Assalamu'alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh_
*Belajar
Arif dari Ilmu Silat dan Ilmu Surat*
"Orang hebat mampu
mengendalikan orang lain, tetapi lebih hebat lagi kalau dia mampu mengendalikan
dirinya sendiri” (Lao Tze)
Betapa mudah menghardik orang lain, namun betapa sulit
mengendalikan diri sendiri. Inilah cermin di balik kekuatan para pendekar, di
balik jurus-jurus yang dilatih: bagaimana menjadi waskita, bagaimana sublim
dalam keheningan diri. Manusia
Indonesia sedang terombang-ambing dalam gelombang modernitas.
Banyak pihak salah mengira. Banyak orang juga masih salah kaprah dalam
memandang modernitas. Bahwa, untuk menjadi modern harus memutus sama sekali
kaitan dengan hal-hal lama. Embel-embel yang berbau masa lalu dan kuno, bukan
hanya harus dipinggirkan, tapi juga wajib dibuang jauh-jauh.
Stigma sebagai masyarakat maju dan berkeadaban dipandang hanya
bisa diraih ketika sudah berhasil menghilangkan tradisi-tradisi lama, untuk
kemudian menggantinya dengan tren-tren kekinian.
Banyak di antara kita yang masih salah tangkap. Terutama, saat
memandang modernitas dan kemajuan yang berhasil diraih bangsa Barat hingga saat
ini. Kita menjadikan mereka sebagai kiblat, namun hanya melihatnya secara
sekelebat. Seringkali yang diambil hanya kulitnya, tanpa menyerap sarinya.
Singkatnya, kita masih gagal memotret modernitas dan kemajuan yang mereka raih
secara utuh.
Akibatnya, alih-alih benar-benar menjadi menjadi maju dan modern.
Pada akhirnya, kita justru kehilangan identitas sendiri. Bukan hanya sebagai
individu, tapi juga identitas sebagai sebuah masyarakat yang merupakan bagian
dari sebuah bangsa. Kita memupus jati diri kita sendiri demi mengejar status
modern. Sayangnya, karena berangkat dari pemahaman yang parsial, status modern
yang dibangga-banggakan sesungguhnya semu belaka.
Selain itu, sadar atau tidak, dengan meninggalkan dan melupakan
khazanah-khazanah lama yang pernah dimiliki, kita bukannya menjadi subyek
modernitas. Kita justru hanya menjadi obyek dari kemajuan itu sendiri. Kita
membawa diri kita sekedar menjadi masyarakat dan bangsa pengekor.
Tidak perlu muluk-muluk bicara soal demokrasi ataupun perkembangan
teknologi yang hingga hari ini, hampir seluruhnya kita ekspor dari belahan
dunia lain. Untuk istilah cantik saja, kita gagal memiliki definisi sendiri.
Bahwa yang biasa disebut cantik, hanyalah untuk mereka yang berkulit putih,
berhidung mancung, dan sebagainya.
Kita sering lupa bahwa kita mendiami sebuah wilayah beriklim
tropis. Kondisi tersebut tentu merupakan contoh kecil saja. Yaitu, tentang
bagaimana identitas kita yang terus terkikis dari hari ke hari. Padahal, sekali
lagi disadari atau tidak, sejarah sudah banyak mencatat tentang hilangnya
sebuah bangsa atau peradaban dengan didahului hilangnya identitas bangsa
tersebut.
Dalam konteks sejarah pula, jika memang benar-benar ingin belajar
dari kemajuan bangsa Barat, kita sepatutnya akan sadar bahwa capaian yang
tampak hari ini bukan muncul seketika. Ada tahapan-tahapan dan lipatan sejarah
yang telah dilalui. Di antara yang terpenting adalah modernitas yang terus
mereka ciptakan justru bertumpu dan berpangkal dari keseriusan menggali,
mempelajari, dan menggeluti kembali khazanah-khazanah masa lalu.
Era itu kita kenal selama ini sebagai renaissance (kelahiran kembali).
Kurun waktunya berada disekitar abad ke-14 sampai abad ke-17. Periode tersebut
sekaligus merupakan akhir dari abad pertengahan yang kerap dikenal sebagai dark
age (zaman kegelapan) bangsa-bangsa Eropa.
Di masa renaissance ketika itu, muncul gerakan kebudayaan dan
intelektual, sekaligus kesadaran untuk kembali menggali pemikiran-pemikiran
lama dari para pemikir serta filsuf Yunani dan Romawi kuno. Teks-teks lama
dibuka dan dipelajari kembali. Logika berpikir yang berkembang dan dikembangkan
di masa tersebut disandarkan pada logika berpikir di era Socrates, Plato,
Aristoteles, dan filsuf-filsuf lainnya yang pernah ada.
Berangkat dari masa-masa renaisance itulah, sekitar 100 tahun
kemudian, era _aufklarung_ (zaman pencerahan) muncul. Periode tersebut yang
kerap dikaitkan dengan kemodernan Eropa hingga hari ini. Sebab, pada masa-masa
itulah pemikiran-pemikiran baru bermunculan. Bukan hanya di ranah filsafat dan
kebudayaan, tapi juga berbagai ilmu pengetahuan.
Di sinilah, semangat kehadiran buku ini menemukan garis
relevansinya. Upaya mulia sahabat Suryananda menggali sekaligus mengangkat
pencak silat, khususnya silat Mandar, sudah seharusnya ikut membangunkan kita
semua.
Bukan hanya kesadaran bahwa pencak silat yang merupakan khazanah
asli Indonesia wajib dilestarikan. Tapi, juga kesadaran untuk sesegera mungkin
menyiapkan diri untuk menjemput kemajuan.
Lewat buku ini, kemajuan yang sudah di depan mata kita
sesungguhnya bukan lagi kemajuan semu milik bangsa lain. Tapi, kemajuan bangsa
Indonesia yang sejatinya memang sebuah bangsa yang besar. Bangsa yang memiliki
peradaban yang begitu tinggi. Seni beladiri pencak silat menjadi tiang
penyangganya.
'Ala kulli haal, keberadaan buku ini juga sekaligus harus
menumbuhkan kesadaran kritis untuk kita semua. Bahwa, penguatan identitas dan
khazanah Nusantara akan berhasil jika kita mampu mengimplementasikan sekaligus
mengembangkan nilai-nilai, moral dan etika yang menjadi perspektif buku ini.
Pencak Silat sejatinya bukan sekedar gerakan tubuh, namun memiliki pondasi
filosofis pada moral dan etika spiritual. Inilah yang menjadikan Pencak Silat
sangat khas, dibandingkan dengan bela diri lainnya.
Karya sahabat Suryananda ini menjadi hidup dan bernyawa, justru
karena diimplementasikan dan lahir dari pengalaman yang dibarengi dengan riset.
Saya berbangga dengan lahirnya buku ini, yang menegaskan betapa khazanah budaya
Nusantara begitu kaya.
Buku ini menegaskan pepatah lama, betapa Ilmu Silat dan Ilmu Surat
(teks) terkoneksi erat, saling menyempurnakan.
_Waallahu
muwaffiq ila aqwaamit thariq, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh_
Muchamad
Nabil Haroen
Ketua
Umum PP Pagar Nusa NU