Tampilkan postingan dengan label Situs. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Situs. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 Mei 2018

Melacak Jejak Topole di Balitung (2) "Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"

Melacak Jejak Topole di Balitung (2)
"Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"

Diskusi di Rumah Baca Akar, Kandang Gapabel Belitung

Bertolak dari Bandara Soekarno Hatta tepat jam 10.25 pada Minggu pagi melalui Terminal 1A gate 4 Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ribuan rasa menyeruak yang membuatku terus membatin. Setelah tiba di Belitung, saya mengarah kemana ya? Postingan saya di grup Literasi Bangka Belitung tak ada respon, sampai kemudian pesawat Boeing 737 maskapai penerbangan Lion Air. Udara kian terik ketika pesawat tepat menyentuh runway Bandara Belitung. Pukul 11.30 para penumpang bergegas mengambil barangnya dari atas kabin pesawat. Sejurus kemudian mereka beranjak dan berjalan bagai serdadu menuju pintu keluar bagian depan pesawat. Aku masih duduk dengan tenang.
Aku sengaja menjadi orang yang terakhir turun dari pesawat. Kurogoh kantong jaketku dan mengeluarkan gawai untuk terhubung dengan dunia diluaran sana. Harapan terbesarku adalah sebuah pesan yang bisa menolongku untuk melangkah pasti ketika kali pertama kakiku menjejak di tanah Belitung. Harapan itu ternyata tak ada. Begitupun dengan yang kuharapkan dari WAG Literasi Bangka Belitung. Ada asa yang terus kueja dalam benakku bahwa tujuanku ke Belitung jelas merupakan sebuah wujud pengabdianku pada tanah lehurku, Mandar.
Satu keyakinan bahwa di Belitung ini, ada leluhurku yang merelakan seluruh apa yang dia miliki dan apa yang ada padanya menjadi nutrisi bagi tanah Belitung. Inilah spirit yang terus membangun jiwaku pada satu harapan bahwa: Ketika kakiku menginjak bumi Laskar Pelangi ini, maka semua yang punya tapak di tanah ini pasti merasakan getarannya. Keyakinan itu yang membuat jiwa besarku melangkah menuju terminal kedatangan Bandara.
Dalam terik yang kian menusuk ubun, ada sebuah pemandangan yang menghentak ketika akan melangkah masuk dalam terminal kedatangan bandara. Tepat diatas bangunan bandara, sangat jelas sebuah kalimat bertuliskan Bandara Internasional H. AS. Hananjoedin. Yah, Bandara Internasional yang dimiliki oleh sebuah daerah sekelas kabupaten Belitung. Saya nyaris tak percaya, jika di Kabupaten Belitung bagian barat ini memiliki fasilitas. Berskala Internasional.
Berada diantara ratusan penumpang di Terminal kedatangan, saya melihat sosokku berada di hutan belantara. Rimbun semak manusia tak satupun aku kenal. Dengan sisa tenaga aku terus berjalan menyusuri petunjuk keluar bandara, kata exit bagiku sudah sangat hafal dan faham. Begitu tiba diluar bandara, para driver silih berganti menawarkan layanan antar dan paket penginapan. "Maaf, saya dijemput sama keluarga, Mas". Begitulah aku berdalih pada mereka. Toh saya juga belum tahu akan mengarah kemana, sebab dari WAG tak satupun tanggapan yang masuk. Setelah sebatang rokok Urban kunikmati, kucoba melangkah ke arah kanan pintu terminal. Disudut kanan itu terdapat sebuah Kantin Darma Wanita Bandara. Sekedar mengisi waktu sekaligus membayar tagihan perut yang sejak pagi belum terpenuhi. Soto daging dan segelas kopi susu jadi pilihan.
Sekali-sekali saya mengintip layar ponsel dan berharap ada info dari member WAG Bangka Belitung Literasi. Tak terhitung berapa batang rokok yang saya jadikan nisan pada mangkok soto sebagai asbak. Suara adzan tanda waktu dhuhur berkumandang dari masjid yang tak jauh dari bandara. Kuucap syukur alhamdulillah seiring takbir Allahu Akbar dengan lirih. Kepada Tuhan jualah segalanya kuserahkan, sebab Dialah pemilik dan penentu segala rencana. Ketika sedang asik-asiknya menyeruput kopi, tiba-tiba handphone-ku bergetar. Ternyata ada pesan masuk di WAG. Kali ini pesan yang masuk ada di beranda WAG Literasi Bangka Belitung. Sederet kalimat komentar tersusun beberapa baris. Pesan dari salah satu member WAG yang mengucapkan selamat datang di Belitung.
Kalimat selanjutnya adalah permintaan maaf sebab tak bisa menjemput ke Bandara lantaran hari ini bertepatan hari Bumi, 22 April 2018. "Kak Munir keluar dari bandara via taksi menuju ke belakang stadion dibawah warna-warni, biasanya sopir faham itu sekret Gapabel". Komentar yang singkat itu laksana terpaan hujan ditengah kemarau. "Siap. Saya menikmati suasana dulu di bandara". Tulisku pada komentar sebagai basa basi. Bandara Bulutumbang yang sekarang menjadi Bandara Internasional H. AS. Hananjoedin ini tak lagi jadi penjara bagiku. Setidaknya aku sudah bisa bergerak dengan arah yang jelas.
Gapabel (Gabungan Pecinta Alam Belitung) itulah yang akhirnya menjadi titik awal kehadiran saya dalam misi pelacakan Jejak I Calo Ammana Wewang. Jejak itu mulai mulai tampak sekaligus menandai tapak pertamaku ketika keluar dari bandara. Sopir Taksi bernama Abus (62 tahun) mengantar saya ke Kandang Gapabel. Dalam perjalanan menuju secret Gapabel, Pak Abus yang ternyata orang Bugis ini banyak memberi info terkait Belitung setelah mengetahjui bahwa saya dari Sulawesi.
Hanya dalam hitungan belasan menit kami sudah tiba di Stadion Tanjungpandan. Kami mengelilingi jalanan disekitara stadion mulai dan sampai di depan Kantor Kelurahan Pangkallalang Kec. Tanjungpandan kami harus bertanya pada warga sekitar tentang Warna-Warni. Ternyata warga faham betul tentang Warna-Warni yang ternyata adalah WW.House Belitong. Kami kemudian memutar untuk mencari dimana Kandang Gapabel berpijak. Sempat mobil kami melampaui Kandang yang kami cari, tapi rupanya Dita (Penanggungjawab Rumah Baca Akar Belitung) melihat mobil kami melintas. Ia kemudian menelfonku Via WA, dan meminta kami segera putar haluan untuk kembali.
Dari jarak yang tak terlalu jauh, nampak seorang wanita berkaca mata bening yang langsung menyapa ketika mobil yang saya tumpangi berhenti. Sebuah bangunan mungil model panggung yang cukup artistik. Di beranda terdapat beberapa anak kecil yang sementara mewarnai gambar. Begitulah Dita dan beberapa personil selama ini memesrai anak-anak Belitung dalam penguatan literasi anak-anak. Rumah Baca Akar merupakan bentukan program baru dari Gapabel untuk berkonstribusi dalam mencerdaskan anak negeri ini melalui Jaringan Pustaka Bergerak Indonesia besutan Nirwan Ahmad Arsuka dkk.
Rumah Baca Akar memang masih baru dan menjadi satu-satunya rumah baca di Kota Tanjungpandan. Barang-barang di bagasi mobil yang terdiri dari rangsel dan bagtour kin berada di Beranda. Selain Dita dan anak-anak yang sedang asik mewarnai gambar, ada juga anak muda bernama Danu yang menyambutku dengan sangat ramah. Masyarakat Belitung pada umumnya sopan dan hormat pada tamu. Belajar dari Sopir Taksi dan warga yang saya tanya tentang secretariat Gapabel tadi menjadi indicator penilaian. Mereka langsung cair dan responsip.
Dita dan Danu menemaniku berbincang-bincang santai. Kami berhadapan dimeja yang terbuat dari rangka perahu tradisional Belitung. Panjang perahu sekitar 2 meter. Bagian atas ditutup dengan triplek 5 mm sehingga berfungsi ganda, bisa meja untuk belajar sekaligus meja buat ngopi bareng. Selang beberapa menit kemudioan, muncul sosok yang agak kekar. Tubuhnya besar agak hitam manis. Rupanya Bang Jokie (demikian sapaan pria yang bernama lengkap Jookie Vebriansyah ini) inilah penggagas Gapabel. Bang Jokie ternyata sosok yang sangat peramah. Tadinya saya agak ragu dan segan melihat penampilannya. Tapi setelah mulai diskusi nampak sebuah pribadi yang sangat arif dan empati.
Bang Jokie, Danu dan Dita sibuk mengontak beberapa personil Gapabel. Dalam hitungan menit, sosok muda yang bernama Wahyu Kurniawan muncul. Kami berjabat tangan. Tak lama kami pun larut dalam diskusi. Saya mengutarakan maksud kedatangan ke Belitung. “Saat ini kami sedang mempersiapkan penulisan Biografi salah seorang Tokoh Pejuang Mandar yang akan diusulkan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan dari Mandar Sulawesi Barat. Bel;iau adalah I Calo Ammana Wewanng yang bergelar Topole di Balitung. Beliau ini dibuang Belanda tahun 1907 dan berdiam kembali ke Mandar pada tahun 1944”.
Wahyu dan semuanya maksyuk mendengarkan penuturan saya. Wahyu kemudian mengambil kamere digitalnya dan meminta saya untuk berpose bersama Dokumen tentang I Calo Ammana Wewang dengan memperlihatkan selembar Kaos Oblong bergambar I Calo Ammana Wewang dengan tulisan ditas foto “Topole di Balitung”. Kaos tersebut sebagai penegasan bahwa kami sejak dulu mengenal Belitung dalam gelar salah satu pejuang kami. Rupanya Wahyu adalah seorang Jurnalis di Media POS Belitung. Ia mengorek keterangan dari saya untuk rilisnya di Koran Harian Terbesar oplahnya di Belitung ini. Selain Jurnalis, ia rupanya seorang Penulis Buku. Hal itu saya tau ketika ia menyerahkan satu eks buku dengan cover warna oranye berjudul “Tambang Timah Belitong Dari Masa ke Masa”. Setelah cukup keterangan, ia kemudian pamit dan berlalu meninggalkan Kandang Gapabel. Bang Jokie, Danu, Dita masih menemani kami dengan kopi dan penganan alakadarnya di sore menjelang senja itu.


                                                   Minggu, Rumah Baca Akar, 22 April 2018


Melacak Jejak Topole di Balitung (1) "Iyau Tomandar"

Melacak Jejak Topole di Balitung (1) 
"Iyau Tomandar"


Malam kian beranjak. Gerimis sempat mengintip malu-malu ketika usai makan malam bersama keluarga besar Rumpita di Warung Barokah di sudut kiri simpang tiga Taman Kota Tinambung yang terdapat Patung Andi Depu. Warung Barokah menjadi alternatif bagi keluarga Rumpita untuk jika dalam kondisi emergency. Warung Barokah bersih, makanannya enak dan dikelola oleh orang Jawa. Menu favoritku di warung ini pasti nasi goreng kalau bukan pangsit. Menunya pas dan terkesan murah untuk sekedar memanjakan lidah. 1 porsi nasi goreng maupun pangsitnya hanya dibandrol 10K.
Begitulah, setelah ngopi dan sedikit diskusi dan berwejangan sama anak-anak Rumpita terkait beberapa agenda Wisata Buku, saya akhirnya berkemas untuk bersiap-siap berangkat ke Makassar. Asrar mengambil peran menunggu mobil yang kemudian disusul oleh Kadir, Adhy, Nizar, Ade, Indi dan tentu saja Erna, mamanya Ibnu. Erna, sosok wanita yang dengan setia merangkai do'a untuk saya, kendati harus melupakan kenikmatan do'a untuk dirinya. Tepat pukul 22.30 menit, mobil Bus Sipatuo milik perusahan PIPOSS berhenti tepat di depan Masjid Nurul Amin Kandemeng. Sisa kopiku masih sempat kuseruput untuk selanjutnya saya berjalan menuju ke arah depan dimana mobil dan anak-anak Rumpita menunggu.
Satu persatu kusalami, Aku larut pada lingkup berkah ketika doa kulangitkan diantara pelukan kasih sayang dan ciuman mesra pada kening istri dan anakku sebagai pola pamitan. Terima kasih sayang. Kau masih setia dan merelakan duniamu kugelapi dan kuterangi ! Aku berangkat sayang. I Love You.... Mesin mobil menderu, sedetik kemudian bergerak pelan pada saat saya sudah duduk tenang di Jok kursi nomor tiga dibelakang kondektur dan sopir. Dibilangan 21 April 2018 Pukul 22.40 menit menandai perjalanan panjangku dimulai.
Bertolak dari Kota Para Daeng (Mandar) menuju Kota Daeng (Makassar). Route Tinambung, Polewali, Pinrang, Parepare, Barru, Panggkep, Maros berujung pada gerbang Bandara Internasional Hasanuddin. Dingin AC mobil terasa menyengat sampai keulu hatiku ketika kondektur berteriak Bandara....bandara....Lewat pintu bandara, mobil melaju masuk ke arah pintuk keberangkatan bandara. Disamping jalan kiri kanan sepanjang akses ke termanal bandara, nampak promosi OPPO F5 berjejer laksana serdadu.
Lebih dekat ke terminal OPPO diganti dengan promosi produk Class Mild. Hingga saat jarum jam menunjuk angka 04-50 mobil berhenti tepat dipintu keberangkatan. Saya bangkit dari tempat duduk menuju pintu keluar mobil bagian depan. Pas di trotoar pintu terminal keberangkatan, puluhan anak-anak berhamburan menyerbu ke arah Bus yang saya tumpangi. Bocah-bocah itu ternyata kawanan kuli panggul di bandara. Kendati mungkin keberadaannya tidak resmi, sebab rata-rata mereka adalah anak usia sekolah atau dibawah umur tapi paling tidak ada yang menarik untuk saya catat dari mereka itu. Menunggu bag tour yang semalam saya bagasikan lewat kondektur, belum sempat saya sentuh kopor itu sudah ditadah sama bocah-bocah kecil itu.
Saya berusaha merebutnya tapi dia malah memotong jarak dan melompati pembatas besi tang terdapat di koridor terminal bandara. Hanya satu kata yang terucap dari mulutnya saat saya ikut dibelakangnya, "Saya bantuki pak, ndak usah dibayar". Beberapa saat kemudian bag tourku diletakkan pas dipintu masuk bandara. Kendati ia mengatakan tidak usah bayar, tapi sebagai manusia, tentu saja uang 2.000an bukan masalah, justru lembaran 5.000an yang saya serahkan. Pukul 06.00 pagi, setelah melalui pintu yang terdapat detektor dan pelayanan boarding pas saya langsung menuju ke eskalator sebab panggilan untuk Chek In sudah ada.
Pesawat milik maskapai penerbangan Lion Air ini mengantar penumpang tujuan Jakarta termasuk saya yang transit di Jakarta untuk menuju ke Kota Timah Belitung. Setelah melewati waktu tempuh 2.15 menit, pesawat akhirnya mendarat di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng tepat pada jam 07.15 menit waktu Jakarta. Tiba diterminal kedatangan. Barisan pekerja jasa travel dan hotel segera menyerbu menawarkan diri untuk layanan antar ke tujuan. Dipintu keluar bandara, segera kuambil arah kiri untuk masuk ke Terminal Keberangkatan 1 sambil menunggu penerbangan ke Belitung.
Didalam area terminal keberangkatan segera kukabarkan pada sanak famili sebab jam 10.00 pesawat tujuan Jakarta Belitung lepas landas. Pagi di lembar 22 April 2016 kurenda di ruang tunggu Gate 4 Bandara Soekarno Hatta. Saat Handphone kuaktifkan, puluhan pesan via WA masuk dari grup keluarga Rumpita. Termasuk pesan dari Yuyun Husni Djamaluddin, yang menanyakan tindak lanjut dari hasil kesepakatan di Hotel Maleo Mamuju mengenai pengembangan dunia literasi. Belum sempat japriannya kubalas, beliau menelpon langsung. Poin penting dari percakapan kami adalah spirit yang kerap ia ingat dari almarhum ayahnya, "Iyau Tomandar". Bahasa yang singkat, namun penuh makna yang dalam dan panjang untuk dinarasikan. Selain menjadi pengisi waktu menunggu pesawat, rupanya diskusi saya dengan doktor cantik putri Sang Beruang Sulbar atau Panglima Puisi ini ternyata memberi spirit untuk perjalanan saya ke Belitung.
Maka, sepakatlah saya dengan Mbak Yuyun bahwa Diskusi Remapping Sulbar harus mengusung tema Iyau Tomandar. Demikian hasil perbincangan saya dengan dosen Perpolisian Masyarakat yang pada Debat Kandidat Pilgub Sulbar 2017 lalu menjadi Host atau pemandu. Spirit "Iyau Tomandar" dari Yuyun ini sampai ke Belitung menjadi sebuah jawaban bahwa melacak jejak seorang diri dengan obyek Melacak Jejak Topole di Balitung ini merupakan tindakan berani dan nekat. Begitulah teman-teman di Kandang Gapabel mencandaiku. Jawaban singkat saya "Iyau Tomandar" Pesawat akhirnya take off menuju Belitung, Kota Laskar Pelangi tepat jam 10.30 dan tiba di Bandara Belitung jam 11.25 menit.


                                                          Jakarta-Belitung, Minggu 22 April 2018

Selasa, 14 Maret 2017

FESTIVAL MALAUYUNG 2017 (Pesta Nelayan Polewali Mandar)




FESTIVAL MALAUYUNG 2017
(Pesta Nelayan Polewali Mandar)
 
Tangnga-Tangnga, 16-19 Maret 2017
Pra Kegiatan:
10-14 Maret 2017(VOLLY PANTAI)
Rabu 15 Maret 2017 jam 06.30 Wita
ATRAKSI PALLAYUR
(Mancing Ikan Layur)

HARI KE-1 :
Kamis 16 Maret 2017 jam 09.00 Wita
(PEMBUKAAN festival MALAUYUNG)
RITUAL MAPPANDE SASI'
KULINER TRADISIONAL "Laut"
PERTUNJUKAN MUSIK/TARI
PENCAK SILAT TRADISI
PARADE/LOMBA SANDEQ KECCUQ
20.00 Wita :
BACA PUISI Tk. SMP/Sederajat
puisi wajib "AKULAH LAUT"
Karya Alm. Husni Djamaluddin

Hari Ke-2 :
Jumat, 17 Maret 2017
Lomba Mewarnai dan Nyanyi Anak (PAUD/TK)
Lomba Tarik Tambang dan Mancing Tradisional (SD/Sederajat)
Lomba Sandeq Keccuq (lanjutan Hari 1)
Pertunjukan Seni dan Lomba Pakkacaping (SMA/Sederajat)

Hari Ke-3 :
Sabtu, 18 Maret 2017
Senam Sehat dan Bugar Bersama AIM AEROBIC
Lomba Selam logo
Lomba Lepa-lepa
Lomba Mamba'jil
Final Lomba Sandeq Keccuq
WorkshopMalam Penghargaan MALAUYUNG  2017
Pengumuman Lomba dan Penyerahan Piala Pemenang Lomba
Apresiasi dan Pertunjukan Seni Tradisi

Hari Ke-4
Mingu, 19 Maret 2017
Napak Tilas dan Budaya
Tudang Sipulu
Atraksi Budaya Sayyang Pattu'duq
PENUTUPAN

Selasa, 07 Maret 2017

PERSIAPAN PESONA CAKKURIRI II 2017 DIBINCANG DI KANTOR DPRD MAJENE




Bertempat di Ruang Ketua DPRD Kabupaten Majene, Senin, 7 Maret 2017 Panitia Pelaksanan Event Festival Pesona Cakkuriri II 2017 dibahas. Rapat Panitia yang dihadiri oleh Darmansyah selaku penanggung jawab acara bersama Ketua Panitia, A. Amriana CH. Mappatunru ini menggodok sejumlah persiapan dan item kegiatan yang akan diusung pada perhelatan akbar Pesona Cakkuriri tahun ini. Nampak hadir dalam acara tersebut Muhammad Rahmat Muchtar, Muhammad Ishaq, Muhammad Aslam, Opy Muis Mandra dan sejumlah tokoh masyarakat dan Kepala Desa dari Kecamatan Sendana.

 
Event Festival Pesona Budaya Indonesia yang dalam beberapa tahun ini digelar dan telah menjadi program emas Kementrian Pariwisata bekerjasama dengan masing-masing pemkab daerah seperti Mentawai dengan Festival Pesona Mentawai, Minangkabau dengan Festival Pesona Minangkabau, Pesona Tambora NTB, Pesona Palu Nomoni Sulteng, Pesona Selat Lembeh Bitung, Pesona Sangie Sulut, Pesona Teluk Tomini Parigi Moutong dan lain sebagainya. Berderet Festival Pesona tersebut yang ditimbang efektif menjadi arena promosi, gerakan pelestari serta penguatan karakteristik masing-masing daerah yang begitu kaya dan beragam dinusantara ini. Sejumlah event tersebut menjadi penyulut dan sugesti untuk Kami turut menguatkan gerakan kebudayaan tersebut dengan mengusung Festival Pesona Cakkuriri di Sendana Kabupaten Majene.

Event Pesona Cakkuriri adalah salah bukti dari upaya tersebut untuk menjadi penanda bahwa kami peduli dan menghargai kebudayaan. Festival Pesona Cakkuriri ini adalah kali kedua, setelah mendulang sukses pertama di tahun 2016. Berangkat dari sebuah konsep pelestarian budaya yang menjadi dasar pemikiran awal kerja nyata untuk sekaligus menjadi bahan tawaran serta proposal hidup bagi tiap stakeholder, terutama kepada Kementrian Pariwisata untuk dapat bekerjasama dalam membangun potensi manusia lewat kepariwisataan, sejarah, kesenian sebagai salah satu bagian vital kebudayaan.

“Cakkuriri” adalah semua nama bendera pusaka kerajaan Sendana yang berwarna putih bertuliskan
Lafadz Lailaha Illallah Muhammad Rasulullah serta berbagai simbol binatang seperti lipan, ayam dll.
Dari simbolik bendera yang melambangkan suatu kelahiran tatanan masyarakat demokrasi masa lalu sebagaimana kerajaan-kerajaan dinusantara pada umumnya, sehingga kami sedikitpun tak ada keraguan untuk menjadikan Cakkuriri sebagai iconik Sendana Kabupaten Majene. Dari kibar Cakkuriri tersebut kami berharap mampu memberikan semangat gerakan kebudayaan yang lebih dinamis serta mampu memesona dunia.

Festival Pesona kebudayaan yang lebih duluan hadir tersebut, telah memberikan inspirasi dengan semangat dan gagasan yang sama sehingga pada tahun 2016 panitia penyelenggra event dalam satu bentuk kolaborasi tim kerja sesama penggiat dan pemerhati kebudayaan. Dengan kolaborasi penggiat budaya, sejarah dan kesenian tersebut, sehingga dengan berani dan percaya diri menghelat sebuah event kebudayaan tanpa sedikitpun sentuhan dari anggaran pemda setempat. Semangat dan kecintaan pada budayalah sehingga kami berhasil mengumpulkan dana sukarela dari mereka yang punya minat dan kepedulian yang sama.

Mengacu pada suksesnya Event Festival Pesona Cakkuriri I 2016 itulah sehingga pada Festival Pesona Cakkuriri II 2017 ini, kami kembali mempola gerakan secara kolektif dengan mengusung beberapa item kegiatan yang baru seperti “Lomba Perahu Layar khas Mandar” yang sudah terkenal, pameran lukisan dan photografi yang akan menggelar karya-karya pesona alam Sendana dan Majene secara umum. Sketsa denah area nya pun tidak bertumpu pada satu wilayah Kec. Sendana saja, tapi di seluruh titik dan ruang kota Kab. Majene bisa dijejal sebagai bentuk pemerataan apresiasi.

Pada akhirnya Pesona Cakkuriri akan menjadi spirit untuk terus menepis anggapan klasik sebagai “seremoni pesta budaya tahunan”. Model festival pesona adalah moda untuk membuka diri pada ruang  pembaharuan, transformasi budaya, revitalisasi, pendirian rumah atau sapo kayyang, museum yang menjadi modal gerakan kami dalam simpul rekomendasi yanh insyaallah lahir dari event tersebut. Inilah model, moda dan modal kami dalam gerakan kebudayaan yang tidak datang dan pergi begitu saja. Akan tetapi pelaksan dan penyelenggara event ini telah menjadi kesatuan yang utuh dan integral yang tidak akan membubarkan diri dan hilang begitu saja. Simpul dari hasil rekomendasi di event ini telah menadi perekat untuk kami, bahu membahu merekonstruksi memori masa lampau yang luhur itu menjadi dasar untuk menghadirkannya kembali kepada semua. Dan semua kami harapkan untuk ikut bertanggung jawab dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan kita.

Minggu, 05 Maret 2017

PENGANTAR PENULIS : KAMUS SEJARAH DAN KEBUDAYAAN MANDAR


Kamus Sejarah dan Kebudayaan Mandar
(Ensiklopedia Tokoh, Sejarah, Seni dan Budaya Mandar )

Tim Penyusun
Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI)
Cabang Sulawesi Barat
Kantor Perpustakaan Umum dan Arsif Daerah
Kabupaten Majene, 2017
I, 1500 hlm.
ISBN


TIM REDAKSI
Kamus Sejarah dan Kebudayaan Mandar
(Ensiklopedia Tokoh, Sejarah, Seni dan Budaya Mandar )

Penyusun
Drs. Darmansyah
Muhammad Munir

Pengarah 
Tammalele

Tim Kreatif
Ketua
H. Syarifuddin

Anggota
Suryananda, S.Ip, Nursaid Nurdin, ST. Asraruddin, SH. Adnan Wardihan,
Hernawati Usman, Muhammad Aslam, Jalaluddin Ngallo, Ilham Muin. 

Pembantu Pelaksana
Muhammad Arlin, Nizar, Ade Irma, Sherly Ardina,
 
Kamus adalah deskripsi kosakata dari suatu bahasa. Kamus menjelaskan apa arti kata dan menunjukkan bagaimana kata itu bekerja sama untuk membentuk kalimat. Informasi yang disajikan dalam kamus itu diperoleh dari dua sumber utama, yaitu introspeksi dan observasi. Introspeksi berarti melihat ke dalam otak kita sendiri dan mencoba mengingat semua yang kita tahu tentang kata. Sementara itu, observasi berarti memeriksa contoh-contoh nyata dari bahasa yang digunakan (dalam surat kabar, novel, blog, twit, dsb.) sehingga kita dapat mengamati bagaimana orang menggunakan kata-kata ketika mereka berkomunikasi satu sama lain.

Penutur yang fasih dalam suatu bahasa tentunya harus sudah tahu banyak tentang kosakata bahasa itu. Oleh karena itu, introspeksi dapat menjadi sumber wawasan yang berguna tentang apa makna kata itu dan bagaimana kata itu digunakan. Akan tetapi, kamus harus memberikan laporan lengkap dan seimbang mengenai perilaku sebuah kata, dan introspeksi saja tidak dapat memberikan informasi yang cukup untuk tujuan itu. Akibatnya, para pekamus, sejak zaman Samuel Johnson pada abad ke-18, telah memilih untuk mendasarkan kamus mereka pada observasi. Di era Johnson, mengamati bahasa adalah pekerjaan yang melelahkan. Mengamati bahasa sama dengan membaca ratusan buku dan penggalian contoh yang baik dari kata-kata yang digunakan. Namun, teknologi komputer saat ini membuat semua itu lebih mudah. Teknologi komputer memberi kita akses ke begitu banyak data bahasa yang baik sehingga kita sekarang mampu memberikan penjelasan yang benar-benar dapat diandalkan tentang kosakata suatu bahasa (Macmillan Dictionaries: 2014).

Proses tersebut menjadi alas pijakan sehingga penulis mampu menyelesaikan semua rangkaian informasi yang dirangkum dalam buku setebal 1500 halaman ini. Buku ini adalah buku sejenis ensiklopedia yang paling tebal yang pernah ditulis di Mandar dan oleh orang Mandar. Informasi dalam buku ini adalah akumulasi dari semua kebiasaan-kebiasan kecil yang dilakukan setiap saat. Informasi yang selama ini berserakan di rimba raya, dibelahan dunia maya. Butuh waktu yang panjang untuk menyatukannya dalam bentuk sebuah buku. Dan kehendak-Nya jualah yang mengantar naskah ini menemukan takdirnya sebagai buku yang kuberi nama  Kamus Sejarah dan Kebudayaan Mandar, (Ensiklopedia Tokoh, Sejarah, Seni dan Budaya Mandar).

Kamus Sejarah dan Kebudayaan Mandar, (Ensiklopedia Tokoh, Sejarah, Seni dan Budaya Mandar)ini memuat khazanah kosakata bahasa yang berhubungan dengan tokoh, sejarah, seni dan budaya Mandar yang dapat menjadi acuan dalam menengok perjalanan sejarah masa lampau dan menata masa depan peradaban Mandar. Mandar memiliki banyak catatan sejarah yang berserakan dan belum pernah tersajikan dalam bentuk buku yang utuh. Padahal diantara beberapa tokoh dan berbagai rentetan sejarah yang terjadi selama ini sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai sarana pikir, ekspresi untuk menata kehidupan yang lebih MAJU dan MALAQBIQ sesuai cita-cita founding father Sulawesi Barat.

Kamus Sejarah dan Kebudayaan Mandar, (Ensiklopedia Tokoh, Sejarah, Seni dan Budaya Mandar) ini merupakan himpunan informasi terntang Mandar yang dihimpun dalam satu buku. Diharapkan, buku ini bisa menjadi buku rujukan dalam mempelajari dan memahami Mandar secara utuh. Selain tokoh, sejarah, seni dan budaya, ada juga beberapa kosakata umum atau istilah bahasa Mandar yang termuat dalam kamus. Tentu saja ini akan sangat bermanfaat bagi pelajar dan mahasiswa yang ingin mempelajari tentang seluk beluk manusia Mandar.

Apa yang terkandung dalam kamus ini merupakan hasil penelusuran penulis ke beberapa situs dan pusat-pusat peradaban di Mandar, mulai dari Paku sampai Suremana, Tasiu-Kalumpang, Bonehau Mambi, Lampa Mapilli-Matangnga, Matangnga-Lenggo, Matangga-Mambi, Tinambung-Alu, Panyingkul Luyo-Besoangin, Patulang-Alu. Hasil pernelusuran di beberapa tempat tersebut diramu dengan gaya bahasa bertutur sehingga menjadi kumpulan informasi tentang Mandar dari A-Z. Selain itu ada banyak tulisan tentang Mandar yang ditulis oleh beberapa penulis dan peneliti sejarah Mandar yang juga ikut tersaji dalam buku ini.

Bisa dikatakan, buku ini adalah hasil riset langsung ke lapangan ditambah riset pustaka sehingga muatan informasi dalam kamus ini menjadi lebih padat dan kaya akan khasanah kebudayaan Mandar lampau dan sekarang. Buku ini sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai ensiklopedia Mandar sebab informasi yang termuat memang mewakili berbagai tradisi, kebudayaan dan sejarah eks wilayah afdeling Mandar ini. Namun karena sebelumnya sudah ada buku Ensiklopedia Mandar yang ditulis oleh Bapak Suradi Yasil, sehingga penulis memakai kata Kamus Sejarah dan kebudayaan Mandar. Tulisan dalam buku ini dapat  dibandingkan sekaligus disandingkan dengan Ensiklopedia Mandar yang terbit sebelumnya. Buku ini menjadi Kamus yang sengaja dirancang untuk proses penyempurnaan ensiklopedia sebelumnya yang hanya 90% memuat informasi dari Pitu Ba’bana Binanga dan 10% informasi dari Pitu Ba’bana Binanga. Harapan kita tentunya, baik Ensiklopedia Mandar maupun Kamus Sejarah ini menjadi sumber rujukan untuk melengkapi perbendaharan pengetahuan tentang Mandar.

Kamus dengan ketebalan mencapai 1500 halaman ini merupakan ramuan informasi dari penelusuran penulis dan juga penelusuran informasi melalui buku-buku yang sebelumnya telah diterbitkan, salinan lontar Mandar yang berhasil ditemukan penulis, juga sejumlah informasi yang terdiri dari tulisan, rilis di media catak, media on line yang berhasil penulis searching di google. Kamus ini ditulis dan disusun berdasarkan abjad dengan menyebutkan sumber/link tulisan yang termuat dalam buku ini. Selain itu, berbagai informasi melalui status teman-teman penulis di medsos terabadikan dalam buku ini. Termasuk informasi melalui email, telfon, sms, surat, surat kabar/majalah maupun melalui forum atau pertemuan ilmiah.

Dari segi isinya, kamus ini diperkaya istilah bidang ilmu sejarah, budaya, seni dan profil tokoh baik yang sudah sering dilisan tuliskan maupun yang hanya melalui tutur, bahkan ada diantaranya yang sama sekali asing di daerah Mandar. Semua itu dilakukan agar kedepan generasi kita semakin mudah mempelajari dan mencari sumber rujukan tentang Mandar, termasuk meneladani figur tokoh-tokoh dalam buku ini. Informasi di buku ini sangat mungkin jadi rujukan dan acuan terutama pelajar dan mahasiswa serta masyarakat umum yang berminat memahami konsep-konsep dasar tentang periodesasi sejarah, tokoh, budaya dan seni di Mandar. Dengan demikian, buku ini diharapkan menjadi sumbangan bagi upaya pencerdasan anak-anak Mandar dan bangsa ini menjadi lebih terasa

Inilah hasil dari sebuah semangat, ketekunan, dan kerja keras penulis selama ini. Oleh karena itu, dengan terbitnya kamus ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Tim kreatif Rumpita dan jaringan rumah bacanya, saudara-saudara di Museum Mandar Majene, di Teater Flamboyant Mandar, Komunitas dan Sanggar Seni di Majene dan Polewali Mandar, Uwake Cultuur Fondation, Apatar Pamboang, Rumah Kata, KOPI Sendana, Appeq Jannangang, KOMPADANSA Mandar, Nusa Pustaka, Rumah Pustaka, Sossorang, One-Do,  MSI, LAN, UNSULBAR, UMASMAN, UNIKA, UNM, UIN Alauddin, UNHAS dan semua pihak yang telah turut berperan dalam penulisan kamus ini. Selain itu saya memberikan ucapan terima kasih kepada Pemda Majene, anggota DPRD Kabupaten Majene, Anggota DPRD Kabupaten Polewali Mandar, Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Barat, dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten dan provinsi.

Tak lupa melalui kesempatan ini juga, saya ingin menghaturkan ribuan ucapan terima kasih kepada orang tua saya Nurdin Hamma, Suradi Yasil, Aksan Djalaluddin, H. Murad, Darwin Badaruddin, Bakri Latief, H. Ahmad Asdy, Tammalele, dan semua saudara dan para senior generasi emas Mandar, Hamzah Ismail, Muhammad Asri Abdullah, Adi Arwan Alimin, Bustan Basir Rahmat, Opy Muis Mandra, Mustari Mula, Muhammad Rahmat Muchtar, Muhammad Ridwan Alimuddin, M. Thamrin, Ramli Rusli, Ainun Nurdin, Ahmad Akbar, Wahyudi Hamarong, Ilham Muin, Muhammad Naim, Mursyid Wulandari, Muhammad Aslam, H. Syarifuddin, Jalaluddin Ngallo, Yudhi, Mega, Aco, Zulfihadi, Mursalin, S.Pd., Abdul Rasyid Ruslan dan semua yang kerap memberiku ruang untuk berfikir dan berkarya selama ini.  

Semoga penerbitan kamus ini dapat memberi manfaat besar bagi upaya pencerdasan masyarakat Sulawesi Barat yang Malaqbiq menuju insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif.
Majene, Maret 2017
MUHAMMAD MUNIR