Jumat, 10 Juni 2016

Profil Singkat Darwin Badaruddin, Penulis Antologi Puisi "Potret Hitam Putih"

Darwin Badaruddin, Lahir di Polewali 22 Agustus 1961. Anak kedua dari pasangan Badaruddin dan  Hj. Ballu. Penulis dikaruniai dua orang anak Moh.Eka Lesmana dan Nur Ulfah Fakhrunnisa dari isteri bernama Hj. Harlina Halanding.
Menulis puisi, cerpen dan artikel sejak duduk di bangku SMA. Tahun 1982 dinobatkan oleh Harian Fajar Makassar sebagai Penulis Puisi Remaja Favorit, Tahun 1984 mendirikan teater Badai Makassar. Tahun 1986  mengikuti Fesitval Teater se Sulawesi Selatan. 
Naskah drama yang telah ditulis; Yaumul Jaza’, Episode Putih Tahun Gajah dan Rumah-rumah Kardus. Menyutradarai beberapa naskah drama, antara lain; Detak-detak Kemerdekaan (Syahrul Hidayat), Abu (B.Soelarto), Mereka Mulai menyerang (Rahman Arge), Domba-doba Revolusi (B.Soelarto), Interogasi I (Arifin C. Noer), Yaumul Jaza’, Muslim Sejati  dan Rumah-rumah Kardus.
Aktif dalam berbagai kegiatan organisasi kepemudaan, Pengurus KNPI Kab. Polmas 1994 – 1998, dan 1998 – 2002, Ketua MKKS Kab. Polmas 2004 – 2006, Sekretaris Umum PGRI Kab. Polmas (2004 – 2009).
Karier PNS diawali sebagai Guru pada SMEAN 1 Pinrang (1988), , Kepala SMKN 1 Polewali 2001 – 2006.  Kabid Dikmen Disdik Polman (2006), Tahun 2008 Sekretaris pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Polewali Mandar dan pada Bulan Februari 2010 diangkat sebagai Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Polewali Mandar.

Tahun 2011 menerbitkan Antologi Puisi "Potret Hitam Putih". http://www.jendelasastra.com/user/darwin-badaruddin

KUTIKA (PUTIKA)


 Catatan: Muhammad Munir

Suku Mandar memiliki banyak kearifan tradisional yang sampai saat ini terus diyakini dan dipelihara dengan baik. Salah satu dari kearifan tersebut adalah cara menentukan hari baik untuk memulai suatu aktifitas yang dinamakan dengan Kutika. Kutika dipakai sebagai petunjuk untuk menentukan hari baik bila ingin melakukan berbagai kegiatan seperti mendirikan rumah, memulai hari pertama mencari rejeki semisal kegiatan perdagangan, merantau, memulai hari menabur benih, hari pernikahan bahkan untuk menentukan hari memulai penyerangan terhadap musuh. Untuk kebutuhan tersebut, suku Mandar menentukan hari pertama setiap bulannya melalui pemantauan terhadap bintang-bintang dilangit.
Masyarakat Mandar meyakini pergerakan bulan dan benda-benda angkasa lainnya tersebut sangat mempangaruhi aktifitas dan keberuntungan manusia setiap harinya bahkan setiap jamnnya. Jadi dari perhitungan pergerakan bulan dalam mengitari bumi tersebut, masyarakat Mandar mempelajari metode dan  pencarian hari-hari baik yang dinamakan ‘kutika’.
Berdasarkan jenisnya, kutika di Mandar dikenal beberapa jenis berdasarkan metodenya, yaitu: Kutika Perang, Kutika Mencari Rejeki Dan Kutika Untuk Kegiatan Sosial. Ketiga KUTIKA itu berpedoman pada masa perputaran Bulan mengitari Bumi, sebagai pedoman untuk menentukan hari pertama setiap bulannya, seperti halnya yang dilakukan oleh orang Jawa yang dikenal adanya Mujarobat.
Mujarobat adalah  kitab tradsional untuk menentukan hari pasaran dan untuk menentukan hari baik untuk memulai suatu aktifitas
Sampai hari ini, di Mandar masih menggunakan metode pencarian hari-hari baik dalam bentuk bilangan amessa (sembilan), bilangan pitu (tujuh), dan bilangan duappulo (dua puluh). Yang terakhir ini merupakan adopsi dari kutika orang Bugis Makassar khusus untuk mencari hari baik untuk melaksanakan pernikahan.
Bagi masyarakat Bugis Makassar pernikahan adalah suatu hal yang sakral yang merupakan suatu pengukuhan dua pasang manusia yakni Pria dan Wanita yang diikat dalam satu kesatuan utuh yang diharapkan selalu bersama hingga akhir hayat, sehingga pernikahan juga hendaknya butuh perencanaan yang kuat karena ini merupakan pertaruhan masa depan.
Masuknya Islam di Sulawesi, dalam hal ini Mandar, ternyata bukan hanya mengubah agama masyarakat asli saat itu. Namun juga mempengaruhi secara kuat wajah peradaban masyarakat saat itu. Masyarakat menjadi sangat akrab dengan ajaran serta kebudayaan Islam. Saya kadang beda fikiran dengan beberapa orang yang mengatakan bahwa kutika itu bukan budaya Islam, karena islam tidak mengenal hari yang buruk. Semua hari baik untuk melakukan berbagai aktifitas apapun, jadi tidak perlu mencari hari-hari baik.
Tentu saja pernyataan itu tidak salah, hanya saja perlu sedikit pengkajian bahwa Islam adalah agama yang serba teratur, tertib dan semua harus mengikuti hukum-hukum itu dengan tertib. Rasulullah saja, saat akan hijrah ke Madinah, beliau berangkat dari rumahnya pada malam 1 Muharram dan memilih bermalam di gua Tsur selama 3 malam.
Itu artinya Rasulullah telah menanamkan dasar-dasar pencarian hari baik untuk melakukan sebuah perjalanan. Padahal kalau dipikir-pikir, seharusnya Rasulullah langsung saja ke madinah pada malam itu, karena bagaimanapun beliau adalah manusia yang selalu dilindungi keselamatannya oleh Allah. Tapi toh Rasulullah tidak melakukan itu. Dan ini adalah metode Rasulullah menanamkan dasar-dasar ilmu falaq dan pencarian hari-hari baik pada umatnya.
Dan ternyata, dalam perkembangan selanjutnya sangat mempengaruhi cara masyarakat dalam perhitungan hari, bulan, dan tahun, yakni dengan menggunakan kalender Hijriah.
Orang Mandar sejak dahulu selalu berpedoman pada bilangan bulan hijriah. Sangat berbeda dengan masa kini, yang menggunakan kalender Masehi secara umum, meski masih tetap menggunakan kalender hijriah dalam penetapan hari baik untuk melakukan sesuatu.
Penggunaan kalender Hijriah dapat dilihat dari setiap orang yang mau melaksanakan sesuatu, pencarian harinya menggunakan kalender hijriah yang dikorelasikan dengan metode kutika yang difahaminya.
Selain itu, naskah lontaraq yang ada pada masa-masa awal masuknya Islam di Mandar, juga kerap kita temukan naskah lontaraq yang merupakan catatan pencarian hari-hari baik atau kutika. Naskah lontaraq memang banyak berisi tentang kutika, misalnya melihat hari-hari apa saja yang baik dalam bulan Muharram untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan rezeki. Seperti perkawinan, bercocok-tanam, membuat peralatan, pindah rumah, potong rambut, dan lain sebagainya.
Karena itu jangan heran jika menemukan catatan lontaraq kebanyakan menggunakan 12 bulan Hijriah dan tujuh nama hari dalam sebutan Hijriah (al-Ahad, al-Itsnayn, ats-Tsalaatsa‘, al-Arba‘aa, al-Khamiis, al-Jum‘aat, as-Sabt) dalam naskah Kutika. Perhatikan catatan atau lontaraq Tuan di Bulo-Bulo dan Lontaraq-Lontaraq lain, pasti hal tersebut dapat dengan mudah kita temukan.
Museum Sulteng terbilang cukup banyak memiliki koleksi naskah lontara dan kutika. Sedikitnya ada 50 naskah Lontaraq tua yang berbetuk buku dan dalam kondisi yang terawat. Naskah Lontara tersebut tidak hanya berasal dari Lembah Palu saja, namun juga berasal dari Kabupaten Poso, Kabupaten Parigi Mautong, Kabupaten Donggala, hingga Kabupaten Banggai.
Naskah tua yang berhubungan dengan masuknya Islam ke Lembah Palu, berisikan petuah serta tatakrama dalam berkehidupan itu ditulis dengan aksara Lontara yang dimiliki oleh orang Bugis-Makassar dan Mandar, sehingga ditenggarai masuknya naskah Lontara ke Lembah Palu bersamaan dengan masuknya para mubaliq Bugis-Makassar dan Mandar ke Lembah Palu.

Naskah Lontaraq umumnya dimiliki oleh para mubaligh Bugis-Makassar dan Mandar yang menyebarkan syiar Islam di Lembah Palu. Periodesasi syiar mubalig asal selatan itu ditengarai pada masa sesudah Datokarama atau pada abad ke 18 dan 19.