Tampilkan postingan dengan label Literasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Literasi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 April 2024

SEJARAH PASAL- PASAL HUKUM PELAYARAN DAN PERDAGANGAN (AMMANA GAPPA)


SEJARAH PASAL- PASAL HUKUM PELAYARAN DAN PERDAGANGAN  ( AMMANA GAPPA )

Ternyata ada satu orang Indonesia yang berasal dari Sulawesi Selatan yang mewariskan kepada dunia internasional mengenai hukum laut..

Beliau adalah Amanna Gappa 

Sejarah seorang tokoh internasional yang berasal dari Bugis WAJO

Amanna Gappa, seorang peletak dasar Tentang hukum Maritim Internasional. 

Lontara Amanna Gappa Dikenal dalam bahasa bugis sebagai ade alloping-loping Bicarana Pabbalue. 

Kata ini berasal dari bahasa Bugis yang jika diartikan secara harfiah berarti Aturan pelayaran dan perdagangan.

Amanna Gappa adalah seorang Ketua Komunitas Wajo atau lebih dikenal dengan istilah matoa komunitas Wajo di Makassar.
 
Amanna Gappa kemudian diangkat menjadi Kepala perniagaan di Makassar pada abad ke-17 di Kota Maritim Makassar. 

Disinilah Amanna gappa kemudian membuat semacam undang-undang pelayaran dan perdagangan. 

Kelak Dasar dari UU Amanna gappa ini kemudian diadopsi di Eropa dan sampai saat ini dipakai sebagai Hukum Maritim Internasional.

Lalu apakah sebenarnya isi dari Lontara Ade aloping-loping bicaranna pabbalue dalam bahasa Bugis.


Berikut ini adalah, lontara atau UU Pelayaran dan kemaritiman Amanna Gappa terdiri dari 21 pasal yang kalau di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

Lontara Amanna Gappa

Pasal 1

Menjelaskan tentang sewa bagi orang-orang yang berlayar dan berdagang, antara lain seseorang yang berlayar atau berdagang dari Makassar Bugis, Paser, Sumbawa, Kaili Melayu Aceh, Kedah, Kamboja, maka sewanya tujuh rial dari tiap-tiap seratusnya. 

Maka uang yang digunakan saat itu adalah rial merupakan mata uang yang juga dibawa oleh para pedagang. 

Barang-barang saat itu dari tiap jenisnya itu selalu dianggap 100 %, hal ini berarti bahwa orang-orang dahulu telah menerapkan sistem persenan dalam tiap kegiatan dagang.

Selanjutnya, jika para pedagang naik perahu dari Aceh, Kedah, Kamboja menuju Malaka, ke Johor Tarapuo, Jakarta, Palembang, Aru, maka sewa dikenakan enam rial dari tiap seratus persen barang. Sementara itu jika orang naik perahu ke Semarang, Sambas, Pontianak, Ambon, Banda, Kie, Ternate, maka sewa dikenakan lima rial dari tiap seratus persen barang. 

Jika orang naik perahu ke Banjarmasin sampai ke Berau menuju utara di Sumenep sampai ke Timor maka sewanya dikenakan empat rial dari seratus persen.
 
Apabila seseorang naik perahu di Sambas sampai Banjarmasin lalu ke tanah Jawa maka dikenakan sewa empat rial dari seratus persen. 

Sementara itu jika seseorang naik perahu di Makassar ke Selayar maka sewanya 2,5 rial dari tiap barang.

Dari jalur-jalur yang disinggahi dapat disimpulkan bahwa para pelayar dan pedagang Bugis dalam perdagangan telah sampai hingga Kamboja, Terenggang dan Johor. 

Adapun tentang barang yang memerlukan ruangan luas maka dikenakan sewa sepersebelas dari seratus persen tiap jenis barang (sima biring) misalnya beras, garam, rotan dan lain-lain.

Adapun perahu yang sekali memungut sewa pulang pergi, meskipun ada negeri yang disinggahi menjual, lalu membeli dagangan kemudian menuju ke negeri yang dituju maka ia hanya membayar sewa kapal yang dituju.
 
Kecuali dalam pelayaran ia kembali ke negeri yang disinggahi untuk menjual dan membeli barang sehingga ia bermalam, maka barulah perahu memungut sewa untuk kedua kalinya.

Pasal 2

Perahu yang disewakan kepada yang bukan teman pemilik perahu maka sewa perahu dibagi dua, sebagian untuk yang punya perahu dan sebagian untuk nakhoda bersama juru mudi dan juru batu. 

Adapun jika yang membawa perahu adalah teman dari pemilik perahu maka sewa dibagi tiga. 

Satu bagian untuk juru mudi dan juru batu dan dua bagian untuk yang punya perahu.

Mengenai bagian yang bukan teman lebih banyak dari pada yang teman pemilik perahu, karena ini erat kaitannya dengan hubungan kekearabatan yang terjadi dimana terkadang seseorang lebih mudah saling mengatur jika erat kaitannya, dibanding tidak memiliki hubungan sama sekali.

Juru mudi bertugas mengemudikan perahu, sementara juru batu bertugas mengawasi kapal dari karang maupun menaikkan dan menurunkan batu (jangkar) ketika ingin berlabuh.

Jika dalam perdangan nakhoda salah mengenakan sewa maka kesalahan tidak dikenakan kepada kelasi (penumpang). 

Dalam setiap perselisihan antara kelasi, maka nakhoda berkewajiban menengahi dan mencari jalan keluar masalah tanpa membawanya ke pengadilan.

Pasal 3

Dagangan yang kembali di negeri yang dituju dikenakan sewa separuh kecuali dia terus dan ada negeri yang dituju, maka dia membayar sewa penuh; sesuai dengan sewa negeri yang disinggahi. 

Apabila dia pindah perahu padahal perahu yang telah ditumpanginya memiliki arah tujuan yang sama, maka nakhoda yang ditinggalinya berhak meminta sewa dari kelasi sebanyak sewa ke negeri yang ditujunya. 

Terkecuali jika dia tidak bermaksud ke negeri yang pernah ditujunya semula, meski searah haluan maka tidaklah diminta sewa.

Pasal 4

Macam-macam kelasi ada 4 yakni kelasi tetap, bertugas menjaga kapal dan tidak boleh meninggalkan perahu selama dalam pelayaran, yang kedua kelasi bebas, ketiga kelasi penumpang dan terakhir orang yang menumpang.

Nakhoda tidak diperkenangkan menerima kelasi, kalau belum ada persetujuan tentang barang, baik yang membutuhkan ruangan luas maupun barang tapi yang telah dijanjikan.

Pasal 5

Kerusakan yang ada pada perahu menjadi tanggung jawab juru mudi dan juru batu, keduanya berhak memberikan perintah perbaikan perahu kepada kelasi.

Pasal 6

Syarat-syarat nakhoda perahu ada 15 yakni :

1. Memiliki mental, dan senjata baik senjata berat dan ringan yang berfungsi untuk mempertahankan diri dari berbagai ancaman. 

2. Memiliki perahu yang kuat untuk berlayar, demi mengantisipasi ancaman badai dan berbagai masalah di laut. 

3. Teliti dan rajin, sehingga mampu mengawasi dan menjadi teladan bagi anak buahnya. 

4. Memiliki modal, untuk menyewa kapal maupun membayar denda jika terjadi kesalahan.

5 Mampu mengawasi kelasinya.

6. Mampu menegakkan kebenaran tanpa pandang bulu.

7. Mampu menerima saran dan kritik.

8. Memiliki integritas dan kejujuran.

9. Menerima kelasi dengan memperlakukannya sebagai anak, sehingga ia bisa menjadi pengayom diantara kelasi yang lain.

10.Senantiasa memberi pelajaran kepada kelasi tentang alat-alat pelayaran tanpa ada rasa jenuh. 

11. Sabar 

12. Disegani

13. Mampu mengurusi dagangan kelasinya

14. Bisa mengkongsi perahunya

15. Mengetahui jalur pelayaran yang dituju.

Pasal 7

Cara bejualan baik dengan menggunakan perahu, berwarung atau bersaudagar ada lima macam yaitu :

· Berkongsi sama banyak, yakni memikul bersama keuntungan atau kerugian yang jika terjadi kerusakan dalam berjualan;

· Samatula , yakni yang punya barang yang memikul segala kerusakannya apabila barang cacat, tetapi jika bukan cara berjualan yang salah maka si pembeli yang menanggungnya;

· Utang tanpa bunga. Si pemberi utang hanya menagih utang jika telah sampai waktunya;

· Utang kembali, harga barang ditetapkan terlebih dahulu, dan akan dibayar jika barang telah laku terjual. Jika tidak laku maka barang dikembalikan.

·  Kalula, orang yang dipercaya menitipkan barang. Kerusakan yang dipikul bersama ada 3 macam : 
1. Rusak di lautan 
2. Dimakan api 
3. Kecurian. 

Kerusakan yang tidak dipikul bersama ada 7 macam :
1. Dijudikan; 
2. Dipelacurkan; 
3. Dipergunakan beristri; 
4. Diboroskan; 
5. Dipinjamkan; 
6. Dimodalkan; 
7. Diberikan untuk makan

Pasal 8

Orang yang meminjam barang di pasar atau dalam pelayaran, di luar pengetahuan keluarganya lalu ia ,meninggal, maaka keluarga tidak boleh ditagih dan mereka tidak patut membayar.

Kecuali jika ia pernah bertemu keluarganya dan pernah diberitahu tentang utang tersebut. 

Maka wajiblah si isteri dan keluarganya membayar.

Pasal 9

Barang dahulu diwarisi kepada anak dahulu, barang dibelakang diwariskan kepada anak dibelakang begitu seterusnya. Baik atau maupun keuntungan. Mengenai pewarisan barang tidak boleh dikembalikan kalau harga diputuskan dan belum diperdagangkan. Jika telah diperdagangkan dan ada yang kurang atau ada yang robek, maka yang kurang ditambah dan yang robek diganti. Pembelian tidak boleh dibatalkan.

Pasal 10

Adapun orang yang bertengkar dengan sesama pedagang dan ma¬sing-masing telah sampai kepada orang tua , yang caranya ber¬tindak sama juga dengan caranya pengadilan, yakni mendengar pembicaraan kedua belah pihak dan saksi kedua belah pihak dan juga keadaan serta kelakuan kedua belah pihak. Jikalau kedua belah pihak (telah menjalani pemeriksaan) dan ternyata keadaannya sama, maka hukum Tuhanlah yang dijalankan terhadap mereka.

Jikalau orang yang bertindak selaku hakim bertanya, maka sipenuntutlah lebih dahulu ditanyai, baru orang yang dituntut. saksinya demikian juga. Maka dimintai mereka akan wakil masing-masing, lalu disuruh mundur sebegitu jauh, sehingga tak dapat mendengar orang yang bercakap-cakap itu. Orang yang bertindak selaku hakim, memikirkan segala seluk-beluk persoalan itu. Masing-masing menghadapkan hatinya kepada Tuhan untuk menciptakan putusan yang jujur. Masing-masing mengikuti akar persoalan. Empat akar besarnya, empat pula akar kecilnya. Jikalau salah satu (diantara orang yang bertengkar itu) ternyata ber¬salah atau ada dalam kebenaran, salahkanlah yang salah, benarkanlah yang benar. Kedua belah pihak tidak boleh lagi memakai ke-kerasan.

Pasal 11 

Adapun pelayar, bila ada pertengkarannya dalam pelayaran, selesaikanlah terlebih dahulu. baru perkenankan mereka naik ke darat. Dimana saja api jadi, di situ juga padam. Jikalau mereka didalam pelayaran berselisih nakhodalah yang menyelesaikan persoalannya. Janganlah dibawakan kesusahan dari luar kepada pemimpin negeri tentang soal pelayaran. (Kecuali perselisihan terjadi di daratan, maka di sana jugalah diselesaikan oleh pemimpin negeri) , sebab tiap-tiap negeri yang engkau singgahi, mempunyai hakim.

Pasal 12

Adapun peraturan yang ditentukan mengenai bagi laba, tujuh macam, yang tidak dipikul bersama dengan yang empunya jualan. Pertama: jangan dipergunakan berlacur; keempat: jangan dipergunakan untuk kawin; kelima: jangan dipergunakan berjudi; keenam : jangan dipergunakan mengisap madat; ketujuh: jangan diboroskan.

Kalau kerugian karena ada diantara yang (tujuh ini) dilakukan, maka yang membawa jualan memikul semua. Kalau modal (si punya jualan) ada, (kembali dengan tidak berkurang) tidaklah ditanyakan kelakuannya. Kalau si pembawa jualan belum kembali dan yang empunya jualan memandang (si pembawa) telah mati, maka yang empunya jualan menerima setengah (modalnya) dari keluarga sipembawa jualan. Dia tidak menunggu lagi kerugian atau keuntungan, kalau telah menerima setengah , walaupun akhirnya si pembawa kembali berlaba atau rugi. Sekiranya jelas kematian si pembawa dalam pelayarannya dan terang juga bukan cara berdagang yang dilakukan sehingga jualannya habis, seharusnyalah keluarganya membayar penuh. Akan tetapi kalau cara berjualan juga dilakukannya sehingga habis barangnya, maka membayar setengahlah si pembawa.

Pasal 13

Adapun hal orang yang berutang, empat macamnya. Pertama: orang yang berutang; kedua: orang yang menyanggupi (membayar utang orang yang disanggupinya); ketiga: orang yang dijadikan penang¬gung keempat: orang yang mengantar, itu jugalah orang yang mempertemukan. Orang yang meminjam, dia sendirilah yang membayar. Pada hal orang yang menyanggupi, bukan dia yang meminjam, akan tetapi dia yang membayar, bila sampai waktunya (dan si peminjam) belum membayar. Adapun (seorang) to'do', tidak boleh ditagih kecuali jikalau orang yang menjadikan dia to'do' meninggal atau menghilang, maka wajiblah to'do' membayar. Dari itu maka ada pribahasa yang mengatakan :„Orang yang menyanggupi, lehernya diikat, orang yang dijadikan to'do', kakinya diikat".

Adapun orang yang mempertemukan, sama halnya dengan orang yang mengantar. Sebab hanya oleh karena (orang yang dapat mem¬beri pinjaman itu) tidak dilihat (oleh orang yang hendak meminjam itu maka ditunjukkannya; dan oleh karena (orang yang dapat meminjamkan itu) tidak dikenal (oleh orang yang hendak meminjam itu), maka diantaranya. Tidak boleh dia ditagih. Hanya orang yang meminjam jualah yang ditagih.

Pasal 14

Adapun orang yang berutang, jikalau telah habis hartanya dijadi¬kan pembayar (utang) dan masih belum cukup untuk menjadi pem¬bayar, maka dia memperhambakan dirinya untuk menutup keku¬rangan itu. Hal inilah yang dinamai riukke' ponna). Tidak boleh lagi ditagih, walaupun dia mendapat kebaikan sesudah dicabut po¬honnya beserta akarnya. Dia membayar dengan memperhamba diri; yang empunya barang tidak boleh lagi menuntutnya. Adapun orang yang mengambil utang berbunga, ialah yang dinamai riraung cempa (dipetik sebagai daun asam) yakni, telah dipetik daunnya dan bila tumbuh daunnya (kembali) dipetik lagi. Begitulah buruknya di dunia. Adapun akibatnya diakhirat, tidaklah terkatakan: bunganya berbunga. Janganlah tetapkan harga diri (sipeminjam). Jikalau telah kau perbudak dia, telah kau cabut pohonnya beserta akarnya, jangan dipetik, (lagi) (dimintai bunga). Tidak boleh lagi ditagih bila dia kelak mendapat kebaikan. Hanya utangnya saja yang dibayarnya, tidak lagi membayar bunganya . Adapun yang dinamai rirappasorong, hanya seorang yang berutang, tetapi banyak yang memberikan piutang. Jikalau dia membayar (dan) tidak cukup pembayarannya, maka yang memberikan pinjaman hanya berhak menerima jumlah sesuai dengan perbandingan piutangnya masing-masing. Banyak piutangnya, banyak pula diterimanya. Kurang piutangnya, kurang pula diterimanya. Dicabut pohonnya beserta akarnya atau tidak dicabut pohonnva beserta akarnya, lunaslah utangnya itu. Bila dia mendapat kebaikan kemudian dari pada itu, untungnya sendirilah itu, tidak boleh lagi ditagih .

Pasal 15

Adapun budak jikalau disuruh membawa barang jualan dan dia melakukan kesalahan dalam pelayaran, jikalau engkau (nakhoda) merebut barang jualannya, pada hal tidak ada perwakilan padamu dari orang yang menyuruhnya dan rusak dalam tanggunganmu, kamu harus menutupinya ( membayar harga kerusakan itu). Engkau baru luput, bila barang itu telah tiba pada yang empunya jualan. Kalau memang ada perwakilan (padamu) lalu engkau mensitanya, maka dialah ( siempunya barang) menanggung baik-buruknya. Sama halnya dengan orang yang membawa jualan, dalam keadaan rusak, menurut peraturan bagi laba sama.

Pasal 16

Adapun pedagang yang meninggal dalam pelayaran, carilah ahli wa¬risnya, yang tidak akan merusak ( menghilangkan barang orang yang meninggal itu). Dudukkanlah beberapa orang untuk hal itu, lalu serahkan (harta bendanya), supaya engkau saling menyaksikannya. Adapun kesukarannya, taksirlah (harga) barang itu, (lalu) dijadikanlah wang dan sesudahnya terimakanlah kepadanya, lalu engkau masing-masing mencatatnya dalam bukumu. Jikalau tidak ada ahli-warisnya, nakhodanyalah yang menerimanya. Kalau ada yang engkau ( nakhoda) pakai maka rusak, gantilah. Kalau berlaba, milikmu semua laba itu. Yang empunya barang ti¬dak mengenal baik atau buruknya. Setelah engkau tiba di negerinya, serahkanlah kepada anaknya (atau) isterinya. Persaksikan jualah, supaya engkau bersih.

Pasal 17

Adapun bayar-membayar (bagi) orang yang saling berutang, baik bagi laba maupun lain-lain (macam) utang-piutang, (kalau) wang yang dipinjam, maka uang yang dibayarkan, (kalau) barang jualan yang dipinjam, jualan yang dibayarkan. Jikalau wang yang dipinjam (dan) jualan yang dibayarkan, maka itu atas putusan orang penengah yang menaksir harga barang itu. Jikalau jualan yang dipinjam (dan) wang yang dibayarkan, maka itu tergantung pada persetujuan mereka. Jikalau berlainan jenis jualan yang dipinjamnya dengan yang dibayarkannya, terserahlah pada persepakatannya. Itulah yang dinamai taro anappalallo bekka' temmakkasape' penyelesaian secara istimewa. Oleh karena menurut adat tidak boleh hal itu dipandang sebagai anak, akan tetapi orang tidak terlarang bersepakat dengan sesamanya pedagang.

Pasal 18

Adapun yang dinamai kalula, ialah, dia dan keluarganya tidak menanggung kerusakan jualan, akan tetapi hanya menunggu belas-kasihan semata-mata. Jikalau rusak karena bukan cara jualan yang dilakukannya, maka kalula yang membayarnya, tidak sampai kepada keluarganya; (jadi) hanya dirinya sendiri yang menanggung utang. Dari itu maka hanya orang yang merdekalah yang dijadikan kalula. Oleh karena tidak boleh luput dari peraturan. Hanya mencarikan jalan sekadar mendapat pembayar untuk membayar utangnya.

Pasal 19

Adapun ana'guru yang mengambil utang dari orang lain di luar pengetahuan gurunya, maka habis yang dipinjamnya itu, gurunya tidak wajib membayar. Jika budaknya saja disuruh menjaga jualan, maka (budak itu) pergi juga berutang pada orang lain dan sebelum habis laku (barang yang dipinjam itu) telah bertukar rupa , apalagi kalau hilang, atasannyalah yang membayar. Oleh karena kepercayaannya (kepada budak itu) lebih dahulu dari pada disuruhnya (dia) menjaga. Akan tetapi (pada umumnya) budak tidak boleh diberi meminjam tanpa pengetahuan tuannya.

Pasal 20

Adapun orang yang dipungut di lautan, sekalipun (telah) terdampar pada sebuah pulau, akan tetapi ternyata sama sekali tidak ada sesuatu apa yang dapat menghidupkannya (di pulau itu), sama juga halnya dengan orang yang dipungut di tengah lautan. (Pada orang yang demikian itu) dibebankan bayaran menurut harga pasar tiap-tiap orang (yang dipungut di tengah lautan). Jikalau mereka terdampar pada sebuah gosong, dimana ternyata ada yang dapat menghidupkannya, hanya empat rial diminta dari tiap-tiap orang. Jika memang tidak ada perjanjianmu nakhoda, lalu dia yang dipungut itu pergi keadat, maka putusan adatlah yang diikutinya.

Pasal 21

Amanat Amanna Gappa, kepala seluruh orang Wajo di Ujung Pandang, telah disetujui oleh kepala seluruh orang Wajo di Sumbawa, di Paser, pada waktu mereka duduk mengadakan pertemuan (di Ujung Pandang). (Amanat tersebut) dicantumkan di dalam buku, supaya diikuti turunan mereka, diwarisi oleh anak cucunya dan oleh seluruh pedagang yang lain. Ada dua golongan yang hendaknya diperhatikan baik-baik : orang yang meminjam dan orang tempat meminjam.

Adapun cara memperhatikannya: jangan mengambil utang bagi laba pada orang yang lebih berpengaruh dari pada engkau dan juga jangan beri dia berutang bagi laba. Adapun keburukannya, sering dia tidak mau mengikuti peraturan bea perdagangan. Jikalau kau berikan utang bagi laba, sesuaikanlah dengan harta miliknya beserta (harta) keluarganya dan (harta) golongan keluarganya yang dekat.Sebabnya, jikalau beroleh kerusakan dan tidak cukup pembayarannya, adalah yang dilihat ( menjadi tanggungan bagi) barangmu.

Adapun caranya orang berutang-piutang, baik bagi laba, maupun samatula, baik utang biasa tanpa bunga dan segala utang-putang yang lain-lain, jikalau yang empunya piutang yang me¬minjamkan barang berkeras mau menerima (bayaran), maka (hendaklah) ditaati peraturan yang sudah ditetapkan. Jikalau yang berutang membayar dan masih belum mencukupi pembayarannya, maka ditaksirlah harga segala barang miliknya sendiri.

Jikalau telah habis harta miliknya dibayarkan dan masih belum mencukupi pembayarannya, maka lunaslah utangnya. Tidak boleh lagi ditagih, meskipun ada rezeki dikaruniakan oleh Allah Ta'ala sesudah dibayarkan harta miliknya. Tidak boleh (pula) ditagih lagi, oleh karena dia sebagai orang yang merdeka seperti kita, tidak bo¬leh keluar dari lingkungannya ( tidak boleh sesama kita merdeka dipaksakan mencari wang di luar lingkungannya dengan mem-perhambakan dirinya). Apa lagi jangan dipikir akan kemungkinan untuk dibuang ke Jawa , artinya: jangan ditaksir harga diri orang itu. Jikalau engkau tidak menghendaki kurang piutangmu, janganlah engkau cabut pohonnya beserta akarnya. 

Tunggulah tumbuhnya tunggulah rezekinya dikemudian hari, harapkanlah itu atau berikanlah dia dagangan untuk dijadikan mata pencahariannya. 

Mudah-mudahan kamu sama bertuah dan terkabul doamu sama-sama dikasihani dan dikaruniai rezeki oleh Allah Ta'ala, sehingga ada yang dibayarkannya kepadamu untuk melunaskan segala utangnya."

Di sharing dari berbagai sumber

Senin, 22 April 2024

Mengenal Opu Daeng Risaju





Opu Daeng Risaju Wanita Berhati Baja Dari Tana Luwu.

Opu Daeng Risaju
“Kalau hanya karena adanya darah bangsawan mengalir dalam tubuhku sehingga saya harus meninggalkan partaiku dan berhenti melakukan gerakanku, irislah dadaku dan keluarkanlah darah bangsawan itu dari dalam tubuhku, supaya datu dan hadat tidak terhina kalau saya diperlakukan tidak sepantasnya.”
(Opu Daeng Risaju,Ketua PSII Palopo 1930) 

Itulah penggalan kalimat yang diucapkan Opu Daeng Risaju,seorang tokoh pejuang perempuan yang menjadi pelopor gerakan Partai Sarikat Islam yang menentang kolonialisme Belanda waktu itu,ketika Datu Luwu Andi Kambo membujuknya dengan berkata “Sebenarnya tidak ada kepentingan kami mencampuri urusanmu, selain karena dalam tubuhmu mengalir darah “kedatuan,” sehingga kalau engkau diperlakukan tidak sesuai dengan martabat kebangsawananmu, kami dan para anggota Dewan Hadat pun turut terhina. Karena itu, kasihanilah kami, tinggalkanlah partaimu itu!”(Mustari Busra,hal 133).Namun Opu Daeng Risaju,rela menanggalkan gelar kebangsawanannya serta harus dijebloskan kedalam penjara selama 3 bulan oleh Belanda dan harus bercerai dengan suaminya yang tidak bisa menerima aktivitasnya.Semangat perlawanannya untuk melihat rakyatnya keluar dari cengkraman penjajahan membuat dia rela mengorbankan dirinya.

Perempuan fenomenal ini,memiliki nama kecil Famajjah.Ia dilahirkan di Palopo pada tahun 1880,ia hasil perkawinan antara antara Opu Daeng Mawelu dengan Muhammad Abdullah To Bareseng.Opu Daeng Mawelu adalah anak dari Opu Daeng Mallongi,sedangkan Opu Daeng Mallogi adalah anak dari Petta Puji.Petta Puji adalah anak dari La Makkasau Petta I Kera,sedangkan La Makkasau Petta I Kera adalah anak Raja Bone ke 22 La Temmasonge Matinroe Ri Mallimongeng (memerintah tahun 1749-1775) dari hasil perkawinannya dengan Bau Habibah puteri Syek Yusuf Tuanta Salamaka ri Gowa.La Temmassonge Matinroe Ri Mallimongeng adalah putera Raja Bone ke 16 La Patau Matanna Tikka (memerintah antara tahun 1696-1714) dari hasil perkawinannya dengan We Ummu Datu Larompong puteri Datu Luwu Matinroe Ri Tompo Tikka.dari silsilah keturunan Opu Daeng Risaju tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ia berasal dari keturunan raja-raja Tellumpoccoe Maraja,yaitu:Gowa,Bone dan Luwu.(Muh.Arfah & Muh.Amir:Biografi Pahlawan:Opu daeng Risaju,hal 39).
Fammajah adalah seorang gadis hitam manis yang lincah dan berwajah serius,Ia banyak mengisi masa kecilnya dengan menamatkan Al-Quran,mempelajari fiqih dari buku yang ditulis tangan sendiri oleh Khatib Sulaiman Datuk Patimang,atas bimbingan seorang ulama dan beberapa orang guru agama.Selain itu ia mempelajari nahwu,syara dan balaqhah,yang merupakan dasar bagi pengkajian ilmu-ilmu agama yang lebih tinggi.Pengetahuan tentang baca tulis huruf Latin berkat ketekunannya sendiri.Lain halnya dengan tokoh-tokoh pelopor wanita lainnya sperti Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika,Maria Walanda Maramis,Rasuna Said dan lain-lain setidaknya mempunyai pendidikan formal tingkat menengah.Opu Daeng Risaju tidak pernah diasuh dibangku sekolah atau belajar secara formal dari pendidikan buatan Hindia Belanda.

***
Pertemuannya dengan Haji Agus Salim ketika beliau datang berkunjung ke beberapa daerah di Sulawesi Selatan dalam rangka konferensi Partai Sarekat Islam di Pare-pare,membekas dalam ingatan Opu Daeng Risaju.Kesamaan cita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan bumiputera dan melepaskan dari cengkraman penjajah Belanda yang dijelaskan oleh Haji Agus Salim sebagai tujuan pendirian Partai Sarikat Islam,membuat Opu Daeng Risaju semakin bersemangat untuk berjuang.
Setelah berhasil mempropagandakan PSII kepada keluarga, sahabat dan masyarakat di Palopo, Opu Daeng Risaju bersama Achmad Tjambang, Beddu, Tjukkuru Daeng Manompo, Daeng Malewa, Ambo Rasia, Ambo Baso, Imam Buntu Siapa, Parakkasi, Sigoni, dan Mudhan, mempermaklumatkan berdirinya PSII Cabang Palopo dalam suatu rapat umum. Opu Daeng Risaju sendiri bertindak sebagai ketua, dibantu sekretaris Achmad Cambang dan bendahara Mudhan.
Permakluman berdirinya PSII ini tentu saja menggelisahkan para pejabat Belanda dan pembesar-pembesar kerajaan, termasuk raja Luwu sendiri. Mereka khawatir karena PSII ketika itu telah mengambil kebijaksanan yang bersifat noncooperatif dengan pemerintah, Dan, apa yang mereka khawatirkan itu memang terbukti dikemudian hari. Opu Daeng Risaju bersama dengan teman-temannya menempuh pula kebijaksanaan noncooperatif dengan penguasa Belanda dan bahkan dengan penguasa kerajaan. Sikap noncooperatifnya inilah yang pada akhirnya menjebloskannya ke dalam penjara Belanda. 
Tak lama sesudah diresmikan berdirinya, PSII berkembang dengan pesat dan berhasil membuka ranting di beberapa daerah dalam wilayah kerajaan Luwu. Salah satu rantingnya adalah Malangke. Pada akhir tahun 1930, pengurus dan anggota PSII Ranting Malangke mengundang Opu Daeng Risaju untuk berbicara dalam suatu rapat umum. Pembicaraan Opu Daeng Risaju dalam kesempatan itu dinilai oleh kepala Distrik Malangke sebagai suatu pidato propokatif yang menghasut rakyat untuk tidak taat kepada pemerintah. Kepala distrik Malangke segera melaporkan hal itu kepada kontroleur di Masamba. Atas laporan tersebut dikerahkanlah polisi untuk menangkapnya dan membawanya ke Palopo untuk diperhadapkan ke pengadilan. Tetapi, sebelum diadili  atas dasar pertimbangan kemanusian karena dia perempuan dan seorang bangsawan tinggi  Assisiten Resident Luwu meminta dulu kepada Datu Luwu Andi Kambo, agar membujuknya supaya meninggalkan partainya dan menghentikan kegiatan politiknya. Kalau bersedia maka dia akan dibebaskan dari segala tuntutan.Namun ia menolaknya,itulah yang menyebabkan dia harus dijebloskan dalam penjara Belanda.
Opu Daeng Risaju adalah seorang perempuan Bugis yang meletakkan makna konsistensi perjuangan dalam dirinya.Opu Daeng Risaju adalah seorang social agency (agen perubahan social), menurut Lyod (1999:93-95),dalam satu masyarakat selalu terdapat apa yang disebut sebagai social agency,yakni ”individu” atau ”kelompok” otonomis yang berada dan menjadi bagian masyarakat tetapi mempunyai power,authority, dan kharisma untuk bertindak sebagai ”aktor” yang mengatur dan mengendalikan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.Besar kecilnya authority yang dimilikinya,tergantung pada kemampuan masing-masing.Besar kecilnya power yang mereka miliki tergantung pada kedudukannya dalam struktur sosial, baik formal maupun non formal.Adapun kharisma yang dimiliki social agency tentu biasanya bersifat irasional, namun selalu juga terkait dengan authority dan power.Makin tinggi posisi dan kedudukan seseorang dalam struktur, makin tinggi pula authority, power, dan kharismanya.
Opu Daeng Risaju adalah potret nyata eksistensi perempuan Sulawesi Selatan dalam menggerakkan realitas sosial masyarakatnya justru ketika bangsa ini masih berada dalam cengkraman penjajahan Belanda.Ia begitu teguh dengan keyakinannya seolah mengingatkan kita pada pada Joan D Ard,perempuan Prancis yang memimpin peperangan dalam melawan Inggris pada abad pertengahan.Opu Daeng Risaju adalah potret nilai konsistensi manusia dalam memperjuangan rakyat yang masih memiliki relevansi dengan kondisi kekinian.Juga refleksi bagi tokoh-tokoh agama hari ini untuk lebih memposisikan diri dibarisan terdepan dalam membela kepentingan ummat agar bebas dari pembodohan,kemiskinan,dan kezaliman.

Kronologis:
1880 : Lahir di Palopo
1912 : Berdirinya Sarekat Islam di Solo
1913 : Berdirinya Sarekat Islam di Makassar
1913 : Kongres Sarikat Islam Pertama di Surabaya
1914 : Berdirinya Sarikat Islam Cabang Mandar di Pamboang
1921 : Berdirinya Sarikat Islam Cabang Sinjai
1927 : Opu daeng Risaju menjadi anggota SI cabang Pare-Pare
1928 : Berdirinya Sarikat Islam Cabang Barru
1929 : Berdirnya Sarikat Islam Cabang Pambusuang
1929 : Kelompok Pappadang (kelompok padagang Mandar) mendirikan Sarikat Mandar di Padang Sumatera Barat.
1929 : Perubahan nama dari Sarikat Islam ke Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII)
1930 : PSII menerima 3 anggota baru dari golongan Adat yang potensial yakni: Andi Abdul Kadir anggota Swapraja Tanete/Barru, Datu Hj.Andi Ninnong anggota Swapraja Wajo dan Opu Daeng Risaju anggota Swapraja Luwu.
1930 : Pendirian Cabang PSII Cabang Luwu,Wajo dan Tanete/Barru
1930: Opu Daeng Risaju menghadiri Kongres PSII di Pare-Pare.Bertemu dengan pengurus Pusat PSII H.Agus Salim dan A.M.Sangaji.
1930: Opu daeng Risaju mendirikan ranting PSII di Malangke sebagai bagian dari Cabang PSII Luwu.
1930: Aktivitas radikal di PSII membuat Belanda menjatuhkan vonis 13 bulan penjara untuk Opu Daeng Risaju.
1930: Penangkapan Opu Daeng Risaju menyulut solidaritas rakyat bahkan membuat PSII semakin bekembang.
1932: Mendirikan Ranting PSII di Malili
1932: Ditangkap bersama suaminya H.Muhammad Daud di distrik Pitumpanua.Selanjutnya mereka dibawa ke Kolaka.Kemudian di bawa lagi Palopo.
1932: Mendapat Sangsi Adat dengan pencoptan gelar kebangsawanan karena tidak menghentikan aktivitas perjuangannya.Dan bercerai dengan suaminya karena suaminya mendapat tekanan kelompok adat dan Belanda waktu itu.
1933: Berangkat ke Jawa mengikuti Kongres Majelis Taklim PSII di Batavia (Jakarta)
1934: Mendapat hukuman penjara 14 bulan
1935: Datu Luwu Andi Kambo Daeng Risompa meninggal dunia dan digantikan Datu Andi Jemma yang lebih pro pada perjuangan Opu Daeng Risaju.
1942: Sulawesi Selatan resmi dikuasai oleh Jepang.Pelarangan semua organisasi sosial maupun politik termasuk PSII oleh rezim Jepang.
1942: Pembunuhan Ahmad Cambbang salah satu tokoh PSII Luwu karena penentangan terhadap kebijakan Jepang.
1945:Kemerdekaan Indonesia dan Jepang menyerah pada sekutu.
1946:Anggota PSII dan kelompok pemuda melakukan perlawanan terhadap NICA atas instruksi dari Opu Daeng Risaju.Mereka menyerang pusat kegiatan NICA di Bajo Palopo Selatan.
1946:Nica melakukan serangan balasan ke Belopa serta memburuh Opu Deang Risaju yang dianggap sebagai penggerak perlawanan rakyat.
1947:Opu Daeng Risaju ditangkap di Bone oleh NICA.dan dihukum 11 bulan penjara.
1949:Opu Daeng Risaju tinggal di Pare-Pare ikut anaknya H.Abdul Kadir Daud
1959:Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No.227/P.K. tertanggal 26 Februari 1959 memberikan tunjangan penghargaan pada Opu Daeng Risaju dari Palopo sesuai dengan PP No 38 
1964: Opu Daeng Risaju menghembuskan nafas terakhir dan dikuburkan di perkuburan Raja-Raja Lakkoe di Palopo, tanpa ada upacara kehormatan sebagaimana lazimnya seorang pahlawan yang meninggal..

Senin, 15 April 2024

SAMBUTAN SUSANTO ZUHDI PADA BUKU JARINGAN MARITIM MANDAR

SAMBUTAN
Susanto Zuhdi
Profesor Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 
Universitas Indonesia

Dengan suka cita, saya menyambut baik atas penerbitan buku karya Dr. Abd. Rahman Hamid. Buku ini berasal dari disertasi yang dipertahankannya dalam ujian promosi di Universitas Indonesia pada 18 Januari 2019. Hamid adalah salah satu mahasiswa terbaik, yang pernah saya promosikan sebagai doktor Ilmu Sejarah. Dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) nyaris 4 (empat),  sebetulnya ia memenuhi syarat untuk memperoleh pujian (cum laude) dalam yudisium promosi tersebut. Oleh karena masa studi yang berlebih, maka hal itu tidak berhasil diraihnya. Akan tetapi itu tidak terlalu penting, sebab jauh lebih bermakna ketika disertasi itu diterbitkan sehingga dapat dibaca khalayak lebih luas. Banyak disertasi doktor di Indonesia atau yang dibawa dari luar negeri, tidak diketahui apalagi dibaca publik, karena hanya tersimpan di rak buku pribadi atau perpustakaan saja. Hal itu patut disayangkan karena masyarakat Indonesia masih memerlukan banyak bacaan sejarah bermutu guna mendukung gerakan literasi nasional. 

Pilihan pada tema sejarah maritim dan fokus pada suatu kawasan serta suku bangsa Mandar, yang terabaikan dalam historiografi Indonesia, merupakan kontribusi penting penulis buku ini untuk dicatat. Seperti ingin memenuhi anjuran Nakhoda Sejarah Maritim Indonesia, Adrian B. Lapian (1929—2011), Hamid telah mengisi rumpang studi sejarah maritim di Selat Makassar, dengan fokus pada dua pelabuhan “kembar”, Pambauwang dan Majene. Dengan memilih periode panjang antara 1900—1980, Hamid pun hendak meneruskan model kajian Lapian mengenai kawasan Laut Sulawesi dalam Abad XIX. Jika Lapian berhasil membuat kategorisasi orang laut raja laut bajak laut, Hamid berjaya dalam membuat model pelabuhan “kembar” yang komplementatif  peranannya  dalam jaringan maritim yang bertolak dari Selat Makassar. Hamid juga berhasil membuat empat pola pelayaran yang disumbangkan Mandar dalam peta pemahaman pelayaran Nusantara yakni pelayaran pantai, pelayaran selat, pelayaran lintas selat, dan pelayaran lintas laut lepas. 

Jangkauan jaringan maritim yang digerakkan orang Mandar melalui pelayaran dan perdagangan, seperti digambarkan Hamid, tidak sebatas di Selat Makassar. Dalam masa kejayaan khususnya dalam periode 1900—1940, pelayaran Mandar ke timur hingga  Ambon maka dikenal lah era ini sebagai ’Masa Ambon’. Sedangkan jangkauan pelayaran Mandar ke barat sampai ke Singapura sehingga periode ini masih diingat sebagai ‘Masa Singapura’. Periode 1940—1951 dicatat sebagai masa surut, namun pelaut Mandar masih bertahan. Alhasil pelayaran orang Mandar seperti dipaparkan dalam buku ini, telah merajut pulau-pulau hampir ke seluruh bagian Nusantara: ke barat hingga pantai barat Sumatera di Samudera Hindia, dan Singapura hingga Selat Malaka, ke timur sampai pantai  barat Papua, dan Ternate. Sedangkan ke utara mencapai Tawao ke selatan hingga Flores dan Timor.  

Dalam periode terakhir (1952—1980) pelukisan Hamid mengenai jaringan pelayaran Mandar dari pelabuhan berlangsung hanya dari Pambauwang ke Majene. Dalam masa ini, pemerintah  mengeluarkan peraturan untuk memberantas penyelundupan dan perompakan, karena gangguan keamanan di Selat Makassar, yang dipicu pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pelabuhan Majene dan Pambauwang menjadi rebutan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan DI/TII. Faktor itulah sebagai penanda berakhirnya kejayaan pelayaran Mandar yang menyebabkan runtuhnya pelabuhan Pambauwang. Sejak itu banyak orang Mandar keluar berdiaspora ke pulau-pulau kecil di Kalimantan Selatan dan membangun jaringan di pantai barat Sulawesi.

Capaian tidak kalah penting dari karya Hamid adalah dalam pendekatan struktural yang ia gunakan. Kajian sejarah dengan pendekatan ini tidak selalu menghasilkan kisah yang datar membosankan atau sejarah tanpa manusia, tanpa agensi. Dalam dekade 1950—1960 ketika masa surut justru menampakkan jaringan Majene yang menghasilkan pengusaha sukses seperti Pua Abu dan Haji Sakir. Struktur tidak selalu menjadi kendala tetapi sebagai peluang bagi agensi yang mampu memanfaatkannya. Dualitas struktur seperti dikemukakan Anthony Giddens, coba diuji oleh Hamid sehingga akan terbuka kajian lebih luas dan mendalam dari aspek ini. 

Kini telah bertambah lagi deretan karya sejarah maritim dari tangan sejarawan Indonesia, yang masih dalam hitungan jari. Apalagi dengan telah berpulangnya dua sejarawan maritim dari Universitas Hasanuddin dalam satu-tiga tahun belakangan, tempat Hamid kini mengajar sebagai staf dosen tidak tetap. Dengan penyampaian kalimat yang lugas, buku ini mudah dicerna.   

Selamat membaca

Depok, April 2020.

Sabtu, 13 April 2024

Mengenal La Maddukelleng

La Maddukkelleng Raja Wajo di Perantauan

La Madukelleng menikah dengan Putri Andeng Ajang, Putri Kerajaan pasir. Setelah Raja Pasir Sultan Sepuh Alamsyah wafat. Secara adat, beliau harus digantikan oleh Putri Mahkota Kerajaan Pasir yaitu Andeng Ajang, istri La Madukelleng. Tapi, Panglima perang kerajaan Pasir menolak. Ia lalu memberontak. Melihat keadaan itu, La Madukelleng memerintahkan pasukannya, untuk menyerang pasukan kerajaan Pasir dan menghukum Panglima yang memberontak itu. Pasukan kerajaan pasir kalah namun Panglima kabur ke Kerajaan Kutai. Raja kerajaan Kutai tidak mau menyerahkan pemberontak itu kemudian pasukan La Maddukelleng pun menyerang kerajaan Kutai dan menang. Meskipun telah menguasai kerajaan Kutai, Tapi Lamaddukelleng tetap menghormati Raja Kutai Sultan Muhammad Idris. Karena itu, Sultan Kutai kelak menjadi sahabat La Maddukelleng. Demikianlah La Maddukelleng adalah Raja Kerajaan Wajo, yang juga raja kerajaan Pasir . Dia lah Raja Bugis, yang menjadi Raja diperantauan.

La Maddukelleng
Pahlawan Revolusi Kemerdekaan

La Maddukelleng (sekitar 1700–1765) merupakan seorang petualang Bugis yang menjabat sebagai pemimpin tertinggi Wajo pada perempat kedua abad ke-18. Ia kini dianggap sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Kehidupan awal

Latar belakang

Pada akhir abad ke-17, Wajo sedang dalam kondisi terpuruk akibat kekalahannya (sebagai sekutu Gowa-Tallo) pada aliansi Bone dan VOC dalam Perang Makassar. Penindasan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Bone memaksa orang-orang Wajo untuk meninggalkan negerinya dan pergi merantau ke Makassar, Kalimantan, Nusa Tenggara, kawasan Selat Melaka, serta bagian Nusantara lainnya. Namun, sejak awal abad ke-18, Wajo mulai bangkit secara perlahan dengan memanfaatkan jaringan komunitas rantaunya yang saat itu sudah tersebar ke seluruh Nusantara.

La Maddukelleng sendiri lahir di Tippulue, Belawa sekitar tahun 1700 dari kalangan bangsawan Wajo. Menurut sumber lontaraʼ yang ditelusuri oleh Andi Zainal Abidin (ahli hukum dan sejarawan Sulsel), ayah La Maddukelleng yang bernama La Mataesso atau La Raunglangiʼ merupakan Arung (penguasa) Peneki, sementara ibunya yang bernama We Tenriampaʼ atau We Tenriangka merupakan Arung Singkang yang juga merangkap jabatan sebagai Patola (putera/puteri calon pengganti raja [[Kerajaan Wajo#)).

Sedikit sekali detail mengenai kehidupan awal La Maddukelleng yang tercatat dalam sumber-sumber Wajo. Sebuah riwayat dari Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ (Sejarah Lengkap Wajo) menyebutkan bahwa ia pernah menjadi pembawa puan (tempat sirih) bagi Arung Matoa (pemimpin tertinggi Wajo) La Salewangeng To Tenrirua saat menghadiri upacara pelubangan telinga putri Arumpone (penguasa Bone) La Patauʼ di Cenrana, Bone.[a] Ketika itu La Maddukelleng kemungkinan masih remaja (usia 13–14 menurut perkiraan Abidin), sebab ia baru saja selesai dikhitan.

Dalam acara tersebut juga diadakan perburuan rusa dan pesta sabung ayam. Saat pertandingan sabung ayam sedang berlangsung, seorang dari Bone melemparkan kepala ayam yang sudah mati hingga mengenai kepala Arung Matoa Wajo. La Maddukelleng yang merasa sangat tersinggung dengan kejadian ini sontak menikam pelaku pelemparan, dan memicu perkelahian yang menewaskan 19 orang Bone dan 15 orang Wajo. Akibat kejadian ini, rombongan Wajo pun bergegas meninggalkan Cenrana dan berlayar menyusuri sungai kembali ke Wajo. Sesampainya di Tosora (ibu kota Wajo), datanglah utusan dari Bone yang meminta agar Wajo menyerahkan pelaku penikaman orang-orang Bone di Cenrana untuk diadili, tetapi sang arung matoa melindungi La Maddukelleng dengan berkilah bahwa sang pelaku sudah tidak ada di Wajo. Meski begitu, La Maddukelleng tetap khawatir Bone akan menyerang Wajo hanya demi mencari dirinya, sehingga ia pun memutuskan untuk meninggalkan Wajo.

Petualangan di perantauan

Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ mengisahkan bahwa sebelum La Maddukelleng berangkat merantau, sang arung matoa menanyakan padanya apa saja bekal yang ia bawa. La Maddukelleng menjawab bahwa bekalnya ialah kelemahlembutan lidahnya, ketajaman pedangnya, dan ujung kemaluannya. Ketiga hal ini lazim disebut sebagai tellu cappaʼ ("tiga ujung") dalam falsafah Bugis. Secara harafiah tiga cappa (ujung) itu disebutkan Cappa lila (ujung lidah), Cappa Kawali (ujung badik), dan Cappa Katawang (Ujung kelelakian). Secara kiasan masing-masing berarti kecakapan dalam diplomasi, keberanian dan kekesatriaan, serta jalinan pernikahan. Tiga-tiganya itulah yang dianggap sebagai kekuatan utama seorang perantau (Bugis: Passompe'). Sepanjang kariernya di perantauan, ketiga-tiganya dimanfaatkan oleh La Maddukelleng dengan sangat efektif untuk memenuhi misi dan ambisi politiknya.

Pada masa pemerintahan Arung Matoa La Salewangeng (menjabat 1715–1736), perdagangan Wajo berkembang pesat dengan dukungan dari komunitas rantaunya di seluruh Nusantara..Ketika La Maddukelleng meninggalkan Wajo, ia mengunjungi komunitas-komunitas rantau sampai ke Johor. Di sana saudara tuanya Daeng Matekko terlibat dalam perang Johor antara Sultan Sulaiman (Raja Johor) yang dibantu Opu Lima Bersaudara dengan Raja Kecil dari Siak. Kakaknya dan perantau-perantau Wajo memihak Raja Kecil. Perang dimenangkan oleh Sultan Sulaiman bersama Daeng Parani bersaudara. Tapi ia sampai di Johor di saat perang telah usai. Meski demikian, bersama pasukannya ia membuat keonaran di sekitar Selat Malaka sebagai pelampiasan kemarahannya atas tewasnya kakaknya dalam perang tersebut. Ia digelari Gora'e (penyamun Laut). Namun ia tidak lama di sana. Ia kembali ke Selat Makassar dan menjadi penguasa tidak resmi beberapa pulau kecil dan pesisir. Ia kerap terlibat bentrok dengan Belanda VOC yang sangat dibencinya. Ia membuat Selat Makassar sebagai tempat tidak aman bagi kapal-kapal yang melintas terutama kapal dagang VOC. Belanda kemudian memberinya gelar sebagai Raja Bajak Laut dan terus memburunya.

Melalui kapal-kapal rampasan dan upeti-upeti, ia membangun armada besar yang dibelinya dari orang-orang Inggris sebelum akhirnya menetap di Muara Kandilo Paser, Kalimantan Timur. Di sana, ia membangun diplomasi yang baik dengan Sultan Pasir dan tidak butuh waktu lama untuk menjadi salah satu orang paling berpengaruh dalam perniagaan dan politik setempat, Ia kemudian mampu menikahi putri dari penguasa Paser. Saat Sang Sultan wafat, ia menunjuk puterinya sebagai calon pengganti sultan. Namun, terjadi perselisihan dengan beberapa bangsawan dan perwira Pasir soal pewarisan tahta. Terjadi banyak penolakan. La Maddukelleng mengartikannya sebagai pembangkangan titah sultan. Ia bersama pasukannya dan orang-orang Pasir pendukung Andin Anjang, istrinya, terlibat perang pada pertengahan 1720-an. Ia memenangkan perang secara mutlak. Secara de jure, istrinya menjadi Ratu Pasir namun secara de facto La Maddukelleng lebih banyak yang disebut sebagai Sultan Paser. Pasukan La Maddukelleng kemudian dikirim untuk menyerang Kutai karena penguasanya menolak menyerahkan orang-orang Paser yang melarikan diri ke sana. Tapi mengingat persahabatan yang telah terjalin sebelumnya, ia mengampuni para pelarian ke Kutai. Para pemberontak banyak yang ketakutan melarikan diri ke gunung, sementara yang tersisa di kota ditawan.La Maddukkelleng bersama istrinya memimpin Paser sampai 1738.

Selain membuat persekutuan berdasarkan pernikahan dengan penguasa setempat, La Maddukelleng juga bergiat menyokong komunitas-komunitas rantau Wajo di Kalimantan Timur. La Maddukelleng menjalin komunikasi yang baik dengan Sultan Kutai yang telah memberi pemukiman kepada perantau-perantau Wajo di Samarinda. Jauh sebelum La Maddukkelleng merantau, telah ada pemukim orang-orang Bugis yang mendirikan perkampungan baru di Samarinda di bawah legitimasi kesultanan. Mereka dipimpin seorang panglima Wajo yang merantau usai kekalahan di Perang Makassar bernama La Mohang Daeng Mangkona. Ia merupakan pendiri kampung Bugis Samarinda di tepi wilayah muara Sungai Mahakam yang strategis. Dari Sultan Kutai, ia memperoleh hak monopoli atas barang-barang ekspor dari pedalamanMmkk (seperti emas, kapur barus, damar, rotan, hingga lilin lebah) dan hasil laut seperti cangkang penyu, agar-agar dan teripang. Komunitas Bugis Samarinda juga memperoleh hak monopoli atas impor beras, garam, rempah, kopi, tembakau, opium, tekstil, besi, senjata api, hingga budak. Masyarakat Wajo di Kutai bahkan diperbolehkan memiliki pemerintahan sendiri, dengan seorang pemimpin yang digelari pua ado (Bugis: Puang Ade' _Pemangku Adat) serta sebuah dewan perwakilan yang beranggotakan para nakhoda dan pedagang kaya-raya.

La Maddukelleng saat di Johor mendapat kabar bahwa kakaknya, Daeng Matekko yang awalnya menetap di Matan, Kalimantan Barat, sebelum turut serta dalam konflik kekuasaan antara orang-orang Melayu, komunitas Bugis Riau, serta Raja Kecik dari Minangkabau. Pada perang yang dimenangkan Sultan Sulaiman itu membuat kakaknya, Daeng Matekko, ditewaskan oleh To Passarai (paman Arumpone Batari Toja) di Selangor. Sepanjang hidup La MAddukkelleng mengejar To Passarai dan berhasil merampas harta benda yang dirampasnya dari kakaknya. Sebagian catatan lontara menyebutkan bahwa La Maddukelleng membunuh To Passarai, tetapi ada pula yang menyebut bahwa ia hanya menyergap dan merampas harta To Passarai. Sejarawan Kahtryn Anderson Wellen berpendapat bahwa kolaborasi kedua kakak-beradik ini tidak hanya menunjukkan rekatnya persaudaraan mereka, tetapi juga sentimen permusuhan mereka terhadap Bone, yang tetap bertahan bahkan dalam perantauan sekalipun.

Dalam pertempuran-pertempurannya, La Maddukelleng dibantu oleh seorang kapitan laut bernama To Assa. Dia ini adalah panglima paling diandalkannya selain Cambang Balolo, Puanna Dekke, Puanna Pabbola dan lainnya. La Banna adalah tulang punggung La Maddukkelleng, ia pula yang memimpin pasukan La Maddukelleng dalam penyerangan ke Paser. Ia juga sempat menyerang Banjarmasin pada tahun 1730, walaupun armadanya berhasil dipukul mundur. Meski sempat berpisah dengannya, namun pada awal 1735, La Maddukelleng dan La Banna To Assa bergabung kembali untuk panggilan perang dari Wajo untuk membebaskan Wajo dari Bone dan Belanda. Kehadiran armada La Maddukelleng di pesisir Sulawesi meresahkan Belanda sehingga mereka mencoba menghadangnya di laut, tetapi La Maddukelleng berhasil lolos. Bahkan ia banyak memenangkan perang dengan Belanda.

Kembali ke Wajo

Melemahnya hegemoni Bone di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-18 membuat Wajo mampu memperluas jaringan perdagangannya tanpa halangan yang berarti. Hubungan antara komunitas rantau Wajo dan tanah airnya pun tumbuh semakin erat, dan mencapai puncaknya sewaktu La Maddukelleng pulang kembali ke Wajo pada tahun 1730-an. Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ secara khusus menyebut bahwa Arung Matoa La Salewangeng mengirimkan utusan ke Paser pada 1735 untuk meminta La Maddukelleng pulang, karena Wajo sudah siap baik secara finansial maupun militer bila mesti menghadapi Bone. Walaupun begitu, beberapa riwayat menyebut bahwa La Maddukelleng pulang atas keinginan sendiri.

La Maddukelleng berangkat menuju Sulawesi beserta sejumlah besar pasukan dari Paser. Pada Desember 1735, ia tiba di perairan Majene disertai armada 40 kapal dan terlibat konflik dengan Arung Lipukasiʼ (dari Tanete) serta Maraʼdia Balanipa. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa pasukan La Maddukelleng pimpinan To Assa berhasil dipukul mundur. Ia kemudian merampas perahu milik seorang dari Mangngarancang (Tanete) dan berlayar menuju Binuang, tetapi pada Februari 1736 ia disergap dan 12 pengikutnya terbunuh, sehingga ia mundur lagi ke selatan menuju Puteanging. Riwayat lain menyebut bahwa La Maddukelleng memenangkan pertempuran di Mandar setelah pengepungan selama 75 hari. Sebagai pembalasan atas penyerangan terhadap To Assa, La Maddukelleng pun merampas harta orang-orang Binuang serta menyerang pemukiman-pemukiman di sana.

Setelah itu, La Maddukelleng menuju Sabutung dan menyerang dua pulau di sekitar Makassar pada bulan Maret. Kemudian ia meneruskan perjalanan hingga tiba di Bone. Pada awalnya, ia hendak menuju pusat Wajo melalui muara Sungai Cenrana (yang dikuasai oleh Bone), tetapi karena armadanya tidak diperbolehkan masuk, ia melanjutkan perjalanan ke utara menuju Doping di pesisir timur Wajo. Di sana ia menunggu selama 40 hari, sebelum diperbolehkan turun dari kapal bersama ratusan orang pasukannya pada Mei 1736. La Maddukelleng kemudian berangkat menuju Sengkang, dan mendapatkan banyak pengikut baru dalam perjalanannya, sehingga jumlah pasukannya mencapai lebih 1000 orang ketika sampai di Sengkang. Persekutuan Tellumpoccoe kemudian mengadakan sidang di Tosora untuk membahas tuduhan-tuduhan kejahatan yang diajukan oleh Bone terhadap La Maddukelleng, tetapi ia kemudian dibebaskan dari segala tuduhan setelah menyampaikan pembelaannya. Menurut Wellen, terbebasnya La Maddukelleng dari tuduhan kemungkinan juga dipengaruhi oleh kekuatan yang ia miliki saat itu.

Masa kepemimpinan di Wajo

Pembebasan Wajo

Atas permintaan Arung Matoa La Salewangeng, La Maddukelleng berangkat meninggalkan Sengkang. Ia pun menuju Peneki dan dilantik sebagai arung di sana. Ia kemudian meminta agar orang-orang Bone meninggalkan wilayahnya, sehingga memicu konflik terbuka. Pasukan Bone pun mengepung Peneki untuk menangkap La Maddukelleng. Berita pengepungan ini sampai di Gowa pada tanggal 5 Juli 1736. Konflik semakin meluas ketika Bone tidak hanya menyerang wilayah Peneki saja, tetapi juga membakar pemukiman di wilayah Wajo yang lain. Aksi ini menyulut kemarahan orang-orang Wajo, sehingga banyak di antara mereka yang turut membantu La Maddukelleng melawan pasukan Bone.

Pada saat yang sama, Belanda yang merupakan sekutu utama Bone mesti menghadapi pemberontakan di wilayah Marusu yang dipimpin oleh Karaeng Bontolangkasa (sekutu dekat La Maddukelleng) dan Arung Kaju. Perhatian Belanda pun terpecah, meski mereka tetap membantu Bone dengan mengirimkan persenjataan serta sekelompok kecil pasukan di bawah pimpinan Kapten Steinmetz.

Penilaian dan peninggalan sejarah

Sebagai penghargaan atas perlawanan La Maddukelleng terhadap Belanda, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional baginya pada tahun 1998. Meski begitu, menurut Wellen, gambaran La Maddukelleng sebagai tokoh "purwa-nasionalis" yang "berjuang melawan Belanda tanpa kenal lelah dan pamrih" tidak sepenuhnya didukung oleh sumber-sumber sejarah semasa. Naskah Bugis tentang pertemuan demi membahas kejahatan-kejahatan La Maddukelleng, misalnya, menggambarkan dirinya sebagai "penghasut perang" yang "tidak mengindahkan persatuan Tellumpocco". Bahkan, ia mungkin saja telah membunuh lebih banyak orang sedaerahnya ketimbang orang Belanda. Tapi fakta lain menyebutkan La Maddukkelleng telah diberi gelar oleh kerajaan Wajo sebagai Petta Pammaradekaingngi Wajo cukup gambaran betapa ia telah berhasil mengalahkan Bone dan Belanda yang saat itu menguasai Sulawesi Selatan.

Terlepas dari itu, kenyataan bahwa kisah La Maddukelleng dapat ditemukan dalam sejumlah besar catatan sejarah Bugis menunjukkan bahwa ia merupakan seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam imaji orang-orang dari daerahnya.[45] Bagi orang-orang Wajo, La Maddukelleng berjasa dalam memerdekakan negeri mereka dari kekangan Bone dan Belanda. Tradisi Wajo amat menjunjung tinggi nilai kemerdekaan, termasuk di antaranya kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan bepergian, dan kemerdekaan dari hukuman yang tidak adil; hak-hak yang tidak dapat terpenuhi dengan sempurna setelah kekalahan Wajo dalam Perang Makassar. Karena itu, orang-orang Wajo memandang "pembebasan" tanah air mereka dari dominasi Bone yang diprakarsai oleh La Maddukelleng sebagai penegakan kembali atas hak-hak kemerdekaan ini. Namun, begitu pula sebaliknya, ketika La Maddukelleng mulai bersikap arogan dengan tidak mengindahkan pendapat rakyatnya, ia dianggap sebagai ancaman bagi kemerdekaan orang-orang Wajo.

Di Kalimantan Timur, tradisi sejarah setempat menekankan persekutuan melalui ikatan kekerabatan antara La Maddukelleng dan bangsawan Paser alih-alih mengingat konflik yang melibatkan kedua pihak. Ikatan perkawinan sebagaimana bekal falsafah tiga ujung yang dipegang oleh La Maddukkelleng ternhyata efektif merekatkan sejarah tiga kerajaan, Wajo, Kutai dan Paser. Dari pernikahannya dengan Andin Anjang Ratu Paser, ia memiliki puteri yang kemudian dinikahkan dengan Sultan Kutai Aji Muhammad Idris. Tradisi lokal dari pernikahan-pernikahan ini menempatkan La Maddukelleng sebagai leluhur bagi para sultan Kutai sejak Aji Muhammad Muslihuddin|Aji Imbut menjadi Sultan Kutai. Ia adalah cucu La Maddukkelleng, putera Sultan Aji Muhammad Idris dan dibesarkan di Wajo. Walaupun sebagian detail dari tradisi-tradisi ini tidak bersesuaian dengan beberapa Belanda, namun fakta-fakta bahwa menantunya, Aji Muhammad Idris, Sultan Kutai yang ikut berperang membantu mertuanya dan kemudian gugur di medan laga, dan kemudian dikuburkan di Wajo memberi penegas hubungan yang sangat kental antara Wajo dan Kutai waktu itu. Tradisi-tradisi lain juga menggambarkan besarnya pengaruh perantau Wajo seperti La Maddukelleng pada masyarakat di kawasan tersebut. (Nusantara Jaya) 

Jumat, 12 April 2024

TITTYTAINMENT

Tittytainment
Oleh: Hamdan eSA

Tidak jauh dari tepi jalan yang saya lalui di suatu hari saat di kampung, beberapa ekor anak anjing sedang menetek ―atau mungkin tepatnya seekor induk anjing sedang menyusui beberapa anaknya. Dengan bunyi khas anak-anak anjing serta ketenangan sang induk dalam mengawasi keadaan, dapat tertangkap betapa anak-anak itu memiliki rasa gembira atas apa yang mereka dapatkan. 

Sangat sepele, tetapi sentak mengantarkan saya pada sebuah istilah “_tittytainment_” yang pernah diungkapkan oleh Haudegen Zbigniew Brzezinski, seorang Polandia yang selama empat tahun sebagai Penasehat Keamanan Dalam Negeri presiden AS Jimmy Carter.

_Tittytainment_, menurut Brzezinski merupakan kombinasi dari dua kata yakni; _tits_ dan _entertainment_. Tits merupakan istilah dalam bahasa slang (ucapan popular) di Amerika yang berarti payudara.  Namun bagi Brzezinski, tits tidak diasosiasikan dengan seks, melainkan lebih dikaitkan dengan susu yang teralir dari payudara wanita saat menyusui. Istilah ini diungkapkan dalam sebuah pertemuan para dedengkot manejer pengendali ekonomi dunia pada September 1995 di sebuah hotel mewah “The Fairmont” San Francisco, yang diinisiasi oleh Michael Gorbachev dan dihadiri oleh George Bush, Margareth Tatcher, Ted Turner (CNN), John Gage (Sun Microsystem). 

Saat itu sempat mendiskusikan sebuah tema; “masa depan pekerjaan”. Dalam abad berikut nanti, hanya 20% penduduk dunia saja sudah mencukupi untuk memepertahankan perekonomian dunia. Hanya seperlima dari seluruh pencari kerja sudah cukup untuk memproduksi seluruh barang perdagangan dan cukup memberi pelayanan jasa bernilai tinggi yang dibutuhkan oleh seluruh masyarakat dunia. Selebihnya tidak dibutuhkan lagi. Setiap orang akan memikirkan karirnya sendiri. _To have lunch or be lunch_; memakan atau menjadi santapan.

Tittytainment merupakan adonan sempurna antara riuh-rendah dan dahsyatnya daya pesona _entertainment_ serta sandang pangan yang oleh para pengendali dunia dapat diatur sedemikian rupa agar selalu tercukupi, sehingga 80% sisa seluruh penduduk dunia yang frustasi dapat terkontrol perasaannya untuk tidak “meletup-ledak” di mana-mana. Disinilah peran dari seperlima pencaker itu. 

Tekanan persaingan global tidak mungkin dan tidak masuk akal untuk mengharapkan komitmen sosial dari bisnis-bisnis perseorangan. Harus ada seorang atau pihak lain yang mengurusi masalah-masalah sosial terutama soal pengangguran, demikian kata Hans-Peter Martin dan Harald Schumann. Jika masyarakat membutuhkan suatu kehidupan yang lebih utuh dan lebih berarti, setidaknya dapat diatasi oleh yayasan-yayasan atau lembaga sosial dengan berbagai program berikut pasukan “sukarela”.  Lalu dibiayai oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mendorong sukarelawan itu memberi pelayanan masyarakat di berbagai bidang. 

Misalnya dengan membuat organisasi-organisasi yang dapat menstimulasi munculnya solidaritas antar tetangga, olahraga, gaya hidup, politik dan banyak yang lain. Kegiatan-kegiatan ini memakan biaya relatif sangat murah tetapi dapat mendorong berjuta orang merasa diri dan hidupnya punya “arti”, baik dalam masyarakat sekitar dan juga masyarakat global. Seperti itulah kira-kira gambaran tittytainment yang ingin di kemukakan Brzezinski. Semacam mekanisme nina-bobo.

Perut dan hiburan menjadi tekanan penting dalam tittytainment. Secara sederhana seolah-olah Brzezinski ingin mengatakan tidak begitu sulit untuk mengendalikan sekelompok orang, masyarakat atau bangsa. Cukup mengisi perutnya tidak perlu terlalu kenyang serta kubur duka-deritanya dengan hiburan-hiburan hebat. 

Mereka akan menikmati hidupnya cukup dengan apa yang mereka dapatkan dan mendapatkan dirinya sebagai bagian yang sangat berarti bagi dunia. Tittytainment dengan demikian adalah sebuah strategi merebut dan mempertahankan kekuasaan, yang pada saat itu Brzezinski menunjuk pada suatu kekuasaan global yang berdasar pada kekuasaan ekonomi.

Tittytainment sebagai sebuah strategi, ternyata sebenarnya sudah dan sedang berkembang di kelas lokal dan nasional beberapa bidang kehidupan kita, terutama misalnya dalam dunia perpolitikan. Perut dan hiburan menjadi hal paling penting dan jitu untuk memenangkan sebuah pertarungan politik. Di berbagai tempat, uang atau sembako masih menjadi favorit untuk meraih kalkulasi terbesar penghitungan suara. 

Dengan duit lima puluh ribu, atau gula sekilo, atau selembar sarung, dan lain-lain kreasi, seisi rumah sudah merasa sangat berarti karena merasa telah menjadi bagian penting dari perjuangan besar seorang kandidat, bahkan ada yang rela mati. Toh perut memiliki ruang amat terbatas untuk menampung seluruh kebutuhan materil makanan, tidak bisa banyak, hanya butuh dijaga agar tidak kosong. Jika belum sempat, cukup dengan memberi janji-janji. Namanya janji pasti manis semanis titty, apalagi disertakan selembar isi dompet sebagai pelengkap penghibur hati.

Kampanye politik hampir tidak pernah lepas dari kehadiran bintang-bintang hiburan (entertain) dari kelas lokal hingga nasional, bahkan hingga ke goyang erotis yang sama sekali tidak punya hubungan dengan visi kebangsaan dan kenegaraan. Dapat dibayangkan jika raja-raja pemegang kendali kanal entertainment juga ikut ambil bagian dalam kancah perpolitikan baik langsung atau tidak. Rasanya tiada kesulitan menginjeksi ruang bawah sadar dengan tittytainment. 

Paling sederhana di kampung yang paling pelosok pula, kampanye keliling dilakukan dengan mengikutkan mobil besar yang di desain menjadi panggung hiburan electon nonstop. Masyarkat tak pernah tahu bahkan dari kandidat dukungannya sekali pun soal apa gagasan, konsep, komitmen, implementasi, pengawasan, dan lain sebagainya,.

Pertanyaannya, dengan kondisi negara kita yang sedang menikmati tittytainment global, dan di saat yang sama para elitnya juga melakukan tittytainment terhadap masyarakatnya sendiri, lalu bagaimana kita bisa berbicara tentang keberdayaan masyarakat kita di tengah masyarakat global? 

Kita mungkin akan terus menjadi masyarakat penetek, sambil dielus-elus bobokkan dengan hiburan-hiburan dunia. Paling tidak, dengan menggunakan baju kaos Chelsea, Metallica, nonton bareng live di media, nonton dan ikut perkembangan info miss univers, dan lain sebagainya, seorang telah merasa menjadi bagian berarti dari dunia.

Pemilihan legislatif pusat hingga daerah serta pemilihan eksekutif sebentar lagi akan berlangsung. Apakah kita ingin menjadi masyarakat penetek? Semua tergantung partai politik. Semoga parpol tidak mengusung politikus tittytainment. Menetek punya waktu tertentu, dan sang induk sangat paham kapan saatnya.

Wallahu a’lam.

Bunyi Mandar Itu Apa? (Bagian 3)


Bunyi Mandar Itu Apa? (Bagian 3)
(Capaian struktur musik di Mandar)
Sahabuddin Mahganna

Mendengar dan memperdengarkan bunyi, bermaksud menyampaikan sekaligus menerima kalimat, tentu saja bermanfaat untuk dipahami menjadi medium pemberi tanda. Meski hanya bunyi, Pelloana atau Bambana, jelas menyatakan peristiwa secara tegas, sehingga kita dapat memahami kondisi atau menerima kabar lewat transfer media tersebut. Dan instrumen terkhusus untuk musik, tidak di luarnya, sebab kadang diadopsi dalam penyusunan bunyi dan melodi. 

Penciptaan dan penyampaiannya berupaya memenuhi unsur pelloa, bamba, ololioliolio, loa, massa'du dan matte' dengan harapan bukan hanya pelaku yang menginginkan keindahan, melainkan untuk pendengar (mengenai sasaran). 

Bunyi-bunyian di Mandar sesekali melahirkan ololio atau liolio yakni sebuah anggapan kalimat dari bunyi, dengan kata lain membentuk melodi berulang-ulang. Untuk pernyataan ini, mereka masyarakat Mandar menyebutkan predikat itu karena hanya mengenal audio tanpa teknik. Dalam media instrumen, nada untuk melodi sekalipun untuk ritmis pada prinsipnya adalah rangkaian huruf yang tersusun, dan terbentuknya  Ololioliolio, seperti seketika itu dapat saja dinyatakan kalimat. 

Bunyi dalam melodi di Mandar terkoneksi, baik itu hanya sekadar bunyi, nyanyian atau menggunakan instrumen. Kalimat yang tersusun menjadi indah akibat pemilihan nada-nada, tidak asal menyampaikan, yang barang kali mengindikasi bahwa kalimat dapat diterima baik karena sangat bergantung pada tata letak nada hingga melahirkan Intonasi-intonasi yang memudahkan kita untuk mengerti apa maksud dari bunyi tersebut, begitu pula terjadi pada bunyi dipahami menjadi kalimat perintah. 

Biasanya, nada di Mandar kadang didapatkan dari kabar dengan istilah “membamba memangi“ dengan kata lain bersuara sebelum tercipta, atau terpatri dalam jiwa sebagai informasi awal, sehingga bunyi dan melodi bagi mereka tidak hanya menjadi pendamping, melainkan bunyi yang berharga bagi para pelaku dan pecintanya.

Khusus untuk instrumen, ketika dimainkan, tidak jarang para pelaku menandai estetika bunyi dengan meraba atau sekadar memberi pernyataan "pecoai pattappunna" (perjelas kalimatnya). Jika permainan tidak pas atau tidak diterima baik bagi yang mendengarkan, maka tentu berhubungan dengan ketidakjelasan kalimat tersebut, itu berarti terdapat penempatan huruf-huruf yang keliru, dengan kata lain kesempurnaan kalimat dalam musik tergantung pada posisi nada (Malliolio). Sementara sangat penting memperhatikan kalimat dalam bunyi dan melodi yakni pertanyaan dan jawaban.

Kendati sangat sederhana, dalam permainan instrumen musik Mandar, seperti Kacaping, Paluppung, Keke, Calong, Tulali dll. Tidak pernah ditemukan nada yang datar, namun selalu melekat nada lain sebagai bumbu (bali') sebagai analisis jangkauan nada bertanya dan menjawab. Bukan hanya bunyi prioritas, namun perlu menelaah poin-poin yang bisa saja mejadi inti. Dengan pertimbangan "macoa pattapu" maka itu berarti instrumen sesungguhnya sedang menyampaikan kalimat. 

Beberapa hal yang harus kita perdalam. Sebuah benda (instrumen musik) yang berbunyi tidak lebih dari sekadar bunyi, bunyi yang sampai ke telinga berarti sedang menyampaikan sesuatu, sebab dapat dipahami bahwa bunyi sukses menyampaikan diri dan statusnya. Orang Mandar menyebutnya pelloa. Tetapi disini akan ada pertanyaan bilamana bunyi itu masih belum jelas dari mana sumbernya. Dan oleh karenanya, suara (bamba) diperlukan untuk memastikan keberadaan dari jenisnya. 

Musisi Mandar awal lebih sering menekankan, sama halnya pada permainan instrumen yang tercantum dalam pernyataan sebelum ini, bahwa keistimewaan alat berada pada kemampuan pelakunya dalam menyusun nada atau huruf-huruf, hingga tekanan dan tekniknya mengupayakan instrumen harus bernyanyi "papa'elongi iting kacapingo atau papalliolioi" (ololioliolio). Ini menandai bahwa tersusunnya ololioliolio, kalimat lagu akan menjadi titik perhatian pendengar, seolah sedang menyimak kata dan kalimat yang disampaikan (loa). Itulah sebabnya pelloa diambil dalam kata bunyi atau berbunyi, sebab dia sesungguhnya dalam keadaaan menyampaikan sesuatu meski hanya satu huruf. 

Ketika kalimat dalam kalimat lagu mengalun, maka pemain bahkan pendengar akan menunggu momentum kesyahduan atau rasa nyaman, berujung pada proses dalam menemukan puncak dari kenyamanan itu. (Massa'du). Namun, sesungguhnya tidak jarang tiba-tiba ada ruang dimana kita bisa berada dalam keadaaan kosong, yang memutuskan untuk melupakan semua yang didengar, sehingga dari sini terkadang hubungan antara pelaku nada dan pendengar pada produksi yang ditawarkan seolah tidak lagi menyatu, atau pendengar hingga pelaku akan memahami dengan rasa masing-masing yakni mengenai sasaran (matte'). Dalam mencapai Massa'du belum tentu dapat berada dalam situasi tersebut di atas,  Jika kemungkinannya kita hanya fokus menikmati kreatifnya. 

Jadi, benda atau sesuatu "instrumen Musik" yang berbunyi (pelloa), bersuara berdasarkan jenisnya (membamba), terwujudnya nada membentuk melodi sebagai bagian dari huruf-huruf yang tersusun (ololioliolio), melahirkan keindahan karena kejelasan kalimat (loa), hingga sampai serta nyaman pada pendengaran (massa'du), dan mengenai sasaran (matte').

Selasa, 09 April 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (29)


Sudah Benarkah Kembali Seperti Bayi?

Di suatu majelis Nasaraddin Hoja bergumam: "Kebenaran adalah sesuatu yang berharga bukan hanya secara spritual tetapi juga memiliki harga material." 

Mendengar pernyataan Nasaruddin Hoja, seseorang pun berdiri dan bertanya: "Wahai tuan, mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran,?"

Kata Nasaruddin Hoja: "Ya, kita harus membayar sebab kadang-kadang kebenaran itu harganya mahal."

Orang itu kembali bertanya: "Mengapa kita harus membayar dan kebenaran itu harganya mahal?"

Nasaruddin Hoja menjawab: "Kalau engaķau perhatikan, harga sesuatu itu dipengaruhi oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu makin mahal lah ia. Barang yang dibuat ribuan tahun lampau, kini mungkin sudah sedikit adanya dan barang itu akan menjadi antik dan mahal harganya."

Dari dialog diatas, jika dihubungkan dengan bulan ramadhan, maka puasa bisa dimaknai sebagai training untuk membiasakan melakukan kebenaran, melatih diri melepas kemelekatan perbuatan  buruk.

Dengan puasa kita membiasakan melakukan kebenaran karena mingkin selama ini kita sering kali membenarkan kebiasaan. Kebiasaan melayani hasrat nafsu, kebiasaan memuaskan kecenderungan semua panca indera kita yang lebih kepada hal-hal negatif.

Hari ini, kebenaran mungkin sulit karena yang sering muncul kepermukaan adalah sesuatu yang seakan-akan benar, merasa benar, kebiasaan menyalahkan orang lain, kebiasaan menuduh orang lain sesat dan kitalah yang paling benar.

Kelangkaan kebenaran disebabkan orang-orang enggang mencari kebenaran. Cukup percaya pada satu kebenaran maka kemungkinan kebenaran yang berseberangan dengan paham kita pun dianggap salah. 

Kelangkaan kebenaran dan mahal harganya karena malas mencari informasi kelanjutan serta klarifikasi dari suatu peristiwa. 

Kelangkaan kebebanaran karena tidak mau mengkaji apakah informasi itu mengandung kebenaran atau tidak tetapi sudah menyebarkannya begitu saja.

Puasa tidak hanya mengajarkan menahan makan dan haus tetapi juga mengajarkan untuk tidak cepat tanggap terhadap berita atau suatu informasi. Puasa mendidik kita selama satu bulan pada dasarnya melatih kita untuk membiasakan kebenaran karena selama ini kita sudah sering membenarkan kebiasaan.

Salah satu tokoh spritual muslim. Abu Hasan Asy-Syadzili berkata: "kita hidup di zaman, dimana kemaksiatan itu dipertontonkan, oleh karenanya terladang ketaatan itu perlu dipertontonkan di tengah zaman maksiat."

Kebenaran apa yang telah kita peroleh selama berpuasa satu bulan penuh, kebiasaan apa yang telah kita dapatkan selama melatih diri untuk tidak makan dan tidak minum. Jika selama satu bulan penuh hanya menahan makam dan minum tetapi tidak menahan perkara-perkara ssperti menyebarluaskan aib-aib, kesalahan-kesalahan orang lain. Tentunya kita masih berputar-putar pada pembenaran kebiasaan bukan membiasakan kebenaran.

Hingga sampai pada finish Idul Fitri yang diartikan sebagai kembali berbuka atau kembali kepada fitrah, diibaratkan seperti bayi yang baru lahir. Sudah benarkah kita seperti bayi? Seperti bayilah mereka yang telah tertatih dan terlatih membiasakan kebenaran selama satu bulan penuh sampai setelah idul fitri dan kembali bertemu bulan puasa berikutnya. Wallahu a'lam bisshowab.

Doa Hari ke 29

اَللَّهُمَّ غَشِّنِيْ فِيْهِ بِالرَّحْمَةِ وَ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ التَّوْفِيْقَ وَ الْعِصْمَةَ وَ طَهِّرْ قَلْبِيْ مِنْ غَيَاهِبِ التُّهَمَةِ يَا رَحِيْمًا بِعِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya :
”Ya Allah, lingkupilah aku di bulan ini dengan rahmat-Mu, anugrahilah aku taufik dan penjagaan-Mu. Sucikanlah hatiku dari benih-benih fitnah/kebencian, Wahai yang Maha Pengasih terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman.

Senin, 08 April 2024

BUNYI MANDAR ITU APA? (Bagian 2)

"BUNYI MANDAR ITU APA? (Bagian 2)
(Bamba, Pelloa, Loa adalah Bunyi)
Oleh: Sahabuddin Mahganna

"Pelloa juga bunyi" sering kali diucapkan dalam bahasa Mandar, menunjukkan bahwa bunyi adalah hal yang umum dan tidak tabu bagi semua umat manusia di muka bumi ini. Bahasa orang Mandar kadang-kadang digunakan sebagai medium untuk menyampaikan kebaikan melalui bunyi murni. Namun, tidak semua kalimat dalam bahasa Mandar dianggap suci atau murni. Terkadang, bunyi dalam bahasa Mandar merujuk pada bunyi yang murni, seperti ketika kita berteriak, bersin, batuk, atau menangis. Bunyi semacam ini dikategorikan sebagai bunyi murni. Abdul Chaer (2003) dalam karya Busrah dan Bustan. Kemungkinan dapat dinilai dari alam sebabnya, bukan sebagai hasil tindakan sengaja, melainkan muncul secara alami.

Dalam "Pelloa", merujuk pada benda atau sesuatu yang mengeluarkan bunyi, tanpa kata secara eksplisit dari manusia. Jadi, "pelloa" dan "loa" sepertinya memiliki makna yang berbeda, yang sebenarnya dipisahkan. "Loa" mungkin merujuk pada ucapan atau kalimat yang menyertai bunyi, sedangkan "pelloa" mengacu pada benda atau bunyi tanpa kata dari manusia. Ketika ditambahkan awalan "pe-" untuk menghubungkannya dalam fonem Mandar, "pelloa" secara konseptual memperjelas bahwa itu adalah bunyi yang dihasilkan. Dari sini, kita dapat memahami bahwa orang Mandar mungkin memahami bahwa sesuatu yang menghasilkan bunyi juga mungkin menyertakan ucapan atau kalimat yang tidak selalu dapat dipahami secara langsung oleh manusia, tetapi hanya bisa dipahami melalui perasaan. Untuk menandai bunyi, ada juga istilah "Bamba" dan "Matte'".

"Bamba" digunakan untuk menandai suara atau bunyi. Dalam beberapa kamus, "bamba" dikategorikan sebagai suara besar, sementara yang lain hanya menyebutnya sebagai suara tanpa penjelasan lebih lanjut. Ini mungkin karena suara dipahami sebagai warna vokal atau jenisnya, di mana "bamba" berdiri sendiri sebagai predikat suara yang sangat dipengaruhi oleh bunyi. Sehingga untuk memperjelas penggunaan "bamba", kadang-kadang diperlukan penambahan kata-kata tertentu seperti "Napowambai" (terdengar seperti itu), "Dipowambai" (kita bersuara dan berbunyi), "Membamba" (berbicara atau bersuara), dan "pebamba" (bersuara). Namun, penafsiran ini mungkin menjadi subjektif dan abstrak tergantung pada konteksnya.

"Matte'" adalah kata yang sulit dijelaskan dan sering kali dipahami sebagai mengenai sasaran atau kosong. Biasanya, "Matte'" terjadi setelah adanya benturan antara benda, ketika bunyi yang dihasilkan hanya satu atau tidak ada lagi. Dalam kamus Mandar, "Matte'" digambarkan sebagai tiruan bunyi, seperti ketika terkena lemparan.

Dengan demikian, "loa" yang terkait dengan "pelloa" biasanya memiliki kata atau kalimat yang jelas, sedangkan "bamba" mungkin tidak memiliki teks yang terukur tetapi tetap memiliki bunyi yang jelas. "Pelloa" memperjelas bahwa dalam "loa" ada bunyi yang dapat didengar, begitu juga dengan "bamba" yang mudah dipahami jika ada bunyi.

(Bersambung)

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (29)


Sudah Benarkah Kembali Seperti Bayi?

Di suatu majelis Nasaraddin Hoja bergumam: "Kebenaran adalah sesuatu yang berharga bukan hanya secara spritual tetapi juga memiliki harga material." 

Mendengar pernyataan Nasaruddin Hoja, seseorang pun berdiri dan bertanya: "Wahai tuan, mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran,?"

Kata Nasaruddin Hoja: "Ya, kita harus membayar sebab kadang-kadang kebenaran itu harganya mahal."

Orang itu kembali bertanya: "Mengapa kita harus membayar dan kebenaran itu harganya mahal?"

Nasaruddin Hoja menjawab: "Kalau engaķau perhatikan, harga sesuatu itu dipengaruhi oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu makin mahal lah ia. Barang yang dibuat ribuan tahun lampau, kini mungkin sudah sedikit adanya dan barang itu akan menjadi antik dan mahal harganya."

Dari dialog diatas, jika dihubungkan dengan bulan ramadhan, maka puasa bisa dimaknai sebagai training untuk membiasakan melakukan kebenaran, melatih diri melepas kemelekatan perbuatan  buruk.

Dengan puasa kita membiasakan melakukan kebenaran karena mingkin selama ini kita sering kali membenarkan kebiasaan. Kebiasaan melayani hasrat nafsu, kebiasaan memuaskan kecenderungan semua panca indera kita yang lebih kepada hal-hal negatif.

Hari ini, kebenaran mungkin sulit karena yang sering muncul kepermukaan adalah sesuatu yang seakan-akan benar, merasa benar, kebiasaan menyalahkan orang lain, kebiasaan menuduh orang lain sesat dan kitalah yang paling benar.

Kelangkaan kebenaran disebabkan orang-orang enggang mencari kebenaran. Cukup percaya pada satu kebenaran maka kemungkinan kebenaran yang berseberangan dengan paham kita pun dianggap salah. 

Kelangkaan kebenaran dan mahal harganya karena malas mencari informasi kelanjutan serta klarifikasi dari suatu peristiwa. 

Kelangkaan kebebanaran karena tidak mau mengkaji apakah informasi itu mengandung kebenaran atau tidak tetapi sudah menyebarkannya begitu saja.

Puasa tidak hanya mengajarkan menahan makan dan haus tetapi juga mengajarkan untuk tidak cepat tanggap terhadap berita atau suatu informasi. Puasa mendidik kita selama satu bulan pada dasarnya melatih kita untuk membiasakan kebenaran karena selama ini kita sudah sering membenarkan kebiasaan.

Salah satu tokoh spritual muslim. Abu Hasan Asy-Syadzili berkata: "kita hidup di zaman, dimana kemaksiatan itu dipertontonkan, oleh karenanya terladang ketaatan itu perlu dipertontonkan di tengah zaman maksiat."

Kebenaran apa yang telah kita peroleh selama berpuasa satu bulan penuh, kebiasaan apa yang telah kita dapatkan selama melatih diri untuk tidak makan dan tidak minum. Jika selama satu bulan penuh hanya menahan makam dan minum tetapi tidak menahan perkara-perkara ssperti menyebarluaskan aib-aib, kesalahan-kesalahan orang lain. Tentunya kita masih berputar-putar pada pembenaran kebiasaan bukan membiasakan kebenaran.

Hingga sampai pada finish Idul Fitri yang diartikan sebagai kembali berbuka atau kembali kepada fitrah, diibaratkan seperti bayi yang baru lahir. Sudah benarkah kita seperti bayi? Seperti bayilah mereka yang telah tertatih dan terlatih membiasakan kebenaran selama satu bulan penuh sampai setelah idul fitri dan kembali bertemu bulan puasa berikutnya. Wallahu a'lam bisshowab.

Doa Hari ke 29

اَللَّهُمَّ غَشِّنِيْ فِيْهِ بِالرَّحْمَةِ وَ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ التَّوْفِيْقَ وَ الْعِصْمَةَ وَ طَهِّرْ قَلْبِيْ مِنْ غَيَاهِبِ التُّهَمَةِ يَا رَحِيْمًا بِعِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya :
”Ya Allah, lingkupilah aku di bulan ini dengan rahmat-Mu, anugrahilah aku taufik dan penjagaan-Mu. Sucikanlah hatiku dari benih-benih fitnah/kebencian, Wahai yang Maha Pengasih terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman.

Minggu, 07 April 2024

PROF. QURAISH SHIHAB DIMATA PROF AHMAD M. SEWANG


PROF. DR. H.M. 0URAISH SHIHAB, M.A. DI PENTAS MUBALIG

FOOTNOTE HISTORIS:
By Ahmad M. Sewang 

Prof. Quraish Shihab, seorang cendekiawan Muslim terkemuka di Indonesia, juga sering tampil di pentas mubalig. Dengan keilmuannya yang luas dalam bidang agama dan ke ahlianya di bidang ilmu tafsir Al-Quran, beliau memberikan ceramah dan kuliah yang mendalam tentang ajaran Islam serta nilai-nilai spiritual. Prof. Quraish Syihab sepanjang bulan Ramadan ini tampil di Metro tv membawakan pengantar berbuka puasan, dengan judul, "My Shariah First." Quraish Shihab adalah keluarga terpelajar, bapaknya 
Prof. Abdurrahman Syihab juga seorang ulama dan mantan Rektor IAIN Alauddin Makassar yang dhormati. 

Saya bersyukur karena selama
diamanahkan sebagai Direktur PPs UIN Alauddin Makassar saya menemani beliau dan manfaatkan kepintaran beliau tenagai dosen Tafsir dan mubalig di DPP IMMIM. Beliau adalah doktor pertama tafsir di al Azhar University untuk Asia Tenggara. Jadi beliau dikenal talenta sebagai ulama mufassir, pendidik, dan mubalig. Sebagai mubalig ia  menembus segala lapisan masyarakat; mulai dari Presiden sampai ke umat lapisan bawah. Beliau juga dikenal moderat dalam membawakan materi dakwahnya disertai bahasa santun. Saya manfaatkan kesempatan menemani beliau dengan banyak belajar.  Menurut pengalaman almarhum Prof. Syuhudi Ismail yang pernah menjadi mahasiswanya, "Jika ada pertanyaan dari mahasiswa pada Prof. Quraish Shihab yang levelnya agak tinggi, beliau menjawab lebih tinggi lagi, sebaliknya jika pertanyaannya itu rendah, maka jawabannya juga diturunkan," kata Syuhudi suatu waktu pada penulis. Jadi kemampuan penyesuaian diri yang tinggi, membuat beliau surviva sampai kini. Saya juga pernah belajar pada beliau beberapa semester dalam mata kuliah tafsir dan hadis di PPs IAIN Syarif Hadayatullah Jakarta.

 Prof. Quraish Shihab tampil di berbagai kesempatan telah menginspirasi dan memberikan pemahaman mendalam tentang ajaran Islam pada masyarakat Indonesia.

Wasalam,
Kompleks GPM, 8 April 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (27)


Perempuan Menjelang Lebaran

Manusia tidak bisa memahami realitas secara utuh, kita hanya mampu menciptakan cara untuk menjalin hubungan dengan realitas secara baik (itupun kalau mampu) dengan segala upaya yang sungguh-sungguh. Ini disebabkan karena kebenaran dari realitas itu sendiri bukan hanya soal pengetahuan melainkan juga dengan penghayatan dan keterbukaan.

Perempuan merupakan bagian dari realitas, jadi benar kalau perempuan memang selalu unik untuk dibahas dan tidak ada habisnya untuk terus diperbincangkan. Apakah memahaminya dari sudut pandang ekonomi, politik, seni atau sebagai aib?  

Perempuan, dilihat dari tingkah lakunya (kebanyakan) melihat dirinya sendiri sebagai sebuah seni sehingga diperlihatkan sana sini untuk dipertontonkan, ada juga yang melihat realitas dirinya sendiri sebagai alat untuk menarik perhatian orang lain sehingga dipoles sebaik mungkin.

Tubuh perempuan yang dilihat secara seksual semata, akan membawa kesadaran kita menjadi kesadaran binal. Kesadaran binal disini adalah kesadaran yang pusat perhatian hanya tertuju pada kenikmatan seks belaka. Sehingga kebenaran dari tubuh perempuan tertutupi karena yang ada adalah bagaimana cara meraih pengalaman erotis dari tubuh perempuan itu sendiri. Otak kita menjadi binal yang menjelma menjadi otak pedofil.

Lekuk pada tubuh perempuan memang sangat mendominasi dibandingkan dengan lekuk yang ada pada laki-laki. Bagi laki-laki- maaf, fakta bahwa melihatnya saja membuat erotis apalagi membelainya. 

Ditambah kehadiran teknologi dengan slogannya "hisap sebanyak mungkin dari modal sesedikit mungkin" dari sini pun perempuan kerap dimanfaatkan sebagai sumber pengahasilan misalnya digunakan dalam iklan fashion, baik itu pakaian ataupun perhiasan. Kekayaan eksistensi dari tubuh perempuan memang sangat rumit dan juga agung sekaligus menggiurkan.

Keindahan perempuan tidak lagi dilihat sebagai anugerah yang harus dijaga eksistensinya akan tetapi dilihat sebagai obyek untuk memeras keuntungan sebanyak-banyaknya yang akibatnya merugikan perempuan. Jangan heran, apabila banyak di media pemberitaan terkait dengan pemerkosaan telah terjadi dimana-mana.

Tidak hanya pada tubuh perempuan, segala bentuk realitas yang ada pun dilihat sebagai obyek keuntungan alias pengumpulan modal. Merusak alam adalah salah satu akibatnya. Bagaimana tidak, keindahan alam tidak lagi dilihat sebagai keindahan sebagaimana mestinya akan tetapi dilihat sebagai obyek pariwisata yang banyak menguntungkan bagi pengelolanya.

Betulkah laki-laki masa kini lebih memilih wanita seksi dari pada perempuan cantik? Dalam jaringan kapitalisme, perempuan telah dikendalikan oleh ideologi kepentingan pasar. Tubuh yang merupakan bagian privat perempuan sudah menjadi milik publik, membangkitkan fantasi disebabkan gaya dan cara berpakaian menjadi banyak variasi.

Dalam basis politik emansipasi, perempuan dipotret menjadi makhluk penggoda sehingga terjadi pergeseran prilaku real menjadi citra, etika menjadi estetika, prestasi menjadi frustrasi.

Mengapa seks seringkali terjadi? Karena Fashion menjadi kebutuhan dari seluruh populasi perempuan yang diciptakan terus menerus oleh pasar kecantikan (Kapitalis-Seksualis). 

Secara terbiasa, perempuan telah hanyut pada sebuah keadaan yakni sibuk menciptakan kecantikan mitosnya, sifat alami kecantikan sudah benar-benar tidak mampu membuat perempuan cantik. 

Pada kenyataanya menuju lebaran selain pakaian, juga begitu banyak lipstik dan alat-alat kecantikan lainnya terjual laku. Hari lebaran adalah hari pamer kecantikan, pamer penampilan dan juga pamer keunggulan. Wallahu a'lam bisshowab.

(Tulisan di 21 Mei 2022)

Doa Hari ke 27

اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ فَضْلَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَ صَيِّرْ أُمُوْرِيْ فِيْهِ مِنَ الْعُسْرِ إِلَى الْيُسْرِ وَ اقْبَلْ مَعَاذِيْرِيْ وَ حُطَّ عَنِّيَ الذَّنْبَ وَ الْوِزْرَ يَا رَؤُوْفًا بِعِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ

Artinya :
”Ya Allah, berkahilah aku di bulan ini dengan mendapatkan lailatul qadr. Ubah arah hidupku dari hidup yang susah menjadi mudah. Terimalah segala permohonan maafku dan hapuskan dosa-dosa dan kesalahanku. Wahai Yang Maha Penyayang terhadap hamba-Nya yang saleh.

Jumat, 05 April 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (26)


Jamaah Medsosiyyah part 2

Refleksi Kecemasan

Bersinggungan dengan virtual berarti berbicara mengenai nyata dan tidak nyata, antara makna dan simbol, antara nilai dan kebenaran atau antara kebutuhan dan gaya hidup. Virtual dalam catatan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti a (secara) nyata. Dapat diartikan sebagai sesuatu yang sifatnya seolah-olah, seakan-akan, atau hyperrealitas dengan kata lain melampaui kenyataan tapi seakan-akan nyata. Dalam teori Jean Baudrillard, filsuf asal Prancis ini menyebutnya dengan istilah Simulacra yang berarti dunia simulasi (dunia kosong) sementara Sayyed Husein Nasr menyebutnya sebagai Scentia Sacra (kenestapaan manusia modern). Virtual merupakan bermain-mainya manusia dengan dunia maya.

Pertama yang ingin saya sampaikan bahwa, ada banyak pergeseran budaya atau tradisi secara signifikan ketika era virtual mulai mempersembahkan aromanya pada generasi millenial. Diantaranya adalah virus virtual dalam kehidupan saat ini sudah menjadikan kita tidak hanya menjadi warga Indonesia saja melainkan sudah menjadi warga Dunia. Segala aktivitas kita sudah mendunia dan menjadi keniscayaan hubungan kita dengan warga dunia lainnya. Cukup hanya dengan memotret aktivitas kemudian dimasukkan ke media sosial maka penduduk dari manapun dapat melihat aktivitas tersebut.

Kedua, era virtual telah mengalihkan titik fokus kita dari makna menjadi simbol. Manusia hanya sibuk mencari simbol tanpa memerhatikan makna dibalik simbol tersebut sehingga berkah akan hidup pun menjadi kurang bahkan tidak ada sama sekali.

Ketiga, munculnya jarak sosial (distingsi). Iwan Fals menyebutnya dengan ''Menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh". Adanya jarak sosial mengakibatkan manipulasi konteks makin meningkat, artinya dalam menyampaikan sesuatu tidak sesuai dengan apa yang seharusnya disampaikan secara esensial. Sebagai contoh dalam seminar tentang "Kesetaraan Gender" misalnya tapi yang dibesar-besarkan pada penyampai di media sosial malah tentang cara penyampaian dari narasumber padahal yang harus difokuskan adalah esensi dari seminar tersebut bukan eksistensinya. 

Selanjutnya, jarak sosial justru seakan-akan memutarbalikkan makna. Misalnya tentang makna hadits أنظر ما قال ولا تنظر من قال (lihatlah apa yang dikatakan dan jangan melihat siapa yang berkata) menjadi أنظر من قال ولا وتنظر ما قال (lihatlah siapa yang berkata dan jangan lihat apa yang dikatakan). Konteks hari ini telah mengcover demikian. Karena jarak sosial mengakibatkan tidak adanya kedekatan secara langsung (fisik) sehingga kepribadian seseorang pun tidak bisa dinilai secara parsial (keseluruhan). Akibatnya, makna menjadi abstrak karena karena kalah dari simbolnya. Lebih jelasnya, kita menilai seseorang karena retorikanya atau karena tampilannya bukan karena kepribadiannya atau akhlaknya. Parahnya otak tidak difungsikan lagi apapun yang dikatakan panutan atau orang yang dianggap Mursyid maka wajib diikuti tanpa menelusuri benar tidaknya terlebih dahulu.

Keempat, hadirnya masyarakat epilepsi. Masyarakat epilepsi adalah masyarakat yang kecenderungannya hanya pada sesuatu yang konotasinya menggugah atau kata kerja mulut "wawwwww" membuat mata terbelalak karena dianggap sesuatu yang luar biasa. Akibatnya masyarakat tidak lagi melihat benar salahnya karena telah terhipnotis dengan tingkatan bombastisnya.

Kelima, adanya efek kecabulan. Era virtual juga telah membuat penikmatnya tidak ada lagi yang perlu dirahasiakan. Semua kegiatan pun diakses ke media sehingga orang lain dapat menyaksikan. Apakah itu kesuksesan, kegiatan keagamaan, kegalauan, ulang tahun seseorang, pernikahan dan lain sebagainya. Parahnya masyarakat virtual pun tanpa ragu sedikitpun memposting hal yang sifatnya sangat rahasia. 

Kelima diatas hanya sebagian kecil dampak dari pada penggunaan virtual secara negatif. Menggunakan hal kearah negatif mengakibatkan matinya makna, ketidakstabilan, chaos (kekacauan), tidak pastinya tujuan, fungsi dan makna. Kalahnya esensi karena eksistensi. Yang terakhir adalah komunikasi menjadi massif dengan kata lain cepat namun dangkal dalam makna. Wallahu a'lam bisshowab

Doa Hari ke 26

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ سَعْيِيْ فِيْهِ مَشْكُوْرًا وَ ذَنْبِيْ فِيْهِ مَغْفُوْرًا وَ عَمَلِيْ فِيْهِ مَقْبُوْلاً وَ عَيْبِيْ فِيْهِ مَسْتُوْرًا يَا أَسْمَعَ السَّامِعِيْنَ

Artinya :

”Ya Allah, jadikanlah setiap lampah usahaku di bulan ini sebagai ungkapan rasa syukur dan dosa-dosaku terampuni, amal-amalku diterima dan seluruh aib kejelekanku ditutupi. Wahai Yang Maha mendengar dari semua yang mendengar.

(Tulisan lama diadopsi dan diedit kembali)