Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 Februari 2024

SUPARMAN SOPU ||TERSENYUM SAJALAH


Tersenyum sajalah 
Di kerumunan orang yang berpesta 
Merayakan kemenangan dalam kekalahan 

Diam saja dan tak perlu murung 
Untuk mengatakan bahwa engkau tidak sedang sakit
Kebenaran yang diyakini biarlah redup dalam kerdip lampu kepalsuan 
Redup dan jangan padamkan
Biarlah jadi bara di dada kesejatian 
Di dalam kesetiaan menjunjung harkat 

 Terseyum sajalah 
Pada lelucon orang-orang yang menang dalam kepalsuan
Yakinkan bahwa kitalah pemenang sejati 
Karena tetap dapat menatap terang kebenaran
Karena tetap tak menukar keburukan dengan kebaikan 
Karena tetap meliukkan keindahan dalam kata dan gerak 

Tersenyum sajalah 
Ketika tetap dapat memahami hembusan nafas  
Ketika tetap dapat memaknai diamnya tanah
Ketika tetap dapat memetik semangat pada matahari 
Ketika tetap dapat merendah pada aliran air
Di tubuh kita 
Tersenyumlah

Mamuju, 22.49. 
28 Februari 2024 
Suparman Sopu

Sabtu, 03 Februari 2024

Bukan Menggugat Tapi Menggugah !

Eja mengeja telah kau baca
Tulis menulis telah tuntas
Pun cerita lisan sukses kau taklukkan dalam tulisan
Dengan itukah kau lupa nisan?
Pernahkah kau tulis ritus kematian?
Jika tidak, jangan beri aku status apapun
Sebab dimataku kau tak ubahnya situs
Yah, situs 
Situs yang tak mampu kau tulis, selain mitos tentang perruqdusang lalu kau mengajakku adu jotos.
Ah, pantas kau hidup dalam siklus yang tak menemukan klimaks
Jangan bersenggama dengan kegamangan sebab itu hanya akan mencumbui fikirmu dengan birahi
Dan itu hanya membuat buas 

Hari ini aku ingin bertanya 
Apa kau telah puas ?
Jangan jawab iya, sebab keangkuhanmu hanya akan menuntunku untuk menonton parade kebodohan
Yah, kau memang bisa, bisa apa saja
Tapi kau bias
Sebab hari ini kau terlalu terobsesi mengajariku abjad dari A sampai Z.
Ah, tidak. Aku tak seberani itu memanggilmu guru
Maaf !

Jika hasratmu menjadikanku berguru
Jangan ajari aku B, C sampai Z
Sebab aku tak ingin diburu
Cukup ajari aku A
Maka akan kupanggil kau guru
Jelaskan padaku tentang A
Beri tahu aku tentang garis-garisnya
Tuntun aku menemukan tekanan pada bagian tengah yang memotong bagian yang memanjang kearah luar
Dan lalu antar aku pada puncak dimana garis itu dipertemukan
Tunjukkan padaku tiga garis saling bertemu di tengah titik
Kenapa garis itu panjangnya sama?

Setelah A, kutemukan sifatnya
Aku akan takluk dan memanggilmu guru
Dan menemukan B, C dan Z disetiap inci demi inci tubuhmu
Juga pada semua yang bertubuh
Maupun dari semua makhluk yang lahir dari proses bersetubuh
Jadilah guru buatku jangan bisu
Agar aku tak jadi insan ambigu
Jadilah guru buatku
Agar aku tak menulismu dungu
Sebab kata memaksaku begitu lugu
Dan kau harus tahu itu
Jika tidak
Apa artinya fir'aun diselamatkan Tuhan ?
Maafkan aku !

Kandemeng, 03 September 2015

SERIGALA BERTOPENG NABI (4)


Tiba-tiba saja kau hadir dengan lusuh diwajahmu
Guratan diwajahmu nampak penuh beban 
Kusambut setiap salam yang kau ucap dibibirmu
Dan ikut memunguti pilu yang digoreskan pemilu 
Lalu kusiapkan air untuk membasuh kusam di wajahmu 
Dan tak pernah aku menghitung berapa jumlah sujud
Serta doa-doa apa saja yang mengiringi zikirmu diatas sajadahku
Semua kuhalalkan sebab tak mungkin do’a-do’amu lahirkan dosa

Tiba-tiba saja hadirmu membuatku punya nyali
Dari diam dan sugiging ditempat menjadi auman lalu mencakar
Aku bahkan mengorbankan kenikmatanku untuk sirondo-rondoi
Dan tak secuilpun dihatiku mampu kulakukan untuk melukaimu
Aku bahkan masih tertawa ketika kau mengusik tidurku
Bahkan tak tidurpun kulakukan demi sebuah obsesi yang kau dapuk
Karna begitulah aku menerjemahkan kebersamaan yang sulit kau dapati
Semua kuhibahkan sebab kuyakin dosa-dosaku terkikis karnamu

iba-tiba saja hadirmu membuatku resah
Sebab segala tentangku kuurai karna uraian mengajakmu mengurai
Kau rela melerai seteru dihidupku yang tak mungkin bisa kuurai
Wajar saja aku resah, sebab kau hadir menjagaku meski aku terjaga
Terlebih ketika aku lelap dan lalai, kau masih saja enggan berlalu
Hingga kutemukan dirimu membeli resahku dengan menghinaku
Betapa tidak, kau dengan enjoy bersama laba-laba menyusun jaring
Aku tahu itu, tapi sekali lagi aku abai dengan lakumu

Kini hadirmu hampir semusim
Tiba-tiba saja kau beranjak dan aku kau injak
Wajahmu tak lagi lusuh, tapi berbinar ketika aku enggan menindak
Kau bahkan mampu menginjak-injak sajadah tempat sujudku
Karena akik dan batu mulia biasa kau jejer di jemarimu
Dengan semua itu, kau menyangka memiliki kehormatan
Lalu apakah dengan kehormatan itu kau jadi orang terhormat ?
Dan apakah menginjak kehormatan itu adalah kemuliaan ?
Mungkin saja semua kau aminkan karna fasihmu melafal dzikir
Tapi kau lupa, bahwa sujud dan dzikir itu bukan sekedar pelebur dosa
Bahwa batu mulia itu bukan sekedar mulia untuk gagah-gagahan
Semua itu adalah pertanda yang menandai kita sebagai manusia
Jika manusia abai dengan kemanusiaan
Maka sujud, dzikir, akik dan batu mulia adalah sia-sia
Kini, hadirmu dan hadirku adalah keadaan
Dan keberadaan kita tak harus berada jika tak bisa beradab
Sebab jika kau tak bisa menjaga adab, 
Jangan sesalkan jika aku menjadi biadab !

@BOTTO, Dua Sembilan Januari 2015

Jumat, 02 Februari 2024

SERIGALA BERTOPENG NABI (5)

Suatu hari 
Aku merelokasi semua bacaan jadi mantra
lalu mantra itu kerapal di setiap bilik suara
Aku lupa bahwa aku bukan politisi
sebab politisi ternyata jidatnya jadi lautan arang 
dan doa-doanya makbul oleh material yang kadang lupa dicuci oleh warga.

Suatu hari 
Aku dengan sangat patuh dan menganggap semua politisi adalah makhluk yang layak dipatuhi
Tanpa sadar aku jadi pengikut sebab partai lupa mengkader
Aku akhirnya tersadar bahwa kepatutatan harusnya pada orang yang patut dipatuhi. 
Orang itu tentu bukan politisi, sebab aku bukan caleg

Hari ini
atribut dan kebanggaan politisi itu telah kutanggalkan
tapi belum kutinggalkan
sebab aku masih melihat harapan terbit dari sorot mata para petani yang ke pasar menjual hasil kebun tapi ternyata harus menggadaikan jam tangannya untuk bisa kembali ke rumah

Hari ini
Akulah politisi itu
Bukan mereka yang namanya berderet di surat suara
Bukan mereka yang fotonya jadi gambar mata uang 
Akulah politisi itu
Bukan mereka yang tanpa sadar mengeja Tuhan 
Bahkan memaksa Tuhan meladeni keinginannya
Lalu ketika Tuhan enggan melayani
Tuhanpun dipenjara pada dinding masjid 
"ini karpetmu Tuhan
ini tegel dan marmermu Tuhan
Jika Tuhan butuh aku, panggillah pake TOA
ini deposito buat membangun rumahmu bagi anak-anak
Tinggallah di rumahmu
sebab di rumah rakyat, kadang Tuhan rewel jika ikut ke ruang paripurna"
Kata mereka

Dan......saat ini
Label dan sematan politisi itu benar-benar kutinggalkan
sebab ternyata menjadi rakyat jauh lebih politis.....
Bahkan tak jarang jadi puitis ketika menemukan politisi di ujung jalan. 

Muhammad Munir
Katitting, Desa Tandung, Januari 2019

Sabtu, 21 September 2019

Mandar Writers And Culture Forum 2019



“Ajarkan sastra kepada anak-anakmu karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani” Demikian Umar Bin Khattab RA berwasiat. Andai sebagian besar manusia ‘menyukai’ sastra, maka bisa dibayangkan betapa dunia ini akan dipenuhi oleh manusia-manusia pemberani namun berhati lembut, bak Umar bin Khattab. Sayang sekali, hanya segelintir orang yang tertarik pada dunia sastra.
Di tengah ruwetnya persoalan bangsa, di tengah hancurnya moral bangsa, dari kenakalan, hingga korupsi yang masih saja menggerogoti negara ini,  sastra hadir, diantaranya untuk mengembalikan ruh bangsa yang telah nyaris mati. Maka telah menjadi tugas kita, para pelaku sastra, untuk menyebarluaskan nilai-nilai moral yang tertuang dalam karya-karya sastra dalam beragam bentuk.
Di zaman pra dan awal kemerdekaan, banyak karya-karya fenomenal yang mampu mempengaruhi pola pikir dan pola sikap masyarakat. Sebutkan beberapa roman, diantaranya Siti Nurbaya. Bahkan sampai saat ini ungkapan ‘ini bukan zaman siti Nurbaya’ masih sering diucapkan sebagai kalimat penolakan atas suatu perjodohan. Pertanyaannya, mampukah kita, dewasa ini, di tengah rendahnya budaya literasi masyarakat, juga menghasilkan karya yang mengisnpirasi?
Sastra bukan sekedar roman picisan yang hanya membuat pembaca berurai air mata atau tersenyum bahagia. Sastra bukan sekedar kisah yang kalau tidak happy ending pasti sad ending. Lebih dari itu, sastra sejatinya berangkat dari keresahan hati akan realitas sosial yang terjadi. Sastra adalah cerminan masyarakat di mana sebuah karya sastra berasal.  
Maka, tidak bisa dipungkiri, sastra memegang peranan penting terhadap pemulihan-pemulihan kondisi sosial yang kita alami sekarang. Karena itulah, membudayakan sastra, mengajak para generasi untuk cinta membaca dan menulis, atau sekedar menikmati sajian-sajian budaya, adalah salah satu yang harus dilakukan demi terwujudnya masyarakat beradab dan berbudaya.
Untuk tujuan itulah sehingga MANDAR RITER ADN CULTURE FORUM I 2019 digagas dan dihelat untuk wilayah Sulawesi Barat. MWCF I 2019 dilkasanakan bekerjasama dengan beberapa komunitas literasi Kegiatan ini merupakan forum pertemun para penulis dan pekerja-pekerja kreatif di Sulawesi Barat sebagai sebuah perayaan atas karya-karya yang telah dihasilkan. Kegiatan ini rencananya akan dilaksanakan setiap tahun. MWFF diharapkan menjadi ruang berkreasi menuangkan imajinasi menjadi sebuah karya yang menginspirasi.


NAMA KEGIATAN
Mandar Writers and Culture Forum I (MWCF I) 2019

TEMA KEGIATAN
Putika: Spiritual, Sosiologis dan Masa Depan Mandar

TUJUAN KEGIATAN
Kegiatan MWCF I 2019 bertujuan :
1.      Memberikan ruang bagi Penulis-penulis di Sulawesi Barat untuk berkreasi.
2.      Memperkenalkan budaya literasi bagi masyarakat Sulawesi Barat.

WAKTU PELAKSANAAN KEGIATAN
Mandar Writers and Culture Forum I (MWCF) I 2019 akan dilaksanakan pada tanggal 25- 28 Oktober 2019

Kontak Person 
Muhammad Munir : 
WA 082113008787
telp. 085228777027

HUSNI DJAMALUDDIN: "Ya, Betul. Dia Panglima. Titik!".

Catatan Muhammad Munir
Foto alm.Husni Djamaluddin saat Megawati Soekarno Putri kunjungan kerja ke Polewali Mandar, 26 Juni 2004

15 Tahun Sulawesi Barat ini, izinkan saya melisan tuliskan sosok Husni Djamaluddin, kendati saya bukan orang orang yang pernah berguru langsung. Bertemu pun tak pernah selain hanya melihatnya beberapa kali dalam kurun waktu 1999, 2000, 2001 dan terakhir 2004, itupun hanya sekedar melihatnya sepintas.
Pernah suatu ketika saya ditanya siapa yang menjuluki Husni Djamaluddin sebagai Panglima Puisi?. Pertanyaan ini tentu saja membuat saya tersentak sebab pembacaan dan pemahaman saya tentang beliau sebatas pada Trilogi Bacaan: Husni Djamaluddin Yang Saya Kenal; Adakah Kita Masih Bertanya?; Indonesia, Masihkah Kau Tanah Airku?. Saya yakin pertanyaan ini akan terus muncul dan bisa menjadi bom waktu bagi penggiat literasi ketika tak mampu memberikan jawaban.

Selasa, 20 Juni 2017

SAMBUTAN KETUA PAGAR NUSA NU Pada Buku Kottau Warisan Nusantara





Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh_

*Belajar Arif dari Ilmu Silat dan Ilmu Surat*
"Orang hebat mampu mengendalikan orang lain, tetapi lebih hebat lagi kalau dia mampu mengendalikan dirinya sendiri” (Lao Tze)

Betapa mudah menghardik orang lain, namun betapa sulit mengendalikan diri sendiri. Inilah cermin di balik kekuatan para pendekar, di balik jurus-jurus yang dilatih: bagaimana menjadi waskita, bagaimana sublim dalam keheningan diri. Manusia Indonesia sedang terombang-ambing dalam gelombang modernitas.

Banyak pihak salah mengira. Banyak orang juga masih salah kaprah dalam memandang modernitas. Bahwa, untuk menjadi modern harus memutus sama sekali kaitan dengan hal-hal lama. Embel-embel yang berbau masa lalu dan kuno, bukan hanya harus dipinggirkan, tapi juga wajib dibuang jauh-jauh.

Stigma sebagai masyarakat maju dan berkeadaban dipandang hanya bisa diraih ketika sudah berhasil menghilangkan tradisi-tradisi lama, untuk kemudian menggantinya dengan tren-tren kekinian.

Banyak di antara kita yang masih salah tangkap. Terutama, saat memandang modernitas dan kemajuan yang berhasil diraih bangsa Barat hingga saat ini. Kita menjadikan mereka sebagai kiblat, namun hanya melihatnya secara sekelebat. Seringkali yang diambil hanya kulitnya, tanpa menyerap sarinya. Singkatnya, kita masih gagal memotret modernitas dan kemajuan yang mereka raih secara utuh.

Akibatnya, alih-alih benar-benar menjadi menjadi maju dan modern. Pada akhirnya, kita justru kehilangan identitas sendiri. Bukan hanya sebagai individu, tapi juga identitas sebagai sebuah masyarakat yang merupakan bagian dari sebuah bangsa. Kita memupus jati diri kita sendiri demi mengejar status modern. Sayangnya, karena berangkat dari pemahaman yang parsial, status modern yang dibangga-banggakan sesungguhnya semu belaka.

Selain itu, sadar atau tidak, dengan meninggalkan dan melupakan khazanah-khazanah lama yang pernah dimiliki, kita bukannya menjadi subyek modernitas. Kita justru hanya menjadi obyek dari kemajuan itu sendiri. Kita membawa diri kita sekedar menjadi masyarakat dan bangsa pengekor.

Tidak perlu muluk-muluk bicara soal demokrasi ataupun perkembangan teknologi yang hingga hari ini, hampir seluruhnya kita ekspor dari belahan dunia lain. Untuk istilah cantik saja, kita gagal memiliki definisi sendiri. Bahwa yang biasa disebut cantik, hanyalah untuk mereka yang berkulit putih, berhidung mancung, dan sebagainya.

Kita sering lupa bahwa kita mendiami sebuah wilayah beriklim tropis. Kondisi tersebut tentu merupakan contoh kecil saja. Yaitu, tentang bagaimana identitas kita yang terus terkikis dari hari ke hari. Padahal, sekali lagi disadari atau tidak, sejarah sudah banyak mencatat tentang hilangnya sebuah bangsa atau peradaban dengan didahului hilangnya identitas bangsa tersebut.

Dalam konteks sejarah pula, jika memang benar-benar ingin belajar dari kemajuan bangsa Barat, kita sepatutnya akan sadar bahwa capaian yang tampak hari ini bukan muncul seketika. Ada tahapan-tahapan dan lipatan sejarah yang telah dilalui. Di antara yang terpenting adalah modernitas yang terus mereka ciptakan justru bertumpu dan berpangkal dari keseriusan menggali, mempelajari, dan menggeluti kembali khazanah-khazanah masa lalu.

Era itu kita kenal selama ini sebagai renaissance (kelahiran kembali). Kurun waktunya berada disekitar abad ke-14 sampai abad ke-17. Periode tersebut sekaligus merupakan akhir dari abad pertengahan yang kerap dikenal sebagai dark age (zaman kegelapan) bangsa-bangsa Eropa.

Di masa renaissance ketika itu, muncul gerakan kebudayaan dan intelektual, sekaligus kesadaran untuk kembali menggali pemikiran-pemikiran lama dari para pemikir serta filsuf Yunani dan Romawi kuno. Teks-teks lama dibuka dan dipelajari kembali. Logika berpikir yang berkembang dan dikembangkan di masa tersebut disandarkan pada logika berpikir di era Socrates, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf lainnya yang pernah ada.

Berangkat dari masa-masa renaisance itulah, sekitar 100 tahun kemudian, era _aufklarung_ (zaman pencerahan) muncul. Periode tersebut yang kerap dikaitkan dengan kemodernan Eropa hingga hari ini. Sebab, pada masa-masa itulah pemikiran-pemikiran baru bermunculan. Bukan hanya di ranah filsafat dan kebudayaan, tapi juga berbagai ilmu pengetahuan.

Di sinilah, semangat kehadiran buku ini menemukan garis relevansinya. Upaya mulia sahabat Suryananda menggali sekaligus mengangkat pencak silat, khususnya silat Mandar, sudah seharusnya ikut membangunkan kita semua.

Bukan hanya kesadaran bahwa pencak silat yang merupakan khazanah asli Indonesia wajib dilestarikan. Tapi, juga kesadaran untuk sesegera mungkin menyiapkan diri untuk menjemput kemajuan.

Lewat buku ini, kemajuan yang sudah di depan mata kita sesungguhnya bukan lagi kemajuan semu milik bangsa lain. Tapi, kemajuan bangsa Indonesia yang sejatinya memang sebuah bangsa yang besar. Bangsa yang memiliki peradaban yang begitu tinggi. Seni beladiri pencak silat menjadi tiang penyangganya.

'Ala kulli haal, keberadaan buku ini juga sekaligus harus menumbuhkan kesadaran kritis untuk kita semua. Bahwa, penguatan identitas dan khazanah Nusantara akan berhasil jika kita mampu mengimplementasikan sekaligus mengembangkan nilai-nilai, moral dan etika yang menjadi perspektif buku ini. Pencak Silat sejatinya bukan sekedar gerakan tubuh, namun memiliki pondasi filosofis pada moral dan etika spiritual. Inilah yang menjadikan Pencak Silat sangat khas, dibandingkan dengan bela diri lainnya.

Karya sahabat Suryananda ini menjadi hidup dan bernyawa, justru karena diimplementasikan dan lahir dari pengalaman yang dibarengi dengan riset. Saya berbangga dengan lahirnya buku ini, yang menegaskan betapa khazanah budaya Nusantara begitu kaya.
Buku ini menegaskan pepatah lama, betapa Ilmu Silat dan Ilmu Surat (teks) terkoneksi erat, saling menyempurnakan.
_Waallahu muwaffiq ila aqwaamit thariq, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh_

Muchamad Nabil Haroen
Ketua Umum PP Pagar Nusa NU