Ketika terjadi pergantian Gubernur Sulsel, dari Andi Oddang ke Achmad Amiruddin, terjadi regenerasi
pejabat. Saat itu pangkatnya sudah 3 C. Baperjaka Sulsel mengevaluasi, kalau Tadjuddin
masuk pengusulan Sekda. Disebutkan Sekda Majene, Sekda Pinrang, Sekda Sidrap, dan Sekda Pangkep.
Keputusan akhir jatuh ke Sekda Majene.
Setelah tiga tahun di Majene, dari 1989 hingga 1991, lalu ke Kabupaten Wajo dengan jabatan yang sama. Tahun 1995 kembali ke
Majene dengan jabatan baru, Bupati Majene (1995-2001).
Meski kini sebagai bupati, sudah tak asing baginya. Ia sudah tahu
apa yang akan ia lakukan, agar daerah ini menampakkan perubahan. Dilirik
jalanan untuk dibenahi, sebab jalanan saat itu belum baik. Bisa dibilang, jalan
antara Pinrang-Polewali-Majene-Mamuju masih memprihatinkan. Ia harus berjuang agar jalan di Majene aspal hotmix. Penerangan
listrik baru sampai di Rangas, ujung kota Majene.
Sementara anggaran terbatas.
Baru dua bulan di tahun pertama jadi bupati, Menteri penerangan Harmoko berkunjung ke Mamuju. Dari
Mamuju, giliran Bupati Tadjuddin menjemput Harmoko di Malunda’. Ketika rombongan Menteri dan Bupati Majene beriringan,
di pojok jalan di desa Tubo terbentang sebuah spanduk
yang bertuliskan “Kami Butuh Listrik”.
Jam 8 malam rombongan singgah sejenak di rumah camat. Selanjutkan
perjalanan menuju rumah jabatan Bupati Majene. Kurang beberapa menit
menunjukkan jam 11 malam, rombongan tiba. Di Rujab Bupati, Menteri Harmoko bertanya kepada Bupati Tadjuddin, “Desa mana
tadi yang ada spanduk?”. Bupati
jelaskan, sembari terkaget sebab dia pikir mungkin Menteri tak sempat melihat karena dalam kegelapan malam. “Kasihan Ya”, sudah 50 tahun merdeka masih banyak warga
Indonesia belum menikmati listrik”. Kata Menteri Harmoko. “Tapi kita akan pikirkan bersama.”
Bulan berikutnya, seluruh bupati di Indonesia berkumpul di Jakarta. Pertemuan itu di adakan di gedung pertemuan PT. Pertamina. Menpen Harmoko juga hadir memberi pengarahan. Di penghujung akhir
ucapannya, Menteri Harmoko
menyilahkan Bupati Majene dan Bupati Luwu berdiri lalu memberitahu bahwa pemasangan listrik di kabupatennya sudah
dikoordinasikan di tingkat pusat.
Rupanya menteri tetap ingat bunyi spanduk di Desa Tubo, Kecamatan Sendana, satu bulan silam. Katanya,
silahkan dikoordinasikan di tingkat wilayah. “catat ya.”
Pesan Menteri Harmoko.
Tiba di Makassar, Bupati Tadjuddin tak langsung ke Majene. Ia menemui Kepala PLN Wilayah Sulsel, Sumantri. Diberitahukan bahwa dari
Jakarta di tugasi mengecek pemasangan sambungan listrik dari Majene ke Mamuju,
ia tak bilang Tubo’. Sementara bercakap-cakap dengan Kepala PLN, mesin fax Sumantri mengeluarkan selembar surat. Surat itu dari Jakarta,
isinya menugaskan mengeluarkan listrik di Majene dan di Luwu. Persis apa yang di bacakan keduanya.
Sumantri bilang, kita butuh surat yang ditandatangani Gubernur Sulawesi Selatan untuk dukungan dana. Menit itu pula
mereka menemui gubernur. Tak panjang lebar, gubernur menyilahkan Bupati Majene bikin surat nanti di tandatangani. Surat dukungan dana pun selesai di tandatangani Gubernur Sulsel. Sore itu juga kepala PLN, Sumantri ke Jakarta.
Keesokan harinya Sumantri sudah kembali. Dana
pemasangan listrik pun siap, dengan syarat tak ada ganti rugi penebangan pohon.
Tiba di Majene, Bupati menggalang masyarakatnya, dan tak ada yang menuntut ganti rugi. Yang paling
diprioritaskan adalah pemasangan untuk sekolah dan masjid, di sepanjang
jalan yang dilalui. Luar biasa, sepanjang 70 km pemasangan baru, hingga ke
kecamatan Tappalang Kabupaten
Mamuju.
Tak ketinggalan peningkatan SDM aparat, di semua lini. Dibuka
kesempatan untuk melanjutkan sekolah, baik penjenjangan maupun strata satu
(S1), dan starata dua (S2). Sebab bagaimana SDA bisa dikelola kalau sumber daya
manusia tak terampil.
Memang sengaja hilangkan kesan bahwa orang pergi sekolah karena
mau dipromosikan, mau diangkat jadi pejabat ini dan itu, atau pergi sekolah
karena dibuang. Itu pemikiran tempo dulu. Semua yang
berkemampuan diberi kesempatan yang sama. Juga pembangunan sekolah, semua
kecamatan sudah ada SMA (SMU) Negeri. Pendidikan memang sangat diutamakan, maka waktu itu dibuka
kelas khusus bagi siswa SMA yang berprestasi. Membuka isolasi kawasan-kawasan
di pegunungan, di Malunda’, di Limboro. Digalakkan peternakan kambing. Dibangun banyak puskesmas.
Begitulah siklus pemimpin pemerintahan. Mustar
Lazim usai memimpin, lalu datang Tadjuddin Noor, dan setelah masanya berakhir, dilanjutkan Muhammad Darwis. Pengembangan pelabuhan Palippis, Majene, yang belum selesai, dan
akhir periode lima tahun telah lebih dulu tiba. Ketika ia menjabat kepala Dinas Perhubungan Sulsel tentu bersama bupati yang menggantikannya-melanjutkannya
hingga bisa di manfaatkan seperti peruntukannya.
Ia ikut Andil memepercepat perbaikan pelabuhan Mamuju. Membuka
kembali penerbangan Makassar-Mamuju. Dan ketika peresmian Sulawesi Barat,
bersama satu rombongan dari Makassar terbang dengan pesawat udara yang mendarat
di bandara Tampa Padang. Hampir dua tahun di Perhubungan, kemudian pindah sebagai Kepala BKD Provinsi Sulawesi Selatan.
Tugas selanjutnya setelah Bupati Majene
adalah Kepala Dinas Pariwisata Sulawesi Selatan, tempatnya yang dijabat sejak beberapa
tahun silam. Selama di pariwisata, ia banyak melanglang
ke kawasan Eropa, Asia, dan Afrika. Sibuk dengan kerja memperkenalkan potensi pariwisata
Sulawesi Selatan di pelbagai masyarakat dunia. Ia tahu kalau potensi budaya
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat besar. Ini yang mesti dijual. Inilah cara
menjadikan kunjungan pariwisata ke daerah kita dalam jumlah yang
sebanyak-banyaknya.
Pasar potensial untuk pariwisata kita adalah Eropa (Prancis, Jerman, Belanda, Italia, dan Swiss). Jepang, dan Asia pada
umumnya. Di kota Paris, Perancis, Tadjuddin sudah tak asing, sebab
ketika masih menjabat Bupati Majene, sempat diundang menghadiri konferensi
ternak sedunia.
Pada Oktober 2004 lalu, diundang ke Ravena, Italia, menyaksikan pertunjukan film I Laga Ligo, yang dinobatkan menjadi warisan sastra dunia sekaligus satu-satunya karya sastra terpanjang di dunia. Di Italia, singgah di Vatikan, menyaksikan tempat tempat
pertunjukan gladiator.
Pada Juli 2004, ia juga turut di
undang hadir di New York, Amerika Serikat untuk menyaksikan
pertunjukan spektakuler, I Laga Ligo. Perjalanan sudah bisa dibilang teramat panjang. Tapi bersama
tiga anaknya, buah perkawinannya, dengan Nurliah pada
1977 silam, memberi kebahagiaan tersendiri dalam hidup Tadjuddin Noor.
Istrinya, seorang darah bangsawan Mandar,
membuatnya tak bisa melupakan kedekatan emosional dengan masyarakat Mandar.
Terlebih lagi ia pernah mengbbdi di Majene kurang lebih delapan tahun lamanya.
Ia sangat bangga ketika kawasan Mandar (besar) telah menjadi satu provinsi
tersendiri. Dan Majene yang paling awal mengeluarkan surat dukungan secara resmi
berupa “Rekomendasi Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat yang di tandatangani oleh Tadjuddin Noor.