada umatnya.
Dan
ternyata, dalam perkembangan selanjutnya sangat mempengaruhi cara masyarakat dalam perhitungan hari, bulan, dan tahun, yakni dengan
menggunakan kalender Hijriah.
Orang Mandar sejak dahulu selalu berpedoman pada bilangan bulan hijriah.
Sangat berbeda dengan masa kini, yang menggunakan
kalender Masehi secara
umum, meski masih tetap menggunakan kalender hijriah dalam penetapan hari baik
untuk melakukan sesuatu.
Penggunaan kalender Hijriah dapat dilihat dari setiap orang yang mau
melaksanakan sesuatu, pencarian harinya menggunakan kalender hijriah yang
dikorelasikan dengan metode kutika yang difahaminya.
Selain itu, naskah lontaraq yang
ada pada masa-masa awal masuknya Islam di Mandar, juga kerap kita temukan
naskah lontaraq yang merupakan
catatan pencarian hari-hari baik atau kutika. Naskah lontaraq memang banyak berisi
tentang kutika, misalnya melihat hari-hari apa saja yang baik dalam
bulan Muharram untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan rezeki. Seperti
perkawinan, bercocok-tanam, membuat peralatan, pindah rumah, potong rambut, dan
lain sebagainya.
Karena itu jangan heran jika menemukan catatan lontaraq kebanyakan menggunakan 12 bulan Hijriah dan tujuh nama hari dalam sebutan Hijriah (al-Ahad, al-Itsnayn, ats-Tsalaatsa‘,
al-Arba‘aa, al-Khamiis, al-Jum‘aat, as-Sabt) dalam naskah Kutika. Perhatikan catatan
atau lontaraq Tuan di Bulo-Bulo dan Lontaraq-Lontaraq lain, pasti hal
tersebut dapat dengan mudah kita temukan.
Museum Sulteng terbilang cukup banyak memiliki koleksi naskah lontara dan kutika. Sedikitnya ada 50 naskah Lontaraq tua yang berbetuk buku dan dalam kondisi yang
terawat. Naskah Lontara tersebut tidak hanya berasal dari Lembah Palu saja, namun
juga berasal dari Kabupaten Poso, Kabupaten Parigi Mautong, Kabupaten Donggala,
hingga Kabupaten Banggai.
Naskah tua yang berhubungan dengan masuknya Islam ke
Lembah Palu, berisikan petuah serta tatakrama dalam berkehidupan itu ditulis dengan
aksara Lontara yang dimiliki oleh orang Bugis-Makassar dan Mandar, sehingga
ditenggarai masuknya naskah Lontara ke Lembah Palu bersamaan dengan masuknya
para mubaliq Bugis-Makassar dan Mandar ke Lembah Palu.
Naskah Lontaraq umumnya dimiliki oleh para mubaligh Bugis-Makassar dan Mandar yang menyebarkan syiar
Islam di Lembah Palu. Periodesasi syiar mubalig asal selatan itu ditengarai pada masa sesudah
Datokarama atau pada abad ke 18 dan 19.