Tampilkan postingan dengan label Pustaka. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pustaka. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Maret 2024

MANDAR DALAM BUKU BUMI SRIWIJAYA

Buku Bumi Sriwijaya adalah epos sejarah yang ditulis oleh Bagus Dilla, seorang penulis jebolan Pesantren Madrasatul Qur'an Tebuireng Jombang Jawa Timur. Buku setebal 483 ini terbit pada tahun 2010 lewat Pwnerbit Diva Press Jogyakarta. 

Sebagaimana kita ketahui, Sriwijaya adalah imperium besar meski tak tercatat dengan baik dalam torehan sejarah sebagaimana Imperium Persia, Romawi, Mesir, Arab, Cina dan India. Kebesaran Sriwijaya hanya sebentuk serpihan serpihan kecil yang perlu direka dan dibentuk. 

Terlepas dari itu, Kerajaan Sriwijaya tentu harus diakui sebagai sebuah kerajaan besar sebelum Majapahit. Kekuasaannya membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kaimantan hingga Sulawesi (?). 

Hal menarik dari buku ini adalah pengakuan penulis yang bisa jadi tak tahu dimana itu Mandar, tapi dengan kekuatan literatur atau sumber valid menyebut Mandar pada bagian 40 segmen Perang di Binaga halaman 261 sebagai berikut:
"..... Kita tidak perlu gegabah. Kekuatan kita lebih unggul dari sisi pertahanan. Aku rasa, mereka akan kesulitan menembus pertahanan kita. Kita telah meminta bantuan dari keluarga Kanpi yang masih belum tunduk kepada Jagadhita. Para perompak di perairan Seilan, Mandar, Banjar, Langkasuka, Dharmanagari, Pan Pan, Gangga Negara, Dwarawati, Chaiya, Kambonyanyat dan Syangka....... "

Sebagai novel atau epos, tentu saja ini tidak mesti dipahami sebagai bentuk karangan bebas. Penulisnya tentu tak akan seberani itu mereka-reka peristiwa kendati hal tersebut halal dalam wilayah susastra. Karya sastra juga tak etis dimaknai sebagai sebentuk narasi yang mengakumulasi kebohongan belaka. 

Dunia kesusastraan hari ini adalah pola penulis untuk mengawali sebuah obyek cerita sebelum serpihan serpihan cerita itu direkonstruksi dalam buku karya sejarah. Karya sastra dianggap lebih maju karena mementingkan isi daripada bentuk. Sastra dianggap sebagai sugesti untuk memberi semangat mencari jalan baru bagi sebuah peradaban dalam membangkitkan semangat bangsa. 

Sebagaimana Bagus Dilla mengaukui bahwa karyanya itu merupakan orientasi susastra dengan sedikit balutan sejarah. Novel Bumi Sriwijaya adalah sebentuk upaya pengayaan cerita dan budaya yang tidak terlalu ambisius dan prestisius, kecuali hanya mengingat-ingat masa lampau yang nyaris tak terbentuk (hal.6). 

Minggu, 04 Februari 2024

BUKU WARISAN PASSOKKORANG

Selamat datang Buku "Warisan Passokkorang" dalam deretan diksi sejarah di Mandar. Semoga kehadiranmu menjadi pemantik bagi siapapun yang punya keinginan untuk merekonstruksi kembali Babad Tanah Passokkorang. 

Passokkorang mungkin akan menjadi salah satu kosakata sulit dan tak lagi dikenal generasi hari ini. Tapi mengabaikan Passokkorang tentu bukan langkah bijak bagi siapapun. Ia adalah narasi penting untuk menemukenali Jejak Mandar yang sesungguhnya. 

Mari bersama mengulik dan menguliti suguhan narasi yang disuguhkan oleh Muhammad Munir ini.

BUKU SEJARAH DESA PARAPPE

PARAPPE DAN PUSAT PENDIDIKAN ISLAM DI MANDAR. 

Desa Parappe mungkin hanya setitik noda pada peta negeri ini, tapi noktah sejarah membeberkan kepada kita bahwa jauh sebelum Kappung Masigi (Desa Bonde) menjadi pusat keagamaan, di Banua Desa Parappe telah menjadi pusat pencetak ulama yang kemudian menyebar jadi seorang Annangguru di daerah lain. 

Buku ini memberikan informasi tentang Lamassagoni Tomatinroe Ri Dara'na, Syekh Muhammad Amin Tosalama Panyampa yang merintis pusat keagamaan yang ditandai dengan adanya sebuah langgar di Banua sebagai pusat pendidikan keagamaan. Dari sinilah Syekh Hasan Yamani merekam jejaknya ketika harus meninggalkan Kota Makkah saat terjadinya kudeta dari Wahabi. 

Dari Parappe inilah, embrio pendidikan Islam dimulai dan hingga hari ini, 2 Pondok Pesantren terbesar di Sulbar ada disini. 

Tertarik membaca bukunya? Silahkan terhubung dengan PUSAKAKU (Pusat Studi Sosial dan Kajian Kebudayaan).

Daftar Isi 

FORMULIR UPDATE DATA SIMPUL PUSTAKA BERGERAKA


Salam Bergerak kawan-kawan semua. 🇲🇨
Semoga sehat dan selalu bahagia 😊🤲

Ditahun 2024 ini, dengan tetap membawa semangat kesetaraan, sama rasa dan sama raga. Pustaka Bergerak Indonesia terus berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada Simpul Pustaka. Oleh karena itu, diharapkan partisipasinya untuk membantu kami memperbaharui data simpul pustaka yang selama ini telah banyak membantu kita bersama.

Selain itu, pada formulir ini terdapat survei sederhana untuk meminta saran & masukan penyempurnaan layanan fasilitas Pustaka Bergerak Indonesia untuk para Simpul Pustaka. Oleh karena itu, kami harapkan diisi dengan sepenuh hati dan riang gembira serta jangan lupa siapkan secangkir kopi dan gorengan hangat jika ada 😅

Klik Link berikut :
https://s.id/updatePBI

Tidak lama, namun akan sedikit meminta waktu rekan-rekan. Tapi tenang, jika anda mengalami sedikit kesulitan. Silahkan hubungi kontak berikut :

+62 853-1172-3613 - Cak Mus
‪+62 822‑9032‑2224‬ - Sultan

Salam hangat,
Pustaka Bergerak Indonesia

Sabtu, 03 Februari 2024

BUKU IMAM LAPEO


IMAM LAPEO: Wali dari Mandar Sulawesi Barat

Penulis: Zuhriah
Penerbit: Gading

Harga: 65.000

Buku ini membahas tentang kehidupan seorang yang dianggap wali di Mandar, Sulawesi Barat, KH. Muhammad Thahir, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Lapeo. Buku ini berisi biografi, yang mencakup silsilah, pendidikan (tempat belajar), dan dakwah Imam Lapeo. Kemudian, konstruksi kewalian Imam Lapeo yang terungkap dalam beberapa hal; sakralisasi kewalian tercermin dari silsilah, dianggap punya keunggulan pengetahuan luar biasa, dianggap dapat berperan sebagai perantara dengan Tuhan, mempunyai kemampuan luar biasa, yaitu karamah dalam mitologi, mempunyai "power" luar biasa untuk memobilisasi (membentuk tarekat), mempunyai kelebihan dan kebajikan dalam karakter, dan punya pengaruh melampaui masanya.
Hari ini, tempat ziarah; rumah Imam Lapeo (Boyang kayyang), masjid Imam Lapeo (Masigi), dan makam Imam Lapeo (Ko'bah) menjadi tempat yang penting untuk diziarahi, tempat spiritual journey. Terakhir tentang Islam tradisional di Lapeo. Kajian ini terkait dengan analisis peranan Imam Lapeo dalam masyarakat Mandar. Bagaimana wali dipandang dalam dunia sosio-kultural (peziarah), terutama oleh Islam tradisional juga termasuk pembahasan seputar fenomena ziarah itu sendiri dan bagaimana penerapan pribumisasi Islam di Lapeo (Mandar), Sulawesi Barat.

Jumat, 02 Februari 2024

SERIGALA BERTOPENG NABI (5)

Suatu hari 
Aku merelokasi semua bacaan jadi mantra
lalu mantra itu kerapal di setiap bilik suara
Aku lupa bahwa aku bukan politisi
sebab politisi ternyata jidatnya jadi lautan arang 
dan doa-doanya makbul oleh material yang kadang lupa dicuci oleh warga.

Suatu hari 
Aku dengan sangat patuh dan menganggap semua politisi adalah makhluk yang layak dipatuhi
Tanpa sadar aku jadi pengikut sebab partai lupa mengkader
Aku akhirnya tersadar bahwa kepatutatan harusnya pada orang yang patut dipatuhi. 
Orang itu tentu bukan politisi, sebab aku bukan caleg

Hari ini
atribut dan kebanggaan politisi itu telah kutanggalkan
tapi belum kutinggalkan
sebab aku masih melihat harapan terbit dari sorot mata para petani yang ke pasar menjual hasil kebun tapi ternyata harus menggadaikan jam tangannya untuk bisa kembali ke rumah

Hari ini
Akulah politisi itu
Bukan mereka yang namanya berderet di surat suara
Bukan mereka yang fotonya jadi gambar mata uang 
Akulah politisi itu
Bukan mereka yang tanpa sadar mengeja Tuhan 
Bahkan memaksa Tuhan meladeni keinginannya
Lalu ketika Tuhan enggan melayani
Tuhanpun dipenjara pada dinding masjid 
"ini karpetmu Tuhan
ini tegel dan marmermu Tuhan
Jika Tuhan butuh aku, panggillah pake TOA
ini deposito buat membangun rumahmu bagi anak-anak
Tinggallah di rumahmu
sebab di rumah rakyat, kadang Tuhan rewel jika ikut ke ruang paripurna"
Kata mereka

Dan......saat ini
Label dan sematan politisi itu benar-benar kutinggalkan
sebab ternyata menjadi rakyat jauh lebih politis.....
Bahkan tak jarang jadi puitis ketika menemukan politisi di ujung jalan. 

Muhammad Munir
Katitting, Desa Tandung, Januari 2019

Jumat, 22 April 2022

SAMBUTAN KELUARGA BESAR Hj. SITTI MAEMUNAH DJUD PANTJE

 


Assalamu Alaikum Wr. Wb.

 

            Hamdan wa Syukran Ilallah, Shalatan wa Salaman ‘ala Rasulillah. Pertama-tama, atas nama pribadi dan keluarga, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Pemerintah Sulawesi Barat terutama Adinda Muhammad Munir dan semua yang terlibat dalam proses penerbitan buku ini. Terima kasih, telah bersedia meluangkan waktunya untuk melacak jejak Hj. Maemunah Djud Pantje yang notabene kakak kami dari pihak ayah, Muhammad Saleh. Kami tentu bahagia, sebab tiba-tiba saja keluarga kami dari Baruga Majene menelpon ke Makassar sekaligus menyambungkan kepada Dinda Muhammad Munir. Hari itu Munir menyampaikan hasil penjejakannya terhadap sosok Maemunah mulai dari kampung kelahirannya sampai ke tempat pemakaman terakhirnya di Pekuburan Dadi Makassar.

 

            Upangipi sala toi, jika kemudian buku ini bisa terbit, sebab selama ini kami tak pernah berfikir membukukan apalagi harus membentuk tim penulis untuk menuliskan jejak Maemunah sebagai sosok pejuang, sebab keluarga kami berjuang adalah pilihan hidup, lain tidak. Jika saja Memunah berfikir sebagai pribadi, ia tentu tetap menjadi guru atau pejabat pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian, ia bisa menikmati hidup dengan nyaman dan berlimpah materi. Tapi pilihan untuk berjuang bersama rakyat adalah keputusan yang tak mungkin dicegah. Begitupun konsekwensi atas perlawanan yang dilakukannya harus membuatnya menderita, bahkan nyaris seumur hidupnya ia habiskan demi perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Saya sekeluarga ikut merasakan bagaimana rasanya hidup dalam kungkungan penjajahan.Betapa masa-masa pergolakan di Mandar ikut membuat kami harus terusir dari tanah kami dilahirkan.

 

            Sebagai saudara, Maemunah adalah sosok yang akan terus kami banggakan. Tak peduli apakah sebagai pejuang ia diberi penghargaan atau tidak. Sebab harga yang telah dibayarkan Maemunah selama hidupnya tentu tak akan mampu kami takar. Terlebih jika harus menggunakan nama besarnya untuk ajang gagah-gagahan. Maemunah adalah guru , pejuang yang tak kenal kompromi. Bagi kami dan bagi Maemunah sendiri memilih hidup bermanfaat bagi sesama, ia ingin hadir membahagiakan, bukan untuk membahayakan. Itulah makanya, nyaris selama hidupnya ia tetap berjuang guna memberi manfaat pada Mandar dan bangsa Indonesia.

 

            Sebagai keluarga, kami tau dan kami faham. Sejak wafatnya, ia dimakamkan di Pekuburan Dadi Makassar bersama ribuan warga masyarakat Makassar. Tak ada yang istimewa dari makamnya. Tak ada penanda yang mencerminkan sebagai sosok pejuang. Itu kami biarkan, sebab kami bukan type keluarga yang haus dengan penghargaan dan penghormatan. Kami biarkan begitu, sebab bangsa ini sejak lahirnya, slogan Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Pahlawannya kerap didengungkan dalam setiap momentum. Dan ketika Dinda Muhammad Munir berinisiatif menulis buku tentang beliau, praktis kami mendukung sepenuhnya hingga buku ini lahir sebagaimana adanya. Harapan kami tentu saja menginginkan jejak beliau bisa kembali dibaca minimal oleh keluarga besar kami, bersyukur jika kemudian bisa diakomodir sebagai bacaan umum di sekolah-sekolah di Mandar.

 

            Proses lahirnya buku ini juga kami tak ingin terlibat secara penuh selain mendukung, sebab kami sepenuhnya memberikan restu dan kewenangan kepada penulis untuk mengungkap dan menyingkap Sosok Maemunah sesuai data dan fakta yang ada. Kami bahkan tak ingin memberi catatan apresiasi andai penulisnya tidak memohon dengan sangat. Makanya apresiasi ini kami buat kepada pemerintah dan kepada penulis saja, sebab yang anda baca pada buku ini adalah hasil penjejakan murni dan ditulis berdasarkan data yang ada. Andai kata buku ini kemudian menghasilkan rekomendasi bahwa Maemunah adalah sosok yang layak diusulkan sebagai Pahlawan Nasional, semua kami serahkan kepada pemerintah dan kepada masyarakat Mandar Sulawesi Barat.

           

            Akhir kata, semoga semua yang terlibat dalam proses lahirnya buku ini diberikan umur yang panjang, sehat dan sukses serta ma’barakka’ diseseta iyanasanna. Amin.

 

Makassar, 30 September 2021

 

 

 

 

ABRAR

 

Sabtu, 21 September 2019

HUSNI DJAMALUDDIN: "Ya, Betul. Dia Panglima. Titik!".

Catatan Muhammad Munir
Foto alm.Husni Djamaluddin saat Megawati Soekarno Putri kunjungan kerja ke Polewali Mandar, 26 Juni 2004

15 Tahun Sulawesi Barat ini, izinkan saya melisan tuliskan sosok Husni Djamaluddin, kendati saya bukan orang orang yang pernah berguru langsung. Bertemu pun tak pernah selain hanya melihatnya beberapa kali dalam kurun waktu 1999, 2000, 2001 dan terakhir 2004, itupun hanya sekedar melihatnya sepintas.
Pernah suatu ketika saya ditanya siapa yang menjuluki Husni Djamaluddin sebagai Panglima Puisi?. Pertanyaan ini tentu saja membuat saya tersentak sebab pembacaan dan pemahaman saya tentang beliau sebatas pada Trilogi Bacaan: Husni Djamaluddin Yang Saya Kenal; Adakah Kita Masih Bertanya?; Indonesia, Masihkah Kau Tanah Airku?. Saya yakin pertanyaan ini akan terus muncul dan bisa menjadi bom waktu bagi penggiat literasi ketika tak mampu memberikan jawaban.

Minggu, 06 Mei 2018

Melacak Jejak Topole di Balitung (2) "Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"

Melacak Jejak Topole di Balitung (2)
"Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"

Diskusi di Rumah Baca Akar, Kandang Gapabel Belitung

Bertolak dari Bandara Soekarno Hatta tepat jam 10.25 pada Minggu pagi melalui Terminal 1A gate 4 Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ribuan rasa menyeruak yang membuatku terus membatin. Setelah tiba di Belitung, saya mengarah kemana ya? Postingan saya di grup Literasi Bangka Belitung tak ada respon, sampai kemudian pesawat Boeing 737 maskapai penerbangan Lion Air. Udara kian terik ketika pesawat tepat menyentuh runway Bandara Belitung. Pukul 11.30 para penumpang bergegas mengambil barangnya dari atas kabin pesawat. Sejurus kemudian mereka beranjak dan berjalan bagai serdadu menuju pintu keluar bagian depan pesawat. Aku masih duduk dengan tenang.
Aku sengaja menjadi orang yang terakhir turun dari pesawat. Kurogoh kantong jaketku dan mengeluarkan gawai untuk terhubung dengan dunia diluaran sana. Harapan terbesarku adalah sebuah pesan yang bisa menolongku untuk melangkah pasti ketika kali pertama kakiku menjejak di tanah Belitung. Harapan itu ternyata tak ada. Begitupun dengan yang kuharapkan dari WAG Literasi Bangka Belitung. Ada asa yang terus kueja dalam benakku bahwa tujuanku ke Belitung jelas merupakan sebuah wujud pengabdianku pada tanah lehurku, Mandar.
Satu keyakinan bahwa di Belitung ini, ada leluhurku yang merelakan seluruh apa yang dia miliki dan apa yang ada padanya menjadi nutrisi bagi tanah Belitung. Inilah spirit yang terus membangun jiwaku pada satu harapan bahwa: Ketika kakiku menginjak bumi Laskar Pelangi ini, maka semua yang punya tapak di tanah ini pasti merasakan getarannya. Keyakinan itu yang membuat jiwa besarku melangkah menuju terminal kedatangan Bandara.
Dalam terik yang kian menusuk ubun, ada sebuah pemandangan yang menghentak ketika akan melangkah masuk dalam terminal kedatangan bandara. Tepat diatas bangunan bandara, sangat jelas sebuah kalimat bertuliskan Bandara Internasional H. AS. Hananjoedin. Yah, Bandara Internasional yang dimiliki oleh sebuah daerah sekelas kabupaten Belitung. Saya nyaris tak percaya, jika di Kabupaten Belitung bagian barat ini memiliki fasilitas. Berskala Internasional.
Berada diantara ratusan penumpang di Terminal kedatangan, saya melihat sosokku berada di hutan belantara. Rimbun semak manusia tak satupun aku kenal. Dengan sisa tenaga aku terus berjalan menyusuri petunjuk keluar bandara, kata exit bagiku sudah sangat hafal dan faham. Begitu tiba diluar bandara, para driver silih berganti menawarkan layanan antar dan paket penginapan. "Maaf, saya dijemput sama keluarga, Mas". Begitulah aku berdalih pada mereka. Toh saya juga belum tahu akan mengarah kemana, sebab dari WAG tak satupun tanggapan yang masuk. Setelah sebatang rokok Urban kunikmati, kucoba melangkah ke arah kanan pintu terminal. Disudut kanan itu terdapat sebuah Kantin Darma Wanita Bandara. Sekedar mengisi waktu sekaligus membayar tagihan perut yang sejak pagi belum terpenuhi. Soto daging dan segelas kopi susu jadi pilihan.
Sekali-sekali saya mengintip layar ponsel dan berharap ada info dari member WAG Bangka Belitung Literasi. Tak terhitung berapa batang rokok yang saya jadikan nisan pada mangkok soto sebagai asbak. Suara adzan tanda waktu dhuhur berkumandang dari masjid yang tak jauh dari bandara. Kuucap syukur alhamdulillah seiring takbir Allahu Akbar dengan lirih. Kepada Tuhan jualah segalanya kuserahkan, sebab Dialah pemilik dan penentu segala rencana. Ketika sedang asik-asiknya menyeruput kopi, tiba-tiba handphone-ku bergetar. Ternyata ada pesan masuk di WAG. Kali ini pesan yang masuk ada di beranda WAG Literasi Bangka Belitung. Sederet kalimat komentar tersusun beberapa baris. Pesan dari salah satu member WAG yang mengucapkan selamat datang di Belitung.
Kalimat selanjutnya adalah permintaan maaf sebab tak bisa menjemput ke Bandara lantaran hari ini bertepatan hari Bumi, 22 April 2018. "Kak Munir keluar dari bandara via taksi menuju ke belakang stadion dibawah warna-warni, biasanya sopir faham itu sekret Gapabel". Komentar yang singkat itu laksana terpaan hujan ditengah kemarau. "Siap. Saya menikmati suasana dulu di bandara". Tulisku pada komentar sebagai basa basi. Bandara Bulutumbang yang sekarang menjadi Bandara Internasional H. AS. Hananjoedin ini tak lagi jadi penjara bagiku. Setidaknya aku sudah bisa bergerak dengan arah yang jelas.
Gapabel (Gabungan Pecinta Alam Belitung) itulah yang akhirnya menjadi titik awal kehadiran saya dalam misi pelacakan Jejak I Calo Ammana Wewang. Jejak itu mulai mulai tampak sekaligus menandai tapak pertamaku ketika keluar dari bandara. Sopir Taksi bernama Abus (62 tahun) mengantar saya ke Kandang Gapabel. Dalam perjalanan menuju secret Gapabel, Pak Abus yang ternyata orang Bugis ini banyak memberi info terkait Belitung setelah mengetahjui bahwa saya dari Sulawesi.
Hanya dalam hitungan belasan menit kami sudah tiba di Stadion Tanjungpandan. Kami mengelilingi jalanan disekitara stadion mulai dan sampai di depan Kantor Kelurahan Pangkallalang Kec. Tanjungpandan kami harus bertanya pada warga sekitar tentang Warna-Warni. Ternyata warga faham betul tentang Warna-Warni yang ternyata adalah WW.House Belitong. Kami kemudian memutar untuk mencari dimana Kandang Gapabel berpijak. Sempat mobil kami melampaui Kandang yang kami cari, tapi rupanya Dita (Penanggungjawab Rumah Baca Akar Belitung) melihat mobil kami melintas. Ia kemudian menelfonku Via WA, dan meminta kami segera putar haluan untuk kembali.
Dari jarak yang tak terlalu jauh, nampak seorang wanita berkaca mata bening yang langsung menyapa ketika mobil yang saya tumpangi berhenti. Sebuah bangunan mungil model panggung yang cukup artistik. Di beranda terdapat beberapa anak kecil yang sementara mewarnai gambar. Begitulah Dita dan beberapa personil selama ini memesrai anak-anak Belitung dalam penguatan literasi anak-anak. Rumah Baca Akar merupakan bentukan program baru dari Gapabel untuk berkonstribusi dalam mencerdaskan anak negeri ini melalui Jaringan Pustaka Bergerak Indonesia besutan Nirwan Ahmad Arsuka dkk.
Rumah Baca Akar memang masih baru dan menjadi satu-satunya rumah baca di Kota Tanjungpandan. Barang-barang di bagasi mobil yang terdiri dari rangsel dan bagtour kin berada di Beranda. Selain Dita dan anak-anak yang sedang asik mewarnai gambar, ada juga anak muda bernama Danu yang menyambutku dengan sangat ramah. Masyarakat Belitung pada umumnya sopan dan hormat pada tamu. Belajar dari Sopir Taksi dan warga yang saya tanya tentang secretariat Gapabel tadi menjadi indicator penilaian. Mereka langsung cair dan responsip.
Dita dan Danu menemaniku berbincang-bincang santai. Kami berhadapan dimeja yang terbuat dari rangka perahu tradisional Belitung. Panjang perahu sekitar 2 meter. Bagian atas ditutup dengan triplek 5 mm sehingga berfungsi ganda, bisa meja untuk belajar sekaligus meja buat ngopi bareng. Selang beberapa menit kemudioan, muncul sosok yang agak kekar. Tubuhnya besar agak hitam manis. Rupanya Bang Jokie (demikian sapaan pria yang bernama lengkap Jookie Vebriansyah ini) inilah penggagas Gapabel. Bang Jokie ternyata sosok yang sangat peramah. Tadinya saya agak ragu dan segan melihat penampilannya. Tapi setelah mulai diskusi nampak sebuah pribadi yang sangat arif dan empati.
Bang Jokie, Danu dan Dita sibuk mengontak beberapa personil Gapabel. Dalam hitungan menit, sosok muda yang bernama Wahyu Kurniawan muncul. Kami berjabat tangan. Tak lama kami pun larut dalam diskusi. Saya mengutarakan maksud kedatangan ke Belitung. “Saat ini kami sedang mempersiapkan penulisan Biografi salah seorang Tokoh Pejuang Mandar yang akan diusulkan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan dari Mandar Sulawesi Barat. Bel;iau adalah I Calo Ammana Wewanng yang bergelar Topole di Balitung. Beliau ini dibuang Belanda tahun 1907 dan berdiam kembali ke Mandar pada tahun 1944”.
Wahyu dan semuanya maksyuk mendengarkan penuturan saya. Wahyu kemudian mengambil kamere digitalnya dan meminta saya untuk berpose bersama Dokumen tentang I Calo Ammana Wewang dengan memperlihatkan selembar Kaos Oblong bergambar I Calo Ammana Wewang dengan tulisan ditas foto “Topole di Balitung”. Kaos tersebut sebagai penegasan bahwa kami sejak dulu mengenal Belitung dalam gelar salah satu pejuang kami. Rupanya Wahyu adalah seorang Jurnalis di Media POS Belitung. Ia mengorek keterangan dari saya untuk rilisnya di Koran Harian Terbesar oplahnya di Belitung ini. Selain Jurnalis, ia rupanya seorang Penulis Buku. Hal itu saya tau ketika ia menyerahkan satu eks buku dengan cover warna oranye berjudul “Tambang Timah Belitong Dari Masa ke Masa”. Setelah cukup keterangan, ia kemudian pamit dan berlalu meninggalkan Kandang Gapabel. Bang Jokie, Danu, Dita masih menemani kami dengan kopi dan penganan alakadarnya di sore menjelang senja itu.


                                                   Minggu, Rumah Baca Akar, 22 April 2018


Minggu, 06 Agustus 2017

CATATAN KECIL DISKUSI LITERASI BERSAMA WAKIL BUPATI MAJENE





Oleh : Muhammad Munir
 
Ba’da ashar, gerbang depan Stadion Mandar Majene seketika menjadi lautan buku. Masyarakat Majene mulai dari umur balita sampai kepada orang tua menyemut memadati area Lapak Buku pada edisi IV Majene Membaca, tanggal 8 Agustus 2017. Para pengunjung Lapak Baca sontak dikejutkan oleh salah salah seorang pengendara motor yang berhenti pas didepan palang pembatas untuk masuk ke area Lapak Baca. Seorang lelaki turun dari boncengan motor dan berjalan menuju area lapak baca. Sebuah pemandangan yang membuat para pengunjung tersadar bahwa orang yang datang mengahampiri lapak baca itu ternyata bukan pengunjung biasa.
Lelaki itu adalah  Pak Lukman, Wakil Bupati Majene yang singgah di Lapak Buku Rumpita karena tertarik dengan kaos bergambar dan bertuliskan Kacaping. Tak ayal lagi, ia menjadi obyek jepretan kamer saat mulai membuka plastic baju sampai ia membayarnya langsung ke salah satu personil Rumpita. Beliau dating memenuhi undangan para penggiat literasi untuk berdiskusi dan lesehan.


Lukman, S. Pd., M. Pd. Demikian nama lengkap beliau. Saya tentu harus menjabat tangan beliau dan mengucapkan terima kasih kepada beliau atas apresiasinya terhadap gerakan ini. Meliahat beliau, tak ada yang terbersit dalam ingatan saya selain sebuah peristiwa pada tahun 2002 sebelum daerah ini berwujud sebagai provinsi Sulawesi Barat. Entah beliau masih ingat atau tidak, saya bahkan pernah akrab dan menginap dirumah kediamannya. Saat itu, penulis bersama Masruddin (Pegawai Pertanahan Kabupaten Majene) aktif sebagai distributor CNI, salah satu perusahaan multi level marketing terkemuka di Indonesia. Lukman terdafatar sebagai distributor CNI dan Masruddin sebagai up-linenya. CNI pada tahun 2002 itu mencapai ledakan jumlah distributor melalui produk pupuk Plant Catalys. Penulis sebagai distributor memang sangat aktif membantu mitra dalam sosialisasi dan persentasi dilapangan. Penulis bahkan sampai ke Mamuju, Bambaloka, Lariang, Tikke, Pasangkayu dan menyebrang ke wilayah Donggala (Lalombi-Watatu) untuk urusan bisnis MLM ini.
Dari situ sosok dan pribadi beliau kukenal inci demi inci. Lewat bisnis MLM CNI inilah penulis mengenal Lukman. Tepat sauatu malam sempat kami diskusi kecil menetapkan impian masing-masing, sebab perusahaan CNI adalah perusahaan yang aktif mengembangkan usaha dan pengembangan diri distributor. Penulis bahkan sangat ingat kala itu Pak Lukman sabang hari prospek dan menjual pupuk Plant Catalys kepada para petani. Pak Lukman saat itu menetapkan impiannya untuk menjadi Bupati Majene agar bisa membantu lebih banyak petani dan membangun daerahnya, terutama daerah Lombo’na. Kekuatan impiannya itu betul-betul ia bangun hingga hari ini, 15 tahun lalu untuk kedua kalinya saya berjabat tangan ia kini berstatus Wakil Bupati Majene periode 2015-2010. Saya bahkan sangat yakin bahwa dengan impian yang kaut, ia pasti bisa meraih cita-citanya sebagai orang nomor satu di Kabupaten Majene. Amin.
 
Sang inspirator dan motivator ini lahir di Majene pada tanggal 24 Desember 1967. Ia terlahir sebagai masyarakat biasa tapi mampu menjadi manusia yang luar biasa. Putra pasangan Nurma dan Hj. Cindara ini menyelesaikan pendidikannya di SD 20 Somba pada tahun 1980. Selesai di SLTP 1 Somba tahun 1983, ia kemudian memilih melanyelesaikan pendidikan tingkat atasnya di SMA 1 Majene. Selesai SMA ia tak langsung melanjutkan pendidikannya namun lebih tertarik bekerja sebagai wiraswasta.
Sebelum masuk dalam dunia politik praktis, suami dari Rahmatia ini aktif di organisasi kemasyarakatan. Ia memilih KNPI sebagai organisasinya untuk berbakti pada masyarakat. Dari menjadi sekretaris KNPI Kecamatan Sendana sampai ia dipercaya menjadi Ketua KNPI Kec. Sendana. Suka duka Lukman membangun impiannya, memang sungguh menyakitkan. Ia bahkan pernah dihina dan dicibir dengan pernyataan bahwa Lukman cocoknya hanya sebagai Cleaning Service di kantoran saja. Ternyata semua itu ia dapat bantahkan, sebab pada tahun 2009, ia menjadi Sekretaris Kosgoro Kabupaten Majene sekaligus bergabung menjadi pengurus partai Golongan Karya.
Dari partai Golkar inilah ia mulai meraih mimpi-mimpinya dan berhasil menjadi anggota DPRD Majene. Tahun 2014 kembali terpilih dan dipercaya sebagai Wakil Ketua DPRD Majene. Setahun menjadi Unsur Pimpinan di lembaga ini ia memberanikan diri menerima tawaran Fahmi Massiara sebagai calon wakil bupati pada pilkada serentak tahun 2015 dan takdir mempertemukannya untuk menjadi orang nomor dua di Kabupaten Majene.
Legislator yang kini menjadi Wakil Bupati ini hadir diskusi literasi bersama para penggiat literasi yang diinisiasi oleh teman-teman Pemerhati Pendidikan EDUCARE. Lukman sangat mengapresiasi kegiatan ini. Kedepan, kegiatan seperti ini mesti terus dikembangkan dan ditebarkan disetiap sudut dan ruang di daerah ini. Silahkan jalan, jika dalam kegiatan kalian mendapatkan kendala, sampaikan pada kami. Saya akan siap duduk bersama kalian untuk menyelesaikan semua proplem yang menghambat gerakan kalaia. Demikan Lukman memotivasi para penggerak literasi yang dihadiri banyak warga Majene.
 

           “Saya siap kapan saja ada waktu duntuk berdisikusi terkait Majene Membaca ini. Kedepan, saya membutuhkan para pengiat untuk duduk bersama merumuskan formula dan kiat pengembangan dan penguatan literasi di Majene”. Tegas Lukman.

Rabu, 02 Agustus 2017

BAKRI LATIEF : KALINDA'DA' KONTEMPORER (Cinna, Cinnau, Cinnamu, Cinnata, Cinnana)



PENGANTAR PENULIS

Dengan rahmat dan karunia Allah SWT. Penulis akhirnya bisa menyusun dan menyelesaikan buku Kumpulan Kalinda’da Kontemporer Mandar “Cinna, Cinnau, Cinnamu, Cinnata, Cinnana” yang di dalamnya memuat narasi ratusan kalinda’da’ yang penulis gubah dalam rentang waktu yang lama. Selain itu,.

Tujuan penulisan buku ini juga adalah upaya untuk mengabadikan karya-karya sastra yang sepanjang sejarahnya hanya berkutat di wilayah tutur dan lisan. Dengan tersusunnya buku ini, diharapkan masyarakat bisa dengan mudah memilah jenis kalinda’da’ yang akan di tampilkan dalam setiap acara/pagelaran.
Kalinda’da’ yang penulis gubah ini terbagi dalam beberapa kelompok atau jenis kalinda’da’ yang bercerita tentang Cinta, Cinta Kepada Allah, kepada Muhammad, Kepada Al-Qur’an sampai kepada lingkungan dan cinta muda-mudi. Itulah sebabnya judul buku ini mengusung “Cinna, Cinnau, Cinnamu, Cinnata, Cinnana” sebab didalamnya nyaris semua bentuk cinta terakumulasi dalam percikan kalinda’da ini.

Dengan terbitnya buku ini penulis menyampaikan penghormatan dan penghargaan serta ucapan terima kasih kepada Bapak Drs. Darmansyah (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulbar). Tanpa dukungan beliau, buku ini mungkin tak akan pernah ada rak-rak buku. Kepada Dinda Muhammad Asri Abdullah, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Kab. Polman. Serta Ananda Muhammad Munir yang merelakan hampir setiap waktunya untuk mengumpul dan mengetik ulang naskah-naskah yang telah penulis selesaikan. Naskah Puaji Tokke (Kumpulan Puisi Mandar) adalah buku pertama yang penulis percayakan kepadanya untuk menjadi editor sekaligus member hak kuasa atas penerbitan karya-karya saya. Buku ini adalah naskah kedua yang juga lahir dari keuletannya menyortir dan menyunting serta mengedit naskah-naskah yang lusuh dalam tas penulis.

Almarhum Husni Djmaluddin, Syarbin Syam, Drs. Abdul Muis Mandra, Andi Syaiful Sinrang, MT. Azis Syah, Ahmad Patingari, Nurdahlan Jirana, Ali Sjahbana. Mereka adalah sosok yang ikut mewarnai proses lahirnya peradaban di tanah Mandar. Mereka adalah guru yang penulis jadikan inspirasi dalam berkarya. Olehnya, buku ini penulis halalkan untuk menjadi amal jariyah dan berharap setiap pembaca berkenan mengirimkan bacaan Surah Al-Fatihah yang pahalanya adalah buat mereka.

Terkhusus ucapan terima kasih kepada orang tua kami Nurdin Hamma, Drs. Suradi Yasil, M.Si. yang banyak memberikan literatur, saran dan masukan kepada penulis.

Penulis mengharapkan kritikan dari pembaca yang budiman untuk dijadikan bahan perbaikan pada edisi berikutnya. Disana-sini, tentu terdapat banyak  kekurangan Kritik dan saran dari pembaca sekalian adalah hal yang penulis tunggu-tunggu. Dan kepada Allah SWT jua kita berserah diri sebagai pemilik kebenaran mutlak, dan semoga kita semua dimudahkan dalam mencari ilmu-Nya. Amin !

Tinambung, 1 Agustus 2017



BAKRI LATIEF

TELAH TERBIT : Buku PU'AJI TOKKE (Kumpulan Puisi Mandar Bakri Latief)




PENGANTAR PENERBIT

           

Jumlah suku di Indonesia menurut data tahun 2016 sekitar 1340 suku. Jumlah ini merupakan suku terbanyak di dunia. Indonesia pun memiliki jumlah bahasa daerah 700-an lebih.
Suku Mandar tersebar di wilayah Sulawesi Barat yang luas. Kali ini, kami mendapatkan berkah karya-karya puisi berbahasa Mandar. Mungkin di edisi lain, dapat kami terjemahkan puisi berbahasa Mandar ini. Pekerjaan yang tidak mudah, juga bukan membuat kami menyerah. Malahan, membuat kami bangga untuk dapat menerbitkannya. Sungguh jarang kita mengenal budaya, adat, dan bahasa yang banyak itu.

Kumpulan puisi Mandar ini berjudul: Puisi Mandar "Puaji Tokke", yang artinya Haji Tokek. Dituliskan oleh penyair Bakrie Latif, yang akrab disapa dengan Papa Dita, lahir tahun 1949 di Tinambung, kawasan Calo-Calo. Seorang penyair dan seniman lukis yang sederhana, humanis, dan menjadi tumpuan harapan penyair-penyair muda juga seniman lainnya untuk tak lelah berkarya. xix


Banyak puisi-puisi ini yang bernada satir. Relevan kepada keadaan saat ini yang tak tentu budaya juga adat bangsa yang ragam ini akan dibawa ke mana. Puisi-puisi Papa Dita ini seolah mengentak kita jangan terlena dengan 'dunia' luar, agar bangun segera dari lelap yang dibuai berbagai macam hiburan-hiburan yang monoton dan kosong. Bukan semua itu tak dibolehkan, tetapi janganlah dilupakan akar berpijak bangsa yang besar ini. Akar untuk saling menyapa saling mengenal, bahwa sungguh banyak budaya dan bahasa yang perlu dikenal, dijelajahi, dan dipelajari.

Agaknya, buku puisi Mandar ini menjadi penyejuk dan madu segar di tengah-tengah carut keadaan yang mencekam. Membawa kembali keramahan, senyuman, tolong-menolong, toleransi, yang merupakan sendi-sendi persatuan dari Timur hingga Barat selamanya.
Puaji Tokke.

Marry Rose
CEO - Rosebook