Catatan Muhammad Munir
Sungai
adalah salah satu makhluk tuhan yang memiliki peran penting dalam sejarah
kemanusiaan. Sejarah mencatat mulai dari zaman purbakala sungai tak pernah
beranjak dari takdirnya sebagai media berlangsungnya ekosistem
sekaligus menjadi sumber kehidupan masyarakat yang berada di sekitar DAS
(daerah aliran sungai). Pun sejarah juga membeberkannya pada kita bagaimana
dinamika kehidupan manusia yang tak pernah ingin menjauh dari keberadaan
sungai.
Namun ada
sebuah ironi dari kehidupan masyarakat kita hari ini. Entah karena dalih
kemajuan atau memang pemahamannya yang dangkal sebab justru keberadaan sungai
di jaman modern tetap mempunyai arti penting, baik secara fisik, sosial maupun
kultur. Dan kenyataan yang kita dapati, semakin minimnya lembaga atau instansi
yang fokus menjaga sungai. Sungai bahkan dianggap sebagai TPA (Tempat
Pembuangan Akhir) paling canggih bagi ribuan ton sampah. Pun tak jarang
dianggap sebagai ruang paling aman untuk limbah industri.
Keberadaan
sungai di Sulawesi Barat khususnya sungai Mandar juga tak luput dari perlakuan
diskrimintif masyarakat sekitar yang tinggal tak jauh dari sungai. Kenyataan
sungai Mandar yang mengalir dari Ulumandaq ke Tinambung saat ini jika
dibandingkan dengan jaman penjajahan. justru lebih terjaga kebersihannya
dibanding hari ini. Dalam beberapa cerita tutur orang tua yang sempat menjalani
kehidupan dizaman itu, justru tak jarang ditemukan warga yang terkena hukuman
dari tentara Belanda akibat kedapatan membuang sampah ataupun membuang hajat ke
sungai. Sebangsat itukah bangsa kita hari ini dibanding para penjajah? Sebuah
pertanyaan yang tak butuh didebati sebab tujuan tulisan ini adalah menjadi renungan
bersama.
Beruntunglah,
disekitaran DAS Mandar Polewali Mandar, ada sebuah lembaga yang intens
memperlakukan sungai layaknya sebagai makhluk hidup yang butuh sahabat, cinta
dan sentuhan. Uwake’ Cultuur Fondation yang dipunggawai oleh Muhammad Rahmat Muchtar
adalah satu-satunya yang intens membuat gerakan dan rekomendasi kepada
pemerintah Polewali Mandar untuk tidak memunggungi sungai. Tahun ini adalah
tahun keempat event Festival Sungai Mandar digelar. Sejak tahun 2014 lalu sudah
3 kali event FSM berlalu dan berlangsung diarea perkotaan Tinambung tak jauh
dari muara sungai.
Sejak FSM I
sampai ke FSM III Isu-isu tematik seputar bagaimana kita mencintai
sungai dari segala pencemaran yang berdampak buruk bagi kehidupan. Berbagai pihak termasuk komunitas seni yang
menampilkan kritik dan keprihatinannya terhadap sungai
yang dijadiakan pembuangan sampah, perlahan telah menjadi
kerinduan yang selalu ditunggu. Respon pemerintah juga
masih sebatas sumbangsih MOBIL TRUK SAMPAH dari
pemda serta perluasan kerja Bentor (pengangkut sampah) ke wilayah lingkungan
yang masih terbatas.
Pahlawan Sampah yang membangun tempat
pengelolaan sampah (sebagai percontohan tingkat lingkungan). Meski masih banyak
yang perlu didorong diwilayah kawasan hilir, seperti TPA yang belum jelas
secara profesional, perhatian ke muara Sungai (Ga’de & Kampung Para’), daya
guna tanggul sungai sebagai public wisata dan yang lainnya masih
jauh dari harapan kita.
Tahun 2017
ini FSM akan dihelat pada tanggal 20 -27 Maret di tiga titik lokasi di DAS
Mandar yaitu Alu (20-21 Maret 2017), Palece (23-24 Maret 2017) dan Lekopa’dis
(26-27 Maret 2017). Penyelenggara FSM tahun ini sengaja meninggalkan wilayah
kota sebagi upaya memperluas rasa peduli sungai
dimana Sungai Mandar mengalir di Hulu (Ulumanda’) sampai ke
Hilir (Tinambung).
Penguatan rasa memiliki, mencintai dan berbuat
secara
kolektif dengan pemerintah dan masyarakat. Menurut Rahmat Muchtar, dari tiga
titik itu nantinya bisa saling
memberi info, memperingati, menjaga serta menkonservasi Sungai & DAS yang
didalamnya terdapat kerja2 edukasi, ekologi, perhatian pada mata air yang mulai
mengering, penanaman pohon serta pada ekowisata.
Tepatlah
kiranya jika tema pessungo pota’ pettamao randang mulai ditinggalkan untuk
lebih spesifik mengusung tema yang lebih mengglobal, Balance (keseimbangan). Dan pesertanya juga memungkin kan dari pemuda, pelajar serta perangkat desa yang ada
didesa masing2 sebagai pendukung kedaulatan Sungai untuk turut bekerjasama
dalam mengelola permasalahan yang ada diwilayah aliran Sungai Mandar.
Sungai Mapilli
Selain sungai Mandar, terdapat sungai yang juga tergolong
besar dan panjang. Jika sungai Mandar mengalir dari hulu Ulumanda Kabupaten Majene
maka Sungai Mapilli justru mengalir dari Masunni Kecamatan Bulo/Matangnga ke
Desa Buku Kec. Mapilli Kabupaten Polewali Mandar. Masunni sendiri hanya sebatas
titik pertemuan antara sungai atau Lembang Mapi yang hulunya dari lereng gunung
Aralle, Tabulahan dan Mambi dengan aliran sungai Lili yang merupakan aliran
dari dari Sumarorong dan Tondok Kalua dan lereng gunung dipelosok Tapango
Anreapi. Hal ini pula yang melatari sehingga dinamakan Maloso Mapilli yang tak
lain adalah gabungan Mapi dengan Lilli sehungga disebut Mapilli.
Sungai
Mapilli atau Maloso Mapilli ini juga mempunyai fungsi
yang amat strategis karena Daerah Aliran Sungai (DAS) ini cukup luas dan panjang. Disamping itu, pasokan airnya menjadi
sumber pengairan bagi ratusan ribu areal pesawahan di Kabupaten Polewali
Mandar. Bendungan Sekka-Sekka adalah satu-satunya bendungan terbesar di Sulbar
yang air nya dikonsentrasi ke Maloso kiri dan Maloso Kanan.
Kondisi
sungai Mapilli dengan sungai Mandar secara kualitas air masih cenderung sama.
Yang berbeda adalah masalah penanganannya. Jika sungai Mandar punya masalah
sampah yang indikator tingkat pencemaran air
termasuk tinggi akibat akumulasi limbah yang berasal dari hulu maupun tingkat
intensitas aktivitas perkotaan. Aktivitas masyarakat yang tidak memperhatikan
faktor lingkungan menjadi masalah bagi sungai Mandar. Sementara di sungai Mapilli, penurunan kualitas air tidak terlalu
memprihatinkan, termasuk masalah sampah juga bukan masalah serius di sungai
Mapilli. Masalah seriusnya adalah keamanan sungai Mapilli dari masyarakat yang
berdiam di DAS Mapilli ini.
Sungai
Mapilli hari ini jauh berbeda dengan kondisi pada tahun sebelum 80-90-an, sebab
terhitung tahun 2000-an, keberadaan buaya jenis buaya Cekdam menjadi persoalan
besar bagi masyarakat sekitar. Buaya Cekdam ini adalah bekas peliharaan di
sebuah penangkaran buaya di Tenggelang Luyo pada tahun 85-90-an yang banyak
lepas ke alam bebas karena tak mendapat perhatian dari pihak pengelola. Tahun
1997-2001 ternyata buaya-buaya ini berkembang biak di sungai Mapilli. Hal
tersebut dibuktikan dari adanya dua korban anak manusia disamping hewan
peliharaan warga yang juga ikut menjadi korban buaya dari sungai Mapilli ini.
Sejak tahun
2001 sampai hari ini korban jiwa termakan buaya ada 2 orang, hewan peliharaan
warga tak terhitung dari jenis kambing, ayam bahkan sapi. Semua penyebabnya
adalah buaya. Ini tentu akan sangat berimbas pada prospek jika sungai Mapilli
mau dikelola sebagai kawasan ekowista dan peningkatan potensi sungai. Selain
buaya, tambang pasir yang tak mempunyai izin lingkungan jjuga marak di
sekitaran DAS Mapilli ini.
Melihat
perbandingan dua sungai di Polewali Mandar tersebut, tentunya membuat kita
esimis terhadap prosepekpengembangan potensi sungai dan wisata sungainya, sebab
jika melihat apa yang dilakukan oleh warga di
sekitar sungai Brisbane Australia, yang menjadikan sungai itu sebagai ikon
daerah Brisbane.Dari beberapa informasi di media dikatakan bahwa Sungai Brisbane semula sangat tercemar.
Pemukiman di sekitarnya juga kumuh. Pembenahan pendekatan teknologi, seperti
membangun IPAL dan melakukan pembersihan serta penjernihan air sungai, hasilnya
masih kurang memuaskan. Baru setelah dilakukan pendekatan sosial budaya, dengan
memperhatikan budaya masyarakat lokal hanya dalam kurun waktu empat tahun
telrihat kemajuan yang amat berarti.
Ternyata pendekatan sosial budaya justru lebih cepat dari
pendekatan teknologi. Lalu mapukah kita sebagai masyarakat atau sebagai
pemerintah untuk menata pemukiman di
sekitar sungai, industri-industri dipindahkan ke wilayah yang memadai dan
bantaran sungai dijadikan arena aktivitas sosial dan budaya yang di dukung oleh
masyarakat di sekitarnya. Hasilnya sungai ini menjadi ikon kota dan masyarakat di sekitar sungai tentu akan lebih nyaman dan
aman.
Dalam hal
ini mengelola Sungai, perlu
sinergitas antara masyarakat lokal, pemerintah daerah dan swasta, dengan
meningkatkan partisipasi aktif masyarakat melalui peningkatan pengetahuan
masyarakat dalam hal pengelolaan sungai. pendekatan melalui institusi
pemerintah dan pemberdayaan masyarakat adalah upaya yang sangat strategis dalam
mengembalikan fungsi sosial sungai.
Semoga
penyelenggaraan FSM 4 kali ini mampu memberi perubahan mendasar bagi masyarakat
disekitaran sungai, termasuk pemerintah juga bisa lebih serius untuk sedikit
demi sedikit mengadopsi cara masyarakat dan pemerintah di Brisbane Australia
adalam pengelolaan sungai.
Selamat dan Sukses FSM 4
Tahun 2017.