Tampilkan postingan dengan label Pemerintahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemerintahan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 Juni 2017

Mengenal Muhammad Daeng Patompo (Dari Binuang ke Kota Daeng)


 
Muhammad Daeng Patompo, dilahirkan pada tanggal 16 Agustus 1926 di Lembah Binuang Kabupaten Polewali Mandar. Binuang merupakan dataran subur dengan hamparan persawahan ini merupakan tempat kenangan indah yang tidak bisa dilupakan oleh Patompo. Di Desa inilah ia menghabiskan masa kanak-kanaknya, bermain-main dan dibesarkan oleh orangtuanya dengan penuh cinta dan kasih sayang.
     Ayahnya, Puang Bakkidu adalah seorang pedagang besar keturunan bangsawan, pemuka agama yang berasasal dari dari Rappang dan Wajo.  Ibunya, Andi Besse Mappa adalah seorang keturunan Raja di Kerajaan Binuang, Andi Paenrongi. Ketika itu adalah raja atau Selfbestuur di Kerajaan Binuang yang berbatasan dengan Balanipa-Tinambung kerajaan Majene Pambauang-Mamuju yang disebut Pitu Babbana Binanga.
Nama kecil Patompo adalah Andi Sappewali yang dibesarkan oleh ibunya sendiri, dan mempunyai kakak kandung  yang bernama Andi Iskandar yang  juga kelahiran Binuang pada 17 Desember 1923.[1]

Masa Sekolah
Patompo masuk sekolah di SR yaitu sekolah rakyat pada sekitar 1933 tapi kemudian dibawa pamannya ke Rappang. Di sana ia disekolahkan di Madrasah Ibtidaiah Muhammadiyah. Saat di kelas 3, Patompo masuk kepanduan Hizbul Wathan (HW). Karena tak merasa betah terpisah dan jauh dari ibunya, Ia hanya bertahan satu tahun di Rappang. Patompo kembali ke Binuang dan menamatkan sekolahnya di Volkschool. Setelah tamat,  melanjutkan pelajaran di perguruan Taman Siswa yang didirikan oleh Maman Sophian Patompo. Ia diterima duduk di kelas 4 melalui ujian. Tapi ibunya lalu memindahkan lagi ke sekolah Belanda HIS di Majene dan duduk di kelas 5.
Saat itu pendudukan Jepang, semua sekolah ditutup diganti dengan sekolah Jepang. Patompo memilih melanjutkan sekolah di Makassar. Di Makassar Patompo dapat berbahasa Jepang dalam jangka enam bulan. Patompo tinggal di salah satu rumah di muka Masjid Arab yang terletak di tengah-tengah kampung Cina.  Patompo merasa dibentuk oleh situasi keagamaan. Di Masjid itu dua orang muballig dan khatib tetap yang sangat disenanginya, Ali Ba’bud dan Asaagaf.
Jadi jangan heran jika kewajibannya melaksanakan ibadah shalat lima waktu tidak pernah ditinggalkannya. Apalagi dengan shlalat Subuh dirasakannya satu latihan yang kemudian membentuk satu kebiasaan baginya untuk cepat bangun pagi sholat shubuh berzikir, dan berdoa

Masa Remaja
Karena di Makassar hampir setiap malam sering terjadi pemboman oleh sekutu, maka Patompo kembali ke kampung halamannya. Dikampungnya Ia melihat ada satu Maschappy Jepang dan pada 1 Juli 1942 Patompo diterima bekerja di perusahaan itu ditempatkan sebagai jurus tulis sebab ia pintar bahasa Jepang.
Patompo bekerja hanya hanya enam bulan saja karena merasa tidak cukup dengan gaji yang ia terima. Ia juga tidak tahan dengan kekerasan Jepang sehingga ia pun meminta berhenti bekerja.
Patompo mendaftarkan diri unrtuk masuk Heiho, tapi tidak lulus. Perawakannya dianggap kecil.  Karena tidak ingin hidup menganggur, ia mencari jalan bagaimana mengisi kekosongan waktunya. Ia teringat ketika bekerja di perusahaan Jepang. Ia kemudian melirik barang-barang kebutuhan para perwira Jepang, baik berupa makanan maupun bahan pakaian serta barang-barang perlengkapan lukis lainnya.
Patompo mencoba menelusuri bagaiamana ia dapat memperoleh stok perwira-perwira Jepang tersebut. Akhirnya melalui suatu jaringan kepercayaan orang Jepang, Patompo memilih kegiatan untuk membeli barang-barang Jepang itu secara sembunyi-sembunyi dan menjualnya kepada umum. Karena untungnya banyak, maka ia merasa keadaan hidupnya agak jauh lebih baik daripada kawan-kawan yang lain.
Hasil yang sempat diraihnya memberi kesempatan untuk membiasakan diri beramal dan itu dilakukannya melalui celengan masjid atau sarana amal lainnya, selebihnya Patompo dapat menutupi biaya hidupnya  serta membeli alat-alat musik. Diwaktu senggang Patompo sangat senang mengisi waktu dengan hiburan musik di kampungnya.  Patompo memang gemar main musik bersama teman-temannya.
Patompo juga sangat gemar bermain sepak bola, suka bergerombol dengan teman-temannya meski sesekali berkelahi namun cepat baik-baikan lagi. Patompo memiliki karakter yakni merasa gembira kalau membantu teman-temannya. Begitu juga kecenderungan untuk selalu mandiri mengatur diri sendiri tanpa terlalu banyak merepotkan orang tua meski ia juga cengeng dan sangat manja.

Dalam kancah revolusi
Ada sebuah kebiasaan bagi Patompo jika menjelang sore yakni nongkrong dirumah salah seorang tetangganya yang bernama Sigar, seorang Langsa (Asisten Wedana) di Polewali Mamasa. Patompo begitu bahagia mendengar berita-berita dari radio yang masih merupakan barang mewah dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memilikinya. Terlebih saat itu, Polewali Mamasa yang berada jauh dari kota Makassar
            Tiba-tiba sebuah berita menarik melintas di telinganya para pemimpin bangsa ini telah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Mereka telah meneguhkan eksistensi bangsa Indonesia untuk mulai berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia ini. Terbebas dari penjajahan melilit selama beratus-ratus tahun.
Diberitakan bahwa saudara tua Jepang telah menyerah kepada sekutu setelah kota Hirosima dan Nagasaki hancur akibat ledakan bom atom dari sekutu.
     Patompo sebagai pemuda yang pernah mengenyam pendidikan di Taman Siswa, Polewali sangat bersukacita mendengar berita itu. Selama di Taman Siswa, ia di didik oleh Manai Sophian dan tentunya telah menguratkan nilai-nilai nasionalisme yang dalam. Pada tahun 1939 Mr Sunarjo yang belakangan menjadi Menteri dalam kabinet masa Soekarno pernah pula datang ke Taman Siswa Polewali. Kehadiran Partai Parindra di Polewali juga dirasakan Patompo sebagai dasar terbentuknya jiwa dan semangat kemerdekaan buat menentukan nasib sendiri.

Kibarkan Merah Putih
Bersama rekannya, Atjo Men alias, Patompo berkeliling memberitahu semua rakyat di daerahnya bahwa Indonesia telah merdeka. Polewali Mamasa sebagai bagian dari negara Indonesia harus siap-siap untuk mempertahankan kemerdekaannya yang baru saja diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Patompo sangat tahu persis bahwa mempertahankan sesuatu yang telah diraih jauh lebih sulit dicapai dibanding dengan  mencapainya. Banyak pemuda dan pemimpin yang datang ke Polewali Mamasa untuk memberi penerangan tentang proklamasi kemerdekaan RI,  namun terjadi kontoversi. Sebagian mendukung dan sebagian lagi menentang habis-habisan terutama dari kalangan raja-raja yang masih sangat kuat dominasinya. Kalangan kerabat Patompo sendiri, termasuk pamannya yaitu Mattulada yang menjadi Selfbestur menggantikan neneknya serta seluruh keluarganya tidak mengingkan agar Belanda berkuasa kembali.
Namun keadaan itu tidak mempengaruhi semangat Patompo bahkan ia mengajak pemuda-pemuda di Polewali mengorganisir diri untuk melawan setiap orang yang menghambat perjuangan kemerdekaan bangsa. Terjadilah permufakatan pada waktu itu untuk mengibarkan bendera merah putih di Polewali dan Patompo kemudian dengan keberanian mengibarkan sang Merah putih  di Polewali pada tanggal 20 Agustus 1945.

Hijrah ke makassar
Pengibaran bendera tersebut membuat KNIL datang ke Polewali. Patompo berharap ada dukungan dari pemerintahan di Polewali tapi  ternyata hampir seluruh jajaran pemerintahan di Polewali Mamasa pro KNIL waktu itu. Bahkan pemuda-pemuda yang tadinya setia pada Patompo terpaksa membubarkan diri.
Kondisi ini membuatnya berfikir untuk hijrah ke Makassar. Dia mengontak mengontak pemuda-pemuda yang sudah terorganisir.  Patompo menemui Mr. Tadjoeddin Noer dan Mr. Soepardi yang ketika itu menjabat ketua PNI daerah Sulawesi Selatan. Ia juga berjumpa dengan Dr. Ratulangi. Mereka saling berdiskusi dan mencoba merumuskan berbagai kemungkinan yang harus ditempuh dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa. Agaknya mereka maklum bahwa Belanda dalam tindakan penjajahannya.
Mr. Tadjoeddin menjelaskan kepada Patompo tentang penggunaan jalur diplomasi dalam menindaklanjuti perjuangan fisik. Maka ia meminta Patompo agar sebaiknya mengurungkan niatnya ke pulau Jawa atau Polombangkeng. Dr. Ratulangi secara terpisah menjelaskan pula kepada Patompo bahwa perjuangan bidang diplomasi itu sama pentingnya dengan perjuangan bersenjata.
Mendapat nasehat itu, Patompo yang sedang bergelora jiwanya tentu saja tersinggung karena terlihat tak seorang pun pemimpin yang mau mengover kekuasaan. Maka keputusan pemuda-pemuda di Makasaar waktu itu yakni memusatkan perjuangan di Polombangkeng atau ke Jawa.[2]

Menjadi wali kota makassar
Patompo menjadi Komandan Kodim di Polewali pada tahun 1964 sekaligus wakil Pengurus Perang Daerah (PEPERDA). Ini tentu sebuah tugas yang sangat berat. Namun di tangan Patompo semuanya dilalui dengan sukses dimana pengalamannya semasa di pulau Jawa berhasil merangsang partisipasi masyarakat Polewali Mamasa untuk ikut menjaga ketertiban dan  kestabilan demi suksesnya operasi kilat.
Sejak tahun 1961 Patompo sebagai BPH  teknik/pembangunan telah memperlihatkan semangat dan obsesinya tentang bagaimana cara penggunaan mesin-mesin pembangunan di kota Makassar, dari sebuah perkampungan kumuh menjadi kota dengan segala dimensi dan dinamika yang melingkupinya.
Pengalaman-pengalaman itulah yang membuatnya menjadi Walikota Makassar dan prosesnya berjalan mulus. Semua pihak berpihak dengannya dan menyatakan dukungannya. Padahal dikalangan partai biasanya sering timbul ketidakcocokan dan ketidaksamaan bahasa. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah bahkan melakukan hal yang tidak terpuji. Patompo menjadi walikota yang ke-6 yang merupakan kolonel TNI. Patompo dilantik pada tanggal 8 Mei 1965. Dalam pelantikan itu, Patompo mengucapkan pidato penerimaan jabatan dengan penuh sukacita. Baginya itu adalah amanat yang harus ia pegang teguh menyangkut cita-cita kota Makassar.
Langkah pertama yang dilakukan Patompo adalah merangkul para wartawan dan tokoh masyarakat dalam sebuah forum pikiran. Menurut Patompo, mereka adalah penerjemah yang handal dan merupakan penyambung aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Kondisi pemerintahan kota pada waktu itu kurang mendukung seorang walikota yang baru diangkat bisa berhasil dengan rancangan program yang besar. Kondisi kehidupan warga yang krisis akibat kekacauan yang membawa warganya dalam kehidupan yang apatis.
Patompo menganggap bahwa realitas pemerintahan kota serta kondisi yang menyelimuti warganya tersebut merupakan akar persoalan yang mesti dituntaskan. Sehingga pada saat itu Patompo membentuk sebuah program 3 K. Di depan sidang DPRD Kotamadya Makassar, Patompo menawarkan ide-ide dan programnya untuk mendapatkan masuka-masukan, kesamaan bahasa dan persepi.
Lahirlah sebuah kerangka kerja yang disusun dalam Pola Dasar Pembangunan Kotamadya Makassar dengan sasaran memberantas 3 K, yaitu Kemiskinan, Kebodohan, dan Kemelaratan. Sebagai mantan BPH tekni/pembnagunan Patompo sangat hafal semua jalan yang menyatakan bahwa hampir 90% warga kota jatuh pada kemiskinan, kebodohan, dan kemelaratan. Patompo juga membangun Kota Baru seperti Kampung Lette dan Tanggul Patompo.[3]

Restorasi Patompo Mengiringi Makassar Ke Pergaulan Global
Patompo yang menyadari bahwa kota Makassar hanya dapat dibangun oleh pondasi pemikiran tangguh dan kemauan bersama Gebrakan revolusioner sebagai manifestasi dari ide-ide atau gagasan dari para tokoh masyarakat dan wartawan yang dipilihnya sebagai mitra kerja.
Kondisi kehidupan yang semakin tak kondusif bahkan semakin cenderung memprihatinkan. Sehingga Patompo menciptakan aneka perubahan. Namun perjalanan Patompo tidak semulus yang dibayangkan karena Patompo harus dihadapkan pada sejumlah persoalan yaitu kondisi keuangan, kondisi sosial-ekonomi hingga masalah perkataan dari sebagian orang yang tidak baik yang menganggap bahwa ide-ide Patompo tidak hanya sebagai impossible dream dan tidak akan menjadi sebuah kenyataan.
Tantangan tersebut justru menjadi catatan Keberhasilan Patompo mewujudkan cita-cita Kota Makassar secara restoratif-revolutif.  Lapangan kerja mulai terbuka, perekonomian berjalan lancar dan pengadaan siaran TV dilakukan dengan kerja sama enterpreneur asal Jepang ang bernama Drs. Gobel.
Hal yang paling menarik dari strategi yang diterapkan Patompo adalah ujicoba kelayakan pembangunan yakni kegemarannya mencari tahu dan mengukur seberapa besar respon dan partisipasi penduduknya. Tidak hanya kemampuan Patompo dalam mendekati warganya, ia juga pintar dalam mendekati para ilmuwan sebagai variabel pendukung atas kesuksesan yang diraihnya.
Berdasarkan master plan yang dirancang, maka kota Makassar dibagi atas 5 kawasan yaitu :
1.    Kawasan Kota Lama,
2.    Kawasan Panakukkang,
3.    Kawasan Biringkanaya Timur
4.    Kawasan Biringkanaya Utara,
5.    Kawasan Mariso[4]


[1] Mattaliu Abdurrazaq. 1997. H. M. Daeng Patompo Biografi Perjuangan. Ujung Pandang : Berita Utama

[4]Dr. Ahmadin, M. Pd.  Menemukan Makassar Di Lorong Waktu, Makassar : pustaka refleksi. 2008

Selasa, 14 Maret 2017

Mengenal Abdurrachman Tamma, Bupati Ke-3 Kabupaten Majene



H. Abdurrachman Tamma atau Rahman Tamma[1] lahir di Balanipa Mandar, 15 Desember 1925. Masa kanak-kanak dan remajanya dihabiskan di tanah Mandar. Rachman Tamma memulai pendidikannya di sekolah dasar (VVS), lalu di Hollandsche School (HIS), dan Klein Ambrenaren Examen (KAE). Semua tingkatan itu ia lalui dimasa penjajahan Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang, ia mengikuti sekolah lanjutan (Sekolah Pegawai Menengah, setingkat SLTA), dan sekaligus mengikuti latihan kemilliteran (Booei Taesin). Sedangkan pendidikan tinggi ditempuh di Makassar pada akademi Makassar dan menyelesaikan sarjana muda (BA) pada Universitas Sawerigading Ujung Pandang (nama lain dari Makassar).
Pada masa pergerakan kemerdekaan, ia ikut ambil bagian mempertahankan kemerdekaan dengan aktif dalam perjuangan, antara lain, anggota pimpinan kesatuan, kelasykaran KRIS Muda, sebagai penghubung dari Lasykar  Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), sebagai perwira TRIPS dan perwira TRI-KESS (Komando Gerilya Sulawesi Selatan).
Namun atas kepeloporannya dalamperjuangannya mempertahankan merah putih yang telah resmi berkibar diangkasa, tentara Belanda menahannya lalu dipindahkan ke penjara layang, ketika terjadi perjanjian Roem-Royen antara pemerintahan RI dengan penguasa milliter Belanda.
Dalam pergerakan Negeri sendiri, Rachman Tamma juga aktif dalam  menumpas pemberontak yang dilakukan oleh sejumlah pasukan yang tidak menyetujui keutuhan negara kesatuan repoblik Indonesia, atau dalam bentuk motivasi lain yang mengganggu kewibawaan negara yang baru saja merdeka dari tangan penjajah.
Salah satunya, pada tahun 1950, ia terlibat menumpas pemberontakan Andi Aziz (April 1950) dan pemberontakan KNIlL (Agustus 1950). Dan jasanya ketika terjadi keretakan NKRI atau ikut membubarkan Negara Indonesia Timur  (NIT) untuk kembali kepada negara kesatuan repoblik Indonesia (NKRI).
Ketika ia sementara bertugas dimedan perang antara tahun 1945-1950, ia juga mearangkap sebagai wakil kepala daerah Mandar, yang roda pemerintahan dijalaninya di pengasingan. Tugas lainnya dalam pemerintahan negara, pada tahun 1950 menjabat sebagai kepala kantor Badan Rehabilitasi Nasional (BRN) provinsi Sulawesi Selatan, antara tahun 1952 hingga 1957, di Makassar.
Dari tahun 1958 hingga tahun 1961, ia aktif dalam organisasi veteran sebagai wakil koordinator urusan veteran Sulawesi Selatan dan tenggara yang berkedudukan di Makassar. Pada tahun 1961 sebagai staf khusus di Kantor Gubernur Sulawesi Selatan dan Tenggara. Kemudian tahun 1962 dipilih sebagai Bupati Majene, yang dijabat hingga tahun 1965.
Tak banyak yang bisa direkam ketika menjadi bupati di Majene. Dan atas pengakuan anak-anaknya, belum banyak pembangunan yang dilakukan pada masa itu, sebab masa itu persolan di daerah belum saja terhenti.
Ketika itu, atau setelah tahun 1962, periode pemerintahan Orde Lama di bawah kepemimpinan Ir. Soekarno mulai goyah. Dan puncaknya ketika tahun 1965, atau terjadinya pemberontakan PKI yang mengakibatkan pemerintahan ini tak menentu.
Tapi ketika Rachman Tamma mulai memimpin Kabupaten Majene, ia tak langsung “pension” dari tugas-tugas pemerintahan. Pada tahun itu juga ia menjadi anggota staf pemimpin Kantor Kosmisariat Veteran/Kantor Administrasi Veteran XVII Sulawesi Selatan yang dijabatnya hingga tahun 1983.
Pada saat Pemilu dimasa Orde Lama atau pada masa penyusunan anggota  anggota parlemen-sebelum pemilu pertama Orde Baru H. Abdul Rachman duduk sebagai anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan (1969 – 1971) dan menduduki Ketua Fraksi ABRI.
Kilas balik perjalanan Rachman Tamma, pada tahun 1956/1957, ia mengikuti Kongres I seluruh pejuang yang terbesar di Indonesia, yang mencetuskan berdirinya wadah berhimpun para pejuang republik: Legium Veteran (LVRI). Selanjutnya Kongres II (1968), Kongres III (1973), Kongres IV (1978) dan sampai pada tahun 1983 ia tetap berperan serta.
Kedudukannya dalam LVRI bervariasi: kadang menjadi anggota, pengurus, pembantu, sekretaris, dan juga pernah menjadi Ketua. Kepengurusan organisasi di tingkat daerah, ia kerap menjadi pengurus seperti di DPD LVRI  Sulseltra, Puskoveri dan lain-lainnya.
Pada tugas lainnya yang masih berhubungan dengan orgnisasi veteran, ia menjadi anggota badan koordinasi pembinaan veteran Sulseltra, pula ikut aktif dalam  kepanitiaan yang berhubungan dengan penyelenggaraan masalah veteran di Sulawesi Selatan. Dan hingga ajalnya tiba, ia masih tercatat sebagai anggota DPP LVRI.
Tugas-tugas Rachman Tamma memang amat panjang untuk ditulis. Selama hidupnya ia pernah abdikan diri dibidang sosial kemasyarakatan. Pada tahun 1950, ia menjadi panitia bekas tawanan politik di Makassar. Di tahun yang sama, menjadi panitia Panitera Konferensi Polongbangkeng yang dihadiri oleh pejuang IndonesiaTimur. Dalam komposisi angkatan 45, duduk sebagai anggota  pimpinan daerah angkatan 45 Sulawesi Selatan.
Ia juga pernah menjadi pimpinan/pengurus di perbagai yayasan di Sulawesi Selatan, antara lain: Yayasan Pemeliharaan Anak Yatim Korban 40.000 Jiwa/Panti Asuhan Dirgahayu, Yayasan Penguruan Tinggi Akademi Makassar (1959).  Atas nama Mandar, ia pernah menjadi penasehat Kesatuan Pemuda Pelajar Mahasiswa Polewali Mamasa Mandar (KPM-PMM).
Pada organisasi yang bersifat profesi, ia pernah menjadi Anggota Dewan Kantor Universitas Veteran Republik Indonesia, anggota dewan penyatun pengurus kesejahteraan petani kelapa Indonesia daerah Sulawesi Selatan dan tenggara (1965).
Organisasi yang dibentuk di bawah Gubernur Sulsel dan panglima kodam seperti badan pembina pahlawan, persoalan pemuda pelajar, peringatan hari-hari bersejarah nasional tingkat Sulawesi Selatan, pun ikut melibatkan diri menjadi pengurus.
Dengan semuanya itu tidaklah berlebihan jika ia pernah dianugerahi Bintang Gerilya Satya Lencana dan surat-surat penghargaan di bidang pembangunan dan pengabdian kepada LVRI.
Koleksi arsip pribadi H. Abdul Rachman Tamma diserahkan ke perwakilan Arsip Nasional di Sulawesi Selatan, pada tanggal 23 Juli 1979, berjumlah 34 boks atau kurang lebih 6 (enam) meter, dalam kurun waktu antara tahun 1921-196. Arsip sebagian besar merupakan hasil kegiatan yang terkumpul selama menjabat wakil kepala koordinator, dan Bupati Majene. Ditambah surat-surat pribadiketika di posisi lainnya.
Dalam sebuah kumpulan data tertulis, “Daftar Inventaris Arsip Pribadi H. Abdul Rachman Tamma“,  ada dua kategori surat yang dikoleksi, Pertama: koleksi umum yang terdiri dari dokumen seperti Undang-Undung nikah tahun 1954 hingga Kepres RI tahun 1961. Kedua: koleksi surat pribadi berupa surat pertama yang diterima saat ia dipenjara di Hogebad Makassar pada 1949, yaitu dari Andi Kasim di rutan Flores. Surat kedua datang dari Ibu Agung Andi Depu, (Arajang Balanipa ke-52), tahun 1950. Selebihnya sepuluh surat pribadi yang diterima dari mulai jadi pegawai hingga terakhir tercatat tahun 1969.
Arsip pribadi ini ada berupa hasil notulen, diantaranya notulen susunan acara Kongres Internasional Chamber Of Commerce ke IV, 16-21 Mei 1955 di Tokyo Jepang; beberapa surat keuangan, politik dan keamanan, pertahanan dan keamanan, pemerintah militer TT-VI /Wirabuana. Jumlah surat paling banyak tentang adalah surat-surat di bidang hukum dan peradaban, ekonomi dan perdagangan, penduduk dan tenaga kerja, telekomunikasi, perumahan. Ada juga  dokumen  bidang pendidikan yang terdiri dari 13 surat dan dibidang sosial ada 20 surat.
Adapun surat yang sifatnya koleksi khusus, dimulai ketika didirikan kris muda Mandar hingga pidato dan OPD “B” Bright 6 Diponegoro pada hari APRI dan HUT Divisi Diponegoro tahun 1964, sebanyak 423 buah surat. Kondisi arsip Pribadi H. Abdul Rachman Tamma pada umumnya masih baik, kecuali sebagian kecil sudah ada yang rusak dan memerlukan perawatan lebih lanjut”.
H. Abdul Rachman Tamma adalah putra dari pasangan H. Tamma Pua Hapsa (wafat pada 1968) dengan Marajima (wafat pada tahun 1942). Ia menikah dengan seorang perempuan yang bernama Hj. Artina pada 3 Juli 1951 di Makassar dan dikaruniai delapan orang anak, empat perempuan dan empat laki-laki.


[1] Bupati Majene Ke-3 periode tahun 1962-1965