Muhammad
Daeng Patompo, dilahirkan pada tanggal 16 Agustus 1926 di Lembah Binuang Kabupaten
Polewali Mandar. Binuang merupakan dataran subur dengan hamparan persawahan ini
merupakan tempat kenangan indah yang tidak bisa dilupakan oleh Patompo. Di Desa
inilah ia menghabiskan masa kanak-kanaknya, bermain-main dan dibesarkan oleh orangtuanya
dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Ayahnya, Puang Bakkidu adalah seorang pedagang besar keturunan bangsawan,
pemuka agama yang berasasal dari dari Rappang dan Wajo. Ibunya, Andi Besse Mappa adalah seorang
keturunan Raja di Kerajaan Binuang, Andi Paenrongi. Ketika itu adalah raja atau
Selfbestuur di Kerajaan Binuang yang berbatasan dengan Balanipa-Tinambung
kerajaan Majene Pambauang-Mamuju yang disebut Pitu Babbana Binanga.
Nama kecil Patompo
adalah Andi Sappewali yang dibesarkan oleh ibunya sendiri, dan mempunyai kakak
kandung yang bernama Andi Iskandar yang juga kelahiran Binuang pada
17 Desember 1923.[1]
Masa Sekolah
Patompo
masuk sekolah di SR yaitu sekolah rakyat pada sekitar 1933 tapi kemudian dibawa
pamannya ke Rappang. Di sana ia disekolahkan di Madrasah Ibtidaiah Muhammadiyah.
Saat di kelas 3, Patompo masuk kepanduan Hizbul Wathan (HW). Karena tak merasa
betah terpisah dan jauh dari ibunya, Ia hanya bertahan satu tahun di Rappang.
Patompo kembali ke Binuang dan menamatkan sekolahnya di Volkschool. Setelah
tamat, melanjutkan pelajaran di
perguruan Taman Siswa yang didirikan oleh Maman Sophian Patompo. Ia diterima
duduk di kelas 4 melalui ujian. Tapi ibunya lalu memindahkan lagi ke sekolah
Belanda HIS di Majene dan duduk di kelas 5.
Saat itu
pendudukan Jepang, semua sekolah ditutup diganti dengan sekolah Jepang. Patompo
memilih melanjutkan sekolah di Makassar. Di Makassar Patompo dapat berbahasa Jepang
dalam jangka enam bulan. Patompo tinggal di salah satu rumah di muka Masjid
Arab yang terletak di tengah-tengah kampung Cina. Patompo merasa dibentuk oleh situasi
keagamaan. Di Masjid itu dua orang muballig dan khatib tetap yang sangat
disenanginya, Ali Ba’bud dan Asaagaf.
Jadi jangan heran
jika kewajibannya melaksanakan ibadah shalat lima waktu tidak pernah
ditinggalkannya. Apalagi dengan shlalat Subuh dirasakannya satu latihan yang
kemudian membentuk satu kebiasaan baginya untuk cepat bangun pagi sholat shubuh
berzikir, dan berdoa
Masa Remaja
Karena di Makassar
hampir setiap malam sering terjadi pemboman oleh sekutu, maka Patompo kembali
ke kampung halamannya. Dikampungnya Ia melihat ada satu Maschappy Jepang dan pada
1 Juli 1942 Patompo diterima bekerja di perusahaan itu ditempatkan sebagai
jurus tulis sebab ia pintar bahasa Jepang.
Patompo
bekerja hanya hanya enam bulan saja karena merasa tidak cukup dengan gaji yang ia
terima. Ia juga tidak tahan dengan kekerasan Jepang sehingga ia pun meminta
berhenti bekerja.
Patompo
mendaftarkan diri unrtuk masuk Heiho, tapi tidak lulus. Perawakannya dianggap
kecil. Karena tidak ingin hidup
menganggur, ia mencari jalan bagaimana mengisi kekosongan waktunya. Ia teringat
ketika bekerja di perusahaan Jepang. Ia kemudian melirik barang-barang
kebutuhan para perwira Jepang, baik berupa makanan maupun bahan pakaian serta
barang-barang perlengkapan lukis lainnya.
Patompo
mencoba menelusuri bagaiamana ia dapat memperoleh stok perwira-perwira Jepang tersebut.
Akhirnya melalui suatu jaringan kepercayaan orang Jepang, Patompo memilih
kegiatan untuk membeli barang-barang Jepang itu secara sembunyi-sembunyi dan
menjualnya kepada umum. Karena untungnya banyak, maka ia merasa keadaan hidupnya
agak jauh lebih baik daripada kawan-kawan yang lain.
Hasil yang
sempat diraihnya memberi kesempatan untuk membiasakan diri beramal dan itu
dilakukannya melalui celengan masjid atau sarana amal lainnya, selebihnya Patompo
dapat menutupi biaya hidupnya serta membeli alat-alat musik. Diwaktu
senggang Patompo sangat senang mengisi waktu dengan hiburan musik di kampungnya.
Patompo memang gemar main musik bersama
teman-temannya.
Patompo juga
sangat gemar bermain sepak bola, suka bergerombol dengan teman-temannya meski
sesekali berkelahi namun cepat baik-baikan lagi. Patompo memiliki karakter
yakni merasa gembira kalau membantu teman-temannya. Begitu juga kecenderungan
untuk selalu mandiri mengatur diri sendiri tanpa terlalu banyak merepotkan
orang tua meski ia juga cengeng dan sangat manja.
Dalam kancah revolusi
Ada sebuah
kebiasaan bagi Patompo jika menjelang sore yakni nongkrong dirumah salah
seorang tetangganya yang bernama Sigar, seorang Langsa (Asisten Wedana) di
Polewali Mamasa. Patompo begitu bahagia mendengar berita-berita dari radio yang
masih merupakan barang mewah dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa
memilikinya. Terlebih saat itu, Polewali Mamasa yang berada jauh dari kota
Makassar
Tiba-tiba sebuah berita menarik
melintas di telinganya para pemimpin bangsa ini telah memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia. Mereka telah meneguhkan eksistensi bangsa Indonesia untuk
mulai berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia ini. Terbebas dari
penjajahan melilit selama beratus-ratus tahun.
Diberitakan
bahwa saudara tua Jepang telah menyerah kepada sekutu setelah kota Hirosima dan
Nagasaki hancur akibat ledakan bom atom dari sekutu.
Patompo sebagai pemuda yang pernah mengenyam pendidikan di Taman Siswa,
Polewali sangat bersukacita mendengar berita itu. Selama di Taman Siswa, ia di didik
oleh Manai Sophian dan tentunya telah menguratkan nilai-nilai nasionalisme yang
dalam. Pada tahun 1939 Mr Sunarjo yang belakangan menjadi Menteri dalam kabinet
masa Soekarno pernah pula datang ke Taman Siswa Polewali. Kehadiran Partai
Parindra di Polewali juga dirasakan Patompo sebagai dasar terbentuknya jiwa dan
semangat kemerdekaan buat menentukan nasib sendiri.
Kibarkan Merah Putih
Bersama
rekannya, Atjo Men alias, Patompo berkeliling memberitahu semua rakyat di
daerahnya bahwa Indonesia telah merdeka. Polewali Mamasa sebagai bagian dari
negara Indonesia harus siap-siap untuk mempertahankan kemerdekaannya yang baru
saja diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Patompo
sangat tahu persis bahwa mempertahankan sesuatu yang telah diraih jauh lebih
sulit dicapai dibanding dengan mencapainya. Banyak pemuda dan pemimpin
yang datang ke Polewali Mamasa untuk memberi penerangan tentang proklamasi
kemerdekaan RI, namun terjadi
kontoversi. Sebagian mendukung dan sebagian lagi menentang habis-habisan
terutama dari kalangan raja-raja yang masih sangat kuat dominasinya. Kalangan
kerabat Patompo sendiri, termasuk pamannya yaitu Mattulada yang menjadi
Selfbestur menggantikan neneknya serta seluruh keluarganya tidak mengingkan
agar Belanda berkuasa kembali.
Namun
keadaan itu tidak mempengaruhi semangat Patompo bahkan ia mengajak
pemuda-pemuda di Polewali mengorganisir diri untuk melawan setiap orang yang
menghambat perjuangan kemerdekaan bangsa. Terjadilah permufakatan pada waktu
itu untuk mengibarkan bendera merah putih di Polewali dan Patompo kemudian
dengan keberanian mengibarkan sang Merah putih di Polewali pada tanggal
20 Agustus 1945.
Hijrah ke makassar
Pengibaran
bendera tersebut membuat KNIL datang ke Polewali. Patompo berharap ada dukungan
dari pemerintahan di Polewali tapi ternyata hampir seluruh jajaran pemerintahan
di Polewali Mamasa pro KNIL waktu itu. Bahkan pemuda-pemuda yang tadinya setia
pada Patompo terpaksa membubarkan diri.
Kondisi ini
membuatnya berfikir untuk hijrah ke Makassar. Dia mengontak mengontak pemuda-pemuda
yang sudah terorganisir. Patompo menemui
Mr. Tadjoeddin Noer dan Mr. Soepardi yang ketika itu menjabat ketua PNI daerah
Sulawesi Selatan. Ia juga berjumpa dengan Dr. Ratulangi. Mereka saling
berdiskusi dan mencoba merumuskan berbagai kemungkinan yang harus ditempuh
dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa. Agaknya mereka maklum bahwa Belanda
dalam tindakan penjajahannya.
Mr.
Tadjoeddin menjelaskan kepada Patompo tentang penggunaan jalur diplomasi dalam
menindaklanjuti perjuangan fisik. Maka ia meminta Patompo agar sebaiknya
mengurungkan niatnya ke pulau Jawa atau Polombangkeng. Dr. Ratulangi secara
terpisah menjelaskan pula kepada Patompo bahwa perjuangan bidang diplomasi itu
sama pentingnya dengan perjuangan bersenjata.
Mendapat
nasehat itu, Patompo yang sedang bergelora jiwanya tentu saja tersinggung
karena terlihat tak seorang pun pemimpin yang mau mengover kekuasaan. Maka keputusan
pemuda-pemuda di Makasaar waktu itu yakni memusatkan perjuangan di
Polombangkeng atau ke Jawa.[2]
Menjadi wali kota makassar
Patompo menjadi
Komandan Kodim di Polewali pada tahun 1964 sekaligus wakil Pengurus Perang
Daerah (PEPERDA). Ini tentu sebuah tugas yang sangat berat. Namun di tangan
Patompo semuanya dilalui dengan sukses dimana pengalamannya semasa di pulau
Jawa berhasil merangsang partisipasi masyarakat Polewali Mamasa untuk ikut
menjaga ketertiban dan kestabilan demi suksesnya operasi kilat.
Sejak tahun
1961 Patompo sebagai BPH teknik/pembangunan telah memperlihatkan semangat
dan obsesinya tentang bagaimana cara penggunaan mesin-mesin pembangunan di kota
Makassar, dari sebuah perkampungan kumuh menjadi kota dengan segala dimensi dan
dinamika yang melingkupinya.
Pengalaman-pengalaman
itulah yang membuatnya menjadi Walikota Makassar dan prosesnya berjalan mulus.
Semua pihak berpihak dengannya dan menyatakan dukungannya. Padahal dikalangan
partai biasanya sering timbul ketidakcocokan dan ketidaksamaan bahasa.
Masing-masing tidak ada yang mau mengalah bahkan melakukan hal yang tidak
terpuji. Patompo menjadi walikota yang ke-6 yang merupakan kolonel TNI. Patompo
dilantik pada tanggal 8 Mei 1965. Dalam pelantikan itu, Patompo mengucapkan
pidato penerimaan jabatan dengan penuh sukacita. Baginya itu adalah amanat yang
harus ia pegang teguh menyangkut cita-cita kota Makassar.
Langkah
pertama yang dilakukan Patompo adalah merangkul para wartawan dan tokoh
masyarakat dalam sebuah forum pikiran. Menurut Patompo, mereka adalah
penerjemah yang handal dan merupakan penyambung aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat. Kondisi pemerintahan kota pada waktu itu kurang mendukung seorang
walikota yang baru diangkat bisa berhasil dengan rancangan program yang besar.
Kondisi kehidupan warga yang krisis akibat kekacauan yang membawa warganya
dalam kehidupan yang apatis.
Patompo
menganggap bahwa realitas pemerintahan kota serta kondisi yang menyelimuti
warganya tersebut merupakan akar persoalan yang mesti dituntaskan. Sehingga
pada saat itu Patompo membentuk sebuah program 3 K. Di depan sidang DPRD
Kotamadya Makassar, Patompo menawarkan ide-ide dan programnya untuk mendapatkan
masuka-masukan, kesamaan bahasa dan persepi.
Lahirlah
sebuah kerangka kerja yang disusun dalam Pola Dasar Pembangunan Kotamadya
Makassar dengan sasaran memberantas 3 K, yaitu Kemiskinan, Kebodohan, dan
Kemelaratan. Sebagai mantan BPH tekni/pembnagunan Patompo sangat hafal semua
jalan yang menyatakan bahwa hampir 90% warga kota jatuh pada kemiskinan,
kebodohan, dan kemelaratan. Patompo juga membangun Kota Baru seperti Kampung
Lette dan Tanggul Patompo.[3]
Restorasi Patompo Mengiringi Makassar Ke
Pergaulan Global
Patompo yang
menyadari bahwa kota Makassar hanya dapat dibangun oleh pondasi pemikiran
tangguh dan kemauan bersama Gebrakan revolusioner sebagai manifestasi dari
ide-ide atau gagasan dari para tokoh masyarakat dan wartawan yang dipilihnya
sebagai mitra kerja.
Kondisi
kehidupan yang semakin tak kondusif bahkan semakin cenderung memprihatinkan.
Sehingga Patompo menciptakan aneka perubahan. Namun perjalanan Patompo tidak
semulus yang dibayangkan karena Patompo harus dihadapkan pada sejumlah
persoalan yaitu kondisi keuangan, kondisi sosial-ekonomi hingga masalah
perkataan dari sebagian orang yang tidak baik yang menganggap bahwa ide-ide
Patompo tidak hanya sebagai impossible dream dan tidak akan menjadi sebuah
kenyataan.
Tantangan
tersebut justru menjadi catatan Keberhasilan Patompo mewujudkan cita-cita Kota
Makassar secara restoratif-revolutif. Lapangan kerja mulai terbuka,
perekonomian berjalan lancar dan pengadaan siaran TV dilakukan dengan kerja
sama enterpreneur asal Jepang ang bernama Drs. Gobel.
Hal yang
paling menarik dari strategi yang diterapkan Patompo adalah ujicoba kelayakan
pembangunan yakni kegemarannya mencari tahu dan mengukur seberapa besar respon
dan partisipasi penduduknya. Tidak hanya kemampuan Patompo dalam mendekati
warganya, ia juga pintar dalam mendekati para ilmuwan sebagai variabel
pendukung atas kesuksesan yang diraihnya.
Berdasarkan
master plan yang dirancang, maka kota Makassar dibagi atas 5 kawasan yaitu :
1. Kawasan Kota
Lama,
2. Kawasan Panakukkang,
3. Kawasan
Biringkanaya Timur
4. Kawasan
Biringkanaya Utara,
5. Kawasan Mariso[4]