Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 13 April 2024

Mengenal La Maddukelleng

La Maddukkelleng Raja Wajo di Perantauan

La Madukelleng menikah dengan Putri Andeng Ajang, Putri Kerajaan pasir. Setelah Raja Pasir Sultan Sepuh Alamsyah wafat. Secara adat, beliau harus digantikan oleh Putri Mahkota Kerajaan Pasir yaitu Andeng Ajang, istri La Madukelleng. Tapi, Panglima perang kerajaan Pasir menolak. Ia lalu memberontak. Melihat keadaan itu, La Madukelleng memerintahkan pasukannya, untuk menyerang pasukan kerajaan Pasir dan menghukum Panglima yang memberontak itu. Pasukan kerajaan pasir kalah namun Panglima kabur ke Kerajaan Kutai. Raja kerajaan Kutai tidak mau menyerahkan pemberontak itu kemudian pasukan La Maddukelleng pun menyerang kerajaan Kutai dan menang. Meskipun telah menguasai kerajaan Kutai, Tapi Lamaddukelleng tetap menghormati Raja Kutai Sultan Muhammad Idris. Karena itu, Sultan Kutai kelak menjadi sahabat La Maddukelleng. Demikianlah La Maddukelleng adalah Raja Kerajaan Wajo, yang juga raja kerajaan Pasir . Dia lah Raja Bugis, yang menjadi Raja diperantauan.

La Maddukelleng
Pahlawan Revolusi Kemerdekaan

La Maddukelleng (sekitar 1700–1765) merupakan seorang petualang Bugis yang menjabat sebagai pemimpin tertinggi Wajo pada perempat kedua abad ke-18. Ia kini dianggap sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Kehidupan awal

Latar belakang

Pada akhir abad ke-17, Wajo sedang dalam kondisi terpuruk akibat kekalahannya (sebagai sekutu Gowa-Tallo) pada aliansi Bone dan VOC dalam Perang Makassar. Penindasan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Bone memaksa orang-orang Wajo untuk meninggalkan negerinya dan pergi merantau ke Makassar, Kalimantan, Nusa Tenggara, kawasan Selat Melaka, serta bagian Nusantara lainnya. Namun, sejak awal abad ke-18, Wajo mulai bangkit secara perlahan dengan memanfaatkan jaringan komunitas rantaunya yang saat itu sudah tersebar ke seluruh Nusantara.

La Maddukelleng sendiri lahir di Tippulue, Belawa sekitar tahun 1700 dari kalangan bangsawan Wajo. Menurut sumber lontaraʼ yang ditelusuri oleh Andi Zainal Abidin (ahli hukum dan sejarawan Sulsel), ayah La Maddukelleng yang bernama La Mataesso atau La Raunglangiʼ merupakan Arung (penguasa) Peneki, sementara ibunya yang bernama We Tenriampaʼ atau We Tenriangka merupakan Arung Singkang yang juga merangkap jabatan sebagai Patola (putera/puteri calon pengganti raja [[Kerajaan Wajo#)).

Sedikit sekali detail mengenai kehidupan awal La Maddukelleng yang tercatat dalam sumber-sumber Wajo. Sebuah riwayat dari Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ (Sejarah Lengkap Wajo) menyebutkan bahwa ia pernah menjadi pembawa puan (tempat sirih) bagi Arung Matoa (pemimpin tertinggi Wajo) La Salewangeng To Tenrirua saat menghadiri upacara pelubangan telinga putri Arumpone (penguasa Bone) La Patauʼ di Cenrana, Bone.[a] Ketika itu La Maddukelleng kemungkinan masih remaja (usia 13–14 menurut perkiraan Abidin), sebab ia baru saja selesai dikhitan.

Dalam acara tersebut juga diadakan perburuan rusa dan pesta sabung ayam. Saat pertandingan sabung ayam sedang berlangsung, seorang dari Bone melemparkan kepala ayam yang sudah mati hingga mengenai kepala Arung Matoa Wajo. La Maddukelleng yang merasa sangat tersinggung dengan kejadian ini sontak menikam pelaku pelemparan, dan memicu perkelahian yang menewaskan 19 orang Bone dan 15 orang Wajo. Akibat kejadian ini, rombongan Wajo pun bergegas meninggalkan Cenrana dan berlayar menyusuri sungai kembali ke Wajo. Sesampainya di Tosora (ibu kota Wajo), datanglah utusan dari Bone yang meminta agar Wajo menyerahkan pelaku penikaman orang-orang Bone di Cenrana untuk diadili, tetapi sang arung matoa melindungi La Maddukelleng dengan berkilah bahwa sang pelaku sudah tidak ada di Wajo. Meski begitu, La Maddukelleng tetap khawatir Bone akan menyerang Wajo hanya demi mencari dirinya, sehingga ia pun memutuskan untuk meninggalkan Wajo.

Petualangan di perantauan

Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ mengisahkan bahwa sebelum La Maddukelleng berangkat merantau, sang arung matoa menanyakan padanya apa saja bekal yang ia bawa. La Maddukelleng menjawab bahwa bekalnya ialah kelemahlembutan lidahnya, ketajaman pedangnya, dan ujung kemaluannya. Ketiga hal ini lazim disebut sebagai tellu cappaʼ ("tiga ujung") dalam falsafah Bugis. Secara harafiah tiga cappa (ujung) itu disebutkan Cappa lila (ujung lidah), Cappa Kawali (ujung badik), dan Cappa Katawang (Ujung kelelakian). Secara kiasan masing-masing berarti kecakapan dalam diplomasi, keberanian dan kekesatriaan, serta jalinan pernikahan. Tiga-tiganya itulah yang dianggap sebagai kekuatan utama seorang perantau (Bugis: Passompe'). Sepanjang kariernya di perantauan, ketiga-tiganya dimanfaatkan oleh La Maddukelleng dengan sangat efektif untuk memenuhi misi dan ambisi politiknya.

Pada masa pemerintahan Arung Matoa La Salewangeng (menjabat 1715–1736), perdagangan Wajo berkembang pesat dengan dukungan dari komunitas rantaunya di seluruh Nusantara..Ketika La Maddukelleng meninggalkan Wajo, ia mengunjungi komunitas-komunitas rantau sampai ke Johor. Di sana saudara tuanya Daeng Matekko terlibat dalam perang Johor antara Sultan Sulaiman (Raja Johor) yang dibantu Opu Lima Bersaudara dengan Raja Kecil dari Siak. Kakaknya dan perantau-perantau Wajo memihak Raja Kecil. Perang dimenangkan oleh Sultan Sulaiman bersama Daeng Parani bersaudara. Tapi ia sampai di Johor di saat perang telah usai. Meski demikian, bersama pasukannya ia membuat keonaran di sekitar Selat Malaka sebagai pelampiasan kemarahannya atas tewasnya kakaknya dalam perang tersebut. Ia digelari Gora'e (penyamun Laut). Namun ia tidak lama di sana. Ia kembali ke Selat Makassar dan menjadi penguasa tidak resmi beberapa pulau kecil dan pesisir. Ia kerap terlibat bentrok dengan Belanda VOC yang sangat dibencinya. Ia membuat Selat Makassar sebagai tempat tidak aman bagi kapal-kapal yang melintas terutama kapal dagang VOC. Belanda kemudian memberinya gelar sebagai Raja Bajak Laut dan terus memburunya.

Melalui kapal-kapal rampasan dan upeti-upeti, ia membangun armada besar yang dibelinya dari orang-orang Inggris sebelum akhirnya menetap di Muara Kandilo Paser, Kalimantan Timur. Di sana, ia membangun diplomasi yang baik dengan Sultan Pasir dan tidak butuh waktu lama untuk menjadi salah satu orang paling berpengaruh dalam perniagaan dan politik setempat, Ia kemudian mampu menikahi putri dari penguasa Paser. Saat Sang Sultan wafat, ia menunjuk puterinya sebagai calon pengganti sultan. Namun, terjadi perselisihan dengan beberapa bangsawan dan perwira Pasir soal pewarisan tahta. Terjadi banyak penolakan. La Maddukelleng mengartikannya sebagai pembangkangan titah sultan. Ia bersama pasukannya dan orang-orang Pasir pendukung Andin Anjang, istrinya, terlibat perang pada pertengahan 1720-an. Ia memenangkan perang secara mutlak. Secara de jure, istrinya menjadi Ratu Pasir namun secara de facto La Maddukelleng lebih banyak yang disebut sebagai Sultan Paser. Pasukan La Maddukelleng kemudian dikirim untuk menyerang Kutai karena penguasanya menolak menyerahkan orang-orang Paser yang melarikan diri ke sana. Tapi mengingat persahabatan yang telah terjalin sebelumnya, ia mengampuni para pelarian ke Kutai. Para pemberontak banyak yang ketakutan melarikan diri ke gunung, sementara yang tersisa di kota ditawan.La Maddukkelleng bersama istrinya memimpin Paser sampai 1738.

Selain membuat persekutuan berdasarkan pernikahan dengan penguasa setempat, La Maddukelleng juga bergiat menyokong komunitas-komunitas rantau Wajo di Kalimantan Timur. La Maddukelleng menjalin komunikasi yang baik dengan Sultan Kutai yang telah memberi pemukiman kepada perantau-perantau Wajo di Samarinda. Jauh sebelum La Maddukkelleng merantau, telah ada pemukim orang-orang Bugis yang mendirikan perkampungan baru di Samarinda di bawah legitimasi kesultanan. Mereka dipimpin seorang panglima Wajo yang merantau usai kekalahan di Perang Makassar bernama La Mohang Daeng Mangkona. Ia merupakan pendiri kampung Bugis Samarinda di tepi wilayah muara Sungai Mahakam yang strategis. Dari Sultan Kutai, ia memperoleh hak monopoli atas barang-barang ekspor dari pedalamanMmkk (seperti emas, kapur barus, damar, rotan, hingga lilin lebah) dan hasil laut seperti cangkang penyu, agar-agar dan teripang. Komunitas Bugis Samarinda juga memperoleh hak monopoli atas impor beras, garam, rempah, kopi, tembakau, opium, tekstil, besi, senjata api, hingga budak. Masyarakat Wajo di Kutai bahkan diperbolehkan memiliki pemerintahan sendiri, dengan seorang pemimpin yang digelari pua ado (Bugis: Puang Ade' _Pemangku Adat) serta sebuah dewan perwakilan yang beranggotakan para nakhoda dan pedagang kaya-raya.

La Maddukelleng saat di Johor mendapat kabar bahwa kakaknya, Daeng Matekko yang awalnya menetap di Matan, Kalimantan Barat, sebelum turut serta dalam konflik kekuasaan antara orang-orang Melayu, komunitas Bugis Riau, serta Raja Kecik dari Minangkabau. Pada perang yang dimenangkan Sultan Sulaiman itu membuat kakaknya, Daeng Matekko, ditewaskan oleh To Passarai (paman Arumpone Batari Toja) di Selangor. Sepanjang hidup La MAddukkelleng mengejar To Passarai dan berhasil merampas harta benda yang dirampasnya dari kakaknya. Sebagian catatan lontara menyebutkan bahwa La Maddukelleng membunuh To Passarai, tetapi ada pula yang menyebut bahwa ia hanya menyergap dan merampas harta To Passarai. Sejarawan Kahtryn Anderson Wellen berpendapat bahwa kolaborasi kedua kakak-beradik ini tidak hanya menunjukkan rekatnya persaudaraan mereka, tetapi juga sentimen permusuhan mereka terhadap Bone, yang tetap bertahan bahkan dalam perantauan sekalipun.

Dalam pertempuran-pertempurannya, La Maddukelleng dibantu oleh seorang kapitan laut bernama To Assa. Dia ini adalah panglima paling diandalkannya selain Cambang Balolo, Puanna Dekke, Puanna Pabbola dan lainnya. La Banna adalah tulang punggung La Maddukkelleng, ia pula yang memimpin pasukan La Maddukelleng dalam penyerangan ke Paser. Ia juga sempat menyerang Banjarmasin pada tahun 1730, walaupun armadanya berhasil dipukul mundur. Meski sempat berpisah dengannya, namun pada awal 1735, La Maddukelleng dan La Banna To Assa bergabung kembali untuk panggilan perang dari Wajo untuk membebaskan Wajo dari Bone dan Belanda. Kehadiran armada La Maddukelleng di pesisir Sulawesi meresahkan Belanda sehingga mereka mencoba menghadangnya di laut, tetapi La Maddukelleng berhasil lolos. Bahkan ia banyak memenangkan perang dengan Belanda.

Kembali ke Wajo

Melemahnya hegemoni Bone di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-18 membuat Wajo mampu memperluas jaringan perdagangannya tanpa halangan yang berarti. Hubungan antara komunitas rantau Wajo dan tanah airnya pun tumbuh semakin erat, dan mencapai puncaknya sewaktu La Maddukelleng pulang kembali ke Wajo pada tahun 1730-an. Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ secara khusus menyebut bahwa Arung Matoa La Salewangeng mengirimkan utusan ke Paser pada 1735 untuk meminta La Maddukelleng pulang, karena Wajo sudah siap baik secara finansial maupun militer bila mesti menghadapi Bone. Walaupun begitu, beberapa riwayat menyebut bahwa La Maddukelleng pulang atas keinginan sendiri.

La Maddukelleng berangkat menuju Sulawesi beserta sejumlah besar pasukan dari Paser. Pada Desember 1735, ia tiba di perairan Majene disertai armada 40 kapal dan terlibat konflik dengan Arung Lipukasiʼ (dari Tanete) serta Maraʼdia Balanipa. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa pasukan La Maddukelleng pimpinan To Assa berhasil dipukul mundur. Ia kemudian merampas perahu milik seorang dari Mangngarancang (Tanete) dan berlayar menuju Binuang, tetapi pada Februari 1736 ia disergap dan 12 pengikutnya terbunuh, sehingga ia mundur lagi ke selatan menuju Puteanging. Riwayat lain menyebut bahwa La Maddukelleng memenangkan pertempuran di Mandar setelah pengepungan selama 75 hari. Sebagai pembalasan atas penyerangan terhadap To Assa, La Maddukelleng pun merampas harta orang-orang Binuang serta menyerang pemukiman-pemukiman di sana.

Setelah itu, La Maddukelleng menuju Sabutung dan menyerang dua pulau di sekitar Makassar pada bulan Maret. Kemudian ia meneruskan perjalanan hingga tiba di Bone. Pada awalnya, ia hendak menuju pusat Wajo melalui muara Sungai Cenrana (yang dikuasai oleh Bone), tetapi karena armadanya tidak diperbolehkan masuk, ia melanjutkan perjalanan ke utara menuju Doping di pesisir timur Wajo. Di sana ia menunggu selama 40 hari, sebelum diperbolehkan turun dari kapal bersama ratusan orang pasukannya pada Mei 1736. La Maddukelleng kemudian berangkat menuju Sengkang, dan mendapatkan banyak pengikut baru dalam perjalanannya, sehingga jumlah pasukannya mencapai lebih 1000 orang ketika sampai di Sengkang. Persekutuan Tellumpoccoe kemudian mengadakan sidang di Tosora untuk membahas tuduhan-tuduhan kejahatan yang diajukan oleh Bone terhadap La Maddukelleng, tetapi ia kemudian dibebaskan dari segala tuduhan setelah menyampaikan pembelaannya. Menurut Wellen, terbebasnya La Maddukelleng dari tuduhan kemungkinan juga dipengaruhi oleh kekuatan yang ia miliki saat itu.

Masa kepemimpinan di Wajo

Pembebasan Wajo

Atas permintaan Arung Matoa La Salewangeng, La Maddukelleng berangkat meninggalkan Sengkang. Ia pun menuju Peneki dan dilantik sebagai arung di sana. Ia kemudian meminta agar orang-orang Bone meninggalkan wilayahnya, sehingga memicu konflik terbuka. Pasukan Bone pun mengepung Peneki untuk menangkap La Maddukelleng. Berita pengepungan ini sampai di Gowa pada tanggal 5 Juli 1736. Konflik semakin meluas ketika Bone tidak hanya menyerang wilayah Peneki saja, tetapi juga membakar pemukiman di wilayah Wajo yang lain. Aksi ini menyulut kemarahan orang-orang Wajo, sehingga banyak di antara mereka yang turut membantu La Maddukelleng melawan pasukan Bone.

Pada saat yang sama, Belanda yang merupakan sekutu utama Bone mesti menghadapi pemberontakan di wilayah Marusu yang dipimpin oleh Karaeng Bontolangkasa (sekutu dekat La Maddukelleng) dan Arung Kaju. Perhatian Belanda pun terpecah, meski mereka tetap membantu Bone dengan mengirimkan persenjataan serta sekelompok kecil pasukan di bawah pimpinan Kapten Steinmetz.

Penilaian dan peninggalan sejarah

Sebagai penghargaan atas perlawanan La Maddukelleng terhadap Belanda, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional baginya pada tahun 1998. Meski begitu, menurut Wellen, gambaran La Maddukelleng sebagai tokoh "purwa-nasionalis" yang "berjuang melawan Belanda tanpa kenal lelah dan pamrih" tidak sepenuhnya didukung oleh sumber-sumber sejarah semasa. Naskah Bugis tentang pertemuan demi membahas kejahatan-kejahatan La Maddukelleng, misalnya, menggambarkan dirinya sebagai "penghasut perang" yang "tidak mengindahkan persatuan Tellumpocco". Bahkan, ia mungkin saja telah membunuh lebih banyak orang sedaerahnya ketimbang orang Belanda. Tapi fakta lain menyebutkan La Maddukkelleng telah diberi gelar oleh kerajaan Wajo sebagai Petta Pammaradekaingngi Wajo cukup gambaran betapa ia telah berhasil mengalahkan Bone dan Belanda yang saat itu menguasai Sulawesi Selatan.

Terlepas dari itu, kenyataan bahwa kisah La Maddukelleng dapat ditemukan dalam sejumlah besar catatan sejarah Bugis menunjukkan bahwa ia merupakan seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam imaji orang-orang dari daerahnya.[45] Bagi orang-orang Wajo, La Maddukelleng berjasa dalam memerdekakan negeri mereka dari kekangan Bone dan Belanda. Tradisi Wajo amat menjunjung tinggi nilai kemerdekaan, termasuk di antaranya kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan bepergian, dan kemerdekaan dari hukuman yang tidak adil; hak-hak yang tidak dapat terpenuhi dengan sempurna setelah kekalahan Wajo dalam Perang Makassar. Karena itu, orang-orang Wajo memandang "pembebasan" tanah air mereka dari dominasi Bone yang diprakarsai oleh La Maddukelleng sebagai penegakan kembali atas hak-hak kemerdekaan ini. Namun, begitu pula sebaliknya, ketika La Maddukelleng mulai bersikap arogan dengan tidak mengindahkan pendapat rakyatnya, ia dianggap sebagai ancaman bagi kemerdekaan orang-orang Wajo.

Di Kalimantan Timur, tradisi sejarah setempat menekankan persekutuan melalui ikatan kekerabatan antara La Maddukelleng dan bangsawan Paser alih-alih mengingat konflik yang melibatkan kedua pihak. Ikatan perkawinan sebagaimana bekal falsafah tiga ujung yang dipegang oleh La Maddukkelleng ternhyata efektif merekatkan sejarah tiga kerajaan, Wajo, Kutai dan Paser. Dari pernikahannya dengan Andin Anjang Ratu Paser, ia memiliki puteri yang kemudian dinikahkan dengan Sultan Kutai Aji Muhammad Idris. Tradisi lokal dari pernikahan-pernikahan ini menempatkan La Maddukelleng sebagai leluhur bagi para sultan Kutai sejak Aji Muhammad Muslihuddin|Aji Imbut menjadi Sultan Kutai. Ia adalah cucu La Maddukkelleng, putera Sultan Aji Muhammad Idris dan dibesarkan di Wajo. Walaupun sebagian detail dari tradisi-tradisi ini tidak bersesuaian dengan beberapa Belanda, namun fakta-fakta bahwa menantunya, Aji Muhammad Idris, Sultan Kutai yang ikut berperang membantu mertuanya dan kemudian gugur di medan laga, dan kemudian dikuburkan di Wajo memberi penegas hubungan yang sangat kental antara Wajo dan Kutai waktu itu. Tradisi-tradisi lain juga menggambarkan besarnya pengaruh perantau Wajo seperti La Maddukelleng pada masyarakat di kawasan tersebut. (Nusantara Jaya) 

Senin, 08 April 2024

PROF. QURAISH SHIHAB DI MATA PROF. WAJIDI SAYADI

GURU DAN PANUTAN UMAT DAN BANGSA
PENUH RENDAH HATI, MODERAT DAN IKNLUSIF

Oleh: Wajidi Sayadi

Hari Jumat tanggal 16 Pebruari 2024 adalah momen spesal bagi Guru Besar kita, Guru dan Panutan Umat dan Bangsa, Bapak Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, MA. Genap berusia 80 tahun. 

Beliau lahir di Rappang Sulawesi Selatan
16 Pebruari 1944. 

Kami mengucapkan Selamat dengan iringan doa semoga panjang umur selalu dalam keadaan sehat wal afiyat bersama sekeluarga. Tuntunan, pencerahan dan panutannya bagi umat dan bangsa ini sangat diperlukan. 

Suatu saat ketika mengikuti kuliah Tafsir Al-Qur'an, Beliau menjelaskan tafsir suatu ayat dalam al-Qur'an dengan beberapa penafsiran para ulama yang berbeda-beda dengan argumentasi setiap pandangan ulama di setiap generasi masing-masing. 
Ketika ditanya, mana penafsiran yang lebih bagus. 
Beliau menjawab, semua penafsiran bagus selama memenuhi kaedah tafsir. 
Boleh jadi, semuanya mempunyai kelebihan sekaligus mempunyai kekurangan masing-masing. 
Saya tidak punya kapasitas untuk menilai dan menghukumi mereka, apalagi sampai menyalahkan. 

Kata Beliau: “Hormati semua pendapat walaupun Anda tidak sependapat."

Pengalaman saya belajar kepada Beliau, sangat berkesan didikannya adalah ke-Tawadhu-an, rendah hati, tidak merasa sangat pintar, sangat mengerti segalanya. Tutur kata dan bahasanya sederhana mudah dicerna dan dipahami. Bahkan terkadang, Beliau tanya, apakah sudah paham atau belum? 
Apabila ada yang menjawab, belum, Beliau mengulanginya dengan mengambil contoh dan ibrah lainnya yang dianggap lebih mudah.

Hal ini juga tampak dalam sikap dan perilaku Beliau sangat ramah, murah senyum, mudah bergaul dengan siapa pun termasuk dengan murid dan mahasiswanya sendiri dilayani tanpa membedakan dengan yang lainnya. 
Pribadi mulia sangat senang, menyenangkan, dan mengesankan 

Sekitar tahun 2005 ketika sedang penelitian Disertasi, di Perpustakaan Pusat Studi Al-Qur'an (PSQ) Yayasan Lentera Hati di Jakarta milik Prof. M. Quraish Shihab, saya menemukan Tafsir Al-Qur’an al-Karim Juz ‘Amma karya Syekh Muhammad `Abduh. Judul tafsir ini ditulis tangan, oleh pemiliknya yaitu as-Sayyid `Abd ar-Rahmân ibn `Ali ibn Syihâb ad-Dîn al-`Alawî al-Husainî. 
Pemilik kitab tafsir ini adalah ayah Prof. Dr. M. Quraish Shihab. 
Berdasar pada catatan ini diketahui bahwa sebenarnya Beliau adalah Sayyid Muhammad Quraish Shihab, hanya saja Beliau tidak mau menuliskan nama lengpaknya seperti ini. 

Boleh jadi ini salah bukti rasa ke-tawadhu-an Beliau. 

Salam Hormat, Penuh Ta’zhim untuk Beliau 
Semoga Panjang Umur, selalu dalam sehat wal afiyat sekeluarga terus produktif dengan segudang karyanya untuk umat dan bangsa.

Pontianak, Jumat, 16 Pebruari 2024

Minggu, 07 April 2024

PROF. QURAISH SHIHAB DIMATA PROF AHMAD M. SEWANG


PROF. DR. H.M. 0URAISH SHIHAB, M.A. DI PENTAS MUBALIG

FOOTNOTE HISTORIS:
By Ahmad M. Sewang 

Prof. Quraish Shihab, seorang cendekiawan Muslim terkemuka di Indonesia, juga sering tampil di pentas mubalig. Dengan keilmuannya yang luas dalam bidang agama dan ke ahlianya di bidang ilmu tafsir Al-Quran, beliau memberikan ceramah dan kuliah yang mendalam tentang ajaran Islam serta nilai-nilai spiritual. Prof. Quraish Syihab sepanjang bulan Ramadan ini tampil di Metro tv membawakan pengantar berbuka puasan, dengan judul, "My Shariah First." Quraish Shihab adalah keluarga terpelajar, bapaknya 
Prof. Abdurrahman Syihab juga seorang ulama dan mantan Rektor IAIN Alauddin Makassar yang dhormati. 

Saya bersyukur karena selama
diamanahkan sebagai Direktur PPs UIN Alauddin Makassar saya menemani beliau dan manfaatkan kepintaran beliau tenagai dosen Tafsir dan mubalig di DPP IMMIM. Beliau adalah doktor pertama tafsir di al Azhar University untuk Asia Tenggara. Jadi beliau dikenal talenta sebagai ulama mufassir, pendidik, dan mubalig. Sebagai mubalig ia  menembus segala lapisan masyarakat; mulai dari Presiden sampai ke umat lapisan bawah. Beliau juga dikenal moderat dalam membawakan materi dakwahnya disertai bahasa santun. Saya manfaatkan kesempatan menemani beliau dengan banyak belajar.  Menurut pengalaman almarhum Prof. Syuhudi Ismail yang pernah menjadi mahasiswanya, "Jika ada pertanyaan dari mahasiswa pada Prof. Quraish Shihab yang levelnya agak tinggi, beliau menjawab lebih tinggi lagi, sebaliknya jika pertanyaannya itu rendah, maka jawabannya juga diturunkan," kata Syuhudi suatu waktu pada penulis. Jadi kemampuan penyesuaian diri yang tinggi, membuat beliau surviva sampai kini. Saya juga pernah belajar pada beliau beberapa semester dalam mata kuliah tafsir dan hadis di PPs IAIN Syarif Hadayatullah Jakarta.

 Prof. Quraish Shihab tampil di berbagai kesempatan telah menginspirasi dan memberikan pemahaman mendalam tentang ajaran Islam pada masyarakat Indonesia.

Wasalam,
Kompleks GPM, 8 April 2024

Senin, 01 April 2024

AHMAD M. SEWANG || DARWIS HAMZAH YANG SAYA KENAL


MUH. DARWIS HAMSAH YANG SAYA KENAL
(Disampaikan pada Hari Haul almarhum 2 April 2024)

Di dunia Barat lebih banyak dikenal Harlah atau Peringatan hari lahir seseorang, untuk mengingatkan hari lahir seseorang dan apa yang perlu dilakukan dalam memaknai hari lahir itu. Sedang di kalangan masyarakat muslim yang banyak dilakukan hari Haul (Hari ulang Tahun Kematian Seseorang). Haul almarhum untuk mengingatkan jasa apa yang perlu diingat dan dilanjutkan yang pernah almarhum ukir dimasa hidupnya yang perlu dilanjutkan dan dikembangkan.

Semakin banyak jasa seseorang berbanding lurus dengan panjangnya waktu hari haul itu. Baru-baru ini DPP IMMIM memperingati satu abad H. Padli luran karena beliau dianggap meninggalkan jasa besar, yaitu perlunya persatuan umat di tengah-tengah masyarakat sedang berpecah belah dalam masalah furu. Perpecahan umat itu telah berlangsung sepanjang sejarah dimulai setelah era Nabi saw., yaitu terutama di era khulafah al Rasyidin. Jika Nabi berhasil mempersatukan umat pada Periode Madinah dari masyarakat yang hidup berkabilah-kabilah ke masyarakat ukhuwah. Di masyarakat sebelum Nabi mereka bangga hidup dalam berkabilah dan bersuku-suku. Sekarang di masyarakat Nabi bangga hidup dalam masyarakat ukhuwah atau persaudaraan, baik persaudaraan sesama muslim, persaudaraan sesama umat, dan persaudaraan sesama satu bangsa. Mengingat masyarakat yang dibangun Nabi di Madinah adalah masyarakat plural yang penduduknya berbagai agama: Islam, Yahudi, Kristen, dan paganism atau penyembah berhala. Masyarakat Madinah hidup bersuku-suku;  yaitu Hasraj  dan Aus. 

Mengingat jasa besar Nabi itu, maka setiap tahun diperingati Haulnya yang kita kenal Maulid. Walaupun disebut maulid artinya hari lahir, tetapi yang diperingati bukan hanya hari lahir tetapi meliputi seluruh perjuangan Nabi dari lahir sampai wafat. Kita baru saja memperingati hari maulid Nabi ke 1445 H.

Sekarang Muh. Darwis Hamsah muncul pertanyaan, apa jasa besar yang beliau tinggalkan? Almarhum di samping sebagai Ketua IMMIM Cabang Polmas juga sebagai Ketua SI Cabang Polmas. Beliau meneruskan perjuangan dan cita-cita Guru bangsa HOS Tjokroaminot yaitu:
Het hoogste kennisniveau, puur als puur monotheïsme, is net zo slim als slimme tactieken (Belanda).
“Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.”
Pesan ini sengaja saya tulis, walaupun aslinya dari  Tjoroaminoto. Tetapi saya langsung terima dari almarhum.
1. Setinggi-tinggi ilmu maksudnya jika ingin selamat dunia dan akhirat, maka milikilah ilmu pengetahuan (kata Ali bin Abi Thalib), 
2. Semurni-murni Tauhid, anda tidak akan pernah tersesat selama-lamanya, sedang,
3. Sepintar-pintar siasat, agar kita tidak pernah tertipu di dunia terutama politisi yang tidak bermoral. Inilah pesan universal yang langsung saya terima dari beliau ketika pelatihan di PGA Yapis Polewali saat itu, perlu diteruskan untuk generasi masa kini.

Wasalam,
Kompleks GPM, 2 April 2024

Rabu, 27 Maret 2024

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (10 - Selesai)

By Ahmad M. Sewang

Pilihlah sahabat yang mampu membawa prospektif ke depan. Sejak kecil saya berusaha bersahabat yang menurut saya bisa membimbing ke arah lebih positif tanpa memandang firqah keagamaan yang dianut. Karena itu berbagai kajian  saya ikuti, mulai PII, SEPMI,  IPNU, IPM. 

Berpikir secara positif, selalu ada rezikonya, apalagi berpikir negatif. Suatu ketika teman-teman NU, mengetahui bahwa saya mengikuti kegiatan di SEPMI, saya dipanggil ketua Majlis Syariah NU K.H. Muhsin Tahir dan ditanya, "Kenapa ikut SEPMI? Saya jawab dengan polos bahwa mereka juga muslim. Kemudian beliau menegur saya bahwa jawaban itu sudah mulai salah. Tetapi itulah pandangan apa adanya saat itu.

Beda ketika mulai kuliah di Makassar, saya tidak lagi aktif di organisasi  mainstrem melainkan di pengajian kitab kuning seperti di KH Mustari Pasar Terong dan di masjid Raya Makassar. Selain itu, saya aktif di pengajian Aqsha dan di DPP IMMIM. Pengajian Aqsha adalah umumnya menghimpun para dokter yang ingin belajar agama. Di pengajian ini sangat terkenal ketika itu. Ia satu level dengan pengajian Salahuddin UGM dan ITB Bandung. Ia pernah dikunjungi Prof. Buya Hamka, Prof. Yagub Vredenberg dari Belanda, Prof. Nurchalis Madjid, Prof. Baharuddin Lopa, Prof. Harun Nasution, dan hampir semua tokoh populer dari IAIN, IKIP, UNHAS, dan UMI pernah jadi nara sumber di pengajian ini . Di sini saya bergabung sebagai sekertaris harian. 

Menurut penelusuran buku tentang fikih persaudaraan yang saya tulis bahwa Nabi di antaranya yang berhasil mempersaudarakan kaum Muslim dari masyarakat Arab sebelumnya dalam sistem kabilah mengubahnya kepada sistem ukhuwah. Setelah Nabi wafat sistem gabilah ini kembali lagi kambuh terutama di masa khalifah Usman yang disebut dalam sejarah alfitnatul kubah yang diterjemahkan dalam bagasa Indonesia Malapetaka Besar, disebut demikian karena masih berlangsung dalam lintasan sejarah sampai sekarang. Lihat saja kondisi umat sekarang orang lebih suka bertengkar dari pada bersatu hanya masalah furu. (Habis)

Wasalam,
Kompleks GPM. 28 Maret 2024

Selasa, 26 Maret 2024

MEMOAR SYAHRIR HAMDANI

Adi Arwan Alimin

Saya mengenal beliau sejak tahun 1992. Terkesima melihat pemuda gagah dan cerdas yang menjadi ketua panitia Kemah BAKTI Pemuda se-Sulsel di pegunungan Tompo, Barru Sulawesi Selatan.

Rupanya anak muda dari Polewali. Kami yang datang berkemah di acara itu membicarakannya sebagai figur panutan. Hingga mengenalnya lebih dalam sejak fase perjuangan pembentukan Provinsi Sulbar tahun 2000-an.

Saat itu Syahrir Punggawa Gema Kosgoro Sulsel, saat itu Ibnu Munzir Ketua KNPI Sulsel. Jabatan organisasi kepemudaan level tinggi, hal tak mudah bagi orang yang lahir dari daerah marginal kala itu.

Buku ini merekam sepak terjangnya sejak remaja, aktivis kampus Unhas, juru lobi Sulbar di Senayan hingga hari ini. Ada masa di mana dia menangis mengisahkan getirnya kehidupan di masa kecilnya.

Baca buku ini bila ingin belajar tentang hakikat hidup sebagai pejuang. Sebagai lelaki tanggung menantang badai.

Senin, 25 Maret 2024

SELAMAT JALAN BANG SYAM

Adi Arwan Alimin 

Innalillahi wainna ilaihi rajiun
Selamat jalan Kak Syamsuddin Idris. Beliau akrab dalam sapaan Bang Syam sebagai salah satu abang senior kami di Wonomulyo.

Saya mengenalnya sejak puluhan tahun lalu, saya seletting adiknya di SMP 1 Wonomulyo. Kami tetanggaan, rumah kami diantarai ledeng dan trans Sulawesi.

Sosok ini amat familiar. Selalu fokus pada isu apapun yang berkaitan kepentingan orang banyak. Jejak juangnya tercatat dalam proses perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat, juga apa yang sedang ditunggu rakyat banyak: Kabupaten Balanipa.

Saya bersaksi Bang Syam Orang Baik. Telah menjadi Kakak, Sahabat bahkan sparring pada beberapa wacana kerakyatan. Bila dihitung-hitung rahimahullah lebih banyak menelepon ke saya, dibanding saya yang menghubunginya. Ini menandaskan beliau lebih care, lebih sayang. 

Saya bahkan sering membiarkanya memberi kritik diam-diam via telepon. Saya menganggapnya abang jadi patuh mendengarnya. 

"Jangan berhenti bergerak, lakukan sesuatu bagi kepentingan orang banyak." Dan, kita tidak pernah tahu selama ini rupanya dia banyak mengurusi anak-anak pesantren, dan masjid. 

Hari ini, setelah melewati sahur, Allah memanggilmu pergi saat matahari baru beranjak dari Syuruq. Bang Syam engkau hanya 'mudik" lebih awal Ramadan Ini. 

Di sini kami menangisi segala budi baikmu. 
Innalillahi abang Syam.

Mamuju, 25 Maret 2024
~DengAdi~

Minggu, 24 Maret 2024

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (7)

By Ahmad M. Sewang

Sejak pertama kali
menginjakkan kaki di PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1986 sudah menggariskan sebuah kaidah sebagai pedoman hidup dalam beragama bahwa semua mazhab, aliran, dan organisasi dalam Islam sepanjang secara tulus berpegang pada al Quran dan hadis sebagai premis utama, mereka itu adalah saudara sesama muslim yang tidak bisa dikeluarkan dari Islam, sekali pun berbeda firqah. Menurut yang saya pahami sampai sekarang kaidah tersebut terus dikembangkan di PPs PTKIN seluruh Indonesia.

 Umat masih terperangkap dengan sekat-sekat sempit yang diciptakannya sendiri. Mereka menganggap dirinya sendiri dan kelompoknyalah paling benar, sedang kelompok lain tidak ada benarnya. Klaim kebenaran inilah membuat stagnan umat berabad-abad. Sebagai contoh, saya sendiri mengalaminya. Pernah dalam sebuah seminar saya mengutip pendapat seorang ilmuwan, Dr. Firanda Andirja Abidin, Lc., M.A., Alumni universitas Madinah, kemudian segera mendapat teguran dari salah seorang peserta yang justru sudah menyandang gelar professor riset. Alasaannya,  melarang mengutip ilmuwan itu karena dia berfaham Wahhabi. Menurut saya, tidak semua ajaran Wahabi negatif yang harus dihindari, tetapi sebaliknya ada pula positif. Di antara jasa besar Dr. Firanda adalah satu-satunya orang Indonesia dipercaya pemerintah Arab Saudi membawakan pengajian di Masjid Nabawi dalam bahasa Indonesia, dan membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa ke dua di Arab Saudi. Saya mengenal beliau ketika di Madinah. 

Karena itu umat harus memiliki kemanpuan selelktif kepada pendapatnya yang positif. Pendapatnya yang negatif tentu tidak perlu diterima. Sebaliknya tidak semua  pendapat kelompok sendiri lebih baik dibanding dengan yang lain. Bahkan pendapat sendiri bisa ditolak jika membawa mudarat atau bikin  keonaran dalam masyarakat. Masih ada sebagian masyarakat muslim lebih leluasa mengutip pendapat ilmuwan non Muslim daripada sesama muslim sendiri hanya karena beda mazhab. Seperti saya temukan pada sebuah komunitas Muslim Indonesia di pinggiran kota Melbeurne, Australia. Mereka sengaja kami datangi bersama Zamahsary Dzafir dan kawan-kawan lainnya. Komunitas tersebut sementara mengajarkan Tafsir al Misbah, karya Prof. Quraish Shihab. Ketika saya tanyakan kelebihan dan kekurangan tafsir itu. Menurutnya, kelebihannya terletak pada bahasa yang digunakan, lebih mudah diterima masyarakat Muslim Indonesia di Melbourne, tetapi kekurangannya, karena penafsirnya banyak mengutip pendapat al-Tabataba'i, sedang at-Tabataba'i adalah penganut mazhab Syiah. Namun, setelah saya tanyakan pada Prof. Quraish Syihab setiba di Indonesia, beliau menjawab, kenapa jika mengutip pendapat Plato, Agustinus dan Goerge Sarton tidak dimasalahkan? Mendengar itu, saya terdiam tak menjawab. Seperti halnya, di Unhas saya sering diundang menguji di universitas ini. Mereka sering mengutip pandangan Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Ibn Khaldun. Bagi Unhas pendapat siapapun yang relevan harus diakomodir, tetapi sebaliknya, walaupun pendapat sendiri jika tidak relevan, apalagi bikin kacau masyarakat, maka hindari jangan dikutip.

Mengutip pendapat mazhab lain bukan berarti sesuatu yang terlarang, seperti mengutip pendapat non muslim langsung menjadi non muslim juga, melainkan menunjukkan keberanian menembus batas demi memperluas wawasan, seperti pendapat Prof. Quraish Shihab, "Semakin luas wawasan seseorang ilmuan berbanding lurus dengan sikap keterbukaan dan ketidakfanatikan pada seseorang." Ini juga menunjukkan kebesaranng hati dan penghormatan pendapat sesama muslim walau beda mazhab. Ketiga, pendapat lain dikutip karena dianggap lebih relevan dan lebih kontektual. Terkadang ada sebagian orang karena fanatik pada paham mazhabnya, membuat mereka terperangkap pada sekat-sekat sempit yang diciptakannya sendiri. Sehingga mereka tak peduli lagi pada pandangan ulama lainnya. Grand al Azhar, Pimpinan Pusat Muhammadiah, Prof. Din Syamsuddin dan almarhum mantan Ketua PB NU, KH Hasyim Muzadi serta 150 ulama se dunia, mereka ikut menyetujui risalah Amman. Salah satu  keputusannya bahwa tidaklah adil jika melakukan generalisasiasi pendapat satu kelompok kecil dari Sunni atau Syiah, kemudian dinisbahkan secara keseluruhan ke seluruh mazhab itu. Inilah sebuah kesalahan fatal dan salah satu faktor rumitnya membangun persatuan umat.

Keengganan bergabung secara struktural pada organisasi mainstream dimaksudkan agar bisa menjadi media untuk mempersatukan umat walau pada skala kecil seperti IMMIM. Sebagai mantan ketua umum  DPP IMMIM saya telah berusaha menghimpun anggota tanpa memandang latar belakang mereka. Bahkan saya bisa menikmati bergaul dengan sahabat-sahabat yang berbeda latar belakang organisasi tersebut. Saya pun patut bersyukur karena keinginan itu saya bisa inpelementasikan dengan menulis sebuah buku di tengah  era masih timbulnya perbedaabn. Buku itu berjudul, "Persatuan Islam dan Saling Menghargai Perbedaan." Buku itu berkesimpulan kita hanya bisa bersatu bila siap menghargai perbedaan dalam masalah furu'. Sebab perbedaan semacam ini adalah sunatullah, sebuah kekayaan dan rahmat untuk umat. dalam usaha berfastabiqul khaerat. Karena itu organisasi Islam mana pun mengundang saya dalam pengembangan Islam saya hadiri. Saya pernah diundang di kantor NU Wilayah untuk berbicara pengembangan dakwah ke depan dan saya pun penuhi. Sekarang saya diundang jadi dosen PPS, pembina mata kuliah Studi Peradaban Islam di Universitas Muhammadiyah Makassar. Saya pun menjalankan tugas itu dengan senang hati. Jadi dalam masalah akademik pasti saya penuhi pada setiap undangan, termasuk undangan seminar di HMI walau tidak pernah di kader di organisasi ini. Beberapa tahun lalu saya diundang berceramah di Unismu dan juga saya ladeni.

Akhirnya, setelah saya pulang kampung saya melihat sudah banyak perubahan yang terjadi. Sejalan dengan berjalannya waktu dan perubahan zaman. Semakin panjang bentang waktu melihatnya, semakin banyak terlihat perubahan itu. Kehidupan di kampung sudah hampir sama dengan di kota. Bahkan tidak lagi seragam paham keagamaan, tetapi sudah mulai transisi ke arah beraneka ragam. Hal ini karena sudah mulai beberapa keluarga anaknya dikirim ke kota untuk belajar. Mereka ini yang membawa paham baru ke kampung. Muhammadiyah yang dianggap paham sesat dahulu sudah mulai dianggap sebagai teman bersama mencari kebenaran. Dalam ilmu sosial dikatakan, "Tidak ada yang tetap di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri." Dalam QS al-Rahman, 26-28, dikatakan,-
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Maka nikmat Tuhan  yang manakah yang kamu dustakan?
 Dalam ilmu budaya agama pun mengalami perubahan. Saya masih ingat waktu anak-anak, belum ada jam, radio, apa lagi tv. Beragama atau berpuasa berpedoman pada tanda-tanda alam, misalnya berbuka jika ayam sudah naik di praduan pertanda bahwa matahari sudah terbenam. Demikian pula kalau fajar sudah terbit ditandai jika ayam sudah mulai berkokok. Beragama ke depan akan mengalami perubahan.

"Sebagai tanda syukur pada-Mu ya Allah saya ingin mengucapkan terima kasih,
1. Engkau telah membukakan jalan untuk studi dan reset sampai di manca negara dan bertemu aneka macam pendapat, manusia yang cukup berarti dan memperkaya khazanah dalam menjalani samudra kehidupan. Saya berkeyakinan, andai bukan karena kehendak-Mu saya tetap tinggal di kampung seperti masyarakat kebanyakan niscaya saya akan jadi terlibat dalam professi sebagai nelayan atau petani.

2. Sebagai hamba, sepertinya merasa malu memohon lagi sesuatu yang bersifat duniawi pada-Mu, seperti panjang umur sebab jangan sampai dianggap sebagai hamba tak tahu diri dan tak tahu bersyukur, seperti Engkau firmankan secara berulang-ulang dalam QS  al-Rahman, 
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.

Wassalam,
Makassar,  25 Maret 2024

Jumat, 22 Maret 2024

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (6)

By Ahmad M. Sewang

Biasanya saya istirahat menulis pada akhir pekan, sebagai mana halnya kantor berita yang saya ikuti. Tetapi khusus hari ini saya tetap menulis, sebab hari ini bersamaan hari haul Darwis Hamsa yang saya singgung di akhir tulisan.

Saat studi di S1 Fakultas Adab IAIN Alauddin Makassar.  Sikap saya berbeda ketika di Polewali. Kecuali  aktivitas sebelumnya yang tetap saya teruskan, yaitu megikuti kegiatan pengajian kitab kuning sebagai pesan kiyai saya di kampung, seperti akttif pengajian di Masjid Raya Makassar dan Pasar Terong, K.H. Mustari, Makassar di samping rutin mengikuti kuliah. Di Makassar tidak lagi ikut pada organisasi mainstamen Islam, kecuali hanya aktif mengikuti kegiatan ormas Islam yang independent. Saya tidak ikut di NU, Muhammadiyah dan SI. Saya hanya aktif di pengajian Aqsha, Remaja Masjid dan di IMMIM. Saya masuk di IAIN Makassar tahun 1973. Jika dibuat dalam bentuk perangkatan, saya masuk angkatan ke dua setelah angkatan pertama dari Mandar sebagai as Sabiqunal Awwalun. Dari Pambusuang yang masuk angkatan pertama: Baharuddin Lopa yang mulai kuliah di Unhas tahun 1955, Basri Hasanuddin, dan Muchtar Husein. Zaman itu termasuk zaman kesulitan. Mandar masih dikuasai 7.10 dan gerombolan bersenjata. Tetapi siapa pun yang lolos dari seleksi alam dalam studi akan langsung kerja. Saya sendiri termasuk angkatan kedua dari Pambusuang. Mulai saat itu sudah ada beberapa generasi muda kampung yang pergi studi. Bisa dilihat teman SR atau Ibtidaiyah berapa yang lanjut ke Sanawiah, dan berapa lagi yang lanjut SP IAIN dan yang bisa melanjutkan ke IAIN dari sini berapa orang seangkatan yang lanjut ke Pascasarjana dan berapa orang yang bisa jadi Guru Besar. Dari sini saya bersyukur jika saya kemukakan ini semata-mata   فامابنعمة ربك فحدث  bukan sebuah kesombongan:
1. Kamilah professor pertama di UIN Alauddin suami isteri.
2. Saya termasuk orang pertama yang bisa menyelesaikan biografi dan auto biografi di UIN Alauddin Makassar.
3. Saya juga bersyukur karena termasuk al-sabiqunal awwalun menginjakkan kaki di lima benua di dunia.
4. Saya juga termasuk di antara keluarga yang Assabigunal Awwlun melakukan perkawinan exogami. Sebelumnya perkawinan umumnya indogami mengingat pergaulan masih terbatas. Sedang pergaulan keluar terbatas karena dibatasi oleh transfort yang belum semaju seperti sekarang. Bergaul di luar suku penuh kecurigaan. Beberapa orang selalu menyuruh berhati-hati, misalnya hati-hati ke Mamuju sebab mereka punya guna-guna bikin lembek kepala atau jangan ke Papua nanti di makan, mereka pemakan manusia. Dahulu perkawinan ideal adalah sepupu. Sekarang tidak ada lagi kecurigaan semacam itu, pergaulan tambah meluas pergi studi ke mana saja, ketemu orang yang berbeda suku bisa saja kawin. Dan perkawinan lebih didominasi oleh yang bersangkutan, jika dahu didominasi keluarga. Bahkan ada kecenderungan perkawinan masa kini exogami setelah pergaulan semakin meluas. Sebagai contoh perkawinan antara negara, Prof. Dr. Andi Faisal kawin dengan muslimah Prancis setelah sama-sama studi di negara Ganada.

Saya bermukim di Belanda untuk riset selama satu tahun  di Leiden, dan naik haji pertama saya bersama isteri justru dari Belanda. Sebulan penuh riset di Mesir, seminggu short riset di Melbourne, Australia.
 Karena itu ketika saya tiba di Ibu kota dunia, New York, AS, saya langsung bersyukur dan berterima kasih pada Allah swt. dengan berkata dalam hati, "Saya dilahirkan di kampung bersahaja dan bisa menyaksikan Ibu Kota Peradaban Dunia, tempat berkantor PBB, andai saya lahir di New York, mungkin s⁰aya tidak pernah tahu budaya bersahaja di kampung.

Setelah diangkat sebagai PNS dan diutus melanjutkan sekolah di Pascasajana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari sini saya mendapat pengetahuan baru dan berpendapat, "Semua paham fikih dan teologi yang muncul dalam sejarah adalah Islam selama mendasarkan diri pada al-Quran dan Hadis dengan tulus." Paham inilah yang saya bawa melanglang buana ke manca negara. Lima benua di dunia ini sudah saya tempati untuk belajar paling kurang 14 negara saya telah lewati. Saya telah menulis buku khusus tentang in dengan judul, "Rihlah ke Mancanegara." Ketika saya tiba di air port New York sebagai Ibu kota Dunia, di sana saya bersyukur pada Allah swt. sambil berdoa, "Ya Allah saya berterima kasih pada-Mu sebab saya lahir di kampung bersahaja, kemudian Engkau telah membuka mata dan hati saya melihat peradaban dunia begitu kaya dan luas bahkan pernah hidup di Leiden, Belanda, selama satu tahun. Bayangkan, jika saya tetap di kampung mungkin tetap berpaham konservatif tradisional dalam beragama. Sebaliknya, andai kata saya lahir dan hidup di New York sebagai pusat peradaban dunia, sudah pasti saya tidak paham kehidupan kampung yang bersahaja." 

Berhubung karena ada Haul Darwis Hamsa hari ini di Pesantren Jareje Pambusuang, maka kesempatan ini saya akan menyinggung sepanjang yang saya ketahui. Selama studi di Polewali saya banyak berinteraksi dengan beliau, beliau tempat bertanya apa yang tidak diketahui. Darwis Hamsa memang tidak banyak disinggung sebelumnya karena tempat kelahirannya masih kontroversi; apakah lahir di Pambusuang atau di Pulau Sabaru? 

Yang jelas beliau termasuk tokoh yang terhormat. Darwis Hamsa Ketua Partai Syarikat Islam cabang Polmas sekaligus ketua cabang IMMIM Polmas, bahkan sebagai pernah saya singgung tempat saya pelatihan SEPMI di Polewali. Beliau Pimpinan cabang PSI Cabang Polmas adalah lanjutan Syarikat Mandar yang didirakan para pedagang Mandar yang berdagang sampai di Padang yang documen photonya masih bisa disaksikan tahun 1923. Abdul Muis Pimpinan SI Pusat Jakarta duduk di tengah-tengah di kelilingi para pedagang asal Mandar, yaitu dari Pambusuang, Karama dan Tangnga-Tangnga. Barangkali photo itu masih bisa ditemukan di rumah almarhum annaguru Hawu. Photo docomen itu sangat penting dan memiliki nilai sejarah.

Ketika saya kuliah di Jakarta saya ketemu lagi almarhum Darwis Hamsa dan beliau bekerja di Pusat Lembaga Pembangunan milik Adi Sasono. Di Jakarta beliau bergabung paguyuban asal dari Lambanan di sana beliau  mengatur pelaksanaan dakwrahnya. Dari sini beliau selalu menempatkan diri orang yang bermanfaat. Dalam suasana demikian muncul  pertanyaan besar? Mengapa orang Mandar yang tergabung dalam Syarikat Islam rata-rata orang cerdas, seperti Darwis Hams, Basri Hasanuddin, Rahmat Hasanuddin, Makmun Hasanuddin, Andi Mappatunru, dan Husni Djamaluddin?

Wasalam,
Kompleks GPM, 23 Maret 2024

MAMUJU ETNIC || Tintilingang Sang Jawara

Dalam tradisi lisan masyarakat Mamuju kita sering mendengar nama Tintilingang yang menjadi sosok legenda Tobarani (jagoan) dari bumi Manakarra ini. Namanya yang kini diabadikan sebagai nama salah satu jalan di lingkungan Kasiwa di Kelurahan Binanga Kecamatan Mamuju ini bagi masyarakat penduduk asli Mamuju pasti pernah mendengar dan tahu bagaimana kisah kehebatan Sang Jawara tersebut. 

Dikisahkan bahwa sosok Tintilingang ini berpostur tubuh kecil dan berkulit hitam dan memiliki kesaktian yang tinggi dan merupakan pendekar tak tertandingi dikalangan Tobarani dikerajaan Mamuju. Tidak banyak informasi tentang sosok ini hidup di masa siapa raja yang berkuasa saat itu, kuat dugaan bahwa beliau hidup di masa kejayaan kerajaan Mamuju yaitu Maradika Tomatindo disambayanna atau Lasalaga di tahun 1500.M. 

Tintilingan hanyalah nama gelar yang disandangkan padanya yang berarti "PanTinting Talingang" yang diartikan dengan "orang yang menenteng telinga", digelar dengan Pantinting Talinga karena dikisahkan bahwa setiap telinga musuh musuh yang dikalahkan dalam perjalanannya akan dipotong dan diikat pada seutas tali dari kulit kayu kemudian dibawa pulang ke Mamuju sebagai pembuktian kepada Maradika Mamuju bahwa baginya tidak satupun jagoan mulai dari kerajaan Gowa sampai ketanah Mandar yang mampu menandingi kesaktiannya. 

Diceritakan bahwa suatu saat dimasa itu Raja Mamuju diundang oleh raja Gowa untuk datang menghadiri suatu gelaran adat di Kerajaan Gowa dan raja Mamuju pun berniat datang menghadirinya dengan membawa serta beberapa punggawa dan anggota keluarga kerajaan. 

Dan sebagai seorang punggawa kerajaan tentunya Tintilingang tidak mau ketinggalan untuk hadir, namun keinginannya itu tidak mendapat restu dari raja karena raja tahu bahwa Tintilingang punya sifat tempramen dan suka berkelahi dengan siapapun yang dianggapnya sok jagoan. Alhasil raja pun menolak Tintilingan ikut dalam rombongan tersebut.

Singkat cerita rombongan kerajaan Mamuju pun telah sampai dipelabuhan Gowa dengan perahu besar beserta Punggawa dan keluarga kerajaan, tapi alangkah kagetnya mereka tiba tiba sesosok manusia melompat keluar dari bawah buritan perahu yang tak lain adalah Tintilingang. Raja dan anggota kerajaan lainnya kaget dan heran melihat keberadaannya yang tiba tiba muncul dari bawah perahu tersebut, raja tentu saja marah dan mengingatkan Tintilingang untuk menjaga kehormatan kerajaan Mamuju dengan tidak berbuat sesuatu yang bisa merusak hubungan dengan kerajaan Gowa.

Melihat kehadiran Tintilingang dikerajaan Gowa para jagoan dan pendekar Gowa yang telah mendengar ketenaran Tintilingang ini ingin mencoba bertarung dengannya. Mereka berupaya menggoda Tintilingang dengan berkokok layaknya ayam jago yang bermakna isyarat untuk memancing siapapun untuk masuk arena untuk berduel jika ada yang menyahuti kokokan itu. Para punggawa kerajaan Mamuju dan berapa undangan dari kerajaan kerajaan lain tahu makna kokokan dari jagoan Gowa tersebut. Punggawa dan jagoan kerjaan Mamuju tidak mau terpancing dan berusaha menahan diri agar tidak terprovokasi dan berusaha menenangkan Tintilingang agar tenang dan bersabar. Semakin lama kokokan sang pendekar pendekar dari kerajaan Gowa ini membuat Tintilingang tak mampu menahan diri lagi, dengan suara lantang ia pun membalas kokokan tersebut. Semua undangan kaget dan tahu bahwa tidak lama lagi pasti terjadi pertarungan duel antar jagoan ini, dan benar saja akhirnya pertarunganpun terjadi.

Alhasil jagoan kerajaan Gowapun tumbang ditangan Tintilingang dan ini membuat raja Mamuju semakin murka melihat kelakuan Tintilingang yang telah mencoreng kehormatan raja Mamuju di gelaran adat yang seharusnya penuh dengan kedamaian. Namun raja Gowa menganggap itu hal yang pantas bagi jagoannya karena telah lebih dulu memancing situasi jadi kacau balau. Raja Mamuju akhirnya menghukum Tintilingang agar tidak ikut dalam perahu dalam perjalanan pulang ke Mamuju, sebagai hukuman Tintilingang harus berjalan kaki lewat darat jika ingin kembali pulang ke Mamuju seorang diri, dan harus membawa potongan telinga setiap jagoan dari kerajaan lain untuk membuktikan kasaktian dan keberanian yang dimilikinya. Lama berselang kemudian telah tersiar kabar akhirnya sang jagoan ini telah tiba di tanah Mamuju kembali.

Dan tentunya kedatangannya juga untuk membuktikan kepada Maradika (raja) Mamuju bahwa dia telah berhasil pulang dengan membawa seuntai telinga yang telah dipotong untuk membuktikan kesaktian dan keberanian Tintilangan Sang Jawara dari tanah Mamuju tidak tertandingi siapapun saat itu. (Arman Husain2018).

Sumber : informasi dari penutur yang dapat dipercaya. Kisah ini ditulis bukan maksud apapun melainkan sebagai upaya pelestarian budaya dan sejarah di Mamuju, adapun jika cerita dari versi kami ada kekeliruan mohon untuk dikoreksi. Wassalam..

Rabu, 20 Maret 2024

AHMAD M. SEWANG || DIASPORA ULAMA MANDAR

FOOTNOTE HISTORIS:
DIASPORA ULAMA MANDAR
By Ahmad M. Sewang 

Kata migrasi berbeda dengan: diaspora. Ensiklopedia mendefinisikan bahwa migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain dalam sebuah negara untuk menetap permanen atau sementara. Sedang diaspora adalah perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain yang melintasi toritorial negara untuk menetap permanen atau bersifat sementara. 

Al-Quran dan hadis memotivasi umat untuk studi terus-menerus dengan meninggalkan tempat melakukan diaspora sampai ke ujung dunia. Dalam Islam studi baru berakhir saat manusia sudah mengakhiri hidupnya di dunia fana. Umat dianjurkan meninggalkan kampung halaman pergi belajar mendalami ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan, dimaksudkan nantinya bisa mencerdaskan dan mencerahkan masyarakatnya jika mereka kembali dari studinya. (Lihat Al Qur‘an)

Agaknya itu pula yang memotivasi banyak ulama Mandar jauh sebelum kemerdekaan meninggalkan kampung halaman bertahun-tahun melakukan diaspora pergi menuntut ilmu pengetahuan dengan menetap permanen atau sementara di negara lain, misalnya:
1. Annangurutta H. Muhammad Tahir, Imam Lapeo, belajar sampai ke Istambul Turki. Di sana beliau menerima tarekat Syaziliah yang kemudian disebarkan di Tana Mandar saat beliau kembali. Beliau berpuluh tahun melakukan migrasi dan bertahun-tahun berdiaspora di Singapura, Mekah, dan Turki.
2. Annangurutta H. Syekh Yasin al-Mandari meninggalkan kampung Pambusuang sejak awal 1940-an pergi belajar agama di tanah suci. Beliau jadi warga negara Saudi dan tidak pernah kembali lagi ke Mandar sampai meninggal dunia di Mekah awal tahun 1980. Saya terkesan ketika ditugaskan mengawas ujian Kopertais di Asadiyah Sengkang. Di sana bertemu AGH Abdullah Maratan, Lc. dan mengkisahkan pada saya bahwa dia banyak menimba ilmu pada Syekh Yasin al-Mandari di Mekah.
3. Syekh Sayyid Hasan Jamalullail melakukan diaspora ke Mekah sejak anak-anak dan orang Mandar menggelarinya sebagai, "Kamus Arab Berjalan." Ia menguasai bahasa Arab secara detail dan megajarkannya ketika kembali dari Mandar. 
4. Dr. Nawawi Yahya, beliau meninggalkan kampug Karama untuk studi di Mesir. Dia adalah doktor pertama orang Mandar di al-Azhar University. Disertasinya menyangkut masalah Zakat yang tebalnya lebih tiga ribu halaman. Ia kawin dengan wanita Mesir. Sejak meninggalkan kampung halaman, hanya sekali kembali ke Karama tahun 1984 dan saat itu pula beliau dipanggil Allah swt. Saya bersyukur karena sempat bertemu ketika kembali ia ke Mandar dan saya mengundangnya ke Majene untuk memberi kuliah umum di Fakultas Syariah IAIN Filial Majene.
5. AGH Muhammad Saleh, ulama yang lama tinggal di tanah suci tafaqqahu fi al-din. Beliau kembali ke tanah air setelah 16 tahun berdiaspora di Mekah dan Madinah. Beliau mendapat syahadah dari Syekh al-Malik dan Tarekat Qadiriyah dari Syekh Habib al-Haddad. Dialah pembawa dan menyebar tarekat Qadiriyah pertama di Tana Mandar.
6. Annangurutta H. Jalaluddin Abdul Gani tinggal berpuluh tahun di Mekah Beliau melakukan diaspora hampir bersamaan waktunya dengan Syekh Yasin al Mandari dan kembali ke Mandar segera serelah proklamasi kemerdekaan RI. Setelah kembali di tana Mandar beliau aktif mengajar dan menyebarkan Islam.
7. Syekh Abdillah el- Mandari melakukan diaspora ke Mekah. Beliau menjadi warga negara Saudi dan menjadi tempat bagi orang Mandar dan Bugis bersyekh ketika mereka melaksanakan ibadah Haji.

Natijah
1. Sesuai perintah al-Quran, mereka berdiaspora berpuluh tahun menuntut ilmu dan setelah kembali ke tanah air, mereka ikut berkontribusi mencerdaskan umat dan menyebarkan Islam.
2. Kebanyakan para ulama Mandar menjadikan tanah suci Mekah sebagai destinasi diaspora menuntut ilmu.
3. Tulisan ini baru sedikit di antara para ulama diaspora Mandar. Saya yakin masih banyak lagi belum terungkap. Tulisan ini sekedar mendorong teman-teman untuk melakukan penelitian mendalam.
4. Saya mengharapkan kiranya dalam waktu dekat segera terealisasi sebuah buku, "Diaspora Manusia Mandar," sebagai legacy untuk generasi masa kini dan masa depan. "Orang besar adalah yang bisa menghargai warisan masa lalunya untuk kehidupan lebih baik di masa depan."

Wassalam,
Cengkareng Jakarta, 17 Desember 2018 direwriting, 27 Febr. 2024

Kamis, 07 Maret 2024

IMAM TANDUNG (1912-1992) Dalam Narasi Sejarah Pergolakan Antara DI/TII dengan Bn.710

Reportase: Muhammad Munir

IMAM TANDUNG atau KH. MUHAMMAD QASIM adalah salah satu tokoh agama dan pemerhati pendidikan. Selain dikenal sebagai Imam Tandung, Gelaran sebagai Imam Tandung begitu lekat padahal ia tak hanya di Tandung menjadi imam, tapi juga ditempat lain seperti di Rea Barat, Imam di Jalan Cendrawasih dan juga imam di Masjid Al-Anwar selama 36 tahun (wawancara dengan Haidir Ramli dan Nurmiati, 2022). 

Berdasarkan dokumen resminya, Imam Tandung lahir di Mandar pada tahun 1912 dan wafat pada tanggal 4 Mei 1992 dirumah kediaman istrinya yang kedua di Jalan Sila-sila Lampa Mapilli. Ia wafat pada saat selesai shalat shubuh. Saat itu, ia baru saja menyelesaikan sholat shubuh. Ia duduk di sebuah kursi dan meminta kepada keluarganya agar mengambil kambing yang ada di kompleks pesantren DHI. Kambing tersebut ia minta agar dipotong. Setelah kambing selesai di potong, ia mengucapkan kalimat tauhid dan menghadap Tuhan-Nya dalam kondisi terduduk.

Tak banyak yang tahu tentang asal usul dan masa kecil Imam Tandung. Nama lengkapnya pun jarang yang pernah menyebut selain gelarannya sebagai Imam Tandung. Pada saat menjadi Imam Tandung, ia dijemput oleh gerombolan pasukan DI/TII (Darul Islam/Tentara Nasional Indonesia) untuk dibawa ke hutan. Menurut putrinya, ia tidak diculik tapi ia dijemput untuk dibawa ke hutan. (Wawancara dengan Dahariah, 80 tahun).  Versi lain menyebut ia diculik dan dibawa masuk ke hutan untuk menjadi hakim pengadilan dan membimbing masyarakat guna memahami agama secara paripurna. 

Pada saat pemberontakan DI/TII digulingkan oleh Qahar Mudzakkar, penculikan para ulama dam guru-guru marak terjadi. KH. Abdul Rahman Ambo Dalle juga pernah diculik dan dibawa ke hutan. Di Mandar, penculikan ulama juga terjadi pada KH. Muhammad Qasim (Imam Tandung), KH. Muhammadiyah di Bonde Campalagian serta KH. Umar Mappeabang (saat masih bertugas menjadi guru di MI DDI Lapeo). Para ulama tersebut dibawa masuk ke hutan untuk menjadi penganjur islam dan sebagian dijadikan hakim agama di pengadilan. 

Pada tahun 1953, Konferensi Pombijagi digelar dan menandai masuknya gerakan DI/TII di Mandar. Organisasi bentukan Qahar Mudzakkar tersebut dideklarasikan di Mandar melalui Sunusi Tande dan MT. Rahmat. Sejak itu, Imam Tandung tak lagi terdengar namanya sampai kemudian Gerombolan DI/TII ditumpas. Ia ikut sama anaknya yang bernama Amin Rante (tentara) di Makassar dan sempat jadi imam masjid di Cendrawasih Makassar. Setelah dari Makassar, ia sempat menjadi imam di Masjid Rea Polewali.

Selasa, 05 Maret 2024

Hj. Sitti Maemunah ||Guru Pejuang Dari Majene



Catatan Muhammad Munir

HJ. SITTI MAEMUNAH adalah seorang Pempimpin Kelaskaran GAPRI 5.3.1 (Gabungan Pemberontak Republik Indonesia Kode 5.3.1) yang berpusat di Baruga, Majene. Pada tahun 1916, ketika cengkraman Hindia Belanda benar benar menikam pribumi. Di bumi Baruga, sepasang siami istri bernama Muhamnad Saleh dan Habiba hidup memadu kasih dan melahirkan sosok bayi perempuan yang mereka beri nama Sitti Maemunah.
Keduanya mungkin tak akan pernah berfikir dan bermimpi bahwa kelak anak petempuannya itu akan tumbuh dan berkembang menjadi tokoh perempuan pendidik dan tokoh pejuang yang mampu mengorganisir organisasi besar sekelas GAPRI 5.3 1.

Maemunah kecil tumbuh dan berkembang di Kampung Baruga. Ia hidup di antara rindang pohon dan dinginnya malam. Ia hidup dalam bimbingan orangtua dan lingkungan yang taat beragama, sehingga kelak sosok Maemunah dikenal sebagai wanita salehah, sebagai guru dalam organisasi keagamaan Muhammadiyah.

Sisi kehidupan Maemunah sesungguhnya tidak terhitung mujur, sebab ketika masih berumur 6 tahunan ia harus kehilangan sosok ibu yang penyayang. Praktis kematian sang Ibu membuat Maemunah harus lebih banyak belajar menjadi sosok ibu bagi kedua adiknya yang bernama Bahria dan Nurdin. Melihat kondisi anak-anaknya yang masih membutuhkan peran seorang ibu, Muhammad Saleh kemudian memutuskan untuk  menikah kembali dengan wanita bernama Sohora. Dari pernikahan ini, dikaruniai 2 orang putra bernama Mabrur dan Abrar, keduanya berdomisili di Makassar.
Dalam kehidupan keluarga Maemunah, pendidikan Islam menjadi hal utama yang harus ditanamkan. Termasuk pendidikan nonformal berupa adat istiadat yang berlaku di masyarakat Mandar. Inilah yang kemudian menjadikan Maemunah dikenal sebagai anak yang shalehah, taat beribadah dan pemberani. Karakter pemberani ini boleh jadi karena ia anak petama dari lima bersaudara. Selain itu Maemuna selalu bersikap hati-hati dalam bertindak karena dia adalah panutan terhadap keempat adiknya.
Pada tahun 1928, ketika usia Maemunah menginjak 12 tahun, ia mulai mengenal sekolah formal, yaitu Sekolah Dasar 6 tahun di Majene. Selanjutnya ia mengambil  pendidikan guru selama 2 tahun di tempat yang sama. Hingga pada tahun 1937, Maemunah kemudian melanjutkan ke CVO untuk mendidik tenaga-tenaga guru dan terangkat sebagai Kepala Sekolah Ba’babulo dari tahun 1937-1953.

Setiap selesai shalat subuh, Maemunah selalu bersiap untuk berangkat ke sekolah dengan perjalanan yang sangat panjang dan penuh resiko karena pada saat itu keamanan belum stabil apalagi seorang wanita yang rentan dengan kejahatan.
Tiga tahun menjadi Kepala Sekolah, pada tahun 1940 Mamunah menikah dengan pemuda bernama Muh. Jud Pance, seorang guru dari tanah Bugis. Pernikahan keduanya dilangsungkan di Deteng-Deteng, Majene. Sayang sekali, pernikahan mereka tak dikaruniai anak.

Pemikiran Maemunah pada saat itu bisa dikatakan telah melebihi pemikiran dari teman-teman sebayanya. Maemaunah memiliki pemikiran nasionalisme yang luas yang mengakibatkan dia ikut dalam beberapa diskusi organisasi kemerdekaan. Jiwa nasionalisme yang kuat memanggilnya untuk turut serta melawan para penjajah.
Keberadaan Maemunah dalam perkembangan sejarah perjuangan di Mandar sangat signifikan karena Maemunah berhasil membawa Kelaskaran GAPRI 5.3.1 menjadi salah satu kelaskaran yang sangat dibenci oleh Tentara Belanda pada saat itu. Maemunah dalam Kelaskaran GAPRI 5.3.1 bertugas untuk mengatur strategi perjuangan agar terorganisir dalam melaksanakan setiap aksinya. Rumahnya juga dijadikan sebagai markas besar yang menjadi pusat untuk mengatur stategi dan sebagai tempat bagi para pasukan beristirahat.

 Maemunah menjadi garda terdepan dalam melawan (praktik kolonialisme baru, khususnya di daerah Mandar). Melalui organisasi ini, GAPRI 5.3.1 melakukan berbagai persiapan, baik proses pengumpulan atau penyeleksian anggota, hingga proses penyediaan alat-alat persenjataan perang. Sebagai upaya untuk melengkapi berbagai kebutuhan yang diperlukan, maka GAPRI 5.3.1 melakukan hubungan dengan pihak-pihak tertentu di Balikpapan dan beberapa daerah lain di Indonesia untuk mendapatkan alat-alat persenjataan perang. Selain itu, pembinaan atau pelatihan kemiliteran juga menjadi agenda penting dalam proses penyelenggaraan persiapan perang itu sendiri. 

Dalam upaya untuk mempersiapkan segala kebutuhan perjuangan, GAPRI 5.3.1 lebih bertumpu pada pendanaan pribadi dari Maemunah dan Djud Pance. Kendati demikian, pendanaan juga terbuka bagi pihak luar yang ingin memberikan sumbangsi kepada organisasi perjuangan itu. Dengan demikian, perjuangan GAPRI 5.3.1 dapat dimaknai sebagai wujud kongkrit dari bentuk nasionalisme rakyat Mandar. Masyarakat Mandar tidak pernah berpikir tentang siapa yang membantu, siapa yang mampu membantu perjuagan itu.

Pada sekitar bulan April dan Mei 1945, Soekarno bersama rombongannya mendatangi Kota Makassar untuk memberikan dorongan kepada berbagai pihak serta mempersiapkan diri dalam rangka menyambut sebuah negara baru yang bebas dari bentuk-bentuk kolonialisme dan imperialisme asing. Kedatangan Soekarno di Kota Makassar seolah memberi sinyalemen bahwa sebentar lagi Indonesia akan merdeka dan berdaulat, sehingga mampu berdiri sama tinggi, duduk sarna rendah dengan negara-negara lain yang berdaulat. Bagi masyarakat yang ada di Sulawesi, Inilah isyarat awal bahwa akan muncul sebentar lagi sebuah negara baru yang bernama Indonesia. 

Tidak berselang lama dari kedatangan Soekarno di Kota Makassar, sebuah negara baru berdiri dan secara resmi diproklamirkan pada Tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia menandai bahwa Indonesia sebagai sebuah negara secara de facto telah merdeka. Informasi tentang proklamasi yang disebarkan melalui radio ditangkap oleh seluruh rakyat Indonesia, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Pada saat pembacaan proklamasi di Jakarta, beberapa Wilayah di Indonesia juga tidak sedikit yang belum mengetahui, sehingga pekik kemerdekaan belum sepenuhnya bergema. 
Seperti halnya di Mandar, pada saat pembacaan proklamasi kemerdekaan, di wilayah ini masih mengalami penjajahan. Selang beberapa hari pasca pembacaan proklamasi di Jakarta, informasi tentang kemerdekaan Indonesia akhirnya sampai juga di Mandar. Para pemuda Mandar yang mendapatkan informasi itu melalui siaran radio amatir. Informasi yang didengarkan itu disebarkan ke beberapa pihak yang dianggap mampu memberikan dorongan dalam proses penyambutan terbentuknya sebuah negara baru yang bernama Indonesia. 

Sepasang suami istri yang saat itu berstatus sebagai Kepala Sekolah Dasar Ba'babulo I dan II, Djud Pance dan Maemunah juga mendengar informasi tersebut melalui radio amatir yang dimiliki. Atas informasi itu, mereka mencoba menata hati secara baik-baik untuk kemudian merundingkan tentang perihal apa yang akan dilakukan dalam menyikapi proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno-Hatta di Jakarta. 

Setelah beberapa saat melakukan perundingan terkait langkah-langkah apa yang akan dilakukan, keduanya kemudian memutuskan untuk bersama-sama terjun ke lapangan, dari Ba'babulo ke kampung halamannya di Baruga yang berjarak + 12 Km. Di Baruga, kedua guru ini membagi informasi tentang kemerdekaan itu kepada beberapa keluarganya terlebih dahulu kemudian disebarkan kepada masyarakat sekitar. 
Di tempat lain, informasi mengenai kabar yang menggembirakan itu ternyata juga telah diterima oleh para pemuda di Majene. Beberapa pemuda yang telah mendengar informasi tentang proklamasi itu secara sigap menyebarluaskan  informasi itu secara cepat kepada masyarakat. Tidak berselang lama, beberapa pemuda seperti Abd. Wahab Anas, Abdul  Halim, AE, Mallewa, Sawawy, dll., secara cepat berkeliling di jalan raya sembari mendengungkan pekik kemerdekaan.

Masyarakat yang melihat dan mendengar pekikan mereka itu akhirnya ikut bergabung dalam iring-iringan yang telah dibuat sebelumnya. Suasana menjadi semakin ramai dan penuh kemenangan. Kendati masih terdapat beberapa pihak masyarakat yang masih belum sepenuhnya memahami tentang ada apakah gerangan, ada juga yang cenderung pasif dan tak sedikit pula yang bertindak sebagai penonton. 
Pekik kemerdekaan terus bergema khususnya di Baruga dan di Kota Majene. Beberapa pihak saling berunding untuk membahas apa yang harus dilakukan dalam menyambut hari baik itu. Djud Pance yang selalu didampingi oleh isteri setianya, Maemunah, membangun komunikasi dengan HM. Syarif yang saat itu masih menjadi ketua organisasi sosial kemasyarakatan Persatuan Rakyat Mandar (PRAMA) yang berada di Baruga. Dalam pertemuannya itu menghasilkan sebuah keputusan untuk menggunakan organisasi itu sebagai wadah perjuangan dalam rangka menyambut dan menyusun berbagai strategi untuk merealisasikan janji proklamasi. Beberapa langkah kongkrit yang akhirnya direalisasikan adalah merubah nama organisasi PRAMA menjadi Perjuangan Masyarakat Indonesia (PERMAI) pada Tanggal 24 Agustus 1945. 

Itulah langkah awal perjuangan rakyat Baruga dalam menyambut kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Perubahan nama PRAMA menjadi PERMAI yang dilakukan oleh Djud Pance, Maemunah, dan HM. Syarif dapat dipahami sebagai proses penting dalam rangka menciptakan sebuah identitas kebangsaan baru. Artinya, perubahan identitas PRAMA yang semula masih bersifat kedaerahan menjadi PERMAI yang mencirikan sebuah identitas baru yang bersifat keindonesiaan. Mereka terbayang tentang konsep keindonesiaan, sehingga mereka secara sadar menaikkan status terhadap identitas yang sebelumnya bersifat primordial menjadi plural dan multikultur, bukan bangsa Mandar, melainkan Bangsa Indonesia. 

Pasca perubahan terhadap identitas organisasi tersebut, proses selanjutnya adalah menyusun rencana strategi perjuangan. Rencana setrategi yang disusun dalam organisasi PERMAI dibagi menjadi dua bagian. Pertama, menjelaskan bahwa PERMAI merupakan sebuah organisasi sosial, ekonomi, dan budaya yang secara spesifik berada di Baruga. Fungsi organisasi yang demikian diperankan oleh H. Muh, Syarif. Kedua, menjelaskan bahwa PERMAI memiliki underbow bernama GAPRI 5.3.1, yang secara penuh menjadi penyokong terhadap kelembagaan PERMAI melalui sistem keagenan yang bersifat rahasia. 

Identitas rahasia dalam hal ini dimaksudkan apabila terjadi segala sesuatu terkait dengan perubahan situasi, maka organisasi tetap dapat berjalan. Organisasi pergerakan GAPRI 5.3.1, dikelola dan dijalankan oleh dua sejoli Djud Pance dan Sitti Maemunah.
Berpijak dalam suatu organisasi Kelasykaran, Maemunah memulai kehidupan politisnya yang tentu mengandung resiko sehubungan dengan makin meluasnya pengaruh NICA di daerah Majene. Dalam kegiatan GAPRI 5.3.1, Maemunah mengorganisasikan para pejuang, baik dalam latihan kemiliteran, persediaan makanan, persediaan senjata maupun turun langsung ke medan pertempuran melawan Belanda. Pada masa perang kemerdekaan berkecamuk, ia bergabung dengan pemuda lainnya dalam melawan Belanda dan berusaha menghimpun kaum wanita diantaranya Sitti Habibah, Sitti Fatimah, Jaizah, Hadara, Sitti Maryam, dan lain-lain.

Beberapa petempuran hebat terjadi antara pihak Belanda dengan Pejuang GAPRI diantaranya:
(1) April 1946 pasukan GAPRI 5.3.1 dibawah pimpinan Basong melancarkan serangan terhadap patroli aparat NICA dan KNIL di Segeri-Baruga. Pada pertempuran tersebut kepala kampung Segeri yaitu Siada tewas. Pada bulan yang sama pasukan yang dipimpin oleh Basong dan Labora melancarkan serangan tehadap NICA dan KNIL di Pangale-Majene dan selanjutnya pasukan dibawah pimpinan Haruna dan Bundu menyerang patroli KNIL di Pambuang.

(2) Mei 1946 kelaskaran GAPRI menyerang mata-mata musuh di Pangale, mengadakan pertempuran di Abaga, Tarring (Baruga), Simullu melawan Polisi KNIL.
Juni 1946, GAPRI makin giat melakukan serangan dengan menyerang banyak mata-mata dan tentara KNIL di jembatan Simullu.

(3) Juli 1946, GAPRI menyerang pasukan KNIL yang sedang melakukan patroli di Pamboang dan asing-asing.
Selanjutnya pada bulan Agustus, September, Oktober, dan Desember pasukan GAPRI melakukan beberapa panghadangan terhadap pasukan Belanda. 
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh GAPRI di Majene terhadap pemerintah NICA dan tentara KNIL tersebut, bukannya membuat Belanda menciut tetapi malah semakin meningkatkan provokasi dan penindasan kepada rakyat dan pejuang dengan ditangkapnya beberapa pejuang penting yang membuat pergerakan GAPRI semakin tersudut.
Perlawanan demi perlawanan yang dilakukan oleh GAPRI 5.3.1. membuat Belanda makin geram dan jengkel. Kehadiran serdadu Westerling di Mandar tujuan utamanya adalah mengahncurkan seluruh pemberontak yang ada di Mandar tanpa terkecuali sampai ke akar-akarnya.

Letnan Gubernur Jenderal Dr. H. J. Van Mook di Batavia mengumumkan pernyataan “Keadaan perang dan darurat” atau SOB pada tanggal 11 Desember 1946 (Surat keputusan No. 1 Batavia 11 Desember 1946) yang dinyatakan berlaku di dareah Afdeling Makassar, Afdeling Bantaeng, Afdeling Parepare, dan Afdeling Mandar. Akan tetapi pada hakikatnya keadaan darurat perang dalam kenyataannya berlaku diseluruh daerah Sulawesi Selatan karena Kolonel H.J. Vries atas perintah Jenderal S. Poor mengeluarkan suatu perintah harian pada tanggal 11 Desember 1946 kepada seluruh jajaran tentara dibawah perintahnya untuk serentak menjalankan operasi pasifikasi atau pengamanan berdasarkan SOB yang harus tegas, cepat, dan keras tanpa kenal ampun dengan melaksanakan penembakan mati di tempat tanpa proses pengadilan. 

Hal ini membuat pejuang GAPRI semakin tersudut karena pihak Belanda semakin gencar melakukan operasi dengan menyebar polisi kampung yang selalu mengawasi daerah-daerah yang menjadi pusat pergerakan di Majene.Inilah yang menjadi penyebab pergerakan pemuda di Majene semakin sempit akbat adanya polisi kampung yang selalu mengawasi gerak-gerik mereka.

Pasca Panyapuang di Galung Lombok, tepatnya tanggal 4 Februari 1947 HBA Sangkala Menangkap dan membawa Maemunah ke Majene untuk di tahan. Dalam tahanan, Maemunah dan pejuang lainnya mendapat siksaan yang sangat kejam dari pihak Belanda. Sebelum Maemunah ditangkap, ia menyuruh suaminya untuk menghindar demi kelanjutan perjuangan. Pasukan Belanda di Parepare yang sejak awal sering melihat Djud Pance berdagang di kampung Langnga Parepare, Posisi Djud Pance menjadi buronan Belanda cukup mudah mengintainya. Meski demikian, Belanda rupanya tak harus mengerahkan pasukan untuk menangkap Pance, sebab rupanya Pance tak tega pada istrinya yang tersiksa di penjara  sehingga pada tanggal  7 Februari, Ia  menemui Maemunah dan langsung ditahan. Keesokan harinya Maemunah dibebaskan namun ia tak ingin bebas dan memilih di hokum sama suaminya.

Setelah lima puluh sembilan hari di tahanan, karena tidak didapatkan bukti kejahatan yang kuat, pada tanggal 6 April 1947 Pance bersama dengan 30 tahanan lainnya bebas. Namun berselang 3 hari, Pance kembali di tangkap dan langsung ditahan. Tetapi penangkapan Pance ini tidak menyurutkan Pejuang Mandar baik itu KRIS MUDA dan GAPRI untuk melakukan penyerangan terhadap Belanda. Hal tersebut terbukti dengan perlawanan yang terjadi di beberapa daerah seperti Pamboang, Totolisi, Onang, Camba Pambusuang, dan lainnya.

Pada masa inilah Maemunah semakin berani mengikuti urusan-urusan perjuangan bekerjasama dengan pejuang di Makassar. Selain itu urusan Kelaskaran GAPRI 5.3.1 tetap dilanjutkan. Pembelian senjata api untuk dikirim ke Mandar dan Bangkala sebagai daerah yang masih bergejolak karena pejuang kemerdekaannya belum sempat ditangkap Belanda. Tepat pada tanggal 27 Desember 1949, seluruh tawanan pejuang kemerdekaan bangsa dibebaskan dan mulailah para pejuang dapat menghirup udara bebas. 

Setelah pembebasan, Maemunah dan lain-lain pulang ke Majene.  Maemunah dan rombongan tiba di Majene terus ke Baruga. Setelah proses perjuangan dan kondisi keamanan sudah mulai reda, Maemunah kembali menjadi Kepala SGB di Majene (1954-1960) dan menjadi Guru SGA berbantuan Muhammadiyah di Makassar. Tanggal 1 Januari 1963 Maemunah mengalami gangguan kesehatan sehingga dipensiunkan. Ia sembuh dari sakitnya setelah 11 tahun konsentrasi berobat. 
Pada tanggal 1 Desember 1973 ia ke Jakarta dan bekerja di PT. Air Baja, perusahaan besi baja pertama di Indonesia, milik H. Hamma’dia.  Di Jakarta, Maemunah tinggal di Teluk Gong Terusan Bendungan Utara No. 1 Jakarta Kota. 
Atas jasa-jasanya dalam pejuangan di daerah Mandar, Maemunah diberikan pengakuan sebagai veteran pejuang kemerdekaan Republik Indonesia dengan golongan A Tanda Jasa dari Departemen Keamanan Panglima Angkatan Bersenjata oleh Laksamana TNI Soedomo tanggal 31 Juli 1982. Selain itu, atas jasa-jasanya pemerintah setempat mendirikan tugu perjuangan di bekas rumahnya di Baruga. Maemunah meninggal dunia di Makassar 21 Juli 1995 dan di makamkan di Pekuburan Dadi Makassar.

Selasa, 27 Februari 2024

ANDI BEBAS MENYAMBANGI PETANI DI BOTTO

Selasa, 27 Februari 2024, Andi Bebas Manggazali berkesempatan hadir dalam acara Mappalili atau Rapat Turun Sawah di Sanggar Gabungan Kelompok Tani P3A SIPAKARAYA dan SIPATTURU Dusun Kontar Desa Botto Kecamatan Campalagian. 

Senin, 05 Februari 2024

MENGENAL DR. MUHAMMAD NAWAWI YAHYA ABDURRAZAQ, MA. DAN KARYA MONUMENTALNYA



SEKILAS RIWAYAT INTELEKTUAL DAN KEULAMAAN 
DR. MUHAMMAD NAWAWI YAHYA ABDURRAZAQ, MA.  
DAN KARYA MONUMENTALNYA

Oleh: Wajidi Sayadi

Sehubungan hari ini Senin, 5 Pebruari 2024 diperingati Haul wafatnya Dr. Muhammad Nawawi Yahya, MA oleh para alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir yang tergabung dalam Organisasi  Internasional Alumni al-Azhar (OIAA) wilayah Sulawesi Barat, berikut ini kami menuliskan sedikit riwayat intelektual dan keulamaan Dr. Muhammad Nawawi Yahya,MA., sebagai putera Mandar yang mengukir prestasi Internasional di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. 

Dr. Muhammad Nawawi Yahya Abdurrazaq lahir di Dusun Manjopai (Mojopahit) Desa Karama Kecamatan Tinambung Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat pada tahun 1929. 
Dr. Muhammad Nawawi Yahya dibesarkan dan dididik dalam lingkungan keluarga yang kental dan ketat dengan tradisi agama Islam. Ayahnya adalah KH. Yahya Abd Razak seorang ulama yang kharismatik dan disegani. Beliau imam masjid Jami Tanwir al-Masajid di Manjopai. Rumah tempat tinggalnya banyak berderetan dan berjejeran di rak-rak dan lemari kitab-kitab kuning dari berbagai disiplin keilmuan. Kitab-kitab ini merupakan peninggalan dari milik ayahnya sebagai seorang ulama. 

Dr. Muhammad Nawawi Yahya dilahirkan dari seorang ibu yang luar biasa bernama Hj. Siti Fatimah Abdullah. Adapun saudara-saudaranya adalah H. Muhammad Zawawi Yahya, H. Muhmmad Nahrawi Yahya, Hj. Maawiyah Yahya, Hj. Jugariyah Yahya, dan Ir. Hj. Jawiyah Yahya. 

Masa kecil dan remaja Dr. Muhammad Nawawi Yahya di kampung halaman Manjopai Desa Karama Tinambung dengan asuhan bimbingan dari ayah dan guru-guru lainnya. Riwayat Pendidikan formalnya tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah diselesaikan di daerahnya kelahirannya di masa penjajahan Belanda dan bangsa Jepang. 

Dua tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dinyatakan secara resmi, terjadi suatu peristiwa bencana peradaban kemanusiaan bagi masyarakat Mandar yang terpusat di Galung Lombok oleh kekejaman Westerling. Peristiwa ini dikenal di Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan, sebagai pembantaian korban 40.000 jiwa oleh Westerling, pada tanggal 2 Pebruari 1947. 
Dalam peristiwa pembantaian masyarakat Mandar oleh Westerling di Galung Lombok, selain ribuan korban tewas juga banyak tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh pemuda ditangkap dengan semena-mena. Salah seorang diantaranya adalah saudara Muhammad Nawawi sendiri ikut tertangkap namanya Muhmmad Zawawi Yahya. 

Sehari setelah peristiwa Westerling di Galung Lombok ini, Muhammad Nawawi Yahya yang pada wakut itu umurnya 18 tahun tinggalkan Manjopai Karama menuju Sawitto di Kabupaten Pinrang atas inisiatif dari ayah dan keluarganya. Selama tiga tahun di Pinrang menyelesaikan sekolah Madrasah Aliyah. Tahun 1950, Beliau berangkat ke Mekah bergabung bersama rombongan jamaah haji. Selain untuk melaksanakan ibadah haji, niat utamanya adalah tinggal dan belajar di Mekah. Beberapa tahun tinggal di Mekah belajar, hingga akhirnya berangkat pindah ke Kairo Mesir. 

Sejak usia yang masih muda itulah Muhammad Nawawi Yahya tinggalkan kampung halaman pergi belajar dan belajar di Mekah kepada papar ulama besar pada zamannya hingga pindah dan masuk belajar di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. 
Perjalanan dan pengabdian umurnya lebih banyak digunakan di luar negeri termasuk di Eropa pernah tinggal beberapa lama di Belanda sebelum berlabuh dan tinggal menetap belajar di Kairo Mesir.

Suatu saat Muhammad Nawawi Yahya mengalami sakit dan dirawat di rumah sakit kebetulan ditangani oleh seorang perawat perempuan. Perawat tersebut statusnya janda punya empat orang anak. Selama di berada pembaringan di rumah sakit, Beliau tidak mau dilihat auratnya dan apalagi disentuh oleh perempuan yang tidak halal baginya atau yang bukan mahramnya, akhirnya Beliau melamar dan menikahi janda tersebut yang berprofesi sebagai perawat di rumah sakit. Istrinya ini sangat berjasa mengantarkan Beliau hingga menyelesaikan Disertasinya dan berhasil meraih gelar Doktor di bidang Zakat pada tahun 1980. 

Proses karir intelektual dan keulamaannya dibentuk sejak dini melalui ayah, guru-guru, ulama-ulama di kampung halaman serta keluarga, dilanjutkan pendalamannya  di Mekah hingga dimatangkan di Kairo Mesir. 

Muhammad Nawawi Yahya masuk di Fakultas Syariah wa al-Qanun yang dianggap konsisten menulis tentang zakat perspketif perbandingan madzhab sejak program Magister dan dikembangkan serta disempurnakan pada Program Doktor. 

Muhammad Nawawi Yahya satu almamater dan program studi  dengan Syekh Yusuf al-Qaradhawi di Fakultas Syariah wa al-Qanun. Syekh Yusuf al-Qaradhawi lebih tua tiga tahun, Beliau lahir tahun 1926 sedang Muhammad Nawawi Yahya lahir 1929. 
Yusuf al-Qaradhawi menulis disertasi berjudulفقه الزكاة دراسة مقارنة لأحكامها وفلسفتها في ضوء القرآن والسنة  yang selesai lebih awal sekitar tahun 1977. Disertasi Yusuf al-Qaradhawi terdiri dari 2 jilid 1.227 halaman. 
Sedangkan Muhammad Nawawi Yahya menulis disertasi berjudul الزكاة والنظم الإجتماعية المعاصرة selesai tahun 1980 terdiri dari 6 jilid 3.246 halaman. 

Kitab فقه الزكاة  karya Dr. Yusuf al-Qaradhawi ini menjadi sudah rujukan referensi tentang zakat di era kontemporer termasuk di Indonesia karena sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Sementara الزكاة والنظم الإجتماعية المعاصرة karay Dr. Muhammad Nawawi Yahya belum banyak dikenal, belum dibaca, apalagi dijadikan referensi, acuan tentang zakat. Inilah Mutiara karya Ulama Nusantara Putra Manjopai Mandar Sulawesi Barat yang bereputasi Internasional tetapi masih terpendam dan melangit belum membumi. 

Pada masanya, Muhammad Nawawi Yahya tercatat sebagai satu-satunya Doktor bidang syariah khususnya tentang zakat perspektif perbandingan dari Asia Tenggara. Karya monumentalnya berupa disertasi terdiri atas 6 jilid 3246 halaman. 

Empat tahun setelah menyelesaikan program Doktornya di Universitas Al-Azhar Kairo, tahun 1984 Beliau balik silaturrahmi ke kampung kelahirannya di Dusun Manjopai Desa Karama Polewali Mandar. Sekitar satu bulan di kampung halamannya, Beliau wafat secara mendadak tanpa perawatan sakit. 
Selepas shalat subuh Beliau jalan pagi keliling di sekitar lingkungan rumah. Seusai shalat Dhuha Beliau wafat dalam posisi sedang memegang dan mendekap sebuah kitab kuning di dadanya tepatnya pada hari kamis, 9 Pebruari 1984 dalam usia 55 tahun. 

Jenazahnya dimakamkan di samping makam ayah dan ibunya di halaman Masjid Tanwir al-Masajid Dusun Manjopai Karama Tinambung Polewali Mandar. Sulawesi Barat. 

إنا لله وإنا إليه راجعون
يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ  وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ

Sekilas Karya Monumental Dr. Muhammad Nawawi Yahya
Dr. Muhammad Nawawi Yahya menulis Disertasi berjudul الزكاة والنظم الإجتماعية المعاصرة atas bimbingan Promotor Dr. Muhammad Anis Ubbadah 
Disertasi ini terdiri atas 6 jilid ditulis masih menggunakan mesik tik zaman dahulu di atas kertas HVS berukuran 30 X 21 cm dengan jumlah halaman 3246.

Sistematika pembahasannya terdiri atas: 
Muqaddimah terdiri atas 16 halaman:
Membahas mengenai terminologi zakat dan sedekah dan landasan normatif agama baik al-Qur’an maupun hadis mengenai ketetapan kewajiban zakat dalam Islam. Awal mula penetapan kewajiban zakat serta periodisasinya. Kebijakan Abu Bakar ash-Shiddiq mengenai zakat dan pengaruhnya dalam tatanan masyarakat negara serta pengembangan dakwah Islam. 

Jilid I terdiri atas 1- 626 halaman:
Membahas mengenai zakat sebagai ibadah dan kewajiban sosial sebagai modal dasar dalam pembentukan sebuah tatanan negara. Kedudukan zakat dalam pembinaan sosial dalam Islam, sebagai kekuatan material dan spiritual. Harta dan sistem kepemilikan dalam perspektif kerangka hukum Islam dan hukum positif yang mengandung kebaikan universal melalui sistem zakat. Sistem sosial dan kekayaan material di era kontemporer dan perbandingannya dengan system zakat. 

Jilid II terdiri atas 627 – 1045 halaman:
membahas mengenai kriteria zakat meliputi syarat-syarat global diwajibkannya zakat seperti muslim, mukallaf, memiliki secara sempurna, bebas dari hutang, nisab dan haul. Kedudukan niat dalam transaksi dan distribusinya. Apakah zakat wajib disegerakan atau boleh ditangguhkan penyerahannya? Ta’jil zakat dan klasifikasinya. Apakah kewajiban zakat gugur karena kematian pemiliknya? 

Jilid III terdiri atas 1046 - 1667 halaman: 
membahas mengenai terminologi harta dan batasannya yang wajib dizakati beserta kadar pendistribusiannya disertai dalil masing-masing. Masalah emas dan perak, hasil pertanian dan buah-buahan, hewan, harta perdagangan.

Jilid IV terdiri atas 1668 – 2109 halaman: 
Membahas secara rinci mengenai delapan kelompok yang berhak menerima pendistribusian zakat. Apakah delapan kelompok akan diberikan dalam jumlah yang sama atau diberikan atas dasar pertimbangan skala prioritas? 

Jilid V terdiri atas 2110 – 2779 halaman: 
Membahas secara rinci mengenai perbandingan pendapat dari kalangan sahabat dan tabiin ahli hukum Islam, serta empat imam madzhab dan dari kalangan imam madzhab zhahiriyah, Syi’ah dan Zaidiyah. 

Jilid VI terdiri atas 2780 – 3246 halaman: 
Membahas mengenai tarjih. Mendialogkan atau mendiskusikan beberapa pendapat dari beberapa argumentasi yang dikemukakan, lalu memilah dan memilih pendapat yang dianggap lebih unggul dan tepat.  

Disertasi DR. Muhammad Nawawi al-Mandary tersebut merupakan karya monumental ulama dan intelektual muslim Indonesia sangat penting dan dipandang perlu untuk dijadikan referensi dalam studi hukum Islam khususnya kajian tentang zakat dalam kaitannya dengan pemberdayaan potensi ekonomi umat masa depan. 

Pontianak, 5 Pebruari 2024