Selasa, 20 Juni 2017

SAMBUTAN KETUA PAGAR NUSA NU Pada Buku Kottau Warisan Nusantara





Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh_

*Belajar Arif dari Ilmu Silat dan Ilmu Surat*
"Orang hebat mampu mengendalikan orang lain, tetapi lebih hebat lagi kalau dia mampu mengendalikan dirinya sendiri” (Lao Tze)

Betapa mudah menghardik orang lain, namun betapa sulit mengendalikan diri sendiri. Inilah cermin di balik kekuatan para pendekar, di balik jurus-jurus yang dilatih: bagaimana menjadi waskita, bagaimana sublim dalam keheningan diri. Manusia Indonesia sedang terombang-ambing dalam gelombang modernitas.

Banyak pihak salah mengira. Banyak orang juga masih salah kaprah dalam memandang modernitas. Bahwa, untuk menjadi modern harus memutus sama sekali kaitan dengan hal-hal lama. Embel-embel yang berbau masa lalu dan kuno, bukan hanya harus dipinggirkan, tapi juga wajib dibuang jauh-jauh.

Stigma sebagai masyarakat maju dan berkeadaban dipandang hanya bisa diraih ketika sudah berhasil menghilangkan tradisi-tradisi lama, untuk kemudian menggantinya dengan tren-tren kekinian.

Banyak di antara kita yang masih salah tangkap. Terutama, saat memandang modernitas dan kemajuan yang berhasil diraih bangsa Barat hingga saat ini. Kita menjadikan mereka sebagai kiblat, namun hanya melihatnya secara sekelebat. Seringkali yang diambil hanya kulitnya, tanpa menyerap sarinya. Singkatnya, kita masih gagal memotret modernitas dan kemajuan yang mereka raih secara utuh.

Akibatnya, alih-alih benar-benar menjadi menjadi maju dan modern. Pada akhirnya, kita justru kehilangan identitas sendiri. Bukan hanya sebagai individu, tapi juga identitas sebagai sebuah masyarakat yang merupakan bagian dari sebuah bangsa. Kita memupus jati diri kita sendiri demi mengejar status modern. Sayangnya, karena berangkat dari pemahaman yang parsial, status modern yang dibangga-banggakan sesungguhnya semu belaka.

Selain itu, sadar atau tidak, dengan meninggalkan dan melupakan khazanah-khazanah lama yang pernah dimiliki, kita bukannya menjadi subyek modernitas. Kita justru hanya menjadi obyek dari kemajuan itu sendiri. Kita membawa diri kita sekedar menjadi masyarakat dan bangsa pengekor.

Tidak perlu muluk-muluk bicara soal demokrasi ataupun perkembangan teknologi yang hingga hari ini, hampir seluruhnya kita ekspor dari belahan dunia lain. Untuk istilah cantik saja, kita gagal memiliki definisi sendiri. Bahwa yang biasa disebut cantik, hanyalah untuk mereka yang berkulit putih, berhidung mancung, dan sebagainya.

Kita sering lupa bahwa kita mendiami sebuah wilayah beriklim tropis. Kondisi tersebut tentu merupakan contoh kecil saja. Yaitu, tentang bagaimana identitas kita yang terus terkikis dari hari ke hari. Padahal, sekali lagi disadari atau tidak, sejarah sudah banyak mencatat tentang hilangnya sebuah bangsa atau peradaban dengan didahului hilangnya identitas bangsa tersebut.

Dalam konteks sejarah pula, jika memang benar-benar ingin belajar dari kemajuan bangsa Barat, kita sepatutnya akan sadar bahwa capaian yang tampak hari ini bukan muncul seketika. Ada tahapan-tahapan dan lipatan sejarah yang telah dilalui. Di antara yang terpenting adalah modernitas yang terus mereka ciptakan justru bertumpu dan berpangkal dari keseriusan menggali, mempelajari, dan menggeluti kembali khazanah-khazanah masa lalu.

Era itu kita kenal selama ini sebagai renaissance (kelahiran kembali). Kurun waktunya berada disekitar abad ke-14 sampai abad ke-17. Periode tersebut sekaligus merupakan akhir dari abad pertengahan yang kerap dikenal sebagai dark age (zaman kegelapan) bangsa-bangsa Eropa.

Di masa renaissance ketika itu, muncul gerakan kebudayaan dan intelektual, sekaligus kesadaran untuk kembali menggali pemikiran-pemikiran lama dari para pemikir serta filsuf Yunani dan Romawi kuno. Teks-teks lama dibuka dan dipelajari kembali. Logika berpikir yang berkembang dan dikembangkan di masa tersebut disandarkan pada logika berpikir di era Socrates, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf lainnya yang pernah ada.

Berangkat dari masa-masa renaisance itulah, sekitar 100 tahun kemudian, era _aufklarung_ (zaman pencerahan) muncul. Periode tersebut yang kerap dikaitkan dengan kemodernan Eropa hingga hari ini. Sebab, pada masa-masa itulah pemikiran-pemikiran baru bermunculan. Bukan hanya di ranah filsafat dan kebudayaan, tapi juga berbagai ilmu pengetahuan.

Di sinilah, semangat kehadiran buku ini menemukan garis relevansinya. Upaya mulia sahabat Suryananda menggali sekaligus mengangkat pencak silat, khususnya silat Mandar, sudah seharusnya ikut membangunkan kita semua.

Bukan hanya kesadaran bahwa pencak silat yang merupakan khazanah asli Indonesia wajib dilestarikan. Tapi, juga kesadaran untuk sesegera mungkin menyiapkan diri untuk menjemput kemajuan.

Lewat buku ini, kemajuan yang sudah di depan mata kita sesungguhnya bukan lagi kemajuan semu milik bangsa lain. Tapi, kemajuan bangsa Indonesia yang sejatinya memang sebuah bangsa yang besar. Bangsa yang memiliki peradaban yang begitu tinggi. Seni beladiri pencak silat menjadi tiang penyangganya.

'Ala kulli haal, keberadaan buku ini juga sekaligus harus menumbuhkan kesadaran kritis untuk kita semua. Bahwa, penguatan identitas dan khazanah Nusantara akan berhasil jika kita mampu mengimplementasikan sekaligus mengembangkan nilai-nilai, moral dan etika yang menjadi perspektif buku ini. Pencak Silat sejatinya bukan sekedar gerakan tubuh, namun memiliki pondasi filosofis pada moral dan etika spiritual. Inilah yang menjadikan Pencak Silat sangat khas, dibandingkan dengan bela diri lainnya.

Karya sahabat Suryananda ini menjadi hidup dan bernyawa, justru karena diimplementasikan dan lahir dari pengalaman yang dibarengi dengan riset. Saya berbangga dengan lahirnya buku ini, yang menegaskan betapa khazanah budaya Nusantara begitu kaya.
Buku ini menegaskan pepatah lama, betapa Ilmu Silat dan Ilmu Surat (teks) terkoneksi erat, saling menyempurnakan.
_Waallahu muwaffiq ila aqwaamit thariq, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh_

Muchamad Nabil Haroen
Ketua Umum PP Pagar Nusa NU

Jumat, 09 Juni 2017

Mengenal Muhammad Daeng Patompo (Dari Binuang ke Kota Daeng)


 
Muhammad Daeng Patompo, dilahirkan pada tanggal 16 Agustus 1926 di Lembah Binuang Kabupaten Polewali Mandar. Binuang merupakan dataran subur dengan hamparan persawahan ini merupakan tempat kenangan indah yang tidak bisa dilupakan oleh Patompo. Di Desa inilah ia menghabiskan masa kanak-kanaknya, bermain-main dan dibesarkan oleh orangtuanya dengan penuh cinta dan kasih sayang.
     Ayahnya, Puang Bakkidu adalah seorang pedagang besar keturunan bangsawan, pemuka agama yang berasasal dari dari Rappang dan Wajo.  Ibunya, Andi Besse Mappa adalah seorang keturunan Raja di Kerajaan Binuang, Andi Paenrongi. Ketika itu adalah raja atau Selfbestuur di Kerajaan Binuang yang berbatasan dengan Balanipa-Tinambung kerajaan Majene Pambauang-Mamuju yang disebut Pitu Babbana Binanga.
Nama kecil Patompo adalah Andi Sappewali yang dibesarkan oleh ibunya sendiri, dan mempunyai kakak kandung  yang bernama Andi Iskandar yang  juga kelahiran Binuang pada 17 Desember 1923.[1]

Masa Sekolah
Patompo masuk sekolah di SR yaitu sekolah rakyat pada sekitar 1933 tapi kemudian dibawa pamannya ke Rappang. Di sana ia disekolahkan di Madrasah Ibtidaiah Muhammadiyah. Saat di kelas 3, Patompo masuk kepanduan Hizbul Wathan (HW). Karena tak merasa betah terpisah dan jauh dari ibunya, Ia hanya bertahan satu tahun di Rappang. Patompo kembali ke Binuang dan menamatkan sekolahnya di Volkschool. Setelah tamat,  melanjutkan pelajaran di perguruan Taman Siswa yang didirikan oleh Maman Sophian Patompo. Ia diterima duduk di kelas 4 melalui ujian. Tapi ibunya lalu memindahkan lagi ke sekolah Belanda HIS di Majene dan duduk di kelas 5.
Saat itu pendudukan Jepang, semua sekolah ditutup diganti dengan sekolah Jepang. Patompo memilih melanjutkan sekolah di Makassar. Di Makassar Patompo dapat berbahasa Jepang dalam jangka enam bulan. Patompo tinggal di salah satu rumah di muka Masjid Arab yang terletak di tengah-tengah kampung Cina.  Patompo merasa dibentuk oleh situasi keagamaan. Di Masjid itu dua orang muballig dan khatib tetap yang sangat disenanginya, Ali Ba’bud dan Asaagaf.
Jadi jangan heran jika kewajibannya melaksanakan ibadah shalat lima waktu tidak pernah ditinggalkannya. Apalagi dengan shlalat Subuh dirasakannya satu latihan yang kemudian membentuk satu kebiasaan baginya untuk cepat bangun pagi sholat shubuh berzikir, dan berdoa

Masa Remaja
Karena di Makassar hampir setiap malam sering terjadi pemboman oleh sekutu, maka Patompo kembali ke kampung halamannya. Dikampungnya Ia melihat ada satu Maschappy Jepang dan pada 1 Juli 1942 Patompo diterima bekerja di perusahaan itu ditempatkan sebagai jurus tulis sebab ia pintar bahasa Jepang.
Patompo bekerja hanya hanya enam bulan saja karena merasa tidak cukup dengan gaji yang ia terima. Ia juga tidak tahan dengan kekerasan Jepang sehingga ia pun meminta berhenti bekerja.
Patompo mendaftarkan diri unrtuk masuk Heiho, tapi tidak lulus. Perawakannya dianggap kecil.  Karena tidak ingin hidup menganggur, ia mencari jalan bagaimana mengisi kekosongan waktunya. Ia teringat ketika bekerja di perusahaan Jepang. Ia kemudian melirik barang-barang kebutuhan para perwira Jepang, baik berupa makanan maupun bahan pakaian serta barang-barang perlengkapan lukis lainnya.
Patompo mencoba menelusuri bagaiamana ia dapat memperoleh stok perwira-perwira Jepang tersebut. Akhirnya melalui suatu jaringan kepercayaan orang Jepang, Patompo memilih kegiatan untuk membeli barang-barang Jepang itu secara sembunyi-sembunyi dan menjualnya kepada umum. Karena untungnya banyak, maka ia merasa keadaan hidupnya agak jauh lebih baik daripada kawan-kawan yang lain.
Hasil yang sempat diraihnya memberi kesempatan untuk membiasakan diri beramal dan itu dilakukannya melalui celengan masjid atau sarana amal lainnya, selebihnya Patompo dapat menutupi biaya hidupnya  serta membeli alat-alat musik. Diwaktu senggang Patompo sangat senang mengisi waktu dengan hiburan musik di kampungnya.  Patompo memang gemar main musik bersama teman-temannya.
Patompo juga sangat gemar bermain sepak bola, suka bergerombol dengan teman-temannya meski sesekali berkelahi namun cepat baik-baikan lagi. Patompo memiliki karakter yakni merasa gembira kalau membantu teman-temannya. Begitu juga kecenderungan untuk selalu mandiri mengatur diri sendiri tanpa terlalu banyak merepotkan orang tua meski ia juga cengeng dan sangat manja.

Dalam kancah revolusi
Ada sebuah kebiasaan bagi Patompo jika menjelang sore yakni nongkrong dirumah salah seorang tetangganya yang bernama Sigar, seorang Langsa (Asisten Wedana) di Polewali Mamasa. Patompo begitu bahagia mendengar berita-berita dari radio yang masih merupakan barang mewah dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memilikinya. Terlebih saat itu, Polewali Mamasa yang berada jauh dari kota Makassar
            Tiba-tiba sebuah berita menarik melintas di telinganya para pemimpin bangsa ini telah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Mereka telah meneguhkan eksistensi bangsa Indonesia untuk mulai berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia ini. Terbebas dari penjajahan melilit selama beratus-ratus tahun.
Diberitakan bahwa saudara tua Jepang telah menyerah kepada sekutu setelah kota Hirosima dan Nagasaki hancur akibat ledakan bom atom dari sekutu.
     Patompo sebagai pemuda yang pernah mengenyam pendidikan di Taman Siswa, Polewali sangat bersukacita mendengar berita itu. Selama di Taman Siswa, ia di didik oleh Manai Sophian dan tentunya telah menguratkan nilai-nilai nasionalisme yang dalam. Pada tahun 1939 Mr Sunarjo yang belakangan menjadi Menteri dalam kabinet masa Soekarno pernah pula datang ke Taman Siswa Polewali. Kehadiran Partai Parindra di Polewali juga dirasakan Patompo sebagai dasar terbentuknya jiwa dan semangat kemerdekaan buat menentukan nasib sendiri.

Kibarkan Merah Putih
Bersama rekannya, Atjo Men alias, Patompo berkeliling memberitahu semua rakyat di daerahnya bahwa Indonesia telah merdeka. Polewali Mamasa sebagai bagian dari negara Indonesia harus siap-siap untuk mempertahankan kemerdekaannya yang baru saja diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Patompo sangat tahu persis bahwa mempertahankan sesuatu yang telah diraih jauh lebih sulit dicapai dibanding dengan  mencapainya. Banyak pemuda dan pemimpin yang datang ke Polewali Mamasa untuk memberi penerangan tentang proklamasi kemerdekaan RI,  namun terjadi kontoversi. Sebagian mendukung dan sebagian lagi menentang habis-habisan terutama dari kalangan raja-raja yang masih sangat kuat dominasinya. Kalangan kerabat Patompo sendiri, termasuk pamannya yaitu Mattulada yang menjadi Selfbestur menggantikan neneknya serta seluruh keluarganya tidak mengingkan agar Belanda berkuasa kembali.
Namun keadaan itu tidak mempengaruhi semangat Patompo bahkan ia mengajak pemuda-pemuda di Polewali mengorganisir diri untuk melawan setiap orang yang menghambat perjuangan kemerdekaan bangsa. Terjadilah permufakatan pada waktu itu untuk mengibarkan bendera merah putih di Polewali dan Patompo kemudian dengan keberanian mengibarkan sang Merah putih  di Polewali pada tanggal 20 Agustus 1945.

Hijrah ke makassar
Pengibaran bendera tersebut membuat KNIL datang ke Polewali. Patompo berharap ada dukungan dari pemerintahan di Polewali tapi  ternyata hampir seluruh jajaran pemerintahan di Polewali Mamasa pro KNIL waktu itu. Bahkan pemuda-pemuda yang tadinya setia pada Patompo terpaksa membubarkan diri.
Kondisi ini membuatnya berfikir untuk hijrah ke Makassar. Dia mengontak mengontak pemuda-pemuda yang sudah terorganisir.  Patompo menemui Mr. Tadjoeddin Noer dan Mr. Soepardi yang ketika itu menjabat ketua PNI daerah Sulawesi Selatan. Ia juga berjumpa dengan Dr. Ratulangi. Mereka saling berdiskusi dan mencoba merumuskan berbagai kemungkinan yang harus ditempuh dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa. Agaknya mereka maklum bahwa Belanda dalam tindakan penjajahannya.
Mr. Tadjoeddin menjelaskan kepada Patompo tentang penggunaan jalur diplomasi dalam menindaklanjuti perjuangan fisik. Maka ia meminta Patompo agar sebaiknya mengurungkan niatnya ke pulau Jawa atau Polombangkeng. Dr. Ratulangi secara terpisah menjelaskan pula kepada Patompo bahwa perjuangan bidang diplomasi itu sama pentingnya dengan perjuangan bersenjata.
Mendapat nasehat itu, Patompo yang sedang bergelora jiwanya tentu saja tersinggung karena terlihat tak seorang pun pemimpin yang mau mengover kekuasaan. Maka keputusan pemuda-pemuda di Makasaar waktu itu yakni memusatkan perjuangan di Polombangkeng atau ke Jawa.[2]

Menjadi wali kota makassar
Patompo menjadi Komandan Kodim di Polewali pada tahun 1964 sekaligus wakil Pengurus Perang Daerah (PEPERDA). Ini tentu sebuah tugas yang sangat berat. Namun di tangan Patompo semuanya dilalui dengan sukses dimana pengalamannya semasa di pulau Jawa berhasil merangsang partisipasi masyarakat Polewali Mamasa untuk ikut menjaga ketertiban dan  kestabilan demi suksesnya operasi kilat.
Sejak tahun 1961 Patompo sebagai BPH  teknik/pembangunan telah memperlihatkan semangat dan obsesinya tentang bagaimana cara penggunaan mesin-mesin pembangunan di kota Makassar, dari sebuah perkampungan kumuh menjadi kota dengan segala dimensi dan dinamika yang melingkupinya.
Pengalaman-pengalaman itulah yang membuatnya menjadi Walikota Makassar dan prosesnya berjalan mulus. Semua pihak berpihak dengannya dan menyatakan dukungannya. Padahal dikalangan partai biasanya sering timbul ketidakcocokan dan ketidaksamaan bahasa. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah bahkan melakukan hal yang tidak terpuji. Patompo menjadi walikota yang ke-6 yang merupakan kolonel TNI. Patompo dilantik pada tanggal 8 Mei 1965. Dalam pelantikan itu, Patompo mengucapkan pidato penerimaan jabatan dengan penuh sukacita. Baginya itu adalah amanat yang harus ia pegang teguh menyangkut cita-cita kota Makassar.
Langkah pertama yang dilakukan Patompo adalah merangkul para wartawan dan tokoh masyarakat dalam sebuah forum pikiran. Menurut Patompo, mereka adalah penerjemah yang handal dan merupakan penyambung aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Kondisi pemerintahan kota pada waktu itu kurang mendukung seorang walikota yang baru diangkat bisa berhasil dengan rancangan program yang besar. Kondisi kehidupan warga yang krisis akibat kekacauan yang membawa warganya dalam kehidupan yang apatis.
Patompo menganggap bahwa realitas pemerintahan kota serta kondisi yang menyelimuti warganya tersebut merupakan akar persoalan yang mesti dituntaskan. Sehingga pada saat itu Patompo membentuk sebuah program 3 K. Di depan sidang DPRD Kotamadya Makassar, Patompo menawarkan ide-ide dan programnya untuk mendapatkan masuka-masukan, kesamaan bahasa dan persepi.
Lahirlah sebuah kerangka kerja yang disusun dalam Pola Dasar Pembangunan Kotamadya Makassar dengan sasaran memberantas 3 K, yaitu Kemiskinan, Kebodohan, dan Kemelaratan. Sebagai mantan BPH tekni/pembnagunan Patompo sangat hafal semua jalan yang menyatakan bahwa hampir 90% warga kota jatuh pada kemiskinan, kebodohan, dan kemelaratan. Patompo juga membangun Kota Baru seperti Kampung Lette dan Tanggul Patompo.[3]

Restorasi Patompo Mengiringi Makassar Ke Pergaulan Global
Patompo yang menyadari bahwa kota Makassar hanya dapat dibangun oleh pondasi pemikiran tangguh dan kemauan bersama Gebrakan revolusioner sebagai manifestasi dari ide-ide atau gagasan dari para tokoh masyarakat dan wartawan yang dipilihnya sebagai mitra kerja.
Kondisi kehidupan yang semakin tak kondusif bahkan semakin cenderung memprihatinkan. Sehingga Patompo menciptakan aneka perubahan. Namun perjalanan Patompo tidak semulus yang dibayangkan karena Patompo harus dihadapkan pada sejumlah persoalan yaitu kondisi keuangan, kondisi sosial-ekonomi hingga masalah perkataan dari sebagian orang yang tidak baik yang menganggap bahwa ide-ide Patompo tidak hanya sebagai impossible dream dan tidak akan menjadi sebuah kenyataan.
Tantangan tersebut justru menjadi catatan Keberhasilan Patompo mewujudkan cita-cita Kota Makassar secara restoratif-revolutif.  Lapangan kerja mulai terbuka, perekonomian berjalan lancar dan pengadaan siaran TV dilakukan dengan kerja sama enterpreneur asal Jepang ang bernama Drs. Gobel.
Hal yang paling menarik dari strategi yang diterapkan Patompo adalah ujicoba kelayakan pembangunan yakni kegemarannya mencari tahu dan mengukur seberapa besar respon dan partisipasi penduduknya. Tidak hanya kemampuan Patompo dalam mendekati warganya, ia juga pintar dalam mendekati para ilmuwan sebagai variabel pendukung atas kesuksesan yang diraihnya.
Berdasarkan master plan yang dirancang, maka kota Makassar dibagi atas 5 kawasan yaitu :
1.    Kawasan Kota Lama,
2.    Kawasan Panakukkang,
3.    Kawasan Biringkanaya Timur
4.    Kawasan Biringkanaya Utara,
5.    Kawasan Mariso[4]


[1] Mattaliu Abdurrazaq. 1997. H. M. Daeng Patompo Biografi Perjuangan. Ujung Pandang : Berita Utama

[4]Dr. Ahmadin, M. Pd.  Menemukan Makassar Di Lorong Waktu, Makassar : pustaka refleksi. 2008

Selasa, 11 April 2017

ANGGUKAN RITMIS SANG LEGENDARIS (2) Sumaati : Museum Etnomusikologi Untuk Sang Legendaris



ANGGUKAN RITMIS SANG LEGENDARIS (2)
Sumaati : Museum Etnomusikologi Untuk Sang Legendaris

Desain Sumaati Institut dan Museum Etnomusikologi (desainer: Nursaid Nurdin)


Lelaki kelahiran Lekopa'dis tahun 1935 ini adalah lelaki yang nyaris segala sisi kehidupannya menyatu dalam dawai kacapingnya. Ia kerap tampil makkacaping bersama I Saga, I Tagi Kanna I Pejang dan Lauwi. Sejak masih berusia muda, Sumaati memang akrab dengan Kacaping. Ia bahkan memiliki tiga istri yang merupakan hasil dari petikan kecapinya. Ka'be adalah sosok wanita yang ia rengkuh hatinya dengan kacapingnya, menyusul I Malotong ikut terbuai dengan petikan cinta yang bersumber dari petikan dan tedze-tedze Sumaati. Kedua wanita yang dinikahi Sumaati tersebut tak satupun memberinya keturunan sehingga Sumaati berfikir mesti cari wanita lain lagi untuk bisa mendapatkan keturunan dan pewaris dari semua talentanya. Nabia kemudian menjadi pelabuhan hati Sumaati dan lalu dinikahinya.

Dari rahim Nabialah, Sumaati bisa menimang anak pertama yang ia beri nama Amiruddin (lahir tahun 1959), anak keduanya, St. Fatima (lahir tahun 1968) dan terakhir lahirlah Musdalifa pada tahun 1972. Lengkap sudah kebahagiaan Sumaati denga tiga istri dan tiga anak. Sumaati semakin menyatu dengan kacapingnya, sebab memang kacapinglah yang membuatnya bisa bertahan menikmati hidup dengan keluarganya. Sumaati menjadi salah satu sosok pakkacaping yang tidak saja sibuk melayani hajatan warga di Mandar, tapi ia bahkan keliling kota-kota besar sejak tahun 1955 ke Kalimatan. Masalembo, Makassar, Palu, Toli-Toli Salemo Pangkep dan lainnya diseluruh Indonesia.

Tahun 1960 an bahka pernah tampil menghibur warga kota Jakarta Utara atas undangan Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah orang Baruga Majene yang sukses di Jakarta, dengan bisnisnya bergerak di sektor perdagangan besi dan baja. PT. Air Baja adalah Perusahaan Baja yang ia rintis dan menjadikannya kaya raya pada tahun 1960-an. Tak hanya itu, Sumaati bahkan sudah go internasional dengan kacapingnya pada 1974 tampil menhibur warga Tawau Malaysia. Dari Tawau itulah ia banyak membawa pulang baju, celana dan barang-barang berharga lainnya. Salah satu baju merek Arrow sampai sekarang masih dapat kita lihat, terasuk linggis Malaysianya masih terpelihara di rumah anaknya, Amiruddin. Akhir kisah Sumaati terjadi ketika Amiruddin meminta uang untuk melanjutkan sekolahnya pada tahun 1979.

Saat itu, seperti yang dituturkan oleh Amiruddin (10/04/2017) Sumaati mengatakan " Sabarlah, Nak. Satu bulan ini bapak banyak undangan untuk main kacaping. Insyaallah akan ada uang yang bapak bisa dapatkan untuk sekolahmu. Saya akan ke Toli-Toli karena di Sematang, Soni dan Sese ada undanganku makkacapinhg" Amiruddin saat itu sangat bahagia mendengar semangat ayahnya untuk mencari uang demi pendidikannya. Namun ternyata, hari dimana ayahnya berangkat saat itu adalah hari terakhir untuk ia melihat ayahnya. Sebab dalam perjalanannya roadshow dibeberapa daerah di Sulteng itu, ia menjemput takdir hidupnya berakhir di kapung orang. Jauh dari keluarganya. Amiruddin kemudian hanya bisa mendapati barang-barang ayahnya yang dikirim dari Toli-Toli.

Kacaping yang begitu akrab dimata Amiruddin itu kini datang tak lagi bersama Tuannya. Sang legendaris dan maestro Kacaping itu telah tiada. Iya meninggalkan banyak kisah yang membuatnya terus ada dalam ketiadaannya. Selain kacaping, beberapa benda berharga dan pakaiannya serta peralatan yang kerap ia gunakan masih disimpan dan dipelihara oleh anak-anaknya.Sebagai anak Sulung, Amiruddin adalah sosok pengganti ayahnya untuk bisa melanjutkan kehidupan keluarganya sekaligus menjadi pihak yang banyak menyipan barang-barang peninggalan ayahnya. Ia debgan sangat telaten menjaga dan memelihara barang berharga ayahnya hingga saat ini. Amiruddin bahkan berencana mendirikan Museum Etnomusikologi sebagai wadah untuk mengenang ayahnya sekaligus sebagai upaya untuk lebih memperkenalkan musik tradisional Kacaping ini kepada khalyak.

Museum yang akan dibangun di atas tahan kosong miliknya ini sekaligus diharapkan menjadi Sekolah Musik tradisi. Selain Kacaping,alat-alat musik laiinya seperti rabana, calong, gongga' dan lainnya akan menjadi koleksi di Museum Etnomusikologi Sumaati ini.

Amiruddin mengatakan bahwa pendirian museum ini adalah bentuk do'a dan amal jariyah buat ayahnya. Semoga dengan museum ini, ayahnya meski telah tiada, tapi senantiasa diingat dan dapat dinikmati peninggalan beliau. Demikian harapan Amiruddin saat penulis bertandan ke kediamannya di Lekopa'dis. Kepada penulis, Amiruddin memperlihatkan beberapa benda koleksi yang akan dipanjang di Museumya. Barang-barang koleksi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kacaping 2. Gecong 3. Jambia. 4. Koin 5. Ajimat 6 Cincin Baiduri Bulan /akik 7. Parrassang Malaysia 8. Lipa' Sa'be 9. Baju Arrow 10. Kaset (1) 11. Selana 12. Jas 13. Ranjang Besi 14. Foto (3 lembar) 15. Kursi kayu 16. Okang 17. Panne 18. Okang 19. Mangkok 20. Peti Tempat pakean 21. Lemari 22. Kabi Layo/Lakka.[1]






[1] Wawancara Khusus dengan Amiruddin, putra sulung Sumaati pada tanggal 10 April 2017 pukul 21.00 - 22.30 di Lekopa'dis Kecamatan Tinambung.